Senin, 14 Januari 2019

AL-IHTIFAAL BI AL- MAULID AN-NABAWI SAW PERSPEKTIF HADITS


AL-IHTIFAAL BI AL- MAULID AN-NABAWI SAW
PERSPEKTIF HADITS
I.             PENDAHULUAN
Sejarah selalu meninggalkan ‘ruang kosong’ atau ‘misteri’ bagi manusia sesudahnya. Dibalik kemisterian itu, akan muncul sebuah usaha yang dilakukan untuk mencari kenyataan sejarah yang ada. Serta akan selalu menimbulkan ‘kontroversi’ yang membuat dinamika kehidupan semakin berkembang.
Dalam tradisi sejarah Islam, banyak hal yang masih harus dikaji dan diteliti kebenarannya. Salah satunya adalah sebuah tradisi perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Terlebih lagi soal kontroversi apakah perayaan Maulid Nabi SAW merupakan tuntunan yang diwajibkan atau disunnahkan atau sebuah hal yang tidak ada sandaran hukumnya.
Indonesia, sebuah negeri yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, memiliki dan melaksanakan tradisi perayaan Maulid Nabi SAW setiap tahunnya yaitu pada bulan Rab’iul Awwal, bahkan hari kelahiran Nabi SAW tersebut menjadi Hari Libur Nasional, sebuah perhatian khusus dari pemerintah untuk menghormati pribadi Agung Nabi Muhammad SAW.
Sesuai dengan pernyataan diatas, bahwa sejarah selalu menyisakan berbagai pertanyaan, perayaan Maulid Nabi SAW menjadi topik hangat yang menimbulkan kontroversi pendapat yang nampak dari perbedaan pendapat para ulama akan perayaan tersebut.
Ada dua pendapat mengenai perayaan Maulid Nabi SAW yaitu, pendapat pertama yang mengatakan bahwa perayaan Maulid Nabi SAW adalah satu perbuatan yang dianjurkan bagi umat Islam.[1] Sedangkan pendapat kedua adalah yang menyalahkan atau tidak membolehkan perayaan tersebut karena perbuatan itu termasuk bid'ah yang tidak pernah dilakukan Rasullullah SAW dan para Sahabat.[2]  Perbedaan ini cenderung menimbulkan konflik internal umat Islam sampai saat ini, dan sangat mungkin, sekelompok umat Islam akan merasa alergi jika mendengar hal-hal yang berbeda pendapatnya.[3]
Kontroversi ini tidak akan pernah ada ujungnya, artinya ia tidak akan berkompromi untuk saling mencari kesamaan dan membenarkan satu dengan lainnya, karena masing-masing pendapat memiliki sandaran yang diyakini kebenarannya. Pemakalah tidak akan memberikan vonis tentang kebenaran akan kontroversi yang ada. Cara yang bersifat kompromis adalah dengan merunut hulu atau sumber perbedaan yaitu dengan cara meneliti hadits-hadits yang berhubungan dengan perayaan Maulid Nabi SAW yang dijadikan Hujjah oleh kedua pihak.
Makalah ini akan memaparkan Pengertian Perayaan Maulid Nabi SAW, Teori Asal-usul Perayaan Maulid Nabi SAW, Dasar / Dalil Hadits Perayaan Maulid Nabi SAW, Kontroversi Perayaan Maulid Nabi SAW, serta Sebuah Pandangan / Analisis terhadap Kontroversi yang ada.
II.          PEMBAHASAN
A.           Pengertian Al-Ihtifaal Bi Al-Maulid An-Nabawi SAW
Dalam bahasa Arab, kata Ihtifaal berasal dari ha-fa-la yang berarti Tajamma’a, diwakili dalam bahasa Inggris dengan kata to gather.[4] Dalam bahasa Indonesia dipakai kata berkumpul sebagai arti dari kata tersebut. Kata Ihtafala dan disambung dengan huruf bi, maka kata ini bermakna pay attention to, atau memberikan perhatian, merperdulikan.[5]
Kata Maulid berakar kata wa-la-da berarti to give birth, melahirkan.[6] Diawali dengan huruf Mim, kata Maulid adalah bentuk ism zaman atau keterangan waktu kelahiran. Dan kata An-Nabawi, berarti Nabi Muhammad SAW.
Secara lengkap kalimat Al-Ihtifaal Bi Al-Maulid An-Nabawi SAW berarti memberikan perhatian khusus kepada hari kelahiran Nabi SAW. Kata Ihtifaal terkadang diganti dengan kata haflah, dua kata ini memiliki arti yang hampir sama dilihat dari sisi penggunaannya.
Perayaan hari kelahiran Nabi SAW diperingati oleh umat Islam pada bulan Rabi’ul Awwal setiap tahunnya. Hanya saja para sejarawan berbeda pendapat dalam menentukan hari kelahiran Nabi SAW.
Jumhur ulama berpendapat bahwa hari kelahiran Nabi SAW pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awwal pada tahun peristiwa ‘Gajah’.[7] Saat itu belum ada penanggalan Hijriyah yang menetapkan usia Tahun, hanya tanggal dan bulan saja yang sudah dikenal. Hal ini senada dengan apa yang ditulis oleh Abdul Waheed Khan, Nabi SAW lahir pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awwal dan dikonversi ke penanggalan Masehi bertepatan dengan 20 April 570 Masehi.[8]
Berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Safi’ur Rahman Mubarakfuri, seorang pemenang King Sa’ud Award dalam bidang penulisan sejarah Nabi Muhammad SAW tahun 2000, bahwa Nabi SAW dilahirkan di perkampungan Bani Hasyim di Mekkah pada hari Senin tanggal 9 Rabi’ul Awwal tahun ‘Gajah’, dan jika dikonversi ke Masehi, bertepatan dengan 20 atau 22 April 571 M.[9]
Terlepas dari perbedaan sejarawan dalam menetapkan hari lahir Nabi Muhammad SAW, prosesi perayaan Maulid Nabi SAW merupakan sebuah kenyataan yang sudah hadir dalam tradisi umat Islam sejak dahulu, yang masih menyisakan beberapa persoalan.
B.           Teori Asal-usul Perayaan Maulid Nabi SAW
Perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW ini telah dilakukan oleh umat Islam sejak 300 tahun sesudah wafat Nabi Muhammad SAW. Perayaan ini tidak didapati di masa Nabi SAW, atau Sahabat atau Tabi’in.[10] Dan pendapat tentang siapa yang awal mula melaksanakan perayaan ini menjadi bahasan tersendiri yang sangat menarik karena penuh dengan perbedaan.
Ada tiga teori tentang asal-usul perayaan Maulid Nabi SAW yang sering diungkap oleh sejarawan :
1.            Teori yang mengatakan bahwa awal mula perayaan Maulid Nabi SAW dimunculkan oleh Bani Ubaid yang bermazhab Syi’ah pada abad ke 3 H, sebuah suku yang memproklamirkan kelompok mereka sebagai keturunan dari Fatimah Az-Zahra binti Muhammad SAW.[11]
Bani Ubaid adalah cikal bakal dinasti Fatimiyah yang berdomisili di wilayah Maghrib (sekarang Maroko, Afrika Utara). Suku ini memiliki beberapa perayaan yang kemudian menjadi perayaan wajib bagi dinasti Fatimiyah. Perayaan tersebut dikenal dengan Al-Maulid As-Sittah (enam hari lahir) yaitu :[12]
a.             Perayaan Maulid Nabi SAW.
b.            Perayaan Maulid Ali ibn Abi Thalib.
c.             Perayaan Maulid Hasan ibn Ali.
d.            Perayaan Maulid Husain ibn Ali.
e.             Perayaan Maulid Fatimah binti Muhammad SAW.
f.              Perayaan Maulid Khalifah yang sedang memimpin.
Terdapat beberapa perbedaan pendapat para sejarawan tentang asal-usul Bani Ubaid dengan pemimpinnya yaitu Ubaidullah Al-Mahdi. Disatu sisi, dikatakan bahwa ia bukan keturunan Fatimah binti Muhammad SAW. Tetapi banyak juga sejarawan yang berkeyakinan bahwa Ubaidullah Al-Mahdi adalah keturunan sah Fatimah binti Muhammad SAW. Hal ini diperkuat dengan adanya pengesahan resmi dari Khalifah Bani Umayyah yang ditulis dalam sebuah surat edaran kepada masyarakat di Maghrib.[13]
2.            Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pertama kali diperkenalkan oleh seorang penguasa Dinasti Fatimiyah pada abad 4 H di Kairo, Khalifah Al-Mu’iz Li Dinillah.
Ketika khalifah Mu’iz menguasai Mesir, kota ini kemudian terkenal dengan sebutan muizziyah. Disinilah perayaan Maulid Nabi SAW mulai dipopulerkan oleh khalifah.[14] Ada misi politis dibalik perayaan ini, yaitu khalifah dinasti Fatimiyah ingin melegitimasi kekuasaannya dengan cara memperkuat keyakinan akan absahnya silsilah keturunan Fatimah binti Muhammad SAW. Misi politik dari peringatan ini terlihat dari pelarangan akan perayaan Maulid Nabi SAW tersebut oleh khalifah selanjutnya.
Kemudian peringatan Maulid diadakan lagi untuk menegaskan bahwa keluarga Dinasti Fatimiyah adalah betul-betul keturunan Nabi Muhammad SAW. Penegasan hubungan geneologi ini sangat diperlukan untuk mengesahkan "hak" keluarga Fatimiyah sebagai "pewaris kekuasaan politiknya" Nabi Muhammad.
3.            Awal mula perayaan maulid dilakukan oleh Al-Malik Muzaffar al-Din Kaukaburi di kota Irbil.[15]
Pernyataan al-Suyuthi ini nampaknya diambil dari ungkapan Ibn Katsir dalam kitabnya Al-Bidayah wa al-Nihayah fi Tarikh yang mengatakan bahwa al-Malik al-Muzaffar Abu Sa’id Kaukaburi Ibn Zain al-Din ‘Ali Ibn Baktakin[16] adalah seorang penguasa yang mulia yang selalu menjalankan ibadah maulid pada bulan Rabi’ul Awal dan merayakannya secara meriah.
Salah satu motif penyelenggaraan perayaan Maulid Nabi SAW pada saat ini adalah polits, yaitu meningkatkan gairah dan motivasi umat Islam dalam menghadapi perang salib yang dipimpin oleh Solahuddin Al-Ayyubi. Al-Malik Muzaffar Ad-Din adalah salah satu orang kepercayaan Solahuddin, yang kemudian menikahi adik Solahuddin, Rabi’ah Khatun.[17]
C.           Dasar / Dalil Hadits Perayaan Maulid Nabi SAW
Berbagai dasar dihadirkan para ulama yang menganjurkan perayaan Maulid Nabi SAW, baik dari al-Qur’an, al-Hadits, Atsar maupun pandangan akal dan rasio. Di bawah ini ditulis beberapa dalil Hadits Nabi SAW dan Atsar yang dinisbahkan kepada sahabat (Khulafa ar-Rasyidin) dalam keutamaan perayaan tersebut. Ada dua jenis (kategori) dalil yang ada, yaitu dalil yang menunjuk langsung tentang perayaan dan dalil yang tidak menunjuk langsung.
1. Hadits tentang puasa Asyura :
عن ابن عبّاس رضي الله عنه قال : أن رسول الله قدم المدينة، فراى اليهود تصوم  يوم عاشوراء فقال لهم رسول الله : ما هذا اليوم الذي تصومونه ؟ قالوا : هذا يوم عظيم (صالح)، أنجى الله فيه (بنى اسرائيل) موسى وقومه، وغرَّق فرعون وقومه، فصامه موسى شكرا، فنحن نصومه تعظيما له ,فقال :فنحن أحق وأولى بموسى منكم فأمر بصيامه.
Artinya : Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi SAW mendatangi Madinah, dan beliau menjumpai Yahudi berpuasa pada hari Asyuro, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: Hari apakah ini? Mereka menjawab: Ini adalah hari agung, hari Allah menyelamatkan Musa dan pengikutnya dan menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya, lalu Musa berpuasa sebagai ungkapan syukur, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Kami lebih berhak dengan Musa daripada kalian, akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa dan memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu. (HR. Al-Bukhari dan Muslim) [18]
Hadits di atas menggambarkan sebuah kejadian tatkala Nabi SAW sampai di Madinah, mendapati komunitas Yahudi sedang berpuasa pada hari Asyura (hari kesepuluh) bulan Muharram disebabkan peristiwa dimana Allah SWT menyelamatkan Nabi Musa as. dan kaum Bani Isra’il dari pengejaran Firaun dan tentaranya dengan cara menenggelamkan Firaun. Hari ini dijadikan hari yang sangat bersejarah (azhim) bagi kaum Yahudi, sehingga mereka mengungkapkan rasa syukur dengan berpuasa seperti yang dilakukan Musa as.
Pada keterangan ini, dikatakan Nabi SAW merasa lebih berhak memiliki sejarah dan ‘mengadopsi’ rasa syukur dari peristiwa Musa as, hingga memerintahkan umat Islam untuk berpuasa Asyura pada tanggal 10 Muharram. Hanya saja kemudian Nabi SAW meralat, agar tidak menyamai perilaku Yahudi, mengubah puasa Asyura pada tanggal 9 Muharram, meskipun hal ini tidak pernah dilakukan Nabi SAW karena telah wafat.
Tidak ada perintah untuk merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW, tetapi hadits di atas memiliki ‘makna’ bahwa Nabi SAW memerintahkan untuk ‘mensyukuri’ peristiwa yang telah lalu dengan berpuasa. Inilah ‘gerbang’ atau ‘pintu pembuka’ bagi ulama yang menganjurkan perayaan Maulid Nabi SAW sebagai ungkapan rasa ta’zhim dan syukur.
Ibnu Hajar Al-Asqalani, menjelaskan bahwa jika Nabi SAW mengapresiasi keberhasilan Musa as atas pertolongan Allah SWT, maka kenapa kita tidak bisa dan tidak boleh mengapresiasi keberhasilan perjuangan Nabi SAW atau peristiwa kelahirannya yang agung.[19] Bukankah kesyukuran dapat diapresiasikan dan diekspresikan dalam berbagai cara? Bukankah Allah SWT telah menjelaskan dengan pasti bahwa Nabi SAW diutus untuk menjadi Rahmat bagi Alam yang harus disyukuri? Sebagaimana Allah SWT firmankan :
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9 
Artinya : Dan tidaklah Kami utus kamu (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.[20]
2. Hadits tentang puasa hari Senin :
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ ) رواه الإمام مسلم في الصحيح في كتاب الصيام(
Artinya : Dari Abi Qotadah al-Anshori ra. sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku. (HR. Muslim)[21]
Hadits ini dijadikan sandaran untuk perayaan Maulid Nabi SAW karena tertera dengan jelas bagaimana Nabi SAW mensyukuri hari kelahirannya dengan cara berpuasa di hari Senin, yang menjadi ibadah sunnah. Jika puasa adalah ibadah, maka apresiasi dalam bentuk lain juga harusnya dibolehkan, seperti It’am Al-Masakin, Dzikr Wa Qiro’ah Al-Qur’an atau Ijtima’ Bi Dzikr Shalawat ‘Ala An-Nabi SAW.[22]
Dua hadits di atas inilah yang dinilai cukup kuat untuk melegalisasi perayaan Maulid Nabi SAW, dan selalu dijadikan hujjah kebolehannya.
3. Perkataan yang di katakan sebagai hadits :
من عظم مولدى كنت شفيعاله يوم القيامة, ومن أنفق درهما فى مولدى فكأنما أنفق جبلا من ذهب فى سبيل الله .
Artinya : Barangsiapa yang merayakan hari kelahiranku, maka aku akan menjadi pemberi syafa'atnya dihari Kiamat. dan berangsiapa yang menginfaqkan satu dirham untuk maulidku maka seakan-akan dia telah menginfaqkan satu gunung emas di jalan Allah.[23]
Istilah syafa’at ini kemudian menjadi populer di kalangan umat Islam, terlebih dalam perayaan Maulid Nabi SAW. Perayaan Maulid disejajarkan dengan apa yang disebut dengan infaq, yaitu memberikan harta kepada orang lain yang membutuhkan.
Keterangan di atas dijadikan hujjah oleh Syaikh Imam Nawawi Al-Bantani, ulama asal Indonesia yang kemudian menetap di Mekkah dan menulis beberapa kitab seperti Uqud Al-Lujjain Fi Bayani Huquq Az-Zaujan. Tetapi khusus soal perayaan Maulid Nabi SAW, Imam Nawawi menulis keterangan di atas dalam Kitab Madarij Ash-Shu’ud Fi Iktisa’I Al-Burud. Sebuah kitab yang memuat beberapa keterangan pendukung atau dasar bagi kebolehan perayaan Maulid nabi SAW. Hanya saja tidak dicantumkan bagaimana periwayatan keterangan (yang dianggap hadits) tersebut sehingga menimbulkan berbagai pertanyaan bagi orang yang membacanya.
4. Atsar yang dinisbahkan kepada Sahabat :[24]
وقال أبوبكر الصديق رضى الله عنه من انفق درهما فى مولد النبى صلى الله عليه وسلم كان رفيقى فى الجنة

Artinya : Sahabat Abu Bakar ra. berkata, Siapa infaq satu dirham pada Maulid Nabi SAW maka ia menjadi temanku disurga.


وقال عمر رضى الله عنه من عظم مولد النبى صلى الله عليه وسلم فقد أحيا الإسلام

Artinya : Sahabat Umar ra berkata, Siapa mengagungkan Maulid Nabi SAW maka ia benar-benar menghidupkan Islam.
وقال عثمان رضى الله عنه من انفق درهما على مولد النبى صلى الله عليه وسلم فكأنما شهد يوم وقعة بدر وحنين

Artinya : Sahabat Utsman ra. Berkata, Siapa infak satu dirham atas Maulid Nabi SAW maka seolah-olah ia menyaksikan hari perang Badar dan perang khunain.


وقال على كرم الله وجهه من عظم مولد النبى صلى الله عليه وسلم لايخرج من الدنيا إلا بالإيمان

Artinya : Sahabat Ali ra berkata, Siapa mengagungkan Maulid Nabi SAW, maka ia tidak keluar dunia kecuali dengan membawa iman.
Indahnya kenikmatan bagi siapapun yang merayakan Maulid Nabi SAW dan melakukan segala bentuk kebaikan pada momen tersebut merupakan gambaran keniscayaan perayaannya. Siapa yang tidak ingin menjadi pendamping para sahabat di surga?
Empat pernyataan sahabat (khalifah Ar-Rasyidin) diatas juga termaktub dalam kitab Imam Nawawi, dan sama dengan keterangan sebelumnya, tidak pula dicantumkan sumber yang menjadi rujukan perkataan di atas.
Inilah dasar yang secara langsung atau tidak langsung menjelaskan kebolehan dan keutamaan perayaan Maulid Nabi SAW, dan hal ini sangat populer di kalangan umat Islam serta dipercaya dan diyakini menjadi kebaikan dalam mengamalkannya.
D.          Kontroversi Hukum Perayaan Maulid Nabi SAW
Perbedaan pandangan umat Islam dalam masalah bagaimana status hukum atau boleh tidaknya perayaan Maulid Nabi SAW sudah muncul sejak lama, dan ulama atau orang-orang yang memiliki pengetahuan menjadi penggerak masing-masing pendapat. Dalam sejarahnya, ada dua motif yang mendasari perbedaan ini yaitu motif politis dan motif teologis (syar’i).
Motif politis nampak ketika awal perayaan ini diadakan yaitu Bani Ubaid yang menjadi cikal bakal dinasti Fatimiyah di Maghrib. Untuk melegalisasi dan memperkuat status keturunan Fatimah binti Muhammad SAW.[25]
Pada saat kekuasaan dinasti Fatimiyah berkuasa di Mesir (Kairo), perayaan ini pernah dilarang atau dihentikan untuk sementara waktu, disebabkan kondisi perpolitikan yang tidak kondusif karena terjadi perpecahan dalam pemerintahan.[26] Kemudian disaat dinasti Ayyubiyah (mazhab Sunni) berhasil merebut kekuasaan dari dinasti Fatimiyah di Mesir, keagiatan perayaan sempat dihentikan beberapa waktu, sampai akhirnya Al-Malik Muzaffar Ad-Din bermusyawarah dengan Salahuddin Al-Ayyubi menghidupkan kembali tradisi perayaan dengan tujuan meningkatkan gairah perjuangan umat Islam, disertai dengan perlombaan penciptaan puisi tentang kehidupan Nabi SAW. Muncullah sebuah karya puisi kehidupan Nabi SAW dengan judul Iqd al-Jawahir (Kalung Permata). Namun, dalam perkembangannya, nama pengarangnyalah yang lebih masyhur disebut, yaitu Syekh Ja'far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad al-Barzanji. Dia seorang sufi yang lahir di Madinah pada 1690 M dan meninggal pada 1766 M.
Bagaimana dengan motif teologis (syar’i)?
Ibn Taimiyah adalah salah satu ulama yang tidak membolehkan perayaan Maulid Nabi SAW, dijelaskan bahwa ketidak bolehan ini disebabkan beberapa hal, yaitu :[27]
1.            Tidak adanya perintah dari Nabi SAW.
2.            Tidak adanya contoh yang dilakukan oleh para Sahabat, tabi’in dan Salaf, meski tidak adanya larangan. Sebab jika hal ini dianggap baik, tentunya para ahlus salaf sudah melakukan hal ini.
3.            Hadits tentang puasa Asyura dan puasa hari Senin tidak bisa dijadikan sandaran, disebabkan bukan dalil asal untuk merayakan Maulid Nabi SAW.
4.            Qiyas tidak dapat dijadikan hujjah dalam bidang ibadah. Sebab yang menjadi alas an bahwa Nabi SAW memuliakan hari kelahiran dengan puasa adalah Illah yang tidak boleh digunakan.
5.            Perayaan Maulid masuk ke kategori Bid’ah dan semua bid’ah adalah dhalalah fi an-nar.
Sedangkan persoalan beberapa keterangan yang dianggap hadits dan atsar sahabat yang termaktub dalam Kitab Madarij Ash-Shu’ud karya Imam Nawawi Al-Bantani, setelah diteliti, merupakan perkataan yang tidak ada sumber dalam kitab hadits manapun.[28] Pujian kepada Nabi SAW sebagai pemberi syafa’ah, ampunan, dan keselamatan adalah perbuatan syirik karena pujian seperti itu menempatkan Nabi dalam kapasitas sebagai pemberi keselamatan, sebuah status yang menjadi hak mutlak Tuhan saja.
Sejarah mencatat beberapa tokoh (ulama) membolehkan bahkan menganjurkan perayaan ini seperti :[29]
1.            Imam As-Suyuthi
2.            Ibn Dahiyah
3.            Ibn Al-Jaziri
4.            Ibn Nashir Ad-Dimasyqi
5.            Ibnu Hajar Al-Asqalani
Imam As-Suyuthi lebih menekankan kepada tujuan dan aktifitas yang ada dalam apresiasi perayaan maulid, jika dilakukan dengan cara yang batil maka ia tidak boleh dilakukan, tetapi jika dilakukan dengan segala bentuk kebaikan seperti dzikr sirah nabi, it’am masakin, infaq, dll, maka hal ini harus dilestarikan. Tujuan kebaikan dari tradisi inilah yang tetap dan harus dilaksanakan.[30]
Keterangan tentang kebolehan perayaan Maulid Nabi SAW telah dijelaskan pada sub-bab Dalil/dasar perayaan Maulid Nabi di atas.
E.           Sebuah Pandangan / Analisis Terhadap Kontroversi
Ada banyak penjelasan sejarawan yang membuka fikiran penulis, dimulai dari asal-usul perayaan dan pencetus serta motifnya. Kemudian, keberlangsungan perayaan pada masa awal sejarahnya setelah berganti khilafah. Perdebatan tentang siapa sebenarnya Ubaid al-Mahdi menjadi topik menarik dan penting untuk menelusuri motif perayaan ini. Berbekal perdebatan tersebut, beberapa pertanyaan muncul :
1.            Jika latar belakang Ubaid al-Mahdi yang disinyalir berasal dari keturunan Yahudi, wajar jika tidak pernah dimunculkan dalil syar’i tentang perayaan maulid, dan hanya bermotif politik saja. Lantas, mungkinkah Ubaid Al-Mahdi terinspirasi dari tradisi agama yang dianut sebelumnya yaitu Yahudi?
2.            Pada saat Solahuddin Al-Ayyubi melegitimasi perayaan maulid, sangat jelas motif politisnya dan tidak pula dimunculkan dasar syar’i, maka bukankah awal mula mazhab sunni mengakomodir perayaan ini juga tidak memiliki landasan syar’i?
3.            Jika dari awal munculnya perayaan ini bermotif politis, apakah layak persoalan perayaan ini dengan dibahas dengan menggunakan landasan syar’i?
Persoalan perayaan Maulid Nabi SAW akan lebih jelas fahami jika dirunut dari hulu sejarahnya, sehingga bisa membuka pemahaman yang fundamental dan holistik.
III.       KESIMPULAN
Ada beberapa hal yang perlu diberikan catatan dari pembahasan di atas :
1.            Al-Ihtifal Bi Maulid An-Nabawi adalah tradisi atau perilaku umat Islam yang diformat dalam berbagai bentuk acara, untuk menghormati dan perwujudan rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW.
2.            Dari beberapa teori asal-usul perayaan Maulid Nabi SAW, yang muncul paling awal adalah teori Bani Ubaid Al-Mahdi, cikal bakal dinasti Fatimiyah di Maghrib, dan ini melemahkan beberapa teori lain yang hadir setelah masa dinasti Fatimyah di Maghrib.
3.            Tidak ada satu dalil (hadits) yang bersifat qath’i atau pasti ketetapannya tentang perayaan Maulid Nabi SAW. Beberapa dalil yang menunjuk langsung kepada perayaan Maulid dan dijadikan rujuan ulama, tidak didapati di dalam kitab Hadits manapun (Kutub At-Tis’ah) bahkan masuk ke dalam kategori La Asla Lahu. Dan dalam disiplin ilmu hadits, ketika sebuah dalil tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, maka ia tertolak dan amalannya menjadi batal.
4.            Kontroversi kebolehan perayaan Maulid Nabi SAW tidak akan pernah berakhir, ketetapan para ulama telah tertulis dan diyakini oleh penganutnya. Persoalan ini akan menjadi jelas jika dirunut kembali sejarah awal serta motivasi yang melatarbelakangi perayaan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Azamimi, Izzuddin Madhi, Basya’ir Al-Akhbar Fi Maulid Al-Mukhtar, Kairo, Dar Al-Madinah Al-Munawwaroh, 1985.
Ba’albaki, Al-Maurid, Beirut, Dar Al-Ilm Al-Malayin, 1995.
Cholil, Munawar, dan A. Hasan dan dalam Fiderspiel: The Persatuan Islam : Moenawar Chalil, Fatwa Oelama jang Haq tentang Bid’ah Maoeloedan,  Pembela Islam No. 65.
Hamad, Muhammad Ibn Ali Ibn, Akhbar Muluk Bani Ubaid Wa Sirotuhu, Kairo, Dar Ash-Shohwah, TT.
Hamim, Thoha, Pesantren dan Tradisi Maulid, Telaah atas Kritik terhadap Tradisi Membaca Kitab Maulid di Pesantren, dalam Makalah disampaikan dalam acara Dies Natalies ke-32 IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Al-Hasani, Muhammad Alawi Al-Makki, Haul Al-Ihtifal Bi Dzikri Al-Maulid An-Nabawi Asy-Syarif, T.K., www.kitabklasik.co.cc, T.T.
Hisyam, Ibn, Tahdzib Sirah Ibn Hisyam, terj, Inas A. Farid, Kairo, Al-Falah Foundation, 2000.
Al-Hanini, Nashir Ibn Yahya, Al-Maulid An-Nabawi Tarikhuhu Hukmuhu Wa Atsarohu, Ar-Riyadh, T.P, 1422 H.
Kabbani, Muhammad Hisyam, Maulid & Ziarah Ke Makam Nabi SAW, terj. A. Syamsu Rizal, Jakarta, Serambi, 2007.
Khan, Abdul Waheed, The Life Of Prophet Muhammad, Riyadh, IIPH, 2002.
Al-Khayyath, Abd Ar-Rahman Ibn Abd Al-Mu’im, Maulid An-Nabi, Kairo, Dar Al-Afaq Al-Arabiyah, 2002.
Al-Makki, Muhammad Ali Ibn Husain Al-Maliki, Al-Hady At-Tam Fi Mawarid Al-Maulid An-Nabawi, T.K., T.P., 1421 H.
Al-Maqrizi, Taqi Ad-Din Ahmad Ibn Ali, Al-Mawa’izh Wa Al-I’tibar Bi Dzikri Al-Khuthot Wa Al-Atsar, T.K, www.al-mostafa.com, T.T.
Al-Mubarakpuri, Safi’ Ar-Rahman, Ar-Rahiiq Al-Makhtum, India, Maktaba Dar As-Salam, 2000.
Al-Musawa, Munzir, Kenalilah Aqidahmu, www.majelisrasulullah.org.
Ali Mustofa Ya'qub, Hadits-Hadits Bermasalah, Cet.3, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2005.
As-Sandubi, Hasan, Tarikh Ikhtifal Bi Al-Maulid An-Nabawi Min Ashr Al-Islam Al-Awwal Ila Ashri Faruq Al-Awwal, Kairo, Matba’ah Al-Istiqomah, 1948.
As-Suyuthi, Jalal Ad-din Abd Ar-Rahman, Hushn Al-Maqsid Fi ‘Amal Al-Maulid, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1985.
As-Suyuthi, Jalal Ad-din Abd Ar-Rahman, Al-Hawi Li Al-Fatawa, Juz I & II, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1983.
At-Thanthawi, Ali, Rijal Min At-Tarikh, Jilid II, Jeddah, Dar Al-Minaroh, 1990.
Az-Zain, Mahmud Ahmad, Al-Bayan An-Nabawi ‘An Fadhl Al-Ihtifal Bi Maulid An-Nabawi, Dubai, Dar Al-Buhuts Li Ad-Dirasah Al-Islamiyah Wa Ihya’ At-Turats, 2005.
As-Sidawi, Abu Ubaidah, Mengkritisi Hadits Populer, ebook, hlm. 56-57.

Ebook Sahih Al-Bukhari, Kairo, Natata Software, 2002.
Ebook Sahih Muslim, Kairo, Natata Software, 2002.


[1] Salah satu ulama yang membolehkan perayaan Maulid Nabi adalah Imam As-Suyuthi, seorang ulama mazhab Asy-Syafi’i, dan untuk melihat pendapatnya tentang kebolehan perayaan ini, Lihat Al-Suyuthi, Husn al-Maqsid fi ‘Amal al-Mawlid (Dar al-Kutub: al-’Ilmiyah, 1985).
[2] Mereka yang menolak peringatan maulid menganggap bahwa peringatan maulid yang dilakukan adalah perbuatan tercela (bid’ah dhalalah). Selanjutnya, mereka munuduh bahwa dengan tetap mempertahankan tradisi maulid, berarti telah mengesahkan amalan yang dicela Islam. Lihat Thoha Hamim, Pesantren dan Tradisi Maulid, Telaah atas Kritik terhadap Tradisi Membaca Kitab Maulid di Pesantren, dalam Makalah disampaikan dalam acara Dies Natalies ke-32 IAIN Sunan Ampel Surabaya. Juga Lihat A. Hasan dan Munawar Cholil dalam Fiderspiel: The Persatuan Islam : Moenawar Chalil, Fatwa Oelama jang Haq tentang Bid’ah Maoeloedan,  Pembela Islam No. 65.
[3] Al-Musawa, Kenalilah Aqidahmu, www.majelisrasulullah.org., hlm. 14.
[4] Ba’albaki, Al-Maurid, Beirut, Dar Al-Ilm Al-Malayin, 1995, hlm. 479.
[5] Ibid
[6] Ibid, hlm. 1247.
[7] Hisyam, Tahdzib Sirah Ibn Hisyam, terj, Inas A. Farid, Kairo, Al-Falah Foundation, 2000, hlm. 21. Berdasarkan data yang dimilikinya, Ibn Hisyam tidak menyebut tahun kelahiran Nabi SAW secara pasti, ia hanya menyebut bertepatan dengan peristiwa ‘Gajah’. Hal ini disebabkan penanggalan Hijriyah belum dimulai.
[8] Khan, Abdul Waheed, The Life of Prophet Muhammad, Riyadh, IIPH, 2002, hlm. 11.
[9] Penanggalan ini berdasarkan hitungan Falak seorang ulama bernama Muhammad Sulaiman al-Manshurfuri dan Mahmud Basya, pakar ilmu falak di India. Lihat Al-Mubarakpuri, Safi’ Ar-Rahman, Ar-Rahiiq Al-Makhtum, India, Maktaba Dar As-Salam, 2000, hlm. 15.
[10] Al-Hanini, Nashir Ibn Yahya, Al-Maulid An-Nabawi Tarikhuhu Hukmuhu Wa Atsarohu, Ar-Riyadh, T.P, 1422 H, hlm. 2.
[11] Al-Maqrizi, Taqi Ad-Din Ahmad Ibn Ali, Al-Mawa’izh Wa Al-I’tibar Bi Dzikri Al-Khuthot Wa Al-Atsar, T.K, www.al-mostafa.com, T.Th., hlm. 490.
[12] Ibid.
[13] Para ahli nasab menjelaskan bahwa sesungguhnya Ubaid berasal dari keturunan Al-Qaddah beragama Majusi, pendapat lain menjelaskan bahwa dia adalah anak seorang Yahudi yang bekerja sebagai pandai besi di Syam. Dinasti ini menganut paham Syiah Bathiniyah; diantara kesesatannya adalah bahwa para pengikutnya meyakini Al Mahdi sebagai tuhan pencipta dan pemberi rezki, setelah Al-Mahdi mati anaknya yang menjadi raja selalu mengumandangkan kutukan terhadap Aisyah istri Rasulullah SAW di pasar-pasar. Penjelasan lengkap tentang asal-usul dan perdebatan sejarawan tentang Bani Ubaid, lihat Hamad, Muhammad Ibn Ali Ibn, Akhbar Muluk Bani Ubaid Wa Sirotuhu, Kairo, Dar Ash-Shohwah, TTh., hlm. 3-52.
[14] As-Sandubi, Hasan, Tarikh Ikhtifal Bi Al-Maulid An-Nabawi Min Ashr Al-Islam Al-Awwal Ila Ashri Faruq Al-Awwal, Kairo, Matba’ah Al-Istiqomah, 1948, hlm. 62-63.
[15] As-Suyuthi, Jalal Ad-din Abd Ar-Rahman, Hushn Al-Maqsid Fi ‘Amal Al-Maulid, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1985, hlm. 42. Kota Irbil (terletak di selatan Mosul, Irak) adalah sebuah kota yang besar, padat penduduk, memiliki pasar yang besar yang dipimpin oleh Al-Malik Muzaffar pada dinasti Ayyubiyah, setelah merebut kekuasaan dari dinasti Fatimiyah. Lihat As-Sandubi, Hasan, Tarikh Ikhtifal Bi Al-Maulid An-Nabawi Min Ashr Al-Islam Al-Awwal Ila Ashri Faruq Al-Awwal, Kairo, Matba’ah Al-Istiqomah, 1948, hlm. 80.
[16] Al-Malik adalah sebutan untuk orang (pejabat dalam khilafah) yang memiliki beberapa keistimewaan, juga disebut Hakim atau Wali dalam pemerintahan dinasti Ayyubiyah. Lihat At-Thanthawi, Ali, Rijal Min At-Tarikh, Jilid II, Jeddah, Dar Al-Minaroh, 1990, hlm. 267.
[17] Ibid.
[18] HR. Bukhari, hadits No. 2043, dikutip dari ebook Sahih Al-Bukhari, Kairo, Natata Software, 2002. Juga HR. Muslim, Hadits No. 2712, dikutip dari ebook Sahih Muslim, Kairo, Natata Software, 2002.
[19] Az-Zain, Mahmud Ahmad, Al-Bayan An-Nabawi ‘An Fadhl Al-Ihtifal Bi Maulid An-Nabawi, Dubai, Dar Al-Buhuts Li Ad-Dirasah Al-Islamiyah Wa Ihya’ At-Turats, 2005, hlm. 45-46.
[20] QS. Al Anbiya [21]: 107:
[21] HR. Muslim, Hadits No. 2804, dikutip dari ebook Sahih Muslim, Kairo, Natata Software, 2002.
[22] Al-Hasani, Muhammad Alawi Al-Makki, Haul Al-Ihtifal Bi Dzikri Al-Maulid An-Nabawi Asy-Syarif, T.K., www.kitabklasik.co.cc, T.T., hlm. 2.
[23] Kalimat ini dikatakan sebagai Hadits oleh beberapa ulama seperti Imam Nawawi Al-Bantani. Lihat Al-Bantani, Imam Nawawi, Madarij as-Shu'udh fi Iktisa’I Al-Burud, Semarang, Toha Putra, TT., hlm.15. Meskipun setelah diteliti, tidak didapati dalam Kitab Hadits Manapun (La Ashla Lahu). Lihat juga Ali Mustofa Ya'qub, Hadits-Hadits Bermasalah, Cet.3, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2005, hlm.102.
[24] Perkataan sahabat (Khulafa Ar-Rasyidin) ini termaktub dalam kitab karya Imam Nawawi, tetapi tidak dijelaskan sumbernya, dari mana perkataan tersebut berasal. Lihat Ibid.
[25] Al-Hanini, Nashir Ibn Yahya, Al-Maulid An-Nabawi Tarikhuhu Hukmuhu Wa Atsarohu, Ar-Riyadh, T.P, 1422 H, hlm. 2. Juga Lihat penjelasan Al-Maqrizi, Taqi Ad-Din Ahmad Ibn Ali, Al-Mawa’izh Wa Al-I’tibar Bi Dzikri Al-Khuthot Wa Al-Atsar, T.K, www.al-mostafa.com, T.T., hlm. 490-510.
[26] As-Sandubi, Hasan, Tarikh Ikhtifal Bi Al-Maulid An-Nabawi Min Ashr Al-Islam Al-Awwal Ila Ashri Faruq Al-Awwal, Kairo, Matba’ah Al-Istiqomah, 1948, hlm. 62-68.
[27] Az-Zain, Mahmud Ahmad, Al-Bayan An-Nabawi ‘An Fadhl Al-Ihtifal Bi Maulid An-Nabawi, Dubai, Dar Al-Buhuts Li Ad-Dirasah Al-Islamiyah Wa Ihya’ At-Turats, 2005, hlm. 37-40.
[28] As-Sidawi, Abu Ubaidah, Mengkritisi Hadits Populer, ebook, hlm. 56-57.
[29] Az-Zain, Mahmud Ahmad, Al-Bayan An-Nabawi ‘An Fadhl Al-Ihtifal Bi Maulid An-Nabawi, Dubai, Dar Al-Buhuts Li Ad-Dirasah Al-Islamiyah Wa Ihya’ At-Turats, 2005, 31-32.
[30] As-Suyuthi, Jalal Ad-din Abd Ar-Rahman, Hushn Al-Maqsid Fi ‘Amal Al-Maulid, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1985, 15-25.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar