Senin, 14 Januari 2019

KAIDAH-KAIDAH USHUL FIQH (AMR’ dan NAHI, AM’ dan KHAS, MUTLAQ dan MUQAYYAD, MANTUQ dan MAFHUM)


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai peranan penting dalam ranah keilmuan agama Islam khususnya dalam ilmu hukum islam atau ilmu fiqih. Pembahasan dari segi kebahasaan atau kajian lughawiyah, sangat penting sekali ditela’ah karena sumber hukum islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadist menggunakan bahasa arab yang mempunyai banyak makna yang terkandung didalamnya. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang amr (perintah) dan nahi (larangan), aam’ dan kahs, mutlaq dan muqayyad, mantuq dan mafhum.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Amar dan Nahi?
2.      Apa pengertian Am’ dan Khas?
3.      Apa pengertian Mutlaq dan Muqayyad?
4.      Apa pengertian  Mantuq dan Mafhum?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Amar dan Nahi
1.      Pengertian dan bentuk-bentuk Amar
Menurut mayoritas ulama ushul fiqih, amar adalah : suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya.[1] Perintah untuk melakukan suatu perbuatan, seperti dikemukakan oleh Khudari Bik dalam bukunya Tarikh al-Tasyri, disampaikan dalam berbagai redaksi antara lain:
a.       Perintah tegas dengan menggunakan kata amara (امر) dan yang seakar dengannya. misalnya dalam ayat:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah larang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi ganjaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. An-Nahl/16:90)
b.      Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas seseoarang dalam dengan memakai kata kutiba (كتب/diwajibkan). Misalnya, dalam surat al-Baqarah ayat 178:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ
 مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ
 فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”. (QS. al-Baqarah/2:178)
c.       Perintah dengan memakai redaksi pemberitaan (jumlah khabariyah), namun yang dimaksud adalah perintah. Misalnya, ayat 228 surat al-Baqarah:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ
 بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
 وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Baqarah/2:228)
d.      Perintah dengan memakai kata kerja perintah secara langsung. Misalnya, ayat 238 surat al-Baqarah:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Peliharalah segala salat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (QS. al-Baqarah/2:238).
e.       Perintah dalam bentuk menjanjikan kebaikan yang banyak atas pelakunya. Misalnya, ayat 245 surat al-Baqarah:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (QS. al-Baqarah/2:245)
1)      Hukum-Hukum Yang Mungkin Ditunjukkan Oleh Bentuk Amar
Suatu bentuk perintah, seperti dikemukakan oleh Muhammad Adib Saleh, Guru Besar Ushul Fiqih Universitas Damaskus, bisa digunakan untuk berbagai pengertian, yaitu antara lain:
Menunjukkan hukum wajib seperti perintah shalat.
a)      Untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu boleh dilakukan seperti ayat 51 surat al-Mukminun:
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Mukminun/23:51)
b)      Untuk melemahkan, misalnya ayat 23 Surat al-Baqarah:
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (QS. al-Baqarah/2:23)
c)      Sebagai ejekan dan penghinaan, misalnya firman Allah berkenaan dengan orang yang ditimpa siksa di akhirat nanti sebagai ejekan atas diri mereka dalam surat al-Dukhan ayat 49:
ذُقْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْكَرِيمُ
Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia. (QS.al-Dukhan/44:49)
2)      Kaidah-Kaidah Yang Berhubungan Dengan Amar
Apabila dalam nash (teks) syara’ terdapat salah satu dari bentuk perintah tersebut, maka seperti dikemukakan Muhammad Adib Saleh, ada beberapa kaidah yang mungkin bisa diberlakukan.
Kaidah pertama meskipun dalam suatu perintah bisa menunjukan bebagai pengertian, namun pada dasarnya suatuperintah menunjukan hukum wajib dilaksanakan kecuali ada indikasi atau dalil yang memalingkannya dari hukum tersebut. Kesimpulan ini, di samping didasarkan atas kesepakatan ahli bahasa, juga atas ayat 62 surat an-Nur yang mengancam dan menyiksa orang-orang yang menyalahi perintah Allah. Adanya ancaman siksaan itu menunjukan bahwa suatu perintah wajib dilaksanakan.
Contoh perintah yang terbebas dari indikasi yang memalingkan dari hukum wajib adalah ayat 77 surat an-Nisa:
... Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat...(QS.an-Nisa/3:77)
Ayat tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan solat lima waktu dan menunaikan zakat.
Kaidah kedua adalah suatu perintah haruskah dilakukan berulang kali atau cukup dilakukan sekali saja?, menrt para ulama Ushul Fiqih, pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan berulang-kali dilakukan kecuali ada dalil untuk itu. Karena suatu perintah hanya menunjukkan perlu terwujudnya perbuatan yang diperintahkan itu dan hal itu sudah bisa tercapai meski pun hanya dilakukan satu kali. Contohnya ayat 196 surat al-Baqarah:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّه...
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah. (QS. al-Baqarah/2:196)
Perintah melakukan haji dalam ayat tersebut sudah terpenuhi dengan melakukan satu kali haji selama hidup. Adanya kemestian pengulangan, bukan ditunjukan oleh perintah itusendiri tetapi oleh dalil lain. Misalnya ayat 78 surat al-Isra.
Kaidah ketiga adalah suatu perintah haruskah dilakukan sesegera mungkin atau bisa ditunda-tunda? Misalnya pada dalil: yang artinya
....Maka berlomba-lombahlah dalam membuat kebaikan...
Menurut  sebagian ulama, antara lain Abu al-Hasan al-Karkhi. Seperti di nukil Muhammad Adib Shalih, bahwa suatu perintah menunjukkan hukum wajib segera dilakukan. Menurut pendapat ini barang siapa yang tidak segera melakukan di awal waktunya maka ia berdosa.
2.      Pengertian dan Bentuk-bentuk Nahi
Mayoritas ulama ushul fiqih mendefinisikan nahi sebagai:
Larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.
Dalam melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudri Bik. Allah juga memakai berbagai ragam bahasa. Diantaranya adalah:
a)      Larangan secara tegas dengan memakai kata naha(نهي) atau yang seakar dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Misalnya surat an-Nahl ayat 90:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.(QS an-Nahl/16:90).
Nabi Saw bersabda:
Artinya: Dari Abi Sa’id Al-Khudri r.a. ia berkata:”Saya telah mendengar Rasulullah SAW. Bersabda “barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran hendaklah dia merubahnya dengan tangannya, jika dia tidak mampu, maka dengan lidahnya, dan jika tidak sanggup, maka dengan hatinya. Namun, yang demikian (merubah kemungkaran dengan hati) yaitu adalah selemah-lemahnya iman.”(H.R. Muslim).[2]
b)      Larangan dengan menjelaskan bahwa sesuatu perbuatan itu diharamkan(حرم). Misalnya, ayat 33  surat al-A’raf:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ
مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui".(QS. al-A’raf/7:33).
Dan masih banyak contoh-contoh larangan yang lainnya.
3.      Beberapa Kemungkinan Hukum Yang Ditunjukkan Bentuk Nahi
Seperti dikemukakan Adib Saleh, bahwa bentuk larangan dalam penggunaannya mungkin menunjukkan berbagai pengertian, antara lain:
a.       Untuk menunjukkan hukum haram misalnya ayat 221 surat al-Baqarah:
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ
 حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. al-Baqarah/2:221)
b.      Sebagai anjuran untuk meninggalkan, misalnya ayat 101 surat al-Maidah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْ
آنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.(QS. al-Maidah/5:101)
c.       Penghinaan, contohnya ayat 7 surat al-Tahrin.
d.      Untuk menyatakan permohonan, misalnya ayat 286 surat al-Baqarah.
B.     ’Am dan Khas
1.      Pengertian ‘Am
‘Am menurut bahasa, artinya merata atau yang umum.[3] ‘Am ialah suatu perkataan yang memberi pengertian umum dan meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam perkataan itu hingga tidak terbatas, misalnya: Al-Insan yang bearti manusia. Perkataan ini mempunyai pengertian umum. Jadi, semua manusia termasuk dalam tujuan perkataan ini sekali mengucapkkan lafal al-insan bearti meliputi jenis manusia seluruhnya. 
a.       Jenis-Jenis ‘Am
Lafal ‘am dapat dibagi menjadi tiga macam:
1.      Lafal umum yang tidak mungkin ditaksiskan, seperti dalam firman Allah:
Artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekynya.”(Q.S. Hud:6)
2.      Lafal umum yang dimaksudkan khusus karena adanya bukti tentang kekhususannya, seperti dalam firman Allah:
Artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah” (Q.S. Ali Imran:97)
3.      Lafal umum yang khusus seperti lafal umum yang tidak ditemui tanda yang menunjukkan ditaksis seperti dalam firman Allah:
Artinya: ”Wanita-wanita yang ditalak hendaknya menahan (menunggu) tiga kali quru’.”(Q.S. Al-Baqarah:228)
2.      Pengertian Khas
Lafal khas yaitu perkataan atau susunan yang mengandung arti tertentu yang tidak umum. Jadi khas adalah kebalikan dari ‘am.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan khas ialah lafal yang tidak meliputi satu hal tertentu tetapi juga dua, atau beberapa hal tertentu tanpa kepada batasan. Artinya tidak mencangkup semua, namun hanya berlaku untuk sebagian tertentu.
Dalam pembahasan ini, ada beberapa iastilah yang erat hubungannya dengan khas, antara lain takhsis dan mukhassis.
Takhsis ialah mengeluarkan sebagaian lafal yang berada lingkungan umum menurut batasan yang tidak ditentukan. Sedangkan mukhassis ialah suatau dalil (alasan) yang menjadi dasar adanya pengeluaran lafal tersebut.
C.    Mutlaq dan Muqayyad
Secara bahasa mutlaq berarti bebas dari ikatan, dan muqayyad berarti terikat.[4] Kata mutlaq menurut istilah seperti dikemukakan Abd al-Wahhab Khallaf, ahli Ushul Fiqih berkebangsaan Mesir, dalam bukunya ‘Ilmu Ushul al-Fiqih, adalah: lafal yang menunjukkan suatu kesatuan tanpa dibatasi secara harfiahdengan suatu ketentuan.
Seperti misriy (seorang mesir), dan rajulun (seorang laki-laki), dan sebaliknya lafal muqayyad adalah lafal yang menunjukkan suatu satuan yang secara lafziyah dibatasi dengan suatu ketentuan, misalnya mishriyun muslimun (sorang yang berkebangsaan Mesir yang beragama Islam), dan rajulun rasyidun (seorang laki-laki yang cerdas).
Lafal mutlaq misalnya terdapat pada ayat 234 surat al-Baqarah:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari...... (QS. al-Baqarah/2:234)
Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa azwajan (istri-istri) yang mati ditinggal suami, masa tunggu mereka (iddah) selama empat bulan sepuluh hari. Kata azwajan tersebut adalah lafal mutlaq karena tidak membedakan apakah wanita itu sudah pernah digauli suaminya atau belum.
Sedangkan contoh lafal muqayyad di antaranya terdapat pada ayat 3 dan 4 surat al-mujadilah:
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ
تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ.(3).
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا
 ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ(4).
Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. (QS. al-Mujadilah/58:3-4)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa yang menjadim kifarat zihar (menyerupakan punggung istrinya dengan punggung ibunnya) adalah memerdekan seorang hamba sahaya, jika tidak mampu wajib berpuasa selama syahrain mutatabi’ain (dua bulan berturu-turut. Dan jika tidak mampu juga berpuasa maka memberi makan 60 orang miskin. Kata syahrain ( dua bulan, dalam ayat tersebut adalah lafal muqayyad (dibatasi) dengan mutatabi’ain (berturut-turut. Dengan demikian, puasa dua bulan yang menjadi kifarat zihar itu wajib dengan berturut-turut tanpa terputus-putus.
D.    Mantuq dan Mafhum
1.    Pengertian Mantuq dan Mafhum
Mantuq, menurut bahasa berarti yang diucapkan, sedang menurut istilah:
Artinya : “apa yang ditunjukkan oleh lafal sesuai dengan yang diucapkan.”
Misalnya firman Allah SWT.:
Artinya :”Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengaharamkan riba.” (Q.S. Al-Baqarah/2:275)
Adapun Mafhum, menurut bahasa berarti yang dipahami, manurut istilah:
Artinya: “Apa yang ditunjukkan oleh kata tidak sesuai dengan yang diucapkan.”
Misalnya firman Allah swt.:
Artinya:”Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (ibu dan bapak) perkataan “AH”.”(Q.S. AL-Isra’/17:23)
Kata “Uffin” dalam ayat tersebut berarti mengatakan “AH” atau “HUS” kepada kedua orang tua.[5] Itulah yang disebut makna Mantuq, karena sesuai dengan bunyi ayatnya. Namun dari kata itu dapat diperoleh makna mafhum, atau apa yang dapat dipahami dari kata itu, misalnya kita artikan dengan perbuatan-perbuatan lainnya yang lebih menyakitkan, seperti memukul, menampar, dan lain sebagainya.
2.    Macam-macam Mantuq dan Mafhum
a.    Mantuq dibagi dua, yaitu:
1.      Mantuq Nas, yaitu lafal atau susunan kalimat yang sudah jelas dan tidak mungkin ditakwilkan kepada arti yang lainnya, selain arti harfiah misalnya:
(maka hendaklah berpuasa 3hari).
2.      Mantuq Zahir, yaitu lafal atau susunan kalimat yang memungkinkan untuk ditakwilkan kepada arti lain, selain arti harfiahnya. Misalnya firman Allah:
Artinya: “Tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.”(Q.S. Ar-Rahman/55:27)
b.    Mafhum dibagi menjadi dua, yaitu:
1.      Mafhum Muwafaqah. Ada pun pengertian mafhum muafaqah ialah:
Artinya: “Sesuatu yang tidak diucapkan (tersirat) ada kesamaan dengan yang diucapkan (tersurat).”
Misalnya, memukul kedua orang tua termasuk perbuatan menyakiti mereka. Membentak kedua orang tua “AH” juga dilarang karena menyakitkan hati mereka jadi, memukul (makna tersirat) hukumnya sama dengan “AH”.
2.      Mafhum Mukhalafah
Artinya: “Sesuatu yang tidak diucapkan (tersirat), berlawanan dengan apa yang diucapkan baik dalam menerapkan (hukum) maupun meniadakannya.”
Misalnya dalam hadis Nabi SAW disebutkan:
Artinya: “ Dalam kambing-kambing yang dikembalakan itu ada zakatnya.
Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa kambing-kambing yang tidak digembalakan atau yang diberi makan di kandangnya tidak dikenakan wajab zakat. Mafhaum mukhalafah ini dipahami pula dalil khitab, dan semua mafhum mukhalafah ini dapat dijadikan hujah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut,
1.      Amr adalah Suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya.
2.      Nahi adalah Larangan melakukan suatu perbuatam dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.
3.      Lafal al-’aam adalah lafal yang menunjukkan pengertian umum yang mencakup satuan-satuan (afrad) yang ada dalam lafal itu tanpa pembatasan jumlah.
4.      Khas adalah lafal yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas.
5.      Mutlaq berarti bebas dari ikatan, dan Muqayyad berarti terikat
6.      Mantuq menurut bahasa berarti yang diucapkan sedangkan Mafhum menurut bahasa berarti yang dipahami.
DAFTAR PUSTAKA
Khairul Uman, Ushul Fiqh II, Bandung: CV Pustaka Setia. 2001.
Musthofa Hadna, Ayo Mengkaji Fikih untuk Madrasah Aliyah kelas XII, Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2008.
Oneng Nurul Briyah, Materi Hadits, Jakarta: Penerbit Kalam Mulia, 2008.
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Penada Media Group. 2008.


[1]Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Penada Media Group. 2008.hlm. 178.
[2]Oneng Nurul Briyah, Materi Hadits, Jakarta: Penerbit Kalam Mulia, 2008. hlm. 191.
[3]Khairul Uman, Ushul Fiqh II, Bandung: CV Pustaka Setia. 2001.hlm. 61.
[4] Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Penada Media Group. 2008.hlm. 206.
[5]Musthofa Hadna, Ayo Mengkaji Fikih untuk Madrasah Aliyah kelas XII, Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2008, hlm.105.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar