Senin, 14 Januari 2019

MUJMAL DAN MUBAYYAN


1. MUJMAL
Mujmal adalah bentuk ungkapan yang dalam maknanya tersimpan banyak ketentuan dan berbagai keadaan yang tidak mungkin diketahui secara pasti kecuali melalui pernyataan lain yang menjelaskan (mubayyin). Al- Bazdawi dalam kitab ushul fiqihnya mengajukan definisi sebagai berikut : Mujmal ialah

ungkapan yang di dalamnya terkandung banyak makna, namun makna mana yang dimaksud di antara makna-makna tersebut tidak jelas (kabur). Artinya, apa yang dimaksud tidak bisa diketahui begitu saja dari ungkapan itu sendiri, tapi harus ditafsiri, diteliti dan dipikir secara mendalam.

Untuk memahami mujmal dan menemukan bagian-bagian dan berbagai bentuknya mutlaq diperlukan adanya penjelas (mubayyin) yang menerangkan makna secara rinci. Tapi sesudah keterangan dan rincian ini, orang masih perlu merenung dan berpikir sebelum sampai pada kesimpulan.

Banyak ungkapan Al-Qur’an mengenai hukum-hukum taklifi yang berbentuk mujmal, yang kemudian oleh Sunnah dijelaskan dan dirinci ketentuan-ketentuannya. Perintah shalat, misalnya, berbentuk mujmal, lalu datanglah Sunnah Nabi dalam bentuk ucapan dan sekaligus tindakan.

Nabi bersabda :
صلوا كما رايتمونى اصلى .

Artinya : “Lakukanlah shalat, (dengan cara) sebagaimana kalian lihat ketika aku shalat”.

Demikian pula ibadah haji, Sunnahlah yang menjalankan seperti terdapat pada sabda Nabi :

خذوا عنى مناسككم .
Artinya :

“Ambillah dari ku amalan-amalan haji kalian”.

Soal zakat dan jual beli juga begitu, disebut secara mujmal kemudian Sunnah pula yang menguraikan secara rinci mengenai batasan dan ketentuan-ketentuannya, untuk mengatur tata pergaulan antar manusia.

Contoh lain adalah jinayat (hukum pidana). Al-Qur’an mula-mula menentukan tentang wajibnya diyat, lalu Sunnah merinci berapa besarnya dan menerangkan ketentuan-ketentuannya. Al-Qur’an juga menetapkan, terhadap kasus pencideraan wajib dikenakan qishash, lantas Sunnah menguraikan ketentuan-ketentuan mengenai tindak pencideraan ini; dirinci perihal kapan diperbolehkan mengenakan sanksi qishash yang penuh dan kapan mengenakan sanksi qishash yang kurang berupa diyat berikut jumlahnya.

Demikianlah, tak pernah kita temukan satu mujmal pun kecuali dijelaskan oleh Sunnah dengan merinci ketentuan-ketentuannya hukumnya sedemikian rupa sehingga tak ada lagi kekaburan (ibham).

Menurut buku ushul fiqih karangan Moh. Riva’i dijelaskan bahwa Mujmal ialah suatu lafadz yang belum jelas, yang tidak dapat menunjukkan arti yang sebenarnya, apabila tidak ada keterangan lain yang menjelaskannya. Penjelasan ini disebut “Al-Bayan”. Ketidakjelasan ini disebut “Ijmal”.

Mubayyan ialah suatu lafadz yang terang maksudnya, tanpa memerlukan penjelasan dari lainnya.

Contoh lafadz yang mujmal, sebagaimana firman Allah :

Artinya :
“ Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. (Al-Baqarah : 228)

Lafadz “quru” ini disebut mujmal, karena mempunyai dua arti yaitu “haidl” atau “suci”. Kemudian mana di antara dua macam arti yang dikehendaki oleh ayat tersebut, maka diperlukan penjelasan yaitu bayan. Itulah suatu contoh ijmal dalam lafadz tunggal.


Contoh dalam lafadz yang murakkab (susunan kata-kata) sebagai berikut:


Artinya :
“Atau orang yang memegang ikatan pernikahan memaafkan”. (Q.S. Al-Baqarah : 237)

Dalam ayat tersebut masih terdapat ijmal tentang menentukan siapakah yang dimaksud orang yang memegang kekuasaan atas ikatan pernikahan itu, mungkin yang dimaksud “suami” atau “wali”. Kemudian untuk menentukan siapa di antara kedua itu yang dimaksud pemegang ikatan nikah, maka diperlukan bayan.

Selain tersebut di atas, ada lagi mujmal pada tempat kembalinya “dlamir” yang ihtimal (layak) menunjukkan dua segi, sebagaimana sabda Nabi s.a.w. sebagai berikut :

لا يمنع احدكم جاره ان يضع خشبة فى جداره .
Artinya :
“Janganlah salah seorang di antara kamu menghargai tetangganya untuk meletakkan kayu pada dindingnya”.

Kata-kata”nya” pada dindingnya, masih mujmal artinya belum jelas, apakah kembalinya itu kepada dinding orang itu atau kepada tetangga.

Keterangan : Mujmal ini hampir sama dengan ‘Am (umum) dan muthlaq. Karena itu perlu mengetahui perbedaan antara ketiga tersebut, agar tidak salah menentukan masalahnya.





2. AL-BAYAN

Al-Bayan artinya ialah penjelasan; di sini maksudnya ialah menjelaskan lafadz atau susunan yang mujmal.

Jelasnya ialah :

البيان اخراج الشيئ من حيز الاشكال الى حيز التجلى .

“Bayan ialah mengeluarkan sesuatu dari tempat yang sulit kepada tempat yang jelas”.

a. Macam-macam bayan :

1) Bayan dengan perkataan ; Sebagaimana Firman Allah s.w.t. :

“Barangsiapa tidak mendapat (beli binatang qurban), hendaklah ia berpuasa tiga hari dalam masa haji, dan tujuh hari apabila kamu kembali; yang demikian itu sepuluh hari sempurna”. ( Al- Baqarah : 196 )


Lafadz “tujuh” dalam bahasa Arab sering ditujukan kepada banyak yang diartikan lebih dari tujuh. Untuk menjelaskan “tujuh betul-betul”, maka Allah iringi dengan firmanNya “sepuluh” hari yang sempurna.
Penjelasan “tujuh betul-betul” dalam ayat ini adalah dengan ucapan.

2) Bayan dengan perbuatan ; seperti penjelasan Nabi s.a.w. pada cara-cara shalat dan haji :

صلوا كما رايتمونى اصلى .
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku menjalankan shalat”. ( HR. Bukhari )
Cara shalat ini dijelaskan dengan perbuatan oleh Nabi s.a.w. yakni beliau mengerjakan sebagaimana cara beliau mengerjakan, sambil menyuruh orang menirunya.

3) Bayan dengan isyarat ; misalnya penjelasan Nabi s.a.w. tentang jumlah hari dalam satu bulan. Penjelasan ini diberikan kepada sahabat beliau mengangkat kesepuluh jarinya tiga kali, yakni 30 hari. Kemudian mengulanginya sambil membenamkan ibu jarinya pada kali yang terakhir. Maksudnya bahwa bulan Arab itu kadang-kadang 30 hari atau 29 hari.

4) Bayan dengan meninggalkan sesuatu ; Misalnya hadits Ibnu Hibban yang menerangkan :

كان اخر الامرين منه ص م . عدم الوضوء مما مست النار . ( روه ابن حبان )

“Adalah akhir dua perkara pada Nabi s.a.w. tidak berwudlu’ karena makan apa yang dipanaskan oleh api”.

Hadits ini sebagai penjelasan yang menyatakan bahwa Nabi s.a.w. tidak berwudlu’ lagi setiap kali selesai makan daging yang dimasak.

5) Bayan dengan diam ; Misalnya tatkala Nabi s.a.w. menerangkan wajibnya ibadah haji, ada orang yang bertanya “apakah setiap tahun ya Rasulullah ?” Rasulullah berdiam tidak menjawab. Diamnya Rasulullah ini berarti menetapkan bahwa kewajiban haji itu tidak tiap –tiap tahun.


3. TAKHIRUL BAYAN ( mengundurkan Bayan )

Mengundurkan bayan ini ada dua macam : (1) Mengundurkan dari waktu yang dibutuhkan, dan (2) Mengundurkan bayan dari waktu turunnya perintah/khithab.

a. Mengundurkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan :

تاخير البيان عن وقت الحاجة لا يجوز .

Artinya :
“Mengundurkan penjelasan dari waktu dibutuhkan itu tidak dibolehkan”.

Kalau mengundurkan penjelasan ini terjadi, berarti membolehkan mengamalkan sesuatu yang mujmal sebelum ada bayan, tegasnya mengamalkan sesuatu dengan cara yang tidak sesuai dengan yang dikehendaki syara’. Misalnya Fatimah binti Hubaisy datang kepada Rasulullah s.a.w. kemudian bertanya :

يا رسول ا لله انئ امراة استحاض فلا اطهر افادع الصلا ة فقال لها ص م . لا انما ذالك
عرق و ليست بالحيضة فاذا اقبلت الحيضة فدعى الصلاة و اذا ادبرت فاغسلى عنك الدم و صلى , ( متفق عليه )

Artinya :
”Wahai Rasulullah, saya ini perempuan yang mengeluarkan darah istihadlah, berarti saya tidak dalam keadaan suci terus-menerus, bolehkah saya meninggalkan shalat ? Nabi bersabda : “Jangan, karena hal itu hanya penyakit saja ( ‘irqun = keringat ) dan bukan haidl. Apabila datang waktu haidl tinggalkanlah shalat, dan apabila habis waktunya cucilah darah itu dari kamu ( mandilah ) dan shalatlah”. ( HR Bukhari dan Muslim )

Dari hadits ini tidak ada penjelasan ( bayan ) bahwa perempuan yang istihadlah itu wajib bersuci untuk setiap kali shalat. Sebab kalau mereka diwajibkan bersuci setiap kali shalat, niscaya Rasulullah s.a.w. telah memberikan penjelasan di waktu itu juga, karena pada saat itulah penjelasan dibutuhkan.

b. Mengundurkan bayan dari waktu khithab :

تاخير البيان عن وقت الخطاب يجوز .

“Mengundurkan penjelasan dari waktu khithab dibolehkan”.

Artinya, pada waktu turunnya perintah belum ada penjelasan, misalnya firman Allah :


Artinya :
“Apabila Kami bacakan (Al- Qur’an ) ikutilah bacaannya. Kemudian sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya”. ( Al-Qiyamah : 18-19 )

Lafadz “tsumma = kemudian” berarti kemudian dengan ada jarak waktu antara khithab dan penjelasan. Dengan demikian mengundurkan bayan itu boleh, baik mubayyannya dhahir atau tidak. Misalnya menerangkan cara shalat sesudah badanya khithab “aqiimush shalata = dirikanlah olehmu akan shalat” dengan bayan yang datangnya kemudian dari Nabi s.a.w. yang disabdakan dalam hadits “shalluu kamaa ra-aitumuuni ushalli”.

4. Pendapat para Ulama tentang pembagian Bayan.

A. Menurut pendapat ahlur Ra’yi, penerangan Al-Hadits terhadap Al-Qur’an terbagi tiga :
1 . Bayan Taqrir, yaitu “keterangan yang didatangkan oleh As-Sunnah untuk menambah kokoh apa yang telah diterangkan oleh Al-Qur’an. Contohnya adalah sabda Nabi s.a.w. :
صوموا لرؤيته و افطروا لرؤيته.

Artinya : “Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu sesudah melihatnya”.

Hadits ini menguatkan firman Allah s.w.t. Yaitu :
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. (Q.S. Al-Baqarah : 185)


2. Bayan Tafsir, yaitu “Menerangkan apa yang kira-kira tak mudah diketahui (tersembunyi pengertiannya), seperti ayat-ayat yang mujmal dan yang musytarak fihi.

Diantara contoh bayan tafsir bagi mujmal, ialah : seperti hadits yang menerangkan kemujmalan Ayat-ayat shalat, Ayat-ayat zakat, Ayat-ayat haji. Dalam ibadat-ibadat ini, Ayat Al-Qur’an, mujmal. Diperintahkan kita bershalat, tetapi tidak diterangkan tata caranya; tidak diterangkan rukun-rukunnya, tidak diterangkan waktu-waktunya. Semua yang tersebut ini diterangkan Nabi dengan sabdanya :
صلوا كما رايتمونى اصلى .

“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku menjalankan shalat”. ( HR. Bukhari )

Allah memerintahkan zakat. Maka As-Sunnah menerangkan detail-detailnya.
Nabi bersabda terhadap zakat emas dan perak :
ها تو ا ربع عشر اموالكم .

“Berikanlah dua setengah persen dari harta-hartamu”.

Dan Nabi menerangkan zakat binatang, tumbuh-tumbuhan dengan berbagai surat yang dikirimkan kepada pegawai zakat dan dengan beberapa hadits yang ma’tsur.
Demikian juga Haji. Al-Qur’an memujmalkannya. As-Sunnah menjelaskannya dengan sabda Nabi :
خذوا عنى مناسككم .
“Ambillah dari ku amalan-amalan haji kalian”.

Di antara contoh-contoh bayan tafsier bagi yang musytarak fihi. Ayat quru’ .
Berfirman Allah s.w.t. :
“ Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. (Al-Baqarah : 228)
Perkataan quru’ berarti suci dan berarti haidl sendiri. Maka datang hadits yang menerangkan “.
طلاق الامة ثنتان و عدتها حيضتان .
“Thalaq budak dua kali dan iddahnya dua haidl”

Dan seperti lafadz ‘ain . Dia bermakna : mata, mata air dan bermakna zat sesuatu.

Kata An-Nawawy dalam Tahziebul Asma’i : “Lafadh ‘ain, dipersekutukan pada banyak makna. Dia bermakna : mata (pancaindera lihat), mata air, mata-mata, hujan yang terus-menerus turun, mata uang dinas, zat sesuatu barang dan ketua dari sesuatu golongan”.

Keterangan yang serupa ini yakni bayan mujmal, boleh bersambungan dengan ayat yang dijelaskan, boleh bercerai, boleh pula datang di belakang, atau sama-sama datangnya. Akan tetapi tak boleh ditelatkan hingga waktu dilaksanakan pekerjaan itu.

Mengenai takhshish ‘am, maka dia tidak boleh datang terlambat dari ‘am itu.
Ke dalam bayan tafsier ini, masuk bayan mujmal-bayan musytarak (yakni bayan tafsier bagi mujmal dan bayan tafsier bagi musytarak) dan bayan takhshish ( menerangkan sesuatu yang tidak dimaksudkan dari umum) .

Perbedaan antara bayan mujmal, bayan musytarak dengan bayan takhshish, ialah : Bayan mujmal berarti menerangkan : Tafsier atau tafsiel, atau ta’yien. Adapun bayan takhshish, maka ia suatu penjelasan ditinjau dari suatu sudut dan suatu pertentangan ditinjau dari sudut yang lain.

3. Bayan Tabdiel, bayan nasakh, yakni : “Mengganti sesuatu hukum, atau menasakhkannya”.

Menasakhkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an menurut ulama ahlul ra’yi, boleh. Menasakhkan Al-Qur’an dengan As-Sunnah, boleh; kalau As-Sunnah itu mutawatir, masyhur, atau mustafidl.


Mengkhususkan umum Al-Qur’an dengan hadits, mereka tidak membolehkannya; terkecuali kalau hadits itu mutawatir atau masyhur.

Abu Haniefah berpendapat, bahwa : ‘am yang disepakati menerimanya lebih utama kita amalkan daripada khash yang diperselisihkan menerimanya.

Demikian pendapat Abu Haniefah menurut penjelasan Kasyful Asrar.
Karena itu, Abu Haniefah memegangi umum hadits :

ماسقته السماء ففيه العشر .

“Apa yang disiraminya oleh hujan, maka padanya satu persepuluh”.

Beliau mendahulukan hadits atas hadits :

ليس فيما دون خمسة اوسق صدقة .

“Tak ada pada yang kurang dari lima wasaq, zakatnya”.

B. Malik berpendirian, bahwa bayan Al-hadits itu terbagi kepada :

1) Bayan Taqrier, yaitu : menetapkan dan mengokohkan hokum-hukum Al-Qur’an; bukan mentaudliehkan, bukan mentaqyidkan mutlaq dan bukan mentakhshiskan ‘am, seperti :
صوموا لرؤيته و افطروا لرؤيته.

“Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu sesudah melihatnya”.

2) Bayan Taudlieh (Tafsir), yaitu : menerangkan maksud-maksud ayat, seperti : hadits-hadits yang menerangkan maksud-maksud ayat yang difahamkan oleh para sahabat berlainan dengan yang dimaksudkan oleh ayat sendiri. Contohnya :



“Dan segala mereka yang membendaharakan emas dan perak dan mereka tidak membelanjakan pada jalan Allah, maka gembirakanlah mereka dengan azab yang amat pedih”. (Q.S. At-Taubah : 34)

Manakala ayat ini diturunkan, para sahabat merasa sangat berat melaksanakan kandungan ayat. Mereka bertanya kepada Nabi s.a.w., maka Nabi menjawab : “Allah tidak memfardlukan zakat, melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah kamu zakati “. Mendengar itu Umar r.a. mengucapkan takbir.

3). Bayanut Tafshil, yaitu : menjelaskan mujmal Al-Qur’an, sebagai hadits yang mentafshilkan kemujmalan firman Allah :
اقيمواالصلوة .
“Dirikanlah olehmu akan sholat”.

4). Bayanul basthy (tabsiet bayan takwiel), yakni : memanjangkan keterangan bagi apa yang diringkaskan keterangannya oleh Al-Qur’an, seperti ayat :

“Dan atas tiga orang yg tidak mau pergi, yang tinggal di tempat, tidak turut pergi ke medan peperangan”. ( Q.S. At-Taubah : 118 )

Kisah yang dimaksudkan oleh Ayat ini telah direntang panjang oleh hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary, Muslim, Abu Dawud, An Nasa’I, At-Tirmidzy, dan Ibnu Majah dengan mensyarahkan sebab Nabi s.a.w. menegah orang yang berbicara dengan orang yang ketiga itu.

Masuk ke dalam bayan taudlieh, menentukkan salah satu kemuhtamilan, mengqaidkan yang mutlak dan mentakhshiskan yang umum.

Malik dalam soal ini (soal mentakhshiskan Ayat dengan hadits ahad) dekat pendiriannya Ahlul ra’yi.

Menurut Ibnu Qutaibah dalam Al Ma’rifah, Malik dimasukkan ke dalam golongan ahlur ra’yi.

Beliau mendahulukan Sunnah di ketika dikuatkan Sunnah itu oleh Qiyas dan ‘amal ahli madinah. Kalau demikian barulah Sunnah dipandang mentakhshiskan Al-Qur’an dan mentaqyidkannya.

Malik menolak hadits yang mengharamkan segala burung yang bercakar karena berlawanan dengan dhahir Al-Qur’an.


“Katakanlah olehmu : Aku tiada mendapati di dalam wahyu yang telah diturunkan kepadaku, makanan yang diharamkan, untuk seseorang memakannya, selain daripada bangkai, darah yang terpencar,daging babi”, dia itu kotor, dan yang disembelih untuk yang selain Allah. (Q.S. al-An’am : 145 )

Beliau mendla’ifkan hadits; karena berlawanan dengan umum ayat ini. Tapi beliau mengharamkan juga binatang buas dan yang bertaring, karena yang demikian dikuatkan oleh amalan ahli Madinah, padahal dhahir ayat menghalalkannya.

Malik menolak hadits, menurut uraian Asy Syathiby dalam Al Muwafaqat, apabila menyalahi Al-Qur’an, atau dasar yang qat’i, atau dasar yang umum. Karena itu, beliau menolak hadits :
من مات و عليه صيام , صام عنه وليه .

“Barang siapa mati dan atasnya ada puasa, dipuasakan untuknya oleh walinya”.

Sebagaimana beliau menolak pula hadits yang menerangkan, bahwa anak boleh mengerjakan haji untuk orang tuanya; karena berlawanan dengan Ayat :

“Dan bahwa tak ada bagi manusia, melainkan apa yang ia telah usahakan”
(Q.S. An-Najm : 39)
Dan Malik menolak hadits jilatan anjing dengan alasan, bahwa hadits itu berlawanan dengan dua dasar yang umum :

Pertama, firman Allah s.w.t. :
“Maka makan olehmu dari apa (binatang) yang dipegang oleh anjing-anjing itu untukmu”. (Q.S. Al-Maidah : 4)

Kedua, Illat suci binatang, ialah : hidupnya. Hidup itu terdapat pada anjing.

5) Bayan Tasyrie’, yakni : mewujudkan sesuatu hokum yang tidak tersebut dalam Al-Qur’an, seperti menghukum dengan bersandar pada seorang saksi dan sumpah apabila simudda’i tiada mempunyai dua orang saksi; dan seperti ridla’ mengharamkan pernikahan mengingat hadits :

يحرم من الرضاعة مايحرم من النسب .

“Haram lantaran ridla’ apa yang haram lantaran nasab(keturunan)”.

Sebagian Ulama berpendapat, bahwa segala hukum yang dilengkapi Sunnah, kembali kepada Al-Qur’an, tidak ada yang berdiri sendiri.

C. AsySyafi’y di antara ulama ahlil atsar menetapkan, bahwa penjelasan Al-Hadits terhadap Al-Qur’an terbagi lima, yaitu :

1) Bayan Tafshiel, yaitu menjelaskan ayat-ayat yang mujmal (yang sangat ringkas petunjuknya)
2) Bayan Takhshish, yaitu menentukkan sesuatu dari umum ayat.
3) Bayan Ta’yin, yaitu menentukan mana yang dimaksud dari dua tiga perkara yang mungkin dimaksudkan.
4) Bayan Tasyri’, yaitu menentukan sesuatu hukum yang tidak didapati dalam Al-Qur’an.
5) Bayan Nasakh, yaitu menentukan mana yang dinasikhkan dan mana yang dimansukhkan dari ayat-ayat Al-Qur’an yang kelihatan berlawanan.

13
D. Ahmad ibn Hanbal dalam soal ini sepaham dengan gurunya Asy-Syafi’y, bahkan lebih keras lagi pendiriannya dalam menentukan garis-garis penerangan As-Sunnah.

Ibnul Qaiyim telah menerangkan pendapat Ahmad dalam soal ini dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’ien, sebagai berikut :

Keterangan As-Sunnah terhadap Al-Qur’an terbagi tiga :
1) Bayan Ta’kied (bayan taqrier), yaitu di kala As-Sunnah itu bersesuaian benar petunjuknya dengan petunjuk Al-Qur’an, yakni menerangkan apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an.

2) Bayan tafsier, yaitu menjelaskan sesuatu hukum Al-Qur’an, yakni
menerangkan apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an.

3) Bayan Tasyrie’, yaitu Mendatangkan sesuatu hukum yang didiamkan Al-Qur’an ( yang tidak diterangkan hukumnya)

4) Bayan Takhshish dan Taqyid, yakni mengkhususkan Al-Qur’an dan mengqaidkannya. Apabila didapati hadits yang mengkhususkan Al-Qur’an, dikhususkanlah umum itu, baik hadits yang mengkhususkan itu mutawatir, masyhur, mustafidl ataupun ahad.

Tegasnya, Sunnah itu , menurut pendapat Ahmad, mentakhshiskan Al-Qur’an, mengqaidkannya dan mentafshilkannya. Ringkasnya, Ahmad berpendapat, bahwa As Sunnah mentafsirkan dhahir Al-Qur’an dan bahwa hadits ahad itu dapat mentakhshiskan Al-Qur’an.





DAFTAR PUSTAKA


1. Al-Qur’anul Karim, Departemen Agama RI.
2. Bulughul Maraam, terjemahan A. Hassan, Diponegoro : Bandung.
3. Ushul Fiqih, Drs. Moh. Riva’i, PT. Al-Ma’arif : Bandung.
4. Ushul Fikih, Prof. Muhamad Abu Zahrah, Pustaka Firdaus : Jakarta.
5. Studi Ilmu Al-Qur’an, Manna Khalil al-Qathan, Litera Antar Nusa : Bogor.
6. Sejarah dan pengantar Ilmu Hadits, M. Hasbi Ash Shiddieqy, Bulan bintang : Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar