Selasa, 15 Januari 2019

Ushul Fiqih tentang Amar dan Nahi



BAB I
PENDAHULUAN
Objek utama yang akan dibahas dalam ushul fiqh adalah al-Qur’an dan sunnah Rasul sedang untuk memahami teks-teks dan sumber yang berbahasa Arab tersebut para ulama  telah menyusun semacam tematik yang akan digunakan dalam praktik penalaran fikih. Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam berbagai tingkat kejelasan. Untuk itu para ahlinya telah membuat beberapa kategori lafal atau redaksi, di antara yang sangat penting dan akan dikemukakan disini. Antara lain tentang Amr, nahi.
Memahami redaksi Al-Qur’an dan Al-Hadits bagaikan menyelam ke dalam samudra yang dalam lagi luas dibutuhkan kunci, metode dan keilmuan khusus untuk sampai ke sana sehingga kita bisa mengetahui maksud dan tujuan nash Al-Qur’an dan Al-Hadits baik dari sudut teks maupun dari aspek makna. Diantara beberapa pembahasan yang berkaitan dengan Ilmu Ushul Fiqh yang didalamnya terdapat kaidah-kaidah (ushuliyah) yaitu tentang ‘Am, Khos, Amr, Nahi dan lain sebagainya. Akan tetapi dalam makalah ini pembahasan yang akan kita pelajari adalah yang berkaitan dengan Amr dan Nahi.
Mempelajari kaidah amar dan nahi mungkin sangat banyak sekali kaidah kaidah yang bersangkutan dengan kaidah itu, dalam makalah ini saya jelaskan sedikit tentang kaidah kaidah tersebut, untuk mempermudah dalam memahaminya saya sertakan contoh dan dalil tentang kaidah kaidahnya, sehingga pembaca bisa faham terperinci. Pada kenyataan yang ada orang akan cenderung pada kaidah kaidah ushul yang ada lima, tanpa memahami kaidah kaidah yang terkandung dalam pokok pembahasan amar dan nahi. Ilmu ushul fiqh menyajikan berbagai cara dari berbagai aspeknya untuk menimba pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Untuk memahami teks-teks dari dua sumber yang berbahasa Arab tersebut, para ulama telah menyusun semacam sistematik yang akan digunakan dalam praktek penalaran fiqih. Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam beberapa tingkat kejelasannya.
Secara garis besar, metode istinbath dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu segi kebahasaan, segi mawasid(tujuan) syari’ah, dan segi penjelasan beberapa dalil yang bertentangan. Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an dalam menyampaikan ajaran Allah dan begitu juga Sunnah Rasulullah ada yang berbentuk amr(perintah), nahi(larangan), dan takhyir(pilihan). dari tiga kategori ayat-ayat hukum itulah terbentuk hukum-hukum, seperti wajib, mandub, haram, makruh dan mubah. dalam makalah ini, yang akan dibahas adalah masalah metode istinbath bila dilihat dari segi kebahasaan yang berbetuk amr(perintah) dan nahi (larangan).
BAB II
PENBAHASAN
A.      AL-AMRU (PERINTAH)
1.      Pengertian Al-Amru
Amar  menurut bahasa berarti perintah. Sedangkan menurut istilah adalah,
اْلأَمْرُ طَلَبُ اْلفِعْلِ مِنَ اْلأَعْلَى إِلَى اْلأَدْنَى
”amr adalah perbuatan meminta kerja dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yng lebih rendah tingkatannya.”
atau dapat didefinisikan,
اْللَفْظُ الدُّالُّ عَلَى طَلَبُ اْلفِعْلِ عَلَى جِهَةِ اْلإِسْتِعْلَاءِ
Suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya.
Adapun perintah untuk melakukan suatu perbuatan, seperti dikemukakan oleh Khudari Bik dalam bukunya Tarikh al Tasyri’, disampaikan dalam berbagai gaya atau redaksi antara lain:
a)       Perintah tegas dengan menggunakan kata amara (أمر)
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”
b)      Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas seseorang dengan memakai kata kutiba (كتب)
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita
c)         Perintah dengan menggunakan kata faradha (فرض/mewajibkan).
Al-Ahzab/33 : 50
“Sesungguhnya kami Telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu”
2.       Hukum-huum yang mungkin ditunjukan ‘Amar.
Suatu bentuk perintah, seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Adib Saleh, Guru Besar Ushul Fiqh Universitas Damaskus, bisa digunakan untuk berbagai pengertian, yaitu:
a.    Menunjukkan hukum wajib seperti perintah untuk sholat.
b.    Untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu boleh dilakukan. Al-mukminun ayat 51
Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan
c.    Sebagai anjuran. Al-Baqarah : 282
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”
d.   Untuk melemahkan. Al-Baqarah : 23
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar
3.       Kaidah-kaidah dalam ’Amar.
Apabila dalam nash syara’ terdapat salah satu dari bentuk perintah, maka ada beberapa kaidah yang mungkin bisa diberlakukan.
Kaidah pertama, الأصل قى الأمر للوجوب, meskipun suatu perintah bisa menunjukkan berbagai pengertian, namun pada dasarnya suatu perintah menunjkkan hukum wajib dilaksanakan kecuali bila ada indikasi atau dalil yang memalingkannya.
Contoh perintah yang terbebas dari indikasi yang memalingkan dari hukum wajib adalah ayat 77 surat an-Nisa
Dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!"
Ayat tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan sholat lima waktu dan menunaikan zakat. Adapun contoh perrintah yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum selain wajib, ayat 283 surat al-Baqarah
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan
Kaidah kedua, دلالة الأمر على التكرار أو الواحدة, adalah suatu perintah, haruskah dilakukan berulang kali atau cukup dilakukan sekali saja?. Menurut jumhur ulama ushul fiqh, pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan harus berulang kali dilakukan kecuali ada dalil untuk itu. Contohnya ayat 196 surat al-Baqarah
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah Karena Allah….
Perintah melakukan haji dalam ayat diatas sudah terpenuhi satu kali haji dalam seumur hidup.
Adanya kemestian pengulangan ditunjukkan oleh dalil lain. Al-Isra  78
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)
Menurut sebagian ulama Ushul Fiqh, seperti Abu Ishaq al-Syirazi (w. 476 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah seperti dinukil Muhammad Adib Saleh, suatu perintah pada dasarnya menunjukkan berulang kali dilakukan sepanjang hidup, kecuali ada dalil yang menunjukkan cukup dilaukan satu kali.
Kaidah ketiga, دلالة الأمر على الفور أو التراخىو, adalah suatu perintah, dilakukan sesegera mengkin atau bisa ditunda-tunda?.Pada dasarnya suatu perintah tidak menghendaki untuk segera dilakukan selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan untuk itu. Pendapat ini dianut oleh jumhur ulama Ushul Fiqh. Sedangkan adanya ajaran suatu kebaikan sege ra dilakukan, bukan ditarik dari perintah itu sendiri, tetapi dari dalil lain.
Menurut sebagian ulama, antara lain Abu Hasan al-Karkhi (w. 340 H) seperti dinukil Muhammad Adib Salih, bahwa suatu perintah menunjukkan hukum wajib segera dilakukan. Barangsiapa yang tidak segera melakukan suatu perintah di awal waktunya, maka ia berdosa.
4.      Segi-segi lain dari Amr
Perintah atau suruhan ada kalanya datang sesudah larangan, dan dipertanyakan pula apakah harus segera dikerjakan atau harus berulang-ulang kali dikerjakan.
Oleh karena itu para ulama uul telah memberikan beberapa patokan dan ketentuan-ketentuan untuk menjadi pedoman dalam menginsbatkan hukum.
1.    Perintah sesudah larangan (الأمر بعد النهي)
Ada perbedaan pendapat ulama tentang dalalah amar sesudah nahi (larangan). Ada yang mengatakan bahwa amar itu tetap wajib dikerjakan walaupun sebelumnya ada larangan untuk berbuat
Contoh sabda nabi:
“Tinggalkanlah (janganlah mengerjakan) shalat pada hari-hari haidlmu, apabila haid sudah hilang maka mandilah. Kemudian teruskan sholat seperti biasa”
Namun demikian yang masyhur dikalangan ulama ushul ialah amar sesudah nahi adalah ibahah.
2.    Perintah dan waktu mengerjakannya
Lafadz amar dalam al-Qur’an maupun al-Hadits pada hakekatnya adalah untuk mengerjakan apa yang disuruh. Suruhan itu tidak harus segera dikerjakan dalam waktu yang cepat ataupun ditangguhkan.
Ada kaidah yang menegaskan:
الأمر لا يقثضي الفور
“Suatu perintah atau suruhan itu tidak menghendakikesegeraan dikerjakan
3.    Perintah dan perulangan mengerjakannya
Pada dasarnya tidak ada ketentuan bahwa lafadz amar menuntut supaya suruhan atau perintah dikerjakan sekali saja atau lebih atau berulang-ulang. Oleh karena itu dikalangan ulama ushul fiqh ada kaedah:
الإصل فى الأمر لا يقثضى الثكرار
“Pada dasarnya suruhan/perintah titu tidak menghendaki perulangan (berulang-ulang mengerjakan perintah itu)”
Kalau perintah itu harus dikerjakan berulang-ulang, maka harus ada kata-kata atau qarinah yang menyertainya yang menunjukkan kepada perulangan itu.
4.    Perintah dan perantaranya (wasilah)
Kadang-kadang ada perintah yang tidak dapat terwujud tanpa adanya perbuatan-perbuatan lain yang mendahuluinya atau alat-alat tertentu untuk dapat melaksanakan perintah-perintah tersebut.
Perbuatan-perbuatan lain atau alat-alat tertentu disebut wasilah (perantara)
الأمر بالشيئ أمر بوسائله
“Memerintahkan sesuatu berarti memerintahkan pula seluruh wasilahnya
Wasilah-wasilah itu bisa berupa:
1.      Syarat seperti bersuci untuk sahnya sholat
2.      Adat kebiasaan seperti memakai paying bila ingin menghindari panas sinar matahari atau basah karena hujan.
B.  NAHI (LARANGAN)
1.    Pengertian dan bentuk-bentuk Nahi
Mayoritas ulama Ushul Fiqh mendefinisikan nahi sebagai
طلب الكف عن الفعل على جهة الإستعلاء بالسيغة الدال عليه
“Larangan melakukan suatu perbuatam dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.
Jika lafal khusus yang terdapat dalam nash syara’ berbentuk nahi atau bentuk berita yang nermakna larangan, maka berarti haram. Yaitu menuntut untuk tidak melakukan yang dilarang secara tetap dan pasti.
Firman Allah Swt, al-Baqarah : 221
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,
Memberikan pengertian: Haram bagi seorang laki-laki muslim mengawini wanita musyrik.
Dalam melaang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudari Bik. Allah juga memakai berbagai ragam bahasa, diantaranya adalah:
a)      Larangan tegas dengan memakai kata naha (نهى) atau yang seakar dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Seperti surat an-Nahl ayat 90,
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan
b)      Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan. Al-’Araf : 33
Katakanlah: "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui."
c)      Larangan dengan mengancam pelakunya dengan siksaan pedih. At-Taubah :34
dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,
2.     Kemungkinan hukum yang ditunjukan bentuk Nahi.
Seperti dikemukakan Adib Saleh, bahwa bentuk larangan dalam penggunaannya menunjukkan berbagai pengertian, antara lain:
a)    Menunjukkan hukum haram, misalnya surat al-Baqarah ayat 221
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,
b)   Sebagai anjuran untuk meninggalkan, seperti al-Maidah :101
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
c)    Penghinaan, dalam surat at-Tahrim ayat 7
“Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu Hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan”
3.    Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan Nahi.
Para ulama Ushul Fiqh merumuskan beberapa kaidah yang berkenaan dengan larangan, antara lain,
Kaidah pertama, الأصل فى النهى للتحريم, pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada indikasi yang menunjukkan hukum lain. Contohnya ayat 151 surat al-An’am.
dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar
Contoh larangan yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum selain haram, dalam surat al-Jum’ah : 9.
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475]. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.
Kaidah kedua, الأصل فى النهى يطلق الفساد مطلقا, suatu larangan menunjukkan fasad (rusak) perbuatan yang dilarang itu jika dikerjakan. Kaidah ini disepakati bilamana larangan itu tertuju kepada zat atau esensi suatu perbuatan, bukan terhadap hal-hal yang terletak diluar esensi perbuatan itu.
Kaidah ketiga, النهي عن الشيئ أمر بضده, suatu larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya. Seperti dalam surat Luqman : 18
“dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh”
Larangan tersebut mengajarkan agar berjalan di permukaan bumi dengan rendah hati dan sopan.
C.      QAIDAH-QAIDAH FIQHIYAH
Qaidah secara etimologi adalah al asas (dasar), atau yang menjadi dasar berdirinya sesuatu. Dengan Qaidah dapat dicari persamaan hukum itu dalam berpuluh-puluh masalah yang sama hukumnya, sesuai dengan Qaidah-qaidah tersebut.
Secara terminologi atau istilah, banyak ulama memberikan definisi antara lain:
اَلاَمْرُ اْلكُلِّىُّ اَّلذِيْ يَنْطَبِقُ عَلَى جُزْ ئِيَّاتٍ كَشِيْرَةٍ نُفْهَمُ اَحْكَامُهَا مِنْهَا ( الاشباه )
Artinya : “ ketentuan universal yang bisa bersesuaian dengan bagian-bagiannya serta difahami hukumnya dari perkara tersebut “
اُصُولُ فِقْهِيَّةٍ كُلِّيَةٍ فِى نُصُوْصِ مُوجِزَةٍ دِسْتَورِيَةٍ  تَتَضَمَنُ اَحْكَامُهَا تَشْرِيْعِيَّةٍ عَامَّةً فِى اْلحَوَادِثِ الّتِى تَذْخُلُ تَحْتَ مَوْضُوعِهَا
Artinya : “Dasar-dasar hukum fiqh yang bersifat kully yang diungkapkan dalam teks-tekssingkat yang bersifat undang-undang dan mengandung hukum-hukum syara dalamberbagai kasus yang termasuk dalamcakupan kaidah tersebut
Dari berbagai macam definisi yang telah dikemukakan diatas, dapat dilihat bahwa para ulama’ terdahulu berbeda-beda dalam mendefinisikan, namun dari semua definisi tersebut tetap memiliki substansi yang sama, yaitu dasar hukum fiqih yang bersifat kully.
a)      Qaidah Kulliyyah (Kebahasaan)
1.      Al-Amru (Perintah)
Amr (perintah), yang artinya : Tuntunan melakukan pekerjaan dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah (kedudukannya). Yang lebih tinggi kedudukannya dalam hal ini adalah Allah dan yang lebih rendah kedudukannya adalah manusia (mukallaf). Jadi Amr ialah perintah Allah Swt yang harus dilakukan oleh ummat manusia yang mukallaf. Amar itu mempunyai ketentuan-ketentuan yang menjadi dasar pengambilan atau penetapan hukum. Ketentuan-ketentuan itu kemudian kita kenal dengan istilah Qaidah. Amar mempunyai beberapa Qaidah :
·          اَلْاَصْلُ فِى اْلاَمْرِ لِلْوُجُوْبِ
“Pada asalnya amr itu menunjukkan wajib”
·          اَلْاَصْلُ فِى اْلاَمْرِ لَايَقْتَضِى التَّكْرَارَ
“Pada asalnya perintah itu tidak menghendaki pengulangan”
·          اَلْاَصْلُ فِى اْلاَمْرِ لَايَقْتَضِى اْلفَوْرَ
“Pada asalnya perintah itu menghendaki kesegeraan”
·          اَلاَمْرُ بِالشَّئ اَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ
“Perintah mengerjakan sesuatu juga berarti perintah mengerjakan wasilahnya”
·          اَلْاَمْرُ بِالشَّئِ نَهَيٌ عَنْ ضِدِّهِ
Perintah terhadap sesuatu berarti larangan terhadap kebalikannya”
·          اَلْقَضَاءُ بِاَمْرٍ جَدِيْدٍ
“Qadha’ itu dengan perintah baru”
·          اَلْاَمْرُ بَعْدَ النَّهْىِ يُفِيْدُ اْلاِبَاحَةَ
“Perintah setelah larangan memfaedahkan hukum mubah”
2.      An-Nahyu (Larangan)
Nahi adalah perintah meninggalkan sesuatu perbuatan dari pihak atasan kepada bawahannya (dari tuhan kepada manusia). Yang lebih tinggi kedudukannya dalam hal ini adalah Allah dan yang lebih rendah adalaha Mukallaf. Jadi Nahi itu adalah larangan Allah yang harus ditinggalkan oleh mukallaf.
Nahi mempunyai beberapa Qaidah :
·          اَلْاَصْلُ فِى النَّهِى لِلتَّحْرِيْمِ
“Pada asalnya Nahi itu menunjukkan haram”
·          اَلنَّهِى عَنِ اَمْرٌ بِضِدِّهِ
“Larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya”
·          اَلْاَصْلُ فِى النَّهِى اْلمُطْلَقُ يَقْتَضِى التِّكْرَار فِى جَمِيْعِ اْلاَزْمِنَةِ
“Pada asalnya larangan mutlak menghendaki pengulangan sepanjang zaman”
Dengan adanya qaidah-qaidah kebahasaan tersebut bahwasannya setiap ada perintah pasti ada pula larangan, al-amru dan an-nahyu selamanya akan bertentangan. Makna atau pengertian yang cepat ditangkap dari lafazh Amar adalah ijab artinya tuntutan wajib mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan. Jika Allah memerintahkan kepada hamba-hambaNya  suatu perbuatan berarti kewajiban memenuhi perintahNya.  Amar tetap mengandung arti wajib, kecuali Amar itu tidak mutlaq lagi artinya terdapat qarinah ( petunjuk ) yang dapat mengubah ketentuan tersebut, sehingga tidak menunjukkan wajib melainkan menunjukkan hukum sunnat atau mubah dan sebagainya.
Makna haram bisa berpindah ke makna lain apabila ada petunjuk (qarinah) yang menghendaki peralihan ke makna lain tersebut, baik qarinahnya itu berupa tuntutan makna yang dapat dipahami dari susunan bahasanya, maupundari nash lain yang menunjukkan tuntutan terhadap perpalingan makna itu. Lafazh nahi menghendaki larangan secara kekal dan spontan. Sebab yang dilarang itu tidak terwujud kecuali apabila larangan itu bersifat kekal. Para ahli ushul menyebutkan “Menurut asalnya nahi yang mutlak itu menuntut kesinambungan untuk semua masa”.
BAB III
PENUTUP
Sebagai kesimpulan Dari pembahasan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
  1. ‘Amr adalah Suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya.
  2. Nahi adalah Larangan melakukan suatu perbuatam dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.
  3. Adapun bentuk kata yang digunakan untuk meminta sesuatu perbuatan agar dikerjakan, ada kalanya dengan:
a.        Bentuk fi’il amr,
b.      Bentuk fi’il mudhari’ (kata kerja untuksekarang dan yang akan datang) yang disertai oleh lam al-amr (huruf yang berarti perintah),
c.       Bentuk isim fi’il amr,
d.      Bentuk masdar pengganti fi’il,
e.       Bentuk jumlah khabariyah-kalimat berita yang mengandung arti insyaiyah, perintah atau permintaan.
  1. Ada beberapa kaidah istinbath yang berhubungan dengan amr, yakni :
a.       Amr menunjukkan kepada wajib
b.      Amr menunjukkan pada sunnah
c.       Amr tidak menunjukkan untuk berulang-ulang
d.      Amr tidak menunjukkan untuk bersegera
e.       Amr dan perantara (wasilah) nya
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman  memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan–kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, 2007, Fiqh Siyasah, Kencana Prenada Media, Jakarta.
Effendi, Satria, Prof, Dr, H, M.ZEIN, M.A , 2008,Ushul Fiqh, Kencana, Jakarta
Khallaf, Abdul Wahhab, Prof, Dr, Ilmu Ushul Fiqh, 2003, Pustaka Amani, Jakarta
Muchtar Hadi, 2011, Buku Ajar Ushul Fiqih, UNDARIS, Ungaran.
Syarifuddin, Amir, Prof, Dr, H, Ushul Fiqh, 2009, Kencana, Jakarta
http://www.dakwatuna.com/2012/02/29/19086/pengantar-fiqih-bagian-ke-3-sejarah-perkembangan-fiqih-islam/#ixzz2yzNj50a2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar