Selasa, 23 Juni 2015

Ceramah Ramadhan Ke-30: Tuntunan Shalat Idul Fitri 2015

Sahabat Cerpi pada kesempatan kali ini CeramahPidato.Com akan berbagi artikel mengenai Ceramah Puasa 2015 atau Ceramah Ramadhan 1436 H, judulnya adalah Tuntunan Shalat Idul Fitri 2015, simaklah.
Hukum salat ‘Idain adalah sunnah Muqqad karena Rasulullah senan tiasa melakukannya. Dan ada yang mengatakannya bahwa Shalat ‘Idain adalah fardhu Kifayah karena merupakan syiar Ialam. Waktunya adalah antara terbitnya matahari dan zawal (waktu zhuhur).
Tuntunan pelaksanannya :
Hendaklah memperbanyak membaca takbir pada malam ‘Idul fitri sejak terbenamnya matahari sampai esok harinya kkkeeetika shaalat akan dimulai. Dan pada saat shalat ‘Id al-Adha dimulai sesudah shalat subuh pada pagi hari Arafah sampai akhir hari Tasyri’.
Berdasarkan dalil berikut :‘’Beralasan hadis Ibnu Umar menyatakan Rasulullah saw. bersabda (tiada hari yang lebih besar bagi Allah dan tiada pada hari-hari itu  yang lebih disukai oleh Allah dari pada hari-hari sepuluh itu). Oleh karenanya selama itu hendaklah kamu perbanyak membaca :’’La ilaha Illallah’’. Dan ‘’Allahu Akbar’’ serta ‘’Alhamdulullah’’. (HR. Ahmad)
Dan beralasan pula pada riwayat al-Baihaqi dan al-Daraqutni (yang menerangkan) :Bahwa Nabi saw. membaca takbir sesudah shalat shubuh pada hari Arafah sampai ‘’ashar hari Tasyri’ terakhir’’.
ceramah ramadhan
Diriwayatkan juga oleh al-Hakim dari jalan lain dari Qathur Ibnu Khalifah dari Abu Fadlal dari ‘Ali dan ‘Ammar. Al-Hakim berkata : riwayat tersebut shahih lagi dibenarkan oleh membaca takbir sesudah shalat shubuh pada hari Arafah sampai ‘’ashar hari Tasyri’ terakhir’’.Diriwayatkan juga oleh al-Hakim dari jalan lain dari Qathur Ibnu Khalifah dari Abu Fadlal dari ‘Ali dan ‘Ammar. Al-Hakim berkata : riwayat tersebut shahih lagi dibenarkan oleh perbuatan Umar dan Ali dan Ibnuperbuatan Umar dan Ali dan Ibnu Mas’ud.
Dengan membaca : Allahu Akbar, Allahu Akbar la Ilaha Illallah Wallahu Akbar Allahu Akbar Wa-Lillahi-Hamd. Atau bacaan sesamanya. Mengenai lafazh takbir, banyak ragamnya, tetapi keterangan yang paling shah  menjelaskan soal ini berdasarkan riwayat Abdurrazaq dengan sanad yang shahih dari Salma, ia mengatakan :‘’Bacalah takbir : ‘’Allahu Akbar-Allahu  Akbar-Allahu Akbar wa Lillahi Hamd’’.
Sebelum berangkat Shalat ‘Id, mandilah terlebih dahulu dan pakailah pakaian yang tebagus yang dimiliki dan pakailah wangi-wangian.Makan sebelum berangkat untuk shalat ‘Id al-Fitri. Sedangkan untuk shalat ‘Id al-Adha sesudah kembali dari shalat ‘Id.’
Berangkatlah ketempat shalat ‘Id dengan berjalan kaki bilamana jarak dekat sambil membaca takbir dan pada waktu kembali gunakanlah jalan bukan yang di lalui pada waktu masuk.Hendaklah laki-laki dan perempuan tua muda mendatangi tempat shalat ‘Id, hingga putri remaja dan mereka yang haid serta gadis-gadis pingitan. Hanya saja bagi mereka yang haid hendaknya menepi dari tempat shalat, tidak turut shalat bersama orang banyak.
Salat ‘Idain dikerjakan dua rakaat berjama’ah di lapangan kecuali jika ada halangan. Berdasarkan hadis berikut :‘’Dari Abu Hurairah : bahwa mereka pernah kehujanan pada suatu hari raya, maka Nabi saw. memimpin mereka shalat hari raya di masjid’’. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Shalat ‘Idain dilakukan tanpa Adzan dan Qamat dan tidak ada Shalat Sunat baik sebelum maupun sesudahnya.  Bagi imam hendaknya memasang pembatas di mukanya.
Sesudah Takbiratul Ihram hendaklah membaca takbir tujuh kali pada rakaat pertama dan lima kali pada rakaat ke dua, tidak termasuk takbir peralihan (takbir intqal). Bagi ma’mum cukup bila takbir Imam tidak kedengaran.
Setelah membaca surah Al-Fatihah pada rakaat pertama, hendaklah membaca surah ‘’al-A’la atau ‘’Qaaf’’. Dan setelah baca surah ‘’alFatihah pada rakaat kedua, hendaklah membaca surah ‘’al-Ghasyiyah’’ atau ‘’Iqtarabatisaah’’ jika sebagai imam. Bagi ma’mun cukup membaca fatiha saja tanpa di dengar sesama jama’ah.
Sesudah shalat ‘Id hendaklah imam (khalib) berkhotbah. Khutbah pada shalat ‘Id ada yang melakukan seperti khutbah jum’at dan diawali dengan sembilan kali takbir dan ada yang melakukan satu khotbah tanpa duduk ddi antaranya dan mengawali dengan tahmid (alhamdulullah) seperti pada khutbah-khutbah  yang lain. Yang mu’tanad ialah bahwa Nabi saw. berkhutbaah pada shalat ‘Id dengan satu khutbah berdasar hadis berikut :‘’Dari Abi Sa’id, katanya : pada hari raya Fithrah  dan Adha Rasulullah saw. kalu pergi ke tempat shalat maka pertama beliau kerjakan adalah shalat, kemudian apabila telah selesai beliau bangkit menhadap orang banyak katika mereka masih duduk pada shf-shaf mereka. Lalu beliau memberikan peringatan dan wejangan  kepada mereka dan mengumumkan perintah-perintah pada mereka, dan jika beliau hendak memberangkatan angkatan atau mengumumkan tentang sesuatu beliau laksanakan kemudian pulang’’. (HR. Bukhari dan Muslim).
‘’Dari Jabir bin Abdillah, katanya : pernah aku mengalami shalat hari raya bersama Rasulullah saw, lalu dimuali shalat sebelum khutbah tanpa adzan dan iqamah. Kemudian beliau bangkit bersandar pada bilal, lalu beliau menganjurkan  orang tentang takwa kepada Allah dan menyuruh patuh kepada-Nya, dan menyampaikan nasehat serta peringatan kepada mereka. Lalu beliau mendaatangi  para wanita dan menyampaikan dan peringatan kepada mereka.’’(HR. Muslim).
Jika hari ‘Id al-Adha seseorang berniat akan menyembelih hewan kurban. Hendaklah berusaha agar hewan qurban itu tidak cacat, sehat, tidak pece, tidak pincang, tidak kurus sakit-sakitan, tidak patah tanduknya atau cacat telinganya.Jika hewan kirban itu kambing atau biri-biri, hendaklah dipilih yang umurnya lebih dari satu tahun. Jika berupa sapi, hendaklah dipilih yang umumnya telah mencapai tahun ketiga.Bila hendak menyembeli hewan kurban, janganlah ia memotong rambut dan kuku sejak awal bulan Zulhijjah hingga kurban telah disembelih. Berdasarkan hadis Rasulullah saw. sebagai berikut;
‘’Dari Ummi Salamah, katanya : bahwasannya Rasulullah saw. pernah mengatakan : Apa bila kamu melihat hilal Zulhijjah pada hal ada di antara kamu yang berniat akan menyembelih kurban, maka hendaknya ia tidak memotong rambut dan kukunya.(riwayat jama’ah  kecuali Bukhari).’’Penyembelihan dilakukan setelah shalat ‘Id al-Adha bukan sebelumnya sampai akhir hari Tasyri’ (10,11,12,13) Zulhijjah.berdasarkan hadis Nabi saw:
‘’Dari Jundab bin Sufyah yang menceritakan. Pernah aku mengalami hari raya Adha bersama Rasulullah saw, dan beliau selesai memimpin shalat. Orang banyak, beliau melihat seekor kambing yang telah disembelih, maka beliau menegur : barang siapa yang menyembelih sebelum shalat, hendaklah menyembelih kambing gantinya dan barang siapa yang belum menyembelih, hendaklah ia menyembeli dengan nama Allah.’’(H.R. Muslim).[cp]

Ceramah Ramadhan Ke-29: Tuntunan Zakat Fitri

Sahabat Cerpi pada kesempatan kali ini CeramahPidato.Com akan berbagi artikel mengenai Ceramah Puasa 2015 atau Ceramah Ramadhan 1436 H, judulnya adalah Tuntunan Zakat Fitri, simaklah.
Perhatikanlah bahkan namanya adalah semua hadis yang menjadi sumber bagi zakat ini menggunakan kata. Mengubah kata menjadi berakibat berubahnya makna dan hakekat fithri itu. Maknanya makanan, sedang makananya bentuk asli manusia jadi maknanya zakat makanan, sedang maknanya zakat orang, perhatikanlah akibat dari perubahan nama itu. Di bawah ini dicantumkan sebuah hadis yang secara jelas, menyebut nama zakat sebagai:‘’dari Ibnu Umar ra. Berkata: ‘Rasulullah saw. Mewajibkan zakat al-Fithri, 1sha’ kurma, atau 1 sha gandum, bagi budak dan merdeka, lelaki dan perempuan, kecil dan besar yang Islam. Dan beliau (nabi) perintahkanlah supaya dilaksanakan sebelum keluar orang-orang  (dari rumahnya) ke (mushalla untuk) shalat ‘Id’’ (Muttafaq ‘Alaih).
Zakat fithri diwajibkan oleh Rasulullah saw. bukan Allah swt. Yang mensyari’atkanny. Karena itu maka sumber hukum bagi zakat fitri adalah hadis tidak ada dalam Alquran.
ceramah ramadhan
Zakat Al-Fithri
Zakat al-Fithri  disyari’atkan pada tahun kedua hijriyah yaitu pada tahun disyari’atkannya puasa Ramadhan.Hukumnya, wajib atas segenap anggota keluarga yang beragama Islam, termasuk pembantunya, masing-masing satu sha’. (lihat hadis di atas).Yang Mustahiq, atau yang berhak menerima, hanya orang-orang miskin saja yang diantarkan langsung oleh Muzakki yang mengeluarkan zakat.
Tujuan zakat al-Fithri:
‘’untuk mensucikan orang-orang berpuasa daripada kesia-siaan dan kata-kata kotor’’.‘’Untuk makan orang-orang miskin’’
Ada perintah Rasulullah saw:‘’Cukupkanlah mereka (orang-orang miskin) jangan berkeliling (mencari makanan) pada hari ini (Id al-Fithri)’’.
Yang di zakatkan kurmaatau gandum atau kismis, atau akit, ataupun makanan lain seperti beras, jagung, sagu dsb.Ukurannya sebanyak 1 sha’ setiap orang. 1 sha’ =4 mud.1 mud =4 x sepenuh dua belah tangan.Waktunya, di lakukan pada waktu malam Idul Fithri, mulai terbenam matahari, sampai pagi sebelum orang-orang keluar dari rumahnya  menuju (mushallla/ lapangan di luar kota) untuk shalat al-‘Id.
Rasulullah saw.:‘’Dan Rasulullah saw. memerintahkan agar zakat Fothri dilaksanakan sebelum keluar orang-orang (dari rumahnya) ke (kushhallah) untuk shalat ‘Id’’.
Di bawah ini saya kutipkan sebuah contoh yang dibuat oleh Dr. S. Majidi tentang pelaksanaa zakat fithri dalam sebuah buku yang berjudul ‘’Zakat al-Fithri’’ yang disaling oleh Dr. H. Subari Damopolii.
Contoh:  Seorang kepala rumah tangga kaya maupun miskin beranggotakan keluarga: seorang isteri, seorang anak laki-laki dan perempuan, sudah besar atau bayi dan seorang pelayan, yang jumlah seluruhnya 5 orang.
Zakat Fithri seorang 1 sha’x 5 orang = 5 sha’
Pada malam Idul Fithri…tidak ada berasnya sama sekali, yang ada Cuma sedikit saja hanya cukup untuk dimakan sekeluarga, esok harinya lebaran dan ada lebihnya tapi tidak sampai 1 sha’, tidak wajib zakat fithri.
Tidak mampu, tidak ada kewajiban =(a). Kalau mampu, boleh beli beras pada malam itu, di bawah ke rumah untuk zakat fithri.Ada kemampuan, ada kewajiban =(b)Kewajiban sekedar kemaampuan (c). Ia miskin, jadi ia mustahiq.
Jika menerima Zakat Fithri, orang:
  • 1 sha’, cukup dimakan sekeluarga. Belum cukup wajib zakat Fithri. =(a).
  • 2 shs’, dizakatkan 1 sha’ bagi diriny =(c)
  • 3 sha’, dikeluarkan 2 sha’ baginya dan isterinya = (c)
  • 4 sha’, keluar 3 bersama anak lelakinya =(c)
  • 5 sha’, 4 dengan anak perempuannya =(c)
  • 6 sha’, 5 segenap kelusrganya = (b)
Zakat Fithri disampaikan langsung :
  • 1 sha’ pertama kepada miskin terdekat.
  • 1 sha’ kedua kepada yang dekat.
  • Sha’ ketiga, keempat dan kelima kepada seterusnya.
Sumber bacaan :Al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu : Dr. Wahhab Az-Zuhaili; Bulugh al-Maram : al-Hafizd Ibn Hajar al-Asqalani; Zakat al-Fithri : Dr. S. Majidi.[cp]

Ceramah Ramadhan Ke-28: Zakat dan Pajak

Sahabat Cerpi pada kesempatan kali ini CeramahPidato.Com akan berbagi artikel mengenai Ceramah Puasa 2015 atau Ceramah Ramadhan 1436 H, judulnya adalah Zakat Dan Pajak, simaklah.
Istilah yang merupaka nama dari salah satu bentuk ibadah dalam Islam, berasal dari huruf’’ dan yang berarti penyician atau pembersihan dan pertumbuhan. Pertumbuhan disini, menurut Al-Raghib al-Asfahaniy dimaksudkan bahwa zakat itu menumbuhkan ekonomi umat karena adanya berkat Allah. Secara termonilogi zakat adalah meng eluarkan sejumlah tertentu dari harta yang hukumnya wajib untuk diserah kepada sejumlah pihak tertentu yang disebut mustahik sesuai dengan ketentuan Syariat yang diatur dalam alquran dan Sunnah.
Kata zakat dan segala bentuk jadiannya di dalam Alquran ditemukan sebanyak 59 kali, baik dalam ayat-ayat Makkiyah (11 kali) maupun dalam surah-surah Madaniyah (21 kali). Jadi sebenarnya, konsep zakat sudah dikenal dalam Islam  sejak sebelum Rasulullah saw. Hijrah. Bahkan, menurut Alquran dapat pula dikatakan bahwa kewajiban zakat terdapat dalam syariat terdahulu. Ini dapat dipahami misalnya dari Q.S. Al-Bayyinah (98): 5, berbunyi:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Yang Artinya:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.
ceramah ramadhan
Fungsi-fungsi zakat
Islam secara prinsipil mengajarkan umatnya untuk dapat hidup bahagia dunia dan akhirat. Itu berarti, Islam menghendaki umatnya menbangun peradaban yang makmur dan bermoral, jauh dari kesan kemiskinan.Dalam Islam diajarkan kegiatan dan ibadah tertentu yang mempunyai dampak langsung dan tidak langsung terhadap pengentasan kemiskinan. Di antara ialah ajaran mengenai zakat, infaq dan shadakah (ZIS). Selain itu, Islam juga mengaruskan umatnya bekerja keras dan meningkatkan etos kerjanya; mengharapkan agar penguasa (pemerintah) Islam memberi kemungkinan berkembangnya tatanan kehidupan yang menguntungkan rakyat banyak; dan mengajak agar setiap orang meninggalkan kebiasaan buruk yang menjatuhkannya kejurang kemiskina , misalnya boros (mubazzir) dan judi.
Pemanfaatan Zakat secara Umum
Zakat mempunyai fungsi sosial yang sangat berat artinya bagi pengentasan kemiskinan. Ciri utama suatu kelompok miskin ialah ketidak mampun mereka memenuhi kebutuhan pokok makanannya. Maka dalil yang paling tegas menyebut penggunaan zakat sebagai makanan pokok adalah menyangkut zakat fitri, yakn i riwayat yang ai sampaikan oleh Ibnu Abbas yang menyatakan dua hal, yakni thuhrat li as-sha’im dan thu’mat li al-masakin (pemberisan bagi orang  yang berpuasa dari ucapan tak benar dan kotor dan bagian makana  bagi orang-orang miskin). Secara lengkap, hadis itu berbunyi:
 saja berguna sebagai makanan bagi orang-orang miskin, tetapi juga seharusnya di bagi kepada delapan ashnaf yang disebutkan dalam Al-Quran:‘’Sesungguhnya sakat-sakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin, pengurus-pengurus zakat, para mua’allaf (yang dinujuk hatinya), untuk memerdekakan budak, untuk jalan Allah dan ibn sabil, sebagai ketentuan yang diwajibkan Allah; dan Allah maha mengetahui dan maha bijaksana’’.
 delapan ashnaf. Pandangan ini juga dianut oleh Sayyid Sabiq, penulis kitab Fiqh al-Sunnah; bahwa lebih dari itu ia mengungkapkan bahwa Al-Zuhriy, Abu Hanifa, Muhammad dan Abu Syabramah menbolehkan zakat fitri itu dibagikan kepada kaum zimmi berdasarkan pengertian umum dari Q.s. al-Mumtahanah/60: 8, berbunyi:
لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
yang artinya:
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Sehubungan dengan ini Al-Syaikh Ali Ahmad Al-Jarjawiy, penulis kitab Hikmat al-Tasyri wa Falsafatuh, juga menerima pandangan yang menbolehkan pembahagian zakat fitri kepada orang  zimmi. Namun, ia kembali menegaskan bahwa ayat 8 dari surah Al-Mumtahanah di atas, meskipun membuka jalan untuk bagian kaum zimmi, harus diakui bahwa zakat itu selayaknya diperuntuhkan kepeda orang-orang Muslim saja. Alasannya ialah hadis dari Mu’az, yakni sabda Rasulullah SAW:Ambillah zakat dari orang-orang kaya mereka (orang muslim), dan kembalikan pula kepada orang-orang miskin mereka (orang muslim).
Yang jelas bahwa adanya jalan untuk memberi zakat kepada kaum zimmi menunjukkan bahwa upaya mengentasan kemiskinan dalam Islam tidaklah bersifat eksklusif; tidak hanya untuk umat Islam, tetapi segenap bahagian masyarakat yang pantas menerimanya. Golongan yang membolehkan kaum zimmi menerima zakat firti disamping berdasar pada arti umum Q>S> Al-Mumtahannah: 8 juga surah Al-Tawbah: 160, tentang sasaran zakat, yang salah satu di antaranya ialah al-mu;allafat qulubuhun (kaum mualaf).
Kata mualaf, yang biasa di pahami dalam arti orang-orang yang baru masuk Islam dan perlu dujinakkan agar tidak menimbulkan fitnah (ancaman) terhadap Islam dan dengan harapan agar mereka dapat menganut agama Islam.
Aspek Sosial Pemanfaatan Zakat Fitridipahami dari redaksi yang menyangkut zakat fitri khususnya, yang menekankan oada kalimat tha’am (thu’mah) dan masakin atau fuqara’ yang semunya mengacu kepada perlunya pembnerian makanan bagi orang miskin, dan terangkum dalam satu kata yakni fithr (berbuka) yang menjadi nama khas dari zakat tersebut.
Berdasarkan hadis Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa zakat fitri harus ditunaikan sebelum shalat ‘Id, ad alah bertujuan agar para orang kafir tidak lagi berkeliaran mencari makanan pada hari itu, sebagaimana yang diharapkan Nabi SAW menurut riwayatnya Ibn ‘Ady danAl-Darquthni dari hadis Ibn Unar, dengan menegaskan: ‘’cukupkanlah makannya, sehingga tidak lagi berkeliling mencari makanan pada hari Raya ‘Id ini’’.
Dari sini kita dapat mengerti bahwa orang miskin adalah orang-orang yang susah memperoleh makanan, sehingga diantara mereka ada yang terpaksa menjadi pengemis. Keadaan seperti ini juga, diisyaratka oleh firman Allah swt. Di dalam Q.s. al-Hajj/22:28, berbunyi:
لِّيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
Yang artinya:
‘’Danupaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.
Adanya kaum miskin dan fakir dalam pengertian di atas, secara historis diduga keras terdapat –dan masih merajalela – dizaman permulaan Islam. Hipotesis ini menjadi kuat jika kita ingat bahwa perintah menbayar zakat fitri itu telah ada sejak tahun kedua Hijriyah, mendahului kewajiban zakat lain. Mungkin saja sesudah itu, seiring dengan kemajuan Islam itu sendiri, orang miskin dalam arti sudah memperoleh makanan sudah tidak ditemukan, dan karena itu pula sudah jarang dari mereka ditemukan menjadi pengemis. Akibatnya, engertian ‘’miskin’’ sudah berubah pula. Perkataan tersebut tidak lagi dikenakan secara khusus terhadap orang-orang yang susah memperoleh makanan, tapi sudah mencakup pula orang-orang yang yang memiliki harta, namun belum memenuhi kebutuhan primernya yang lain. Hadis riwayat Bukhari menegaskan:  ‘’yang disebut miskin bukanlah orang-orang yang mendatangi manusia dan meminta sesuap atau dua suap makanan, sebiji atau dua biji kurma, tetapi yang disebut miskin ialah orang yang tidak memiliki harta yang mencukupi hidupnya, orang lain tidak memberikan perhatian untuk bersedekah kepadanya, dan tidak pula ia meminta orang lain untuk itu’’.
Sejalan dendan hadist tersebut, Al-Syafi’iy kemudian memahami pengertian ‘’miskin’’ bebbeda dengan pengertian faqir. Baginya, fakir ialah orang yang tidak punya harta dan tidak punya pekerjaan yang menghidupinya, baik mengemis maupun tidak, sedangkan miskin ialah orang yang punya harta atau pekerjaan namun tidak mencukupi hidupnya, baik meminta atau tidak.
Pengertian ‘’miskin’’, ternyata mengalami perkembangan dari zaman ke zaman. Masalahnya, apakah tujuan zakat fitri juga bergeser dari sifatnya sebagai thu’mah (makanan) menjadi alat pemenuhan kebutuhan lain di luar  makanan itu? Tujuan utama zakat fitri sebagai makanan bagi orang miskin, tidak dapat dihapus, akan tetapi tidak berarti tujuan zakat fitri terpaku pada soal itu saja. Pengertian kata thu’mah yakni makanan untuk memenuhi kebutuhan perut yang sedang lapar, mungkin masih cocok bagi masyarakat yang masih sangat melarat. Namun, dalam masyarakat yang sudah berkembang atau yang sudah maju, pengertian demikian tidak relevan lagi. Perkataan tu’mah dalam kontes masyarakat yang sudah maju, lebih tepat jika diartikan menjadi komsumsi secara luas, mencakup segala hajat hidup orang miskin (ekonomi lemah) di luar pangan.
Dalam pembendaharaan bahasa syariat, perkataan ‘’makan’’ selai diungkap dengan kata-kata thu’mah atau tha’am, juga terkadang diungkap dengan kata akala (al-akl) dalam kata jadian: ta’kul atau ya’kul. Misalnya larangan memakan harta anak yatim diungkap dengan kata tersebut:mereka itu menelan api sepenuh perutnya, dan mereka itu akan masuk ke dalam api neraka’’. Larangan makan riba juga diungkap dengan kata tersebut:‘’ hai orang-orang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan terlipat ganda’’.
Kata ‘’ya’kulun’’ dan ta’kulun yang berarti ‘’memakan’’, tidaklah berarti bahwa pemanfaatan harta anak yatim dan perolehan riba hanya berlaku dalam proses makan (dalam arti mengisi perut). Larangan mengkonsumsi dalam arti luas, mencakup pemanfaatan harta anak yatim dan segala jenis peroleh riba. Dalam kontes pengertian konsumsi secara luas itulah, kita mencoba memahami makna yang terkandung dalam thu’mah. Bahwa untuk ukurang masyarakat yang sudah berkembang dan maju, zakat fitri dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan golongan ekonomi lemah, diluar kebutuhan makan (pangan) mereka. Maka dengan sendirinya zakat fitri juga tidak mesti di bayar dalam bentuk bahan makanan sepeti gandung, tamar dan anggur (di zaman Nabi SAW) atau beras dan jagung (bagi masyarakat Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya). Dalam kontes ini, terasa ada benarnya pendapat Abu Hanifah yang membolehkan pembayaran zakat dalam bentuk qimah (nilai) yang sesuai dengan kadar zakat yang wajib baginya. Baginya, tradisi kita di Indonesia, cara ini tidak menjadi asing lagi. Meskipun diketahui bahwa sebahagiaan besar umat Islam di Indonesia mengaku bermaszhab Al-Syafi’iy, ternyata cara pembayaran zakat fitri dengan uang, menurut jaln yang di anjurkan  Abu Hanufah, semakin populer.
Hal yang perlu dipahami disini, ialah apa yang mendorong cara tersebut menjadi semakin populer. Ternyata hal yang mendoromg kearah itu adalah tingkat kehidupan masyarakat Islam di Indonesia, yang tidak lagi susah makan, tetapi ‘’miskin’’ dalam arti belum mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak, seperti yang diisyaratkan oleh hadis Bukhari yang telah di kutip di muka. Dalam skala yang lebih luas, konsep ‘’miskin’’ tidak lagi berorientasi pada individu, tetapi lebih bersifat kolektif. Dari sinilah timbulnya istilah masyarakat miskin, atau negara-negara miskin, yang artinya mengacu kepada negara atau masyarakat yang terkebelakang. Dalam masyarakat atau negara miskin, mungkin saja masalah kekurangan pangan tidak lagi menjadi isu, tetapi digantikan oleh kekurangan lapangan kerja. Dengan demikian sumber zakat, termasuk zakat fitri sudah layak jika pengunaannya ditujukan kepada aspek kehidupan lain dalam proses pembangunan umat, dengan tetap mengingat sasaran pendayagunaan zakat yang mencakup delapan ashnaf.
Membangkitkan Solidaritas Islam
Pembayaran ZIS hendaknya tidak dipahami sebagai perintah ubudiyah semata, tetapi sangat jelas efek solidaritasnya antara sesama umat Islam. Bahwa menurut Ibn Khaldun, stata sosial masyarakat yang paling atas menjadi lapisan yang paling rawan, sebab secara sosiologis, masyarakat tingkat atas itu tidak lagi mempunyai rasa solidaeitas yang kuat, akibat kepedulian sosialnya semaking kurang. Bagi masyarakat Islam, prediksi Ibn Khaldun itu dapat ditangkal dengan tetap tumbuhnya solidaritas orang-orang yang sudah berkehidupan makmur (masyarakat hadharah), tidak akan mudah kehilangan rasa solidaritas, asal saja tetap menngamalkan dan menghayati makna ibadah zakat yang mengandung pesan untuk membantu mereka yang dilanda penderitaan. Dengan demikian, kita tidak perlu takut mengejar kemajuan dan  mewujudkan masyarakat makmur sebab kemakmuran yang dijanjikan Islam bukanlah kemakmuran kapitalistik yang mengunakan kekayaan menindas orang miskin agar semakin miskin, melainkam kemakmuran yang membawah berkah bagi orang-orang miskin sekitarnya. Salah satu hikmah ajaran zakat adalah agar harta itu tidak hanya dinikmati oleh orang-orang kaya, sebagaimana firman Tuhan dalam Q.S. Al-Hasyr I(59):7:
مَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Yang Artinya:
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.
Dewasa ini, sebahagian umat kita terjebak oleh kemiskinan struktural. Mereka miskin bukan hanya karena kemalasannya, melainkan karena kondisi sosial yang menepatkan mereka beradadalam stata paling bawah, kurangnya lapangan kerja, serakahnya orang-orang berada, penekanan yang berlebihan pada sektor pertumbuhan ekonomi. Hal demikian dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk bersaing dalam mengaadakan kolusi memperoleh proyek-proyek raksasa, walaupun rakyat kecil harus digusur, ditambah lagi dengan belum maksimalkan pemerataan yang ditimbulkan kecemburuan sosial yang terpendam.
Maka untuk melepaskan umat dari kondisi yang demikian diperlukan pemikiran yang mendasar dan langkah konkret dengan menggalang solidaritas di antara mereka serta diperlukan adanya keberanian dan kearifan dari pemerintah yang menyusun kebijakan dari atas   untuk lebih memperhatikan nasib orang kecil; mengajak secara bijaksana para konglomerat untuk lebih bersifat manusiawi, mengelolah bisnis untuk kepentingan bersama, bukan bisnis untuk kerajaan bisnis semata-mata.
Mendorong Etos Kerja Umat
Sebenarnya, sebhagian orang-orang miskin itu mengalami kemiskinannya adalah disebabkan oleh perilakudan pola hidupnya sendiri ang cenderung malas, pemboros,  tanpa perhitungan. Untuk mereka yang keadaannya demikian, kita perlu membangkitkan semangat kerja. Pada dasarnya Islam lebih menyenangi orang-orang yang tangannya diatas  (suka memberi) dari pada yang tangannya di bawah (hanya tau minta tolong). Untuk itu Islam sangat menganjurkan kerja keras agar hidup seseorang semakin baik. Dalam salah satu hadis Riwayat Al-Bukhariy, Rasulullah SAW menegaskan: ‘’tidaklah seseorang itu memakan makanan yang lebih baik dari hasil usahanya sendiri dan sesungguhnya Daud AS memakan dari hasil kerja tangannya’’.
Dalam mendorong umatnya untuk bekerja keras, kama Rasulullah SAW pernah pula menyatakan bahwa tiap petani yang tanamanya dapat dinikmati oleh burung atau hewang ternak dan apalagi manusia, akan dicatat sebagai sedekah baginya. Teks hadist itu berbunyi: Hadis ini bermaksud untuk mendorong etos kerja di kalangan petani agar tiap jengkal tanah pertanian diusahakannya menjadi lahan yang produktif.
Kemalasan dikalangan umat juga disebabkan oleh adanya paham bahwa semakin kaya seseorang semakin sulit masuk sorga,sebab ia harus lebih banyak mempertanggung jawabkan harta kekayaannya. Apa lagi, jika dikaitka dengan riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW akan masuk sorga bersama dengan orang-orang miskin. Paham seperti ini hendaknya diperbaiki, jangan disalahgunakan. Sebaiknya jika kita baik, bahwa sebenarnya Islam mewajibkan kita berusaha menjadi kaya sebab hanya orang kaya  lah yang dapat memenuhi perintah Tuhan untuk menbayar zakat. Hanya orang kayalah yang dapat berjihad fi sabilillah di zaman modern ini untuk menegakkan da’wah Islam yang semakin menbutuhkan fasilitas dan dana yang banyak.
Meningkatkan Kualitas Pendidikan
Kemalasan akan semakin sempurna jika sebahagian masyarakat masih dilanda kebodohan. Kebodohan menyebabkan seseorang menjadi tidak tahu apa yang ia hharus perbuat demi kehidupannya. Karena itu, umat Islam sekarang sangat membutuhkanperbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan. Untuk itu, harapan agar lembaga-lembaga da’wah dan pendidikan Islam mau berupaya untuk mencurahkan perhatiannya pada pemberian kesempatan yang lebih luas bagi generasi muslim untuk mengecap pendidikan, antara lain dengan memberikan bea siswa sebagai upaya konkret  mengentaskan kemiskinan. ‘’berilah kail, dan jangan hanya memberikan ikan’’. Untuk menberikan beasiswa maupun perbaikan sarana pendidikan, maka umat Islam dapat memanfaatkan zakat sebagai sumber dana pembiayaan. Upaya untuk itu memang telah dilakukan pemerintah, tapi umat Islam harus sadar bahwa tanpa menggali potensi umat sendiri berupa zakat disertai kesadaran untuk membantu sesama, nasib sebagai generasi muslim yang cerdas dan berprestasi akan kandas karena kelemahan ekonomi.
Pajak dan Pelaksanaannya menurut Hukum Ialam
Dalam Islam, istilah yang relevan dengan pajak adalah jizyah atau kharaj. Dua  istilah ini masig-masing terdapat dalam nash sebagai brikut: ‘’pangilang orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan  agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk’’. ‘’atau kamu meminta upah kepada mereka?, maka upah dari Tuhanmu adalah lebih baik, dan Dia adalah pemberi rezki yang paling baik.
Dua ayat di atas digunakan oleh Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam al-Sulthaniyah untuk mengambarkan adanya pungutan pembayar di luar zakat. Bedanya dengan zakat ialah bahwa zakat dipungut dari umat Islam, sedang jizyah dipungut dari kalangan non muslim. Adapun kharaj dipungut dari non muslim dan muslim yang mengerjakan lahan tertentu. Jizyah adalah pungutan yang khusus diambil dari kaum musyrikin (non muslim atau dzimmi), dan sama sekali tidak dipungut dari mereka yang sudah muslim. Hal ini di sebut dalam Hadis Riwayat Abi Dawud sbb:. ‘’dari Ibni Abbas berkata, sabda Rasulullah Saw: tidak ada kewajiban jizyah atas umat Islam; telah memberikan kepada kami Ibn Katsir berkata, Sufyan ditanya tentang pemahaman soal ini, lalu ia berkata: jika ia telah masuk Islam maka tidak berlaku ada jizyah.
Dan tebih tegas lagi hadis riwayat Al-Turmudzi sebagai berkut:‘’yahya Ibn Aktam memberitakan kepada kami, telah memberitakan kami Qabus bin Abi Zhubyan dari bapaknya dari Ibn Abbas berkata, bersabda Rasulullah SAW tidaak pantas dua kiblat pada satu biumi, dan tidak pantas kaum Muslimin dikenakan jizyah (upeti)……………………..dan pengamalan soal ini di kalangan ulama bahwa kaum Nashrani, jika memeluk Islam maka lepaslah kewajiban membayar jizyah, dan perkataan Nabi saw.: ‘’tidak ada kewajiban membayar persepuluh yakni jizyah (semacan pajak), dan dalam hadis dipahami hal ini ketika ia berkata pajak (persepuluh) itu hanya atas Yahudi dan Nahrani, dan tidak ada kewajiban usyur atas umat Islam. Adapun kharaj (jenis pajak lain) biasanya dikenakan atas diri seorang yang diserani mengelola lahan pertanian. Lahan ini akan kalanya direbut dari tangan non muslim secara paksa atau tidak. Tanah yang direbut dari non muslim kemudian pengelolaannya diserahkan kepada non muslim tadi, dikenakan pembayar pajak (usyur) yang sekaligus merupakan jizyah. Tetapi jika ia memeluk Islam, maka jizyahnya gugur kemudian hanya dikenakan kharaj (pajak)yang jumlahnya tidak sebesar jizyah tadi.
Penerapan Zakat dan Pajak atas Umat Islam
Dalam zaman modern, khususnya di negara kita Indonesia, setiap warga yang memenuhi perhitungannya diwajibkan membayar pajak. Dengan demikian, umat Islam mengalami pembayaran dua jenis, yakni pajak dan zakat sekaligus, sehingga terkesan agak memberatkan. Banyak orang yang berusaha menemukan jalan agar umat islam tidak terkena beban pembayaran yang memberatkan tersebut.
  • Untuk memecahkan masalah ini, kita dapat memilih salah satu dari empat alternatif berikut:
  • Umat Islam di sampin membayar pajak sesuai perhitungannya, juga harus membayar zakat sesuai dengan perhitungan nisabnya.
  • Umat Islam hanya membayar zakat dan dibebaskan dari pembayarak pajak sama sekali;
Jika pajaknya lebih besar  dari zakat, maka pajak yang dibayar adalah selisih lebih dari zakat yang sudah dibayarkan sebelumnya. Tetapi jika zakat lebih besar dari pajak, maka zakat yang dibayar adalah selisih lebih dari jumlah pajak yang sudah dibayar sebelumnya.
Umat Islam membayar pajak dari harta yang sudah dizakati, atau hanya membayar zakat dari harta yang sudah dibayar pajaknya. Alternatif pertama merupakan alternatif yang menarik dana pembangunan umat dan bangsa sebesar mungkin, tetapi terasa memberatkan dan rasanya tidak memecahkan persoalan. Meskipun demikian, terserah kepada setiap warga negara muslim, jika mereka ingin memberikan dana yang lebih besar bagi pembangunan bangsa dan umat.
Alternatif kedua merupakan contoh model yang menyamai medol pemungutan dana sesuai yang disebutkan dalam sejarah Islam. Tetapi kita harus memahami secara arif bahwa kita hidup dalam negara yang warganya cukup heterogen, bercampur antara umat Islam dengan non Muslim. Jika umat Islam dibebaskan dari pajak, dan hanya membayar zakat, maka dibutuhkan suatu undang-undang yang mengharuskan negara yang mengelola zakat itu sebagai dana pembangunan untuk semua warganya. (Lihat UU No. 38 tahun 1999).
Barangkali jalan yang moderat yang dapat ditempuh ialah memilih antara alternatif ketiga atau ke empat diatas. Alternatif ketiga menunjukkan bahwa pembayaran dilakukan secara inklusif  (qiran), sehingga setiap orang pembayarannya berfungsi sebagai zakat dan pajak sekaligus. Sedangkan alternatif keempat menunjukkan bahwa umat Islam membayarkan zakatnya, kemudian pembayarak pajak hanya diperhitungkan dari harta yang benar-benar telah bersih dari zakat. Atau sebaliknya, umat Islam terlebih dahulu membayar pajaknya, dan setelah itu barulah dihitung zakat dari harta yang bersih dari pajak itu.
Untuk menetapkan mana alternatif yang layak dipilih perlu upaya memproduk undang-undang atau peraturan yang mendukungnya. Wallahu a’lam bi al-Shawab.[cp]

Ceramah Ramadhan ke-27: Keutamaan Ibadah Haji

Sahabat Cerpi pada kesempatan kali ini CeramahPidato.Com akan berbagi artikel mengenai Ceramah Puasa 2015 atau Ceramah Ramadhan 1436 H, judulnya adalah Keutumaan Ibadah Haji, simaklah.
Semoga puji bagi Allah yang memfardhukan ibadah haji dan umroh kepada orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Shalawat dan salam atas sahabat-sahabatnya yang berlomba-lomba berbuat baik. Allah swt. Berfirman di dalam Q.s. al-Hajj 22:27:
وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
Yang artinya:
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh,
Ada beberapa hal yang diperintahkan Allah kepada umat Islam berkaitan dengan ibadah haji, antara lain:
Perintah menyeru manusia untuk melaksanakan ibadah haji:
Seruan mengerjakan ibadah haji tersebut mengandung hikmah bahwa Allah akan menganugerahkan kepad manusia beberapa keutamaan, antara lain:
ceramah ramadhan
  • Orang yang melaksanakan ibadah haji mendapat kehormatan menjadi tamu Allah Yang Maha Pengasih.
  • Mendapat pahala jihad yang paling utama. Rasulullah saw. Bersabda: Jihad yang afdhal adalah haji mabrur.’’(Hadis riwayat Bukhari dari Aisyah ra).
  • Mendapat pahala infaq fisabilillah, Bersabda Rasulullah SAW. :infaq dalam ibadah haji seperti infaq fisabilillah, satuDirham dibalas 700 kali lipat.’’(Hadis Riwayat Ahmad, dan Thabrani).
  • Mendapat pengampunan dosa, sehingga bersih seperti pada hari dilahirkan. Barang siapa mengerjakan haji, lalu tidak melakukan rafats dan fasik, niscaya ia kembali bersih seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya. (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)’’.
  • Mendapat pahala syurga. Rasulullah saw. Bersabda:  Umrahku, umrah berikutnya adalah penghapus dosa di antara keduanya. Sedang haji yang mabrur tiada balasannya kecuali syurga. ‘’(Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Perintah menyediakan bekal. Allah swt. Berfirman: (Q.S. al-Baqarah 2:197).
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
Yang artinya:
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.
Bekal yang dibutuhkan antara lain:
Bekal pertama dan utama adalahan taqwa (Q.S.al-Baqarah: 197).
Bekal harta untuk memenuhi keperluan selama dalam perjalanan pergi-pulang dengan keperluan hidup di tanah suci.
Bekal kesehatan (jasmani dan rohani) selama melaksanakan ibadah haji.
Bekal pengetahuan manasik dan penguasaan tata cara melaksanakan ibadah haji yang dicontohkan Nabi SAW.
Bakal semangat jihad, dan kesungguhan serta ketekunan melaksanakan ibadah haji secara sempurna.
Perintah menyempurnakan ibadah dan umrah. Allah swt. Berfirman: (Q.s. al-Baqarah :196).
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۖ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ ۚ فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۚ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗ ذَٰلِكَ لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Yang artinya:
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.
Latar belakng perintah penyempurnaan ibadah haji:
Ibadah haji puncak keagamaan Islam (rukun Islam kelima).
Ibadah haji wajib hanya sekali seumur hidup setap Muslim an Muslimat.
Ibadah haji, ibadaah multi dimensial, ibadah Qalbiyah, lisaniyah, jasmaniah dan ibadah Makiyyah.
Ibadah haji, memerlukan banyak pengorbanan (waktu, tenaga dan harta).
Ibadah haji adalah puncak status keislaman kaum Muslimin.
Aspek-aspek penyempurnaan ibadah haji:
Menyempurnakan syarat-syaratnya.
Menyempurnakan rukun-rukunnya.
Menyempurnakan wajibnya.
Menyempurnakan sunat-sunatnya.
Menyempurnakan hikmah-hikmahnya (memelihara haji mabrur).
Demikian, semoga dapat bermanfaat. Wa Allah a’lam bi al-shawab.

Ceramah Ramadhan ke-26: Penegakan dan Peningkatan Kesadaran Hukum

Sahabat Cerpi pada kesempatan kali ini CeramahPidato.Com akan berbagi artikel mengenai Ceramah atau Pidato Ramadhan atau Puasa Tahun 2015 / 1436 Hijriah. Adapun judul ceramah ramadhan pada kesempatan kini adalah Penegakan dan Peningkatan Kesadaran Hukum, langsung saja disimak:
Fenomena di Indonesia dewasa ini menunjukkan semakin rendahnya kepercayaan warga masyarakat terhadap hukum (dalam makna ‘’hukum positif’’, atau ‘’hukum negara’’). Semakin rendahnya tingkat kepercayaan warga masyarakat terhadap hukum dan penegakan hukum disebabkan warga secara kasat mata menyaksikan dan mengetahui sendiri betapa ‘’sandiwara hukum’’ dan lebih khusus lagi ‘’sandiwara pengadilan’’ masuh terus berlangsung. Kita masih tetap pantas untuk mengalunkan syair lagu ‘’aku masih seperti yang dulu’’. Sosok-sosok penegak hukum yang kini masih bergentayangan masuklah sosok-sosok lama dengan paradigma lama tetapi dangan ‘’kemasan baru’’. Kongkritnya, ‘’sosok-sosok sapu kotor’’ di lingkungan penegakan hukum masih eksis dan bahkan semakin hari semakin memperkokoh posisinya.
Serentetan kasus-kasus hukum dan peradilan yang muncul di media massa, seperti berita kasus suap-menyuap kelas kakap yang masih berlangsung di tubuh Mahkamah Agung seperti diumumkannya oleh Ketua MA, Pro. Dr. Bagir Manan, SH. Tentang ‘’kasus hakim agung yang menerima suap’’, penunggaan tiga konglomerat di masa Marzuki Darusman, buronnya Tommy Soeharto yang kemidian di kabulkan PK-nya oleh MA, dan masih banyak lagi kasus lain, yang teramat mengecewakan rakyat banyak.  Kesemuanya semakin menurunkan citra penegak hukum.
ceramah ramadhan
Bagi yang mengkaji ilmu hukum, tentunya mengetahui bahwa pemidanaan (penghukuman secara legal di bidang hukum pidana) mempunyai sejumlah tujuan, seperti; menakut-nakuti warga masyarakat luas agar tidak melakukan satu tindakan kriminal, membuat jera sipelaku agar tidak mengulangi lagi kejahatan yang pernah  dilakukannya, merehabilitasi si pelaku agar mampu menjadi ‘’manusia baru’’ setelah usai menjalani hukumannya, dan lain-lain.
Dalam kenyataannya, tujuan pemidanaan inipun  banyak yang tidak mampu diwujudkan karena vonis pengadilan yang sering dijatuhi oleh pengadilan, sama sekali kontras dengan ‘’rasa keadilan warga masyarajat’’. Tentunya bebas dan putusan bebas untuk terdakwa kasus korupsi misalnya, jelas sangat melukai keadilan’’ masyarakat. Dampak langsung dari fenomena itu adalah membawa warga negara masyarakat membuat bentuk ‘’social control’’sendiri dengan cara-cara kekerasan, seperti perilaku kekerasan dalam bentuk penganiayaan, pembunuhan, dan perusakan barang.
Oleh karena itu, bahwa ‘’akar’’ masalah merebaknya kakarasan adalah buruknya tingkat kepercayaan warga masyarajat terhadap pemerintah dan penegak hukum, maka langkah paling awal yang seyogyanya dilakukan adalah mangembalikan kepercayaan warga masyarajat terhadap hukum dan penegakan hukum. Nah, hukum yang bagaimana? Tentunya hukum yang sesuai dengn nilai instrik warga masyarakat, yaitu nilai instrik yang di anut oleh umat baragama, tentu saja adalah ajaran agamanya masing-masing. Nilai instrik yang dianut oleh penganut Islam, tentunya adalah ajaran (syari’at) Islam itu sendiri.
Indonesia yang dianggap sebagai negara ke-3 terkorup di dunia, ternyata  tidak mempunyai seorang koruptor, karena belum ada orang difonis oleh hakim sebagai koruptor. Pernyataan seperti ini adalah pernyataan yang berangkat dari para dikma ‘’legal positivism’’, sebab bagi penganut ‘’legal positivism’’ seorang dapat diberi rabel ‘’koruptor’’ jika vonis hakim menyatakan demikian. Sekalipun seorang telah ‘’merampok’’ sedemikian banyak uang negara dan uang rakyat, tetapi jika hakim (karena disuap atau mendapat tekanan politik) tidak memutuskan bersalah, maka menurut paradikma positivism, seseorang itu ‘’bukan penjahat atau koruptor’’, dan itulah keadaan di Indonesia.
Oleh karena itu, jika kebenaran sepenuhnya hanya diserahkan bula-bulat pada pengadilan yang ‘’unfair’’, jelaslah hukum (negara) takkan pernah bersentuhan dengan keadilan yang sesungguhnya. Juga jelaslah behwa ide ‘’kepastian hukum’’ sebab kemukinan ia hanyalah ‘’kepastian undang-undang’’belaka.
Paradikma positivisme itu berbeda dengan paradigma hukum Islam yang lebih menonjolkan aspek perilaku konkret. Sunnah Rasulluh saw, sebagai interpretator yang paling akurat terhadap Alqurqn, jelas merupakan perilaku konkret yang dicontohkan Rasulullah saw. Dan sena tiasa sifatnya kasuistis dan kontekstual, tidak kaku dan tidak formalistis.
Kiranya aparat penegak hukum, yang mencakup polisi, pengacara, jaksa dan hakim dapat mengembalikan kepercayaan warga masyarakat. Untuk itu dihimbau para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya; agar lebih kan banyak bertanya pada hati nurani mereka. Ketimbang pada perut mereka. Marilah kita kembalikan hukum kepada akar moraliras dan religiusnya.
Fenomema kekerasan dan kerusuhan, tak lain adalah manifestasi dari rasa ketidak percayaan rakyat banyak terhadap ‘’hukum’’ (negara). Dan satu-satunya cara untuk memulihkan kepercayaan masyarakat, kultural, dan religiusnya; dan kedua, me-lengser-kan semua petinggi hukum dan penegak hukum yang tergolong dalam ‘’sosok-sosok sapu kotor’’ (the dirty sweep).
Kita harus berjuang agar hukum dapat dikembalikan pada akar moralitasnya, akar kulturalnya dan akar religiusnya, sebab hanya denag cara itu, masyarakat akan merasakan hukum itu cocok dengan nilai-nilai instrik yang mereka anut. Sepanjang aturan hukum yang ada tidak sesuai dengan nilai-nilai instrik warga negara masyarakat, maka ketaatan hukum yang muncul hanyalah sekedar ketaatan yang bersifat ‘’compliance’’ (taat hanya karena takut sanksi), dan buka ketaatan yang bersifat ‘’internalization’’ (ketaatan karena benar-benar menganggap hukum itu cocok dengan nilai-nilai instrik yang dianutnya).
 Sebenarnya, relevan dengan ide ini, adalah munculnya aspirasi umat Islam di Sulawesi Selatan untuk memberlakukan secara formal ‘’syariat Islam’’ bagi umat Islam di Sulawesi Selatan. Jika ide ini terwujud, penganut agama lain yang ada di Sulawesi Selatan tak perlu merasa terusik, karena secara analogi dalam kalimat untuk memberlakukan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, berarti juga tetap berlakunya hukumagama masing-masing bagi pemeluk agama lain. Adalah isu yang sengaja dibelokkan, jika ada pandangan yang menyatakan, jika syari’at Islam sudah berlaku di Sulawesi Selatan, maka semua non muslim akan disunat (dikhitan). Bukan demikian cara Islam memerintah, toleransi Islam dalam memerintah telah dicontohkan di zaman Rasulullah Saw. Dan para sahabatnya. Kita jangan mengacaukan perilaku individual sosok tertentu yang mengaku dari kalangan Muslim yang berperilaku brutal, dengan ajaran Islam yang pada hakikatnya tidak membenarkan perilaku kekerasan.
Kekeliruan yang paling banyak terhadap hukum (syari’at) Islam, adalah bahwa syari’at Islam diidentikkan dengan hukuman yang keras, seperti potong tangan bagi pencuri atau hukuman rajam bagi penzina. Persepsi sejenis itu jelas perlu diuruskan.alhamdulillah, seorang guru besar beragama non-Muslim, yaitu Pro Dr. Lawrence Rose, seorang guru besar Antropologi dan guru ilmu hukum pada Universitas Columbia, melalui bukunya yang ‘’best seller’’ berjudul ‘’The Justice of Islam: Comparative Perspective on Islamic Law and  Society’’, diterbitkan oleh Oxford Universitas Press, tahun 2000; telah berusaha meluruskan kekeliruan pandangan dari rekan-rekannya selama ini terhadap Syari’at Islam, Lawrence Rosen menuliskan a.l. bahwa:’’ One out of five people in the word lives subject ti islamic adjudication…’’.
Maksudnya, satu dari lima penduduk dunia adalah orang yang seyogyanya tunduk pada sari’at islam. Tetapi stereotip yang masih menyebar adalah persepsi keliru tentang syari’at Islam, yang menonjolkan betapa kakunya dan betapa ganasnya syari’at Islam itu.
Kalau hanya orang non-muslim atau masyarakat awam yang salah persepsi tentang syari’at Islam, maka masih dapat dipahami, tetapi yang tragis kalau ada cendekiawan Muslim yang juga ‘’ngeri’’ terhadap pemberlakuan syari’at Islam, dengan menonjolkan hukum potong tangannya belaka. Masa seorang guru besar non-Muslim seperti Lawrence Rose lebih memahami karakteristik yang sebenarnya dari syari’at Islam, ketimbang seorang yang secara formal adalah cendikiawan Muslim?.
Perlu dipahami bahwa selain hukum Allah yang ada hanya hukum jahiliyah, di luar hukum Allah hanya ada hukum syetan. Maka Allah bertanya dalam firman-Nya: QS. Al-Maidah 5:44,45,47 dan 50:
Yang artinya:
Jadi, kendala untuk menegakkan syari’at Islam, bersumber dari persepsi keliru  yang dianut oleh sebahagiaan umat Islam, bahkan cendikiawan Muslim sendiri. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus diupayakan untuk menuju pada penegakan syari’at Islam secara formal di Sulawesi Selatan, adalah ‘’mensosialisasikan lebih dahulu persepsi yang benar tentang syari’at Islam’’. Untuk itu marilah kita rapatkan shaf untuk saling bantu membantu mensosialisasikan seraya memperjuangkan syari’at Islam yang nantinya akan menegakkan supremasi  hukum itu sendiri.[cp]

Ceramah Ramadhan ke-25: Membangun Kerukunan & Toleransi Dalam masyarakat Indonesia yang Plural

Sahabat Cerpi pada kesempatan kali ini CeramahPidato.Com akan berbagi artikel mengenai Ceramah atau Pidato Ramadhan atau Puasa Tahun 2015 / 1436 Hijriah. Adapun judul ceramah ramadhan pada kesempatan kini adalah Membangun kerukunan & Toleransi dalam masyarak Indonesia yang Plural, langsung saja disimak:
Pluraslisme dalam segala hal di dunia ini, bahkan didalam semesta ini adalah realitas obyektif yang tidak dapat diingkari, ditolak, apalagi dinafika. Dalam pandangan Islam pluralisme atau kemajemukan adalah bagian dari sunnatullah (takdir Tuhan) yang tidak pernah dan tidak akan berubah, misalnya, Allah swt berfirman di dalam QS. Al-Ahzab (33): 62, berbunyi:
Yang artinya:
Dalam pluralitas ini terkandung hikmah yang amat banyak, luas lagi dalam. Tugas manusia, makhluk berakal yang diberikan wewenang menjadi khalifa Tuhan di bumi adalah memikirkan, di balik keragaman tersebut. Salah satu tujuan dari aktifitas tersebut adalah meneguhkan keyakinan bahwa di nalik keragaman itu terdapat Kemaha-Tunggalan yang justeru merupakan asal muasal dan sumber dari keragaman itu sendiri. Bahkan, keragaman itu justeru merupakan bagian dari tanda-tanda Kemaha Kuasaan-Nya (QS. Al-Rum (30): 22):
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّلْعَالِمِينَ
Yang artinya:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.
Hanya dia-lah yang tunggal, Maha Unik dan Maha Suci dengan ketunggalan-Nya (QS. Al-Syura (42): 11). Selain dia semua mengandung keragaman sehingga di dunia ini tidak ada satu wujud atau realitas pun yang betul-betul esa dan unik.
Bentuk keragaman yang terlihat sangat jelas dan terkait langsung dengan manusia di muka bumi ini adalah keragaman dalam pikiran, budaya, bahasa, ras, etnis, suku, bangsa, warna kulit, adat istiadat, agama, kecenderungan politik, dan sebagainya. Keragaman-keragan tersebut merupakan bagian dari dinamika manusia sekaligus faktor-faktor yang mengandung ambivalensi pada dirinya. Di satu sisi, keragaman itu bisa menimbulkan konflik, permusuhan, bahkan disintegrasi, tetapi disisi yang lai keragaman tersebut justeru bisa membawa kepada harmoni, persaudaraan, dan intergrasi.
Dalam kontes keindonesiaan keragaman itu jelas terlihat sangat gamblang. Indonesi dikenal sebagai negara yang memiliki Wilayah yang sangat luas; terdiri atas belasan ribu pulau; dihuni oleh ratusan juta penduduk dengan latar belakang ratusan suku, ratusan bahasa, perbedaan warna kulit, keragaman adat istiadat, agama, kepercayaan, serta tak kalah pentingnya kecenderungan politik yang benar-benar sangat berwarna-warni. Keragaman itu diakui merupakan khazanah kekayaan Indonesia yang tiada tara dan tentunya harus dipelihara dan dilestarikan. Setiap upaya untuk mengeliminasi keragaman itu dan memaksakan keseragaman (kecuali dalam hal-hal tertentu) pastilah menimbulkan permasalahan besar. Upaya seperti itu di samping menentang sunnatullah (takdir), juga bertentangan dengan fitrah manusia dan tidak sejalan dengan prinsip yang berlaku universal, yaitu bahwa persatuan dan kesatuan harus dibangun dalam keragaman (unity in diversity, E pluribus Umum, Bhineka Tunggal Ika).
Dalam Alquran ditegaskan bahwa Tuhan tidak akan pernah menggunakan kemakuasaan-Nya yang mutlak untuk memaksakan agar semua manusia di muka bumi ini beriman (QS. Yunus (10):99):
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَن فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
Yang Artinya:
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?
Hal ini menunjukkan bahwa kebebasan untuk memiluh jalan kehidupan merupakan hak asasi yang diberikan oleh Tuhan kepada hamba-hamba-Nya dengan konsekuensi bahkan masing-masing manusia akan mempertanggungjawabkan sendiri pilihannya di hadapan Tuhan.
ceramah ramadhan
Dilihat dari sudut agama, hanya sedikit negara di dunia ini yang memberlakukan secara formal keseragaman agama. Contoh kongkritnya adalah Saudi Arabia (khususnya di dua kota suci Makkah dan Madinah) dengan Islamnya dan Vatikan dengan Katoliknya. Kota-kota ekslusif agama ini bisa dipahami dari segi sosio-politik historinya di samping karena alasan-alasan doktrinal-teologisnya. Sedangkan di negara-negara Islam lainnya seperti Mesir, Syria, Iran, Yordania, dan sebagainya tetap ditemukan adanya kelompok-kelompok minoritas agama tertentu khususnya Yahudi dan Nashrani yang memang dijamin perlindungannya oleh Islam.
Di Indonesia, keragaman dalam agama, suku, bahasa, dan budaya sejak dulu memperoleh pengakuan formal  dari segenap bangsa Indonesi. Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia selalu kemajemukan; masyarakatnya hidup dalam kedamaian, kesamaan dan kebersamaan yang sejati (tidak semua); saling menghargai, menghormati, dan mengasihi; saling menolong dan mengayomi; hidup dalam tolerasi yang tinggi dan mengeyahkan bias-bias promordialisme yang merusak persatuan dan kesatuan. Inilah yang terpratri dalam istilah Bhineka Tunggal Ika, semboyang negara yang di hadapi di luar kepala oleh hampir seluruh anak bangsa meskupun ditengarai bahkan tidak semua dari mereka yang menhapalkan tahu persis arti harfiahnya apalagi makna yang tersirat di dalamnya. Mereka yang tahu makna pun belum tentu dapat mangimplementasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir di negara kita berupa  konflik sosial dengan latar belakang SARA yang membawa korban harta, jiwa dan tragedi kemanusiaan yang parah membuktikan tesis tersebut. Memang masalah konflik sosial ini cukup kompleks untuk dianalisis namun satu hal yang pasti adalah bahwa masyarakat kita memang masih sangat rendah pengetahuan, penghayataan, dan terutama, kasadarannya tentang betapa pentingnya memelihara dan mempertahankan kemajemukan sebagai bagian dari dinamika manusia yang distur secara sengaja dan berhikmah oleh Tuhan.
Oleh karena itu, masalah yang dihadapi dalam upaya membengun masyarakat indonesia yang benar-benar bersatu dan kuat dalam kemajemukan suku, agama, budaya, antar golongan, dan sebagainya di samping faktor kognisi juga terkait dengan afeksi dan psikomotorik yang membentuk pola tindak dan perilaku yang berwawasan luas dan berkesadaran tinggi dari masyarakat baik secara individual maupun secara kelompok.
Ajaran yang membentuk kesadaran dan perilaku untuk hidup bersatu di tengah kemajemukan sebenarnya dimiliki oleh setiap budaya dan agama yang hidup di tanah air. Meskipun ada hal-hal yang eksklusif, atau tepatnya unik, dalam tiap budaya dan agama namun pada dasarnya budaya dan agama yang hidup di Indonesi  mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, kegotong-royongan, tepo seliro, saling menhargai, saling membantu, saling mengingatkan dan sebagainya. Sifat-sifat ini pada dasarnya merupakan perwujudan sekaligus merupakan pengakuan akan adanya kemajamukan dan keragaman. Kalu pun terlihat ada sikap eksklusif dari setiap kelompok suku, budaya dan agama maka hal tersebut harus dipandang secara arif oleh karena sifat eksklusifikasi sampai pada batas-batas tertentu juga merupakan bagian dari dinamika kehidupan itu sendiri. Sepanjang eksklusifikasi tersebut itu tidak berarti menyepelekan atau tidak menghargai orang lain yang pada giliranya menimbulkan perpecahan, maka sifat dan sikap itu tetap sah-saja. Dengan kata lain, manusia pada dasarnya tidak dapat sepenuhnya membebaskan diri dari kecenderungan untuk bersifat dan bersikapeksklusif, karena eksklusiftas  justeru tidak dapat dipisahkan dari ingklusifitsa sebagaimana halnya heterogenitas tidak dipisahkan dengan homogenitas, kejamakan tidak dapat dipisahkan dari ketunggalan. Ketika seseorang ingin tampil eksklusif (sekali lagi sampai bats-batas tertentu) sesungguhnya hal itu merupakan pengejawantahan dari kecenderungan untuk tampil beda dengan orang dan kelompok lain.
Dalam agama misalnya, ada hal-hal di mana umat harus tampil eksklusif dan harus betul-betul beda dengan umat lainnya. Adanya suatu kemustahilan bahkan kekacauan-balauan bila semua pemeluk agama yang berbeda harus diiringi untuk menyeragamkan keyakinan, ritual, dan doktrin-doktrin agama yang mereka anut. Sikap seperti itu bukan saja amburadul tetapi justeru menjerumuskan umat kepada kebingunan dan kesesatan. Bahkan di kalangan antara pemeluk intern satu agama, eksklusifitas dan tampil beda tersebut harus di hormati sepanjang tidak bertentangan prinsip-prinsipdasar yang semestinya (wajib) menjadi kesepakatan satu agama. Semua itu kembali lagi kepada dinamika internal dan eksternal dari agama-agama dan para pemeluknya.
Terjadinya perselisihan di kalangan pemeluk agama atau kelompok suku dan budaya yang bisa meningkat menjadi pertentangan dan saling bermusuhan bahkan bentrok fisik yang pada gilirannya menimbulkan tragedi berdarah seperti di singgung di atas, penyebab utamanya, bukanlah karena sentimen suku, agama atau pun budaya an sich, perseteruan seperti itu biasanya barawal dari, dan lebih disebabkan oleh, ‘’faktor-faktor lain’’ yang tidak ada kaitan langsung dengan agama, suku, dan budaya. Yang tampak menonjol adalah faktor sosial ekonomi. Persaingan dan perebutan lahan kehidupan serta ketimpangan sosial antara satu kelompok dengan kelompok lainnya menyebabkan terjadinya akumulasi kebencian yang pada saat-saat tertentu meledak menjadi persekutuan terbuka dengan menjadi sentimen agama, suku, dan  budaya sebagai alasannya. Di sini, agama maupun fenomena suku dan budaya yang bernuansa kekuasaan maupun yang bertendensi ekonomi.
Kalu kita kembali surut ke belakang menengok perjalanan panjang dari agama-agama di dunia ini, maka kita akan melihat bahwa agama memang seringkali digunakan sebagai alat untuk memperoleh akses kekuasaan dan akses-akses sosial ekonomi lainnya. Yang ironis adalah bahwa kadang-kadang agama diperatas-namakan untuk perbuatan-perbuatan yang justeru bertentangan dengan prinsip-prinsip kesucian, kedamain, dan kasih sayang yang sesungguhnya menjadi inti ajaran semua agama. Berapa banyak perang yang pecah, berapa banyak darah yang tumpah, berapa besar harta yang terbuang, dan tak terbilang lagi nyawa yang melayang dimasa lampau, masa kini, dan mungkin juga masa depan, justeru dengan memperatasnamakan kesucian agama. Dan lebih ironis lagi karena justeru  dalam tubuh umat seagama sendirian pun tejadi konflik tajam yang seringkali mncabik-cabik persaudaraan dan persatuan, bahkan menciptakan kotak-kotak dan mubu-kubu yang sangat tajam dari satu agama. (contoh kongkrit dalam Islam adalah perang jamal dan perang Siifin justeru terjadi di antara sesama sahabat Nabi dalam rentang waktu yang relatif masih sangat dekat dengan kehidupan Nabi Muhammad Saw. Perseteruan abadi antara kaum Sunni dan kaum Syi’ah; berpecah dikalangan kaum Nashrani yang melahirkan ‘’agama’’ baru yaitu Katolik dan Protestan, dan sebagainya).
Pengalaman sejarah seperti itu mestinya menjadi pelajaran berharga bagi umat beragama, khususnya para tokoh dan pimpinannya untuk bersikap lebih arifdan lebih hati-hati dalam mengelola umat masing-masing. Betapa pun sangat disadari bahwa agama yang berbasis pada keyakinan yang timbul dari emosi manusia yang terdalam (qalb) sangat sensitif dan amat mudah dieksploitasi. Oleh karena itu seharusnya para pemeluk agama berupaya untuk seoptimal mungkin terjadinya hal-hal sensitif yang bisa memicu konflik.
Seperti yang disinggung di awal tulisan ini bahwa agama memiliki ambivalensi pada dirinya, khususnya dilihat dari sudut interakti para pemeluknya. Pada satu sisi agama bisa menjadi kekuataan integratif, konstruktif, membawa damai dan harmoni. Sebaliknya, di sisi yang lain agama justeru bisa beralih pesan sebagai kekuataan disintegrstif denitif, dan menimbulkan konflik antara pemeluknya secara terlebih secara eksternal.
Dilihat dari sudut ajarannya yang sarat dengan nilai-nilai luhur, kesucian, perdamaian, kasih sayang, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan serta nilai-nilai kemahklukan lainnya yang universal, maka agama dapat menjadi kekuataan intergratif dan konstruktif. Dari sisi ini seharusnya dan sudah sepantasnya para pemeluk agama hidup dalam kerukunan dan kasih sayang, saling menghormati, sling mengasihi, saling menolong tanpa harus mempersoalkan perbedaan doktrin dan kayakinan masing-masing. Sekiranya sisi agama yang satu ini dapat terimplementasi dan teraplikasi dalam realitas kehidupan umat beragama maka sungguh hidup manusia akan sangat indah dan mengalami kabahagiaan serta kedamaian yang tiada tara. Namun harapan tersebut ternyata lebih sering berbeda dan faktor pemicu bagi terjadinya disntegrasi dalam konflik mulai dari yang berskala kecil dan ringan sampai kepada konflik yang berdarah-darah.
Faktor-faktor yang menyebabkan agama rawan dengan konflik dan perpecahan antara lain: pertama, absolutisme dalam agama yang membawa penolakan terhadap keyakinan dan agama orang lain yang pada gilirannya melahirkan fanatisme ekstrim sehingga menutup ointu untuk dialog. Bahkan absolutisme dalam keyakinan tertentu sering kali melahirkan sektsrianisme dan eksklusifisme ekstrim yang dua-duanya sangat eksplosif  dan potensia melahirkan konflik. Kedua, watak ekspansionisme dalam agama yaitu doktrin keharusan untuk menyiarkan dan menyebarkan agama kepada orang lain yang mendapatkan legitimasi dari kitab suci. Setiap agama, kecuali agama tertentu, mewajibkan pemeluknya, baik perorangan maupun kelembagaan, mengemban tugas suci ini.interaksi untik beragama dalam mengaktualisasikan tugas dan misi suci ini merupakan pangkal dari berbagai konflik keagamaan. Ketika, watak penetrasi agama terhadap budaya non agama yang melahirkan konflik agama dengan dimensi kultural secara timbal balik. Kaum beragaman biasanya sangat bersemangat, sesuai tugas sucinya, untuk meng-agama-kan kehidupan masyarakat dalam seluruh dimensinya sementara sebagian masyarakat menilai bahwa wilaya agama terbatas pada hal-hal yang bersifat sakral dan ritual murni keduniaan dan bersifat profan. Tidak jarang bahwa kepentingan-kepentingan tertentu ikut bermain dalam upaya ‘’pengagamaan’’ sistem kehidupan masyarakat. Untuk yang terakhir ini agama sering kali dicap sebagai alat atau kendaraan bagi kepentingan-kepentingan tertentu seperti politik, sosial, ekonomi, budaya dan sebagainya. (kasus pornografi yang sering kali ramai dimedia massa merupakan contoh konflik antara dunia di satu pihak dengan dunia ‘’seni’’ dan ‘’budaya’’ di pihak lain).
Adanya watak ambivalensi seperti dikemukakan di atas seharusnya dipahami, disadari, dan dihayati oleh para pemeluk agama sehingga mereka berupaya untuk meredam dan atau mengeliminasi potensi-potensi disintegratif yang terdapat dalam agama dan mengedepankan dimensi-dimensinya yang membawa kepada integrasi dan kedamaian.
Dilihat dari sudut pandang agama, situasi bangsa memang terlihat rawan akan berpecahan. Sebab sudah terlanjur diangkat ke permukaan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, khususnya tujuan kekuasaan. Berbagai pengambilan keputusan yang terkait dengan masalah pengelolaan bangsa dan negara ini biasanya tidak bisa luput dari pertimbangan-pertimbangan yang bernuansa agama. Bahkan tidak jarang persoalaan agama dijadikan sebagai komoditas politik oleh kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan. Issu-issu seperti ini pun biasanya sangat laris untuk dijual oleh media karena memiliki nilai ‘’berita’’ yang tinggi. Hal-hal seperti ini merupakan contoh kongkret betapa agama sudah turut bermain dalam pecaturan politik praktis bangsa. Tentu saja di alam kebebasan seperi sekarang ini, sikap seperti itu sah-sah saja dan tidak ada satu otoritas pun ynag berhak untuk melarang atau menolaknya. Paling tidak orang boleh setuju dan boleh tidak setuju sehingga perdebatan panjang menjadi tak terhindarkan. Setiap orang bebasuntuk memberi interpretasi terhadap ajaran agamanya (tentu saja dengan persyaratan-persyaratan tentu yang biasanya diatur dalam intern agama). Yang penting tidak ada klaim-klaim untuk memonopoli kebenaran hanya pada pendapat pribadi atau kelompok sendiri. Sebab tes-tes agama yang absolut itu bisa sudah diberi interprestasi maka nilainya tidak lagi absolut melainkan nisbi (zhanny).
Terjadinya berbagai kemelut dikalangan umat beragama baik internal maupun lintas agama antara lain karena sikap eksklusifitas ekstrim yang tidak mau tahu keberadaan kelompok lain behkan menganggap bahwa kebenaran satu-satunya hanya ada pada diri dan kelompoknya saja. Sikap seperti ini masih dominan menguasai para pemeluk agama sehingga menjadi salah satu faktor penting yang menghambat terjadinya kerukunan yang sejati. Padahal, sikap ingklusifitas dalam beragama bisa saja dikembangkang tampa harus mengorbankan keyakinan masing-masing. Pada salahnya kalau seseorang, misalnya, mengatakan bahwa agama dan keyakinan saya paling benar tetapi saya tetap menghormati dan menghargai agama dan keyakinan anda sebagai suatu kebenaran menurut yang anda yakini. Sikap seperti ini sama sekali tidak merugikan siapa-siapa dan tidak berarti mencampur adukkan kebenaran. Sebab, kebenarang yang sejati sebenarnya bisa bertemu pada level esensi, sedangkan pada level permukaan (syari’ah) memang tidak mungkin dan tidak harus diusahakan untuk mencapai titik temu.
Para pemeluk agama juga bisa mencapai titik temu (kesepahaman) dalam aspek-aspek moral dan spiritual, sedangkan pada aspek teologis dan ritual tentu saja tidak mungkin dicapai titik temu. Pada dua aspek terakhir ini berlaku prinsip laku dinukum wa liya din (bagi kamu agama kamu dan bagi saya agama saya) tanpa harus saling menyalahkan dan melecehkan inilah salah satu bentuk toleransi dak kerukunan hidup beragama yang patut diaplikasikan pada semua level masyarakat meskupun disadari bahwa tidaklah mudah untuk mengimplementasikan pada level awam yang merupakan bagian terbesar dari setiap umat beragama. Namun dengan kerja keras dan i’tikad baik dari para tokoh dan pemimpin umat hal itu pada saatnya bisa dicapai.
Masalah lain hingga kini tetap potensial mengandung konflik adalah hubungan antara kelompok Muslim yang mayoritas dengan non-Muslim yang minoritas. Kelompok Muslim yang dalam kenyataannya memang sangat mayoritas menuntut adanya perlakuan secara proporsional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sepanjang sejarah bangsa ini mereka merasa belum pernah mendapatkan perlakuan ‘’tidak adil’’ bahkan ‘’dizhalimi’’. Kuat pembangunan dan hasil negara yang berlimpah-limpah lebih banyak dinikmati kelompok minoritas. Mereka merasakan adanya hambatan-hambatan untuk masuk dalam akses kekuasaan, akses ekonomi dan sebagainya sebaliknya kelompok minoritas menganggap bahwa apa yang mereka peroleh selama ini adalah wajar-wajar saja sebagai hasil dari kerja keras, keuletan, dan keterampilan yang mereka miliki. Bahkan mereka pun merasa  diperlakukan secara tidak adil, diskrimminatif, dan selalu terancam oleh kelompok mayoritas sehingga harus berusaha untuk melakukan upaya-upaya preventif.
Jika masalah tersebut di ungkit dan diperdebatkan kembali secara terbuka barangkali tidak akan pernah dicapai titik temu sebab masing-masing kelompok akan bertahan pada prinsip dan argumen-argumen sendiri. Apa lagi di era keterbukaan sekarang ini dimana tidak ada otoritas yang sungguh-sungguh dipercaya untuk mencari jalan keluar yang dapat diterima oleh kedua pihak. Oleh karena itu jalan terbaik adalah melakukan dialok-dialok terbatas dalam suasana sejuk, seperti forum sekarang ini, yang dilandasi i’tikad baik masing-masing pihak disertai rasa tanggung jawab besar akan keselamatan bangsa kedepan sehingga semua pihak akan lebih mengedepankan  dan mengutamakan kepentingan bangsa dari pada kepentingan kelompok dan golongan. Sudah saatnya semua pihak melakukan pendinginan suasana dan melupakan masa lampau. Sebaliknya perhatian dan lebih dicurahkan ke depan untuk satu Indonesia yang kokoh kuat, bersatu dalam kemajemukan, penuh toleransi dan saling menghargai, di mana semu aorang dan semua kelompok memperoleh perlindungan hukum yang sama, keadilan yang sama, dan tentu saja kesempatan yang sama untuk berjuang membangun masa depan …prinsip ‘’tidak ada diktator mayoritas dan tidak ada tirani minoritas’’ harus tetap dijunjung tinggi dan ditaati secara sungguh-sungguh oleh semua pihak.
Hanya dengan sikap seperti yang dikemukakan di atas harapan akan terjadinya rekonsiliasi nasional dan integrasi bengsa lewat jalur agama dan budaya dapat terwujud. Sebaliknya bila masing-masing kelompok tetap bersifat eksklusif, mementingkan diri sendiri dan tidak mau tahu apalagi peduli terhadap kepentingan bangsa dan negara maka Indonesia baru yang didambahkan hanyalah sebuah mimpi indah yang tidak pernah terwujud dalam kenyataan.
 Dilihat dari perspektif Islam, sesungguhnya ajaran mengenai kerukunan antara umat yang plural bukanlah hal yang baru. Agama yang dibawah oleh Muhammad saw. Ini sudah memberi pedoman yang sangat komsetsionel tentang bagaiman berantaraksi dengan sesama Muslim; yang sesama manusia yang berlainan etnis dan agama; bahkan dengan sesama makhluk sekali pun. Pluralitas, seperti disinggung diawal tulisan ini, di samping diakui secara tegas dan oleh Islam sebagai bagian dari sunnatullah yang tidak bisa didistorsi. Juga harus diterima dan dihormati sebagai anugarah besar dari Tuhan. Dunia yang plural adalah dunia yang indah. Masyarakat yang plural untuk berlomba dan bersaing untuk meraih kedudukan yang lebih baik (ber-fastabiq al-khairat). Persaingan-persaingan seperti inilah yang sebenarnya merupakan pangkal dari munculnya berbagai konflik atau kalau manusia tidak memiliki kasadaran yang dalam mengenai nikmat kehidupan secara bebas dan damai dan juga berhak atas penghormatan, pengakuan, kesempatan bekerja dan berekspresi, kebebasan untuk berkumpul dan berserikat, kebebasan untuk menganut agama dan keyakinan, dan sebagainya.
Hal-hal yang dimaksud diatas secara populer biasa disebut sebagai HAM (hak-hak asasi manusia yang telah diatur oleh PBB dalam deklarasi semesta Tentang Hak-hak Asasi Manusia Universal deklaration of The Human Right) yang disepakati oleh    seluruh negara yang bergabung dalam organisasi dunia paling bergensi itu. Bahkan secara khusus, hak asasi menyangkut agama diatur tersendiri dalam suatu deklarasi yang disebut Deklatation on the Elimination of Religius Intolerance and Discrimination (deklaeasi tentang penghapusan intoleransi dan diskriminasi Berdasarkan Agama). Dalam deklarasi ini, hak-khak asasi mengenai agama diatur dengan cermat, antara lai meliputi: hak menganut agama atau keyakinan menjadi pilihan, hak dan keebebasan untuk mengamalkan agama dan keyakinan; hak beribadah, hak mendirikan dan mempertahankan tempat-tempat ibadah, hak mendirikan lembaga-lembaga sosial keagamaan, hak menulis, menerbitkan, dan menyebarluaskan publikasi-publikasi yang relevan dengan agama, hak mengajarkan agama, dan seterusnya.
Terjadinya gesekan-gesekan antara pemeluk agama yang berbeda ataupun dari satu agama yang sama secara internal, biasanya lebih disebabkan karena ketidakmampuan seseorang atau sekelompok  umat beragama menanti dan mengamplikasikan prinsip-prinsip yang disepakati tersebut. Hal ini biasanyan berkait dengan watak ambivalensi agama seperti telah dikemukakan di atas.
Dalam pandangan Islam, kebebasan-kebebasan yang terkait dengan agama telah diatur secara umum. Misalnya kebebasan untuk beriman atau tidak beriman dijamin oleh Alquran (QS.Al-Kahfi (18): 29);
وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ ۖ فَمَن شَاءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا ۚ وَإِن يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ ۚ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقً
Yang artinya:
Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
Tidak ada paksaan dalam agama QS.Al-Baqarah (2): 256;
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Yang artinya:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Bahkan nabi pun sangat dilarang melakukan pemaksaan tersebut (QS.Al-Ahzab (33): 45;

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا
Yang artinya:
Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan,
Karena otoritas Nabi sebatas pada penyampaian  ajaran yang diterima dari Tuhan. Otoritas untuk membuat seseorang beriman hanya milik Tuhan (QS. An-Naml (27): 56).
Yang artinya:
Dalam ayat lain ditegaskan  larangan mencaci maki Tuhan-tuhan yang disembah oleh kaum musyrik agar mereka tidak melakukan hal yang sempurna terhadap Tuhan (Allah) yang disembah oleh orang Muslim QS. Al-An’am (6): 108);
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Yang artinya:
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.
 Penegasan ini tentu saja mengimplementasikan larangan serupa terhadap agama dan keyakinan yang dianut oleh orang lain. Artinya, tindakan menghina dan mendiskreditkan agama dan kepercayaan orang lain sama dengan menghina dan mendiskreditkan agama dan keyakinan sendiri; tindakan menintas tuhan yang disembah orang lain sama dengan menista Tuhan sendiri.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan Alquran tersebut dapat  dipahami bahwa pluralisme agama sudah merupakan rencana Tuhan yang bersifat taken for granted dan tidak ada kekuataan apapun yang dapat mengubahnya kecuali Tuhan sendiri jika dia menghendaki.inilah yang dikatakan oleh Alquran; (QS. Yunus (10): 99).
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَن فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
Yang artinya:
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?
Dalam ayat lain dikatakan; (QS. Al-Maidah (5): 48).
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Yang artinya:
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,
Dalam kenyataannya, kehendak Tuhan itu memang tidak dimanifestasikannya di bumi sebab Dia Maha Mengetahui rahasia-rahasia di balik keragaman tersebut yaitu, antara lain, agar manusia berkompetisi secara fair untuk melakukan kebajikan-kebajikan di muka bumi.
Dalam agama memang di temukan adanya klaim-klaim kebenaran untuk diri sendiri. Hal ini menurut hemat saya wajar-wajar saja sepanjang klaim-klaim itu tidak menjadi alasan untuk menggiring orang lain, dengan cara tidak fair dan tidak etis, untuk mengikuti kebenaran yang dianut. Asas saling menghormati kepercayaan masing-masing harus di junjung tinggi oleh setiap penganut agama sehingga tidak ada lagi upaya-upaya intervensi terhadap wilayah keyakinan orang lain. Biarkanlah setiap orang dan kelompok menikmati kedamaian dengan keyakinannya sendiri karena setiap orang akan memperoleh ganjaran atau pun balasan terhadap apa yang diyakini dan diamalkan dalam kehidupan ini.
Tentu saja misi menyebarkan agama merupakan misi suci yang di emban oleh setiap pemeluk agama. Namun sangat diharapkan bahwa dalam menjalankan misi suci itu seorang misionaris, da’i, mubaligh dan atau penyebar-penyebar agama yang lain tidak melakukan hal-hal tidak terpujiyang justeru akan berbalik akan metode kesucian misi yang diemban. Prinsip seperti ini barlaku untuk interaksi lintas agama maupun internal satu agama. Hanya dengan demikian, kita dapat hidup rukun dan damai di segala ruang dan waktu karena memang bumi ini diwariskan oleh Tuhan untuk seluruh hamba-Nya tampa kecuali, dengan penekanan agar orang-orang shalih bisa berperang lebih aktif dan terdepan dalam menjaga dan melestarikan bumi Allah ini QS. Al-Anbiya’ (21): 105;
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِن بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ
Yang artinya:
Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.
Semua pemeluk agama yang berbeda di muka bumi ini mempunyai tanggung jawab yang sama untuk membangun dunia yang damai, dunia yang aman dan tertib, dunia yang sejahtera dan berkeadilan, dunia yang masyarakatnya hidup rukun dan harmonis, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, serta memiliki komitmen yang tinggi untuk memertahankan harkat dan martabat manusia. Kalau Alquran mengajak para pemeluk agama non Islam, khsusnya Ahl al-Kitab, untuk mencari titik temu (kalimat sawa’). QS. Ali-Imran (3): 64;
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ ۚ فَإِن تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Yang artinya:
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.
Maka titik temu yang dimaksud memang hanya bisa dujumpai pada aspek-aspek kemanusiaan, dan spritual. Pada aspek ini, ajaran-ajaran agama bersifat universal sehingga komunitas antar umat beragama bisa menjadi lancar dan ‘’nyambung’’. Sedangkan pada aspek-aspek formal dari agama, khusus bangsa keimanan dan konsep syari’ah, masing-masing agama memiliki ajaran yang tidak mungkin bisa saling dipertemukan. Bahkan upaya untuk mempertemukan aspek-aspek tersebut justeru merupakan pekerjaan sia-sia yang akan membahayakan akidah masing-masing agama. Inilah yang dimaksud dengan pernyataan Alquran: (QS. Al-Kafirun (109): 5). Artinya, dalam hal-hal iman ritual, mari kita menjalankan pendirian dan amalan masing-masing. Kita tidak perlu saling menyalahkan apalagi saling mencela dan memaki. Tetapi dalam hal-hal yang bersifat moral dan kemanusiaan mari kita bergandeng tangan untuk membangun dunia yang lebih adil, lebih sejahtera, tentunya lebih damai dan bahagia.[cp]