Senin, 14 Januari 2019

MAKALAH NASIKH DAN MANSUKH

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I
1.1 LatarBelakang 1
1.2 RumusanMasalah 2
1.3 Tujuan 2
BAB II

2.1 DefinisiNasikhdanMansukh 3
2.2 Syarat, Macam Nasikh dan Mansukh 4
2.3 Bentuk-Bentuk dan Macam-Macam Naskh dalam AL-Qur’an 5
2.4 Kemungkinan Terjadinya Nasikh dan Mansukh 10
2.5 Cara Mengetahui Nasikh Mansukh dan Contohnya 11
2.6 Ruang Lingkup Naskh 12
2.7 HikmahAdanyaNaskh 13
BAB III
Kesimpulan 14
DAFTAR PUSTAKA 15

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang
Dari awal hingga akhir, al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur'an yufassir-u ba'dhuhu ba'dha. Dari segi kejelasan, ada empat tingkat pengertian. Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua, cukup jelas bagi yang bisa berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan keempat, hanya Allah yang mengetahui maksudnya.
Dalam al-Qur'an dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm al-kitabyang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa harus menjadi landasan pengertian dan pedoman pengembangan berbagai pengertian, sejalan dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu hukum -hubungan antara ketentuan undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dari undang-undang tersebut maupun undang-undang lainnya yang sejenis, yang harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya.
Dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbab al-nuzul, yang mempunyai unsur historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para mufassir memberi tempat yang cukup tinggi terhadap pengertian ayat al-Qur'an. Dalam konteks sejarah yang menyangkut interpretasi itulah, kita membicarakan masalah nasikh-mansukh.

1.2 RumusanMasalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apadefinisidarinasikhdanmansukh?
2. Apasajasyaratdanmacam-macamnasikhdanmansukh?
3. Apasaja yang kemungkinanterjadinyanasikhdanmansukh?
4. Bagaimanaruanglingkupnaskh?
5. Apahikmahdarinaskh?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah:
1. Mengetahuidanmemahamidefinisidarinasikhdanmansukh.
2. Mengetahuisyaratdanmacam-macamnasikhdanmansukh.
3. Mengetahuikemungkinanterjadinyanasikhdanmansukh.
4. Mengetahuiruanglingkupnaskh.
5. Mengetahuihikmahdarinaskh.




















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DefinisiNasikhdanMansukh
A. Pengertian Nasikh
Dari segi bahasa nasikh bisa diartikan sebagai menghilangkan, pembatalan, menghapus, mengganti, menukar. Adapun menurut istilah dapat dikemukakan beberapa definisi sebagai berikut:
- Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan adalah:
رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي
 “Mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan khithab (dalil) syara’ yang lain”
- Menurut Muhammad ‘Abd. Adzim al-Zarqaniy:
رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر
 “Mengangkat / menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian”.[1]
- Para ulama mutakaddimin memperluas pengertian nasakh sehingga mencakup beberapa hal yaitu:[2]
a. Pembatalan hukum yan ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
b. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian.
c. Penjelasan hukum yang datang kemudian terhadap hukum yang masih bersifat samara
d. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang bersyarat.
- Para ulama muta’akhirin berpendapat nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang  kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.[3]

B. Pengertian Mansukh
Secara etimologi dapat diartikan dengan yang dihapus, dinukil, disalin, selain itu ada juga yang mengartikan المرتفعالحكم[4] yaitu “hukum yang diangkat”. Sedangkan secara terminology adalah hukum syara’ yang pertama yang belum diubah, dan dibatalkan atau diganti dengan oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.

2.2 Syarat, Macam Nasikh dan Mansukh
Dari kedua definisi diatas, para ahli ushul fiqih menyatakan bahwa nasakh itu bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut :
a. Pembatalan itu harus dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung hukum dari Allah dan Rasul-Nya yang disebut nasakh.
b. Yang dibatalkan adalah syara’ yang disebut mansukh (yang dihapus).
c. Nasakh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh.

Syarat-syarat nasikh dan mansukh
1. Yang dimansukhkan adalah hukum syara’
2. Dalil yang menghapus hukum syara’ tersebut harus berupa dalil syara’ seperti Al-Qur’an, hadist, Ijma’ dan Qiyas. Hal ini sesuai dengan firman Allah pada surat an-Nisa’ ayat 59.
3. Adanya tenggang waktu antara nasakh dan mansukh dalam satu ayat atau dalil pertama dan kedua datang berurut (gandeng ayat).
Contoh:
ثماتموالصيامbukan merupakan mansukh dari kalimat إلىالليل (yang dianggap nasikh).

Kalau ditemukan ada kalimat antara nasakh dan mansukh dalam satu kalimat yang harus dilihat adalah apakah kalimat tersebut termasuk kalimat berita berarti kalimat tersebut bukanlah nasakh melainkan takhsis.
4. Antara dua dalil nasakh dan mansukh adanya pertentangan nyata, sehingga kedua dalil tersebut tidak bisa dikompromikan.

Macam-macam nasikh dan mansukh
1. Nasikh Badal (nasakh yang ada penggantinya), terbagi menjadi tiga :
- Nasikh dengan badal akhof (pengganti yang lebih ringan)
- Nasikh mumatsil (pengganti serupa)
- Badal atsqal (pengganti yang lebih berat)
2. Nasikh Ghairu Badal (nasikh yang tidak ada gantinya), seperti nasakh terahadap keharusan memberi sedekah kepada orang miskin ketika hendak melakukan pembicaraan dengan nabi.
3. Nasikh hukum dan tilawah (bacaan), kebenaran dan jenis hukumnya telah dihapus, sehingga tidak ada dijumpai lagi dalam al-Qur’an.
4. Nasikh hukum tanpa tilawah artinya teks ayat masih ada hanya hukumnya saja yang diganti.
5. Nasikh tilawah tanpa hukum, maksudnya hukumnya tetap, tapi yang ternasukh hanya tilawahnya.[5]
6. Nasikh hukum dan bacaan ayat sekaligus seperti haramnya menikahi saudara sesusu itu dengan batasan sepuluh kali (H.R. Bukhori dan Muslim dari Aisyah). Hukum dan bacaan teks tersebut telah dihapus.
7. Terjadinya penambahan hukum dari hukum yang pertama, menurut ulama’ Hanafiyah, hukum penambahan tersebut bersifat nasakh.
8. Pengurangan terhadap hukum ibadah yang telah disyari’atkan menurut kesepakatan ulama’ dikatakan nasakh tetapi mereka tidak memberikan contohnya.

Menurut jenisnya nasikh dan mansukh dibagi menjadi:
1. Nasikh al-Qur’an dengan al-Qur’an, nasakh ini telah disepakati oleh jumhur ulama. Contoh nasakh ini banyak sekali seperti surat al-Mujadilah ayat : 12 dinasakh oleh surat al-Mujadilah ayat 13.
2. Nasikh al-Qur’an dengan sunnah, ada dua macam :
a. Nasikh al-Qur’an dengan hadits ahad, jumhur tidak membolehkan hal ini karena al-Qur’an mutawattir dan hadits ahad mengandung dzanni.
b. Nasikh al-Qur’an dengan hadits mutawattir, hal ini dibolehkan oleh sebagian ulama, karena al-Qur’an dan sunnah mutawattir sama-sama wahyu.
3. Nasikh sunnah dengan al-Qura’an
Nasikh ini disepakati dan dibolehkan oleh jumhur ulama’ contohnya seperti berpuasa pada hari asyuro yang ditetapkan berdasarkan sunnah yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim dari Aisyah r.a.
4. Nasikh sunnah dengan sunnah, terbagi menjadi 4:
a. Nasikh mutawattir dengan mutawattir.
b. Nasikh ahad dengan ahad.
c. Nasakh ahad dengan mutawattir.
d. Nasikh mutawattir dengan ahad.
Tiga bagian pertama dibolehkan, adapun yang ke empat terdapat khilaf, tetapi jumhur tidak membolehkan hal ini.[6]

2.3 Bentuk-Bentuk dan Macam-Macam Naskh dalam AL-Qur’an
Berdasarkan kejelasan dan cakupanya, naskh dalam Al-Qur’an dibai menjadi empat macam yaitu:
1. Naskh Sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat yang terdahulu. Misal ayat tentang perng (qital) pada ayat 65 surat Al-Anfal(8) yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh orang kafir:
يا يها النبي حرض المؤمنين على القتال  ان يكن منكم عشرون صا برون يخلبوا مائتين  وان يكن منكم مائة يخلبوا الفا من الذين كفروا با نهم قوم لايفقهو . (الانفال :   )
Artinya :
“Hai Nabi, korbankanlah semangat orang mukmin untuk berperang jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab oang-orang kafir adalah kaum-kaum yang tidak mengerti. “ ( QS.Al-Anfal : 65 )

 Dan menurut jumhur ulama’ ayat ini di-naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama:
الئن خفف الله عنكم وعلم ان فيكم ضعفا  فا ن يكن منكم ما ئة صا برة يغلبوا مائتين  وان يكن منكم الف يغلبواالفين باذ ن الله والله مع الصبرين . ( الانفال :     )
Artinya :
“ Sekarang Allah telah meringankankamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan. Maka jika ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika diantar kamu terdapat seribu  orang (yang sabar), mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.” ( QS.Al-Anfal : 66 )
2. Naskh dhimmy, yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan dan tidak dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta keduanya diketahui waktu turunya, ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Misalnya, ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam surat Al-Baqarah (2):
كتب عليكم اذاحضراحدكم الموت ان ترك خيراءلوصية للوالدين والااقربين بالمعروف  حقاعلى المتقين . ( البقرة :    )

Artinya :
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat bagi ibu bapak serta karib kerabatnya secara ma’ruf.“

Ayat ini di-naskh oleh suatu hadist yang mempunyai arti tidak ada wasiat bagi ahli waris.
3. Naskh kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya, ‘iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah (2) 234 di-naskh oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada ayat 240 dalam surat yang sama.
4. Naskh juz’i, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku pada semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu,atau menghapus hukum yang bersifat  muthlaq dengan ukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur (24) ayat 4, dihapus oleh ketentuan li’an, bersumpah empat kali dengan nama Allah, jika sipenuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama.
Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi naskh menjadi tiga macam yaitu:
1. Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah) secara bersamaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan diamalkan. Misal sebuah riwayat Al Bukhori Muslim yaitu hadis Aisyah R.A.
كان فيما أنزل من القران عشر رضعات معلومات فتو فيرسول الله صلى الله عليه وسلم وهن فيما يقرأ من القران
Artinya :
“ Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat Al-qur’an) adalah sepuluh radaha’at (isapan menyusu) yang diketahui, kemudian di naskh oleh lima (isapan menyusu) yang diketahui. Setelah rasulullah wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian Al-qur’an. “

2. Penghapusan terhadap hukumnya saja sedangkan bacaanya tetap ada. Misalnya ayat tentang mendahulukan sedekah ( QS.Mujadilah : 12 )
يايهاالذين امنوا اذا ناجيتم الرسول فقد موابين يدي نجوكم صدقة  ذ لك خيرلكمواطهر  فان لم تجدوا فان الله غفوررحيم . ( المجادلة :      )
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaknya kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang“ ( QS.Mujadilah : 12 ).

Ayat ini di Naskh oleh surat yang sama ayat 13:
ءاشفقتم ان تقدموا بين يدي نجو كم صدقت  فاذلمتفعلواوتاب الله عليكم فاقيمواالصلوة واتواالزكوة واطيعواالله ورسوله  والله خبيربما تعملون .
 ( المجادلة :    )
Artinya:
“Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul?maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu, maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.“ (QS.Al-Mujadilah:13)
3. Penghapusan terhadap bacaan saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Contoh kategori ini biasanya diambil dari yat rajam. Mula-mula ayat  rajam ini terbilang ayat Al-Qur’an. Ayat yang dinyatakan mansukh bacaanya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah :
أذازناالشيخ والشيخة فارجموهما
Artinya :
“ Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya“.

Cerita tentang ayat orang tua berzina diataas diturunkan berdsarkan riwayat Ubay bin Ka’ab bin Abu Umamah bin Sahl menurunkan bunyi yang bernada mengenai ayat yang dianggap bacaanya mansukh itu. Umamah mengatakan bahwa Rasulullah telah mengajarkan kami membaca ayat rajam :
الشيخ والشيخة فارجموهما البتة بماقضيا من الذة .
Artinya :
“Seorang pria tua dan seorang wanita tua, rajamlah mereka lantaran apa yang mereka perbuat dalam bentuk kelezatan (zina).”

2.4 Kemungkinan Terjadinya Nasikh dan Mansukh
Pendapat para jumhur ulama mengenai kemungkinan terjadinya nasakh dan mansukh.
1. Secara akal dan pandangan mungkin terjadi
Pendapat ini merupakan ijma’ kaum muslimin/jumhur ulama tidak ada perselisihan diantara para ulama tentang diperbolehkannya nasakh al-Qur’an dengan hadits.
Dalil mereka surat al-Baqarah ayat 106 yang artinya: “apa saja ayat kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia)lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya”. (Q.S. Al-Baqarah : 106). Dan An-Nahl ayat 101 yang artinya : “dan apabila kami letakkan suatu ayat yang lain sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui yang diturunkannya”. (Q.S. An-Nahl : 101).
2. Secara akal maupun pandangan tidak mungkin terjadi
Pendapat ini adalah pendapat sebagian besar datang dari kaum nasrani masa sekarang yang menyerang islam dengan dalih bahwa nasakh itu tidak mempunyai hikmah dan tidak beralasan, bahkan hal nasakh akan diketahui setelah kejadian itu sudah terjadi (sebelumnya tidak diketahui).
Tidak benar kalau mereka (yahudi dan nasrani) mengatakan bahwa segala sesuatu yang dilakukan Allah adalah sia-sia dengan kata lain tidak beralasan. Hal tesebut berlawanan dengan sifat Allah SWT, Allahlah yang mengetahui semua.
3. Secara akal mungkin namun secara pandangan tidak mungkin terjadi.
Pendapat ini merupakan pendapat golongan Inaniyah dari kaum yahudi dan pendirian Abu Muslim Ashifani. Mereka mengetahui terjadinya nasakh menurut logika, tetapi mereka mengatakan nasakh dilarang dalam Syara’ Abu Muslim Al-Asyifani dan orang-orang yang setuju dengan pendapatnya menggunakan dalil Al-Qur’an surat Al-Fushilat ayat 42 yang artinya : “yang datang kepadanya ( al-Qur’an) kebathilan baik dari depan maupun belakang”.

2.5 Cara Mengetahui Nasikh Mansukh dan Contohnya:
Nasikh dapat diketahui melalui beberapa hal berikut :
1. Ditetapkan dengan tegas oleh Rasulullah SAW, seperti hadits ;
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ أَلاَ فُزُوْرَهَا
“Semula aku melarangmu untuk berziarah ke kubur, tetapi (sekarang) berziarahlah“.
2. Melalui pemberitahuan seorang sahabat, seperti hadits Jabir bin Abdullah r.a. ia berkata :
كَانَ اخِرَ الامْرَيْنِ مِنْ رَسُوْلِ اللَّهِ ص.م. تَرْكَ الْوُضُوْءِ مِمَّا مَسَّتِ النّأرُ
“dua perintah terakhir Rasulullah SAW adalah tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang tersentuh api”. (HR.Abu Dawud dan al Nasa’i )
3. Melalui fakta sejarah, seperti hadits Syidad bin ‘Aus dan lainnya yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ  
“orang yang melakukan bekam dan orang yang dibekam batal puasanya”.

Dan hadits Ibnu Abbas r.a. ia berkata :
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ احْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ
“sesungguhnya Rasulullah SAW berbekam, padahal beliau sedang berpuasa“.

Dengan demikian, jelas bahwa hadits yang pertama (hadits Syidad) itu terjadi pada masa-masa penaklukan kota Makkah, yaitu pada tahun 8 Hijriyah dan hadits kedua (hadits Ibnu Abbas ) terjadi pada waktu Haji Wada’, yaitu pada tahun 10 Hijriyah. Jadi, hadits yang kedua merupakan Nasikh bagi hadits yang pertama.  

2.6 Ruang Lingkup Naskh
Imam Suyutti mengatakan ; Bahwa naskh hanya terjadi pada perintah(amr), dan larangan (nahyi), baik yang diungkap dengan redaksi sharikh (tegas) atau yang tidak tegas,Atau yang diungkap dengan kalimat berita (khabar), yang bermakna amr (perintah), atau yang bermakna nahy (larangan).
Dan persoalan tersebut di atas, tidak berhubungan dengan persoalan, akidah, baik mengenai Dzat Allah dan sifat-sifatNya, Kitab-kitabNya, Rasul-Nya, hari kiamat, janji dan ancaman, dan tidak bertentangan etika dan akhlaq, serta ibadah dan mua’malah, karena syari’at

شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَاوَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَاوَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَوَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلاَتَتَفَرَّقُوا فِيهِ .
Artinya:
“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (QS. ِAs-Syuraa: 13)

2.7 Hikmah Adanya Naskh
Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur'an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya Kitab Suci al-Qur'an tidak terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu Qur'an sendiri menjawab, pentahapan itu untuk pemantapan,(7) khususnya di bidang hukum. Dalam hal ini Syekh al-Qasimi berkata, sesungguhnya al-Khalik Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu mulanya bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan yang lain, sehingga bersifat universal. Demikianlah Sunnah al-Khaliq diberlakukan, terhadap, perorangan, dan, bangsa-bangsa, dengan, sama. Jikaengkau melayangkan pandanganmu ke alam yang hidup ini, engkau pastikan mengetahui bahwa naskh (penghapusan) adalah undang-undang alami yang lazim, baik dalam bidang material maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari unsur-unsur sperma  dan telur  kemudian menjadi janin, lalu berubah menjadi anak, kemudian tumbuh menjadi remaja, dewasa, kemudian orang tua dan seterusnya. Syari'at Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya. Dia-lah yang Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari'at-Nya, Dia mendidik manusia hidup  tertib dan adil untuk mencapai kehidupan yang aman, sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.






BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
- Dari segi bahasa nasikh bisa diartikan sebagai menghilangkan, pembatalan, menghapus, mengganti, menukar.
- Secara etimologi dapat diartikan dengan yang dihapus, dinukil, disalin, selain itu ada juga yang mengartikan المرتفعالحكم [4] yaitu “hukum yang diangkat”. Sedangkan secara terminology adalah hukum syara’ yang pertama yang belum diubah, dan dibatalkan atau diganti dengan oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.



















DAFTAR PUSTAKA

http://itarizki.blogspot.com/2011/04/style-definitions-table_2%203.html  (Diakses 28 September 2014 : 14.15)
Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas Al Qur’an; Kritik Terhadap Ulumul Qur’an,  Jogyakarta: LKis Pelangi Aksara, cet 4 2005
Al Qattan, Manna’ Khalil, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, diterj. Mudzakir, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: PT Pustaka Litera AntarNusa, cet 14, 2011.
————–, Pengantar studi ilmu Al Qur’an, diterj, H.Aunur Rafiq El Mazni, Jakarta: Pustaka al Kautsar, cet 4, 2009
Baidan, Nashruddin, Prof.Dr, wawasan baru ilmu tafsir, Yogyakarta: Pustaka pelajar, cet I, 2005.
Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits, Bandung : PT : Remaja Rosdakarya, 2012, hal. 348-349
Imam Al-Subki, Jam' al-Jawami'. Prodial Pratama Sejati Press. 2007.hal.32.
Muhammad Ali Al-Shabuni, Rawai'al-BayanAl-Qasimi, Mahasin al-Ta'wil. Diadit Media . 2007.hal. 37.

________________________________________
[1] Muhammad Abd Azhim Al-Zarqany, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, hal. 176
[2] Quraish Shihab,  Membumikan Al-Qur’an, (Bandung : MIzan, 1992), Hal. 114
[3] Ibid
[4] Manna’ Khalil Qattan, Mahabits fi ‘Ulumil Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, Cet. 2004, HAL. 224.
[5] Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqani, Op. Cit, Hal 198
[6] Manna’ Khalil Qattan, Op. Cit, Hal. 230
[7] Manna’ Khalil Qattan, Op. Cit, Hal. 226

Tidak ada komentar:

Posting Komentar