Selasa, 15 Januari 2019

Ushul Fiqh Lengkap

Ushul Fiqh Lengkap

BAB I Pendahuluan

A. pengertian, obyek, fungsi, hubungan Ushul Fiqih dengan fiqih
1. Pengertian Ushul Fiqih
Kalimat ushul fiqh terdiri dari dua kata; ushul dan fiqih. Kata Ushul jamak dari ashlun, yang berarti; Pangkal, Pokok, Dasar dll. Sedangkan fiqih, secara bahasa berarti: Pemahaman. Secara istilah, fiqih: “Ilmu yang menjelas-kan hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang digali melalui dalil-dalilnya yang terperinci”.
Adapun pengertian Ushul Fiqih adalah;  “Ilmu pengetahuan yang menyajikan kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum syariat mengenahi perbuatan manusia dari dalil-dalilnya secara terperinci”.

Yang dimaksud “dari dalil-dalilnya secara terperinci” dalam pengertian di atas adalah dalil-dalil dari Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas, sebagaimana yang menjadi dasar penetapan hukum Islam. Inti Ushul Fiqih adalah seperangkat kaidah (metode berpikir) guna mendukung cara atau upaya yang ditempuh dalam proses penetapan hukum dari dalil-dalil ataupun sumber-sumbernya.
Jadi ilmu Ushul Fiqih pada hakekat-nya adalah metodologi hukum Islam (suatu metode yang memuat prosedur dan tehknik bagaimana hukum syariat dapat dirumuskan untuk pedoman hidup dan bagaimana jalan pikiran pembentukan hukum Islam tersebut).

2. Obyek Ushul Fiqih
Pada intinya obyek kajian ilmu Ushul Fiqih adalah penjelasan tentang metode instinbath dan system mempergunakan dalil syara’ (Istidlal) guna merumuskan hukum tentang perbuatan manusia dari dalil-dalilnya secara terperinci. Lebih jelasnya ruang lingkup pembahasan Ushul Fiqih meliputi hal-hal di bawah ini:
a.    Pengenalan terhadap istilah-istilah tehnis yang lazim dipakai dalam lalu lintas pembahasan syariah. Seperti fardlu, sah, fasid, syarat dll.
b.    Dalil-dalil hukum Islam -baik yang pokok seperti al-Quran ataupun yang ijtihadi seperti mashlahah mursalah- berikut penetapan rangking kehujahan masing-masing dalil.
c.    Penjelasan tentang cara/metode “bagaimana  menetapkan hukum” dari suatu dalil. Metode yang dimaksud terdiri atas Qaidah (cara berpikir) dalam menarik petunjuk hukum dari Nash (al-Quran Hadis) melalui pendekatan tekstual (kebahasaan) di samping menggunakan pula perangkat-perangkat metode yang lain.
d.    Mujtahid, ijtihad, fatwa, taklid dll.

3. Fungsi Ushul Fiqih
Pertanyaan: “Untuk apakah mempelajari ilmu Ushul Fiqih?”. Fungsi mendasar ilmu ini –secara singkat- dapat dijelaskan; Menetapkan suatu hukum baru harus mempunyai dasar dan harus ada sistem metodenya.
Adapun fungsi Ushul Fiqih secara umum antara lain:
a.    Perkembangan zaman telah menghadirkan setumpuk permasalahan baru yang memerlukan jawaban kepastian hukum Islam. Untuk memecahkan hal tersebut belum tentu terjangkau oleh rumusan fiqih yang terhimpun dalam kitab-kitab kuning, oleh karenanya dibutuhkan cara praktis dalam menggali hukum Islam. Untuk itu mutlak dibutuhkan perangkat metodologisnya.
b.    Untuk melindungi hukum Islam (protection) dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, lantaran dalam menetapkan hukum Islam terlepas dari prosedur metodologis tehnik penyimpulan hukum dari dalil-dalilnya.
c.    Untuk menganalisa dan menyeleksi hukum-hukum fiqih yang sudah ada, memetakan formula hukum fiqih manakah yang boleh berubah oleh karena perubahan zaman dan manakah hukum fiqih yang tidak boleh berubah.
d.    Diharapkan dengan adanya ilmu Ushul Fiqih dapat memperkecil gejala pertentangan umat Islam akibat terjadi ikhtilaf pada masalah furu’iyah. Melalui ilmu ini, terbuka kemungkinan menetralisir ikhtilaf negatif tersebut.

4. Hubungan Ushul Fiqih dengan Fiqih
Ushul Fiqih sebagai ilmu, fungsi kerjanya merupakan alat untuk mendapatkan rumusan hukum fiqih, yang dihasilkan dari dalil-dalil syariat. Dengan demikian dapat dirumuskan hubungan antara Ushul Fiqih dengan fiqih, antara lain:
a.    Ushul Fiqih ibarat rantai penghubung antara fiqih dengan sumbernya
b.    Ushul Fiqih merupakan sistem atau metode untuk mengeluarkan hukum fiqih, agar para pakar fiqih terhindar dari kesalahan dalam menentukan hukum fiqih.
c.    Ushul Fiqih merupakan sarana untuk pengembangan ilmu fiqih yang telah dirintis oleh ulama generasi pendahulu,

Wallahu A’lam

B. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqih
  
Secara pasti, tumbuhnya ilmu Ushul Fiqih bersamaan dengan tumbuhnya ilmu fiqih, meskipun pembukuannya lebih dahulu ilmu fiqih. Sebab tumbuhnya ilmu fiqih tidak terlepas dari kaidah / metode yang digunakan dalam penggalian hukum fiqih itu sendiri. Metode penggalian hukum ini tidak lain adalah ilmu Ushul Fiqih.

Masa Nabi SAW
Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan fiqih (hukum Islam) dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber fiqih adalah wahyu Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada Hadis muadz bin Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul untuk menjadi gubernur di Yaman. Sebelum berangkat, Nabi bertanya kepada Muadz: “Sesungguhnya Rasulullah Saw. mengutus Mu’adz ke Yaman. Kemudian Nabi bertanya kepada Muadz bin Jabbal: Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?, ia menjawab: akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi bertanya: kalau tidak engkau temukan di dalam Kitabullah?!, ia jawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul SAW, Nabi bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah Rasul?!, ia menjawab: saya akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi Taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW”. (HR. Tirmizi)
  
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa Ushul Fiqih secara teori telah digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun pada saat itu Ushul Fiqih masih belum menjadi nama keilmuan tertentu. Salah satu teori Ushul Fiqih adalah, jika terdapat permasalahan yang membutuhkan kepastian hukum, maka pertama adalah mencari jawaban keputusannya di dalam al-Quran, kemudian Hadis. Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut tidak ditemukan maka dapat berijtihad.

Masa Sahabat
Semenjak Nabi Saw wafat, pengganti beliau adalah para sahabatnya. Periode ini dimulai pada tahun 11 H sampai pertengahan abad 1 H (50 H). Pembinaan hukum Islam dipegang oleh para pembesar sahabat, seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Tholib dan Ibn Mas’ud. Pada masa ini pintu ijtihad/istimbat telah mulai dikembangkan, yang pada masa Nabi Saw tidak pernah mereka gunakan, terkecuali dalam permasalahan yang amat sedikit. Para sahabat menggunakan “al-Ra’yu” dalam melakukan ijtihad.
Istilah “al-Ra’yu” dalam pandangan sahabat –seperti yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim dalam kitab I’lam al-Muwaqqi’in- adalah sesuatu yang dilihat oleh hati setelah terjadi proses pemikiran, perenungan dan pencarian untuk mengetahui sisi kebenaran dari permasalahan yang membutuhkan penyelesaian. Al-Ra’yu dalam pengertian ini mencakup qiyas, istihsan dan istishlah. Meskipun demikian mereka belum menamakan metode penggalian hukum seperti ini dengan nama ilmu Ushul Fiqih, namun secara teori mereka telah mengamalkan metodenya.

Masa Tabi’in
Pada masa tabi’in, penggalian hukum Islam semakin meluas, oleh sebab berbagai permasalahan baru muncul ke permukaan. Hal ini tidak terlepas dari imbas meluasnya daerah kekuasaan Islam, lalu para ulama tersebar ke pelosok-pelosok negeri dan mereka banyak melakukan ijtihad. Selain itu juga disebabkan orang-orang non-Arab yang banyak yang memeluk Islam.
Pada periode ini terdapat pengembangan dari metode yang telah digunakan para sahabat. Tokoh-tokoh dan Pembesar tabi’in yang sering berijtihad dan memberikan fatwa antara lain: Said bin Musayyab di kawasan Madinah dan Ibrahim al-Nakha’i di kawasan Irak. Sebagai dasar pijakan di dalam proses berijtihad dan memberikan fatwa, mereka mengembangkan dan menambah dari berbagai metode yang pernah dirintis oleh sahabat, seperti Qawl Sohabi (fatwa sahabat). Namun demikian ilmu Ushul Fiqih pada periode ini juga masih belum terbukukan.

Masa Tabi’ Tabi’in (Periode Imam Madzhab)
Pada periode ini, metode penggalian hukum bertambah banyak, baik corak maupun ragamnya. Dengan demikian bertambah banyak pula kaidah-kaidah istinbat hukum dan teknis penerapannya. Sebagai contoh Imam Abu Hanifah dalam memutuskan perkara membatasi ijtihadnya dengan menggunakan al-Quran, Hadis, fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati dan berijtihad dengan menggunakan penalarannya sendiri, seperti istihsan. Abu Hanifah tidak mau menggunakan fatwa ulama pada zamannya. Sebab ia berpandangan bahwa mereka sederajat dengan dirinya. Imam Maliki –setelah al-Quran dan Hadis- lebih banyak menggunakan amal (tradisi) ahli madinah dalam memutuskan hukum, dan maslahah mursalah. Demikian pula imam-imam yang lain.
Pada periode inilah ilmu Ushul Fiqih dibukukan. Ulama pertama yang merintis pembukuan ilmu ini adalah Imam Syafi’i, ilmuan berkebangsaan Quraish. Ia memulai menyusun metode-metode penggalian hukum Islam, sumber-sumbernya serta petunjuk-petunjuk Ushul Fiqih. Dalam penyu-sunannya ini, Imam Syafi’i bermodalkan peninggalan hukum-hukum fiqih yang diwariskan oleh generasi pendahulunya, di samping juga rekaman hasil diskusi antara berbagai aliran fiqih yang bermacam-macam, sehingga ia memperoleh gambaran yang konkrit antara fiqih ahli Madinah dan fiqih ahli Irak.
Berbekal pengalaman beliau yang pernah “nyantri” kepada Imam Malik (ulama Madinah), Imam Muhammad bin Hasan (ulama Irak dan salah seorang murid Abu Hanifah) serta fiqih Makkah yang dipelajarinya ketika berdomisili di Makkah menjadikannya seorang yang berwawasan luas, yang dengan kecerdasannya menyusun kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang ijtihad yang benar dan ijtihad yang salah. Kaidah-kaidah inilah yang di kemudian hari dikenal dengan nama Ushul Fiqih. Oleh sebab itu Imam Syafi’i adalah orang pertama yang membukukan ilmu Ushul Fiqih, yang diberi nama “al-Risalah”. Namun demikian terdapat pula pendapat dari kalangan syiah yang mengatakan bahwa Imam Muhammad Baqir adalah orang pertama yang membukukan ilmu Ushul Fiqih.

Masa Pasca Imam Syafi’i
Sesudah masa Imam Syafi’i, ilmu Ushul Fiqih semakin berkembang pesat dan meluas dengan berbagai corak dan ragam. Berbagai buku Ushul Fiqih diterbitkan, semisal kitab al-Burhan fi Ushul al-Fiqh (Imam Haramain, 419 – 478 H), al-Mustashfa (al-Ghozali, 505 H), al-Mahsul fi Ilm al-Ushul (Fahruddin al-Razi, 544–606 H), Irsyadul fuhul (al-Syawkani, 1255 H), Ilmu Ushul al-Fiqih (Abdul Wahab Khalaf, cet. kelima 1983 M), Ushul Fiqih (Abu Zahrah), Ushul Fiqih (wahbah Zuhaili) dll.
    Namun demikian, aliran Ushul Fiqih dapat diklasifikasikan kedalam dua corak, pertama, Ushul Fiqih Ahli Sunnah wal Jama’ah dan Ushul Fiqih Syi’ah. Ushul Fiqih Ahli Sunnah bercorak Hanafiah dan Jumhur Ulama. Hal yang melatarbelakangi beragam corak ilmu ini antara lain adalah perbedaan kecenderungan dalam merumuskan kaidah-kaidah dari hasil pemahaman terhadap teks sumber agama, al-Quran dan Hadis.

Wallahu A’lam

BAB II. HUKUM SYARA’
  
Pembahasan Hukum Syara’ merupakan salah satu dari obyek kajian ilmu Ushul Fiqih. Di dalam pembahasan ini materi yang akan di kaji meliputi; al-Hakim (Pembuat hukum Syara’/Allah), Pengertian hukum syara’, Pembagian hukum syara’, Mahkum Fiih (Perbuatan mukallaf) dan Mahkum ‘Alaih (orang mukallaf)
Skema pembahasan hukum syara’

1. Al-Hakim (Pembuat hukum)
Lafad Hakim berasal dari kata hakama yang berarti memutuskan perkara. Secara bahasa Hakim adalah “Pihak yang memutuskan hukum”. Dalam istilah fiqih ada persamaan pengertian antara Hakim dan Qadli, yang berarti “Orang yang memberiakan putusan hukum di dalam pengadilan”.
Namun di dalam kajian Ushul Fiqih, Hakim adalah Pembuat/pemutus hukum secara hakiki, yakni Allah SWT. Ulama Ushul Fiqih telah sepakat bahwa yang menjadi sumber dalam memutuskan hukum secara hakiki adalah Allah SWT. Sebagaimana Firman Allah SWT di dalam surat al-An’am ayat 57: “Katakanlah, sesungguhnya aku berada di atas hujah yang nyata dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah wewenangku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik”

2. Pengertian Hukum Syara’
Secara bahasa yaitu “memutuskan”, secara istilah hukum syara’ adalah:
“Kalam Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukallaf, baik berupa perintah (mengerjakan/meninggalkan), tahyir (pilihan), atau penetapan sesuatu menjadi sebab, syarat, atau penghalang”.

Dari pengertian di atas dapat diuraikan bahwa hukum syara’ merupakan Kalam Allah yang mengatur segala tingkah laku dan perbuatan manusia yang mukallaf (islam, baligh dan berakal). Kalam Allah bisa berupa:

1. Perintah mengerjakan sesuatu ex.: sholat 5 waktu.
2. Anjuran mengerjakan sesuatu ex.: Kesopanan dalam bergaul
3. Larangan mengerjakan sesutu ex.: Minum Khomer
4. Anjuran meninggalkan sesuatu ex.: Berkumur pada saat berpusa
5. Memberi pilihan: antara melakukan dan tidak melakukan ex.: Makan
6. Menetapkan sesuatu sebagai sebab ex.: Tergelincirnya matahari sebagai sebab dari kewajiban menunaikan Sholat Dluhur
7. Menetapkan sesuatu sebagai syarat ex.: Berwudlu sebagai syarat jika orang hendak melakukan sholat
8. Menetapkan sesuatu sebagai penghalang (mani’) ex.: seseorang yang membunuh orang tuanya, menjadi penghalang ia mendapatkan warisan.
9. Menetapkan sesuatu sebagai kriteria sah dan batal
10. Menetapkan seuatu sebagai kriteria ‘azimah dan rukhshoh

Dengan demikian hukum syara’ dalam wacana Ushul Fiqih merupakan keputusan dan ketetapan hukum atas perbuatan orang mukallaf yang bersumber dari teks al-Quran dan Hadis, baik secara langsung ataupun tidak langsung.

3. Pembagian Hukum Syara’
Ulama Ushul Fiqih membagi hukum syara’ menjadi dua bagian; Hukum Taklifi dan Hukum Wadl’i.
1. Hukum Taklifi.  
Hukum taklifi adalah “Hukum yang mengandung perintah, larangan atau memberi pilihan kepada seorang mukallaf”.
* Perintah Allah terbagi menjadi dua; Wajib dan Sunat.
* Larangan Allah terbagi menjadi dua: Haram dan Makruh
* Pilihan terbagi menjadi dua: boleh mengerjakan boleh meninggalkan.

*  Wajib
Menurut bahasa wajib berarti tetap atau pasti. Adapun menurut istilah wajib adalah: “sesuatu yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah untuk dilaksanakan oleh seorang mukallaf, jika dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah dan jika ditinggalkan diancam dengan dosa”
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa perkara yang diwajibkan oleh Allah harus dilaksanakan oleh seorang mukallaf. Jika melaksanakan perkara wajib maka ia akan mendapat pahala disisi Allah SWT. Tidak ada balasan kecuali surga di akhirat kelak, suatu tempat yang kenikmatannya tidak pernah dilihat dan dirasakan di dunia yang sementara ini. Ia akan kekal di dalamnya. Namun jika perintah Allah yang berupa “wajib” ditinggalkan maka ia berdosa dan nerakalah tempatnya, terkecuali ia bertobat dan mendapat ampunan dari Allah SWT.

Wajib terbagi menjadi tiga bagian secara garis besar:
a.    dari sisi pembebanannya: Wajib Ain dan Wajib Kifayah
b.    dari sisi kandungan perintah: Wajib Mu’ayyan dan Wajib Mukhoyyar
c.       dari sisi waktu pelaksanaannya: Wajib Mutlak dan Wajib Muaqqat

•    Wajib Ain: kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap mukallaf tanpa kecuali. Kewajiban ini harus dilaksanakan sendiri dan tidak bisa diganti orang lain. Seperti sholat dll.
•    Wajib Kifayah: kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukallaf dan dapat gugur manakala telah dilaksanakan oleh sebagian dari mereka. Seperti sholat jenazah.
•    Wajib Mu’ayyan: suatu kewajiban yang telah ditentukan dan tidak ada pilihan bagi mukallaf, seperti puasa di bulan ramadlan dll.
•    Wajib Mukhoyyar: suatu kewajiban yang boleh dipilih oleh mukallaf atas beberapa alternative. Misalnya membayar kifarat (denda) bagi seseorang yang melanggar sumpah, maka ia wajib memilih salah satu dari tiga hal dalam membayar kifarat: memberi makan 10 fakir miskin atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak.
•    Wajib Mutlak: suatu kewajiban yang waktu pelaksanaannya tidak dibatasi oleh waktu tertentu. Seperti mengqadlo’ puasa ramadlan yang tertinggal dll.
•    Wajib Muaqqat: suatu kewajiban yang pelaksanannya dibatasi oleh waktu tertentu. Seperti sholat lima waktu dll.

* Sunat
Hukum sunat merupakan sesuatu yang dianjurkan. Sunat menurut istilah adalah: “Suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasulullah, jika dilaksanakan akan diberi pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa”. Istilah sunat bisa disebut dengan istilah mandub, nafilah, mustahab, tathowwu’, ihsan, dan fadhilah.

Menurut sebagian ulama Ushul, Sunnah terbagi menjadi tiga bagian:
1.    Sunat Muakkad
2.    Sunat Ghairu Muakkad
3.    Sunat Zawaid.

•    Sunat Muakkad: sunnah yang sangat dianjurkan, sebab sunnah ini selalu dilakukan oleh Nabi SAW dan sangat jarang ditinggalkan. Misalnya sholat sunnat sebelum fajar.
•    Sunat Ghoiru Muakkad: sunnah yang biasa dianjurkan, sebab sunnah ini biasa dilakukan oleh Nabi SAW, namun terkadang ditinggalkan. Misalnya memberikan sodaqah kepada orang yang tidak dalam kondisi terdesak.
•    Sunat Zawaid: Sunnat yang biasa dilakukan oleh Nabi SAW sebagai seorang manusia biasa, seperti adapt kebiasan nabi dalam hal makan, minum duduk, berpakaian dll.

* Haram
Haram secara bahasa adalah sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Adapun menurut istilah haram adalah: “Sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasulullah, dimana orang yang melanggarnya akan berdosa dan durhaka, sementara orang yang meninggalkannya (dengan niat menaati perintah Allah) akan mendapatkan pahala”
Di dalam kajian Ushul Fiqih diuraikan bahwa sesuatu yang dilarang oleh Allah pasti membawa kerusakan dan bahaya. Sedangkan sesuatu yang diwajibkan oleh Allah pasti membawa kebaikan dan kedamaian.

Ulama Ushul membagi haram kedalam dua bagian:
1. Haram Li-Dzatihi
2. Haram Li-Ghoirihi

•    Haram Li-Dzatihi: sesuatu yang diharamkan oleh syariat Islam karena esensinya mengandung kerusakan dan bahaya bagi kehidupan manusia, contoh berzina.
•    Haram Li-Ghoirihi: sesuatu yang diharamkan oleh syariat bukan karena esensinya, namun karena membawa kepada esensi haram. Seperti jual beli pada saat adzan jum’at, bermain-main di tempat maksiat dll.

Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa terkadang susutu bisa haram karena esensinya memang diharamkan oleh agama dan terkadang sesuatu bisa diharamkan karena sesuatu tersebut dapat menyebabkan melakukan sesuatu yang diharamkan. Dalam kaidah fiqih disebutkan : “Sesuatu yang diharamkan tidak bisa terjadi/sempurna terkecuali dengan suatu hal maka suatu hal tersebut hukumnya haram”

* Makruh
Makruh secara bahasa berarti “sesuatu yang dibenci”. Adapun secara istilah, makruh adalah: “Sesatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya, bilamana ditinggalkan maka akan terpuji dan bila dikerjakan tidak berdosa”. Contoh: berkumur pada bulan ramadlan.

* Mubah
Mubah secara bahasa berarti “sesuatu yang diperbolehkan”. Secara istilah mubah adalah: “sesuatu yang diberi pilihan oleh syariat apakah akan melakukan atau tidak melakukan, dan tidak ada hubungannya dengan dosa”. Contoh: makan dll.

2. Hukum Wadl’i  
Hukum Wadl’i adalah: “Ketentuan syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat atau sebagai mani’ (penghalang)”. Dengan demikian hukum wadl’I terbagi menjadi 3 macam: Sebab, Syarat dan Mani’ (penghalang).

# Sebab  
Sebab adalah sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda tidak adanya hukum. Jika ada sebab maka ada hukum dan jika tidak ada sebab maka tidak ada hukum.
Contoh: - Tergelincirnya matahari menjadi sebab datangnya waktu dluhur
         - Anak menjadi sebab seseorang mendapat warisan orang tuanya
         - Tindakan perzinaan menjadi sebab seseorang dihukum cambuk
        - Gila menjadi sebab hartanya dipegang oleh walinya
        - Jual beli menjadi sebab bagi perpindahan kepemilikan barang.
“Sebab”, dibagi menjadi 2 macam: Kadang tidak berada dalam jangkauan mukallaf, terkadang Berada dalam jangkauan mukallaf.
# Syarat
  
Syarat adalah sesuatu yang tergantung kepadanya adanya sesuatu yang lain, dan berada diluar hakekat sesuatu itu.
Contoh: - Wudlu sebagai syarat sahnya sholat
              - Si A berkata kepada si B: jika kamu membantu saya maka hutangmu lunas. Membantu di sini adalah sebagai syarat hutang si B lunas
              - Menyarahkan ijazah sebagai syarat pendaftaran di pesma al-Hikam.
“Syarat”, dibagi menjadi 2 macam: Syarat Syar’I (Syarat yang ditetap-kan oleh syariat) dan Syarat Ja’li (Syarat yang ditetapkan oleh mukallaf)

# Mani’
Mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan oleh syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
Contoh: - Membunuh istri sebagai mani’ (penghalang) suami tidak mendapat warisan istri.
              - Haidl sebagai mani’ (penghalang) seorang wanita mukallaf melakukan sholat
              - Hutang sebagai mani’ (penghalang) seseorang tidak wajib mengeluarkan zakat
              - Tidak cakap berorganisasi sebagai mani’ (penghalang) seseorang tidak terpilih sebagai ketua BEM

“Mani’”, dibagi menjadi 2 macam: Mani’ Hukum Syara’ dan Mani’ Sebab.

4). Mahkum Fiih (Perbuatan Mukallaf)
Mahkum fiih berarti perbuatan orang mukallaf. Perbuatan tersebut merupakan obyek dari hukum fiqih.
Syarat perbuatan mukallaf adalah:
1.    perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf. Misal: kuwajiban sholat subuh diketahui oleh mukallaf
2.    Harus dalam batas kemampuannya.

5). Mahkum ‘Alaih (Orang Mukallaf)
Orang mukallaf berarti seseorang yang beragama Islam baligh dan berakal. Syarat kewajiban dalam melaksanakan hukum Allah adalah: Memahami hukum  dan Mampu melakukannya.
Wallahu A’lam

BAB III. SUMBER DAN DASAR HUKUM ISLAM

A. Dasar Hukum yang Disepakati
Sumber hukum islam ada dua: al-Quran dan Hadis. Adapun dasar hukum islam kurang lebih ada sebelas: Dasar hukum yang disepakati ulama ada empat: al-Quran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Dasar hukum yang tidak disepakati oleh ulama ada tujuh: Istihsan, Maslahah Mursalah, Urf (adat istiadat), Istishab, Syar’u Man Qablana, Madzhab Shohabi, Sadd az-Zariah.
Untuk memudahkan, lihat skema di bawah ini:

1. Al-Quran
Menurut bahasa al-Quran berarti “bacaan”, dan menurut ilmu Ushul Fiqih al-Quran adalah: “Firman Allah yang diturunkan oleh Allah dengan perantaraan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dengan bahasa arab dan terkategorikan beribadah jika membacanya”.
Al-Quran pertama kali diturunkan di Gua Hira (Makkah) pada tahun 611 M, dan berakhir di Madinah pada tahun 633 H (al-Quran turun selama kurun waktu 22 tahun beberapa bulan). Surat yang pertama kali turun adalah al-‘Alaq dan yang terakhir kali –terdapat perbedaan pendapat- menurut sebagian ulama adalah ayat 281 surat al-Baqarah.
Hukum-hukum yang terkandung dalam al-Quran mencakup tiga ajaran pokok:
1.    Ajaran yang berkenaan dengan akidah (al-Ahkam al-I’tiqodiyyah), seperti Tawhid, malikat, hari akhir dll.
2.    Ajaran yang berkenaan dengan akhlaq (al-Ahkam al-Khuluqiyyah), seperti tuntunan bergaul secara sopan, tutur kata yang baik dll.
3.    Ajaran yang berkenaan dengan perbuatan (al-Ahkam al-‘Amaliyyah), seperti tuntunan kewajiban dan larangan berbuat sesuatu. Dari ajaran inilah kemudian timbul ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih.

# Hukum Amaliah (fiqih) terdiri dari 2 cabang,
1. Hukum Ibadah; hukum yang mengatur hubungan antara hamba dengan Tuhannya, seperti sholat, puasa, haji dll.
2. Hukum Muamalah; hukum yang mengatur hubungan antara hamba dengan hamba, seperti jual beli, menikah, dll.

Abdul Wahab Kholaf memerinci macam ayat al-Quran yang berhubungan dengan hukum muamalah sebagai berikut:
1.    Hukum Keluarga: seperti prosesi akad nikah, talak, ruju’, iddah warisan dll terdapat di dalam al-Quran –sekitar- 70 ayat.
2.    Hukum Perdata: seperti utang piutang, perjanjian sewa menyewa jual beli dll terdapat di dalam al-Quran –sekitar- 70 ayat.
3.    Hukum Pidana: seperti pembunuhan, perzinaan, pencurian, perampokan tindak kekerasan dll terdapat di dalam al-Quran –sekitar- 30 ayat.
4.    Hukum Acara: seperti peradilan, kesaksian, sumpah, barang bukti dll terdapat di dalam al-Quran –sekitar- 13 ayat.
5.    Hukum Ketata-Negaraan: ketentuan yang berhubungan dengan pemerintahan, seperti mengatur hak pribadi dan hak masyarakat dll, terdapat di dalam al-Quran –sekitar- 10 ayat.
6.    Hukum Antar Bangsa: seperti hukum yang mengatur hubungan antara Negara Islam dan Negara non-Islam, tata cara pergaulan dengan non muslim dll, terdapat di dalam al-Quran –sekitar- 25 ayat.
7.    Hukum Ekonomi dan Keuangan: seperti hak-hak faqir miskin, pembagian zakat dll, terdapat di dalam al-Quran –sekitar- 10 ayat.

Menurut Imam Ghozali, ayat-ayat al-Quran yang berkenaan dengan hukum amaliyah (fiqih) kurang lebih 500 ayat.

Wallahu A’lam

2. Al-Sunnah  
Sunnah secara bahasa berarti “perilaku seseorang baik perilaku yang baik ataupun yang buruk”. Adapun menurut istilah, al-Sunah adalah: “segala perilaku Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (qawliyyah), perbuatan (fi’liyyah) ataupun pengakuan (taqririyah)”.

Contoh:
1.    Sunnah yang berupa ucapan (qawliyyah) Nabi Saw: “Dari Ubadah bin Samit sesungguhnya Rasulullah Saw memutuskan bahwa tidak boleh melakukan kemudaratan (kerusakan / bahaya) dan tidak boleh pula mendatangkan kemudaratan” (HR. Ibn Majah)

2.    Sunnah yang berupa perbuatan (fi’liyyah) dari Nabi Saw:“Dari Ibn Umar berkata, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: saya sholat seperti sahabat-sahabatku melaksanakan sholat, aku tidak melarang seseorang di antara mereka melakukan sholat baik siang maupun malam sesuai yang dikehendakinya kecuali mereka sengaja sholat pada saat terbit dan tenggelamnya matahari” (HR. Bukhari)

3.    Sunnah yang berupa pengakuan (taqririyah) seperti:“Dari Abu Sa’id, sesungguhnya ada dua orang laki-laki yang bertayamum dan keduanya melaksanakan sholat, kemudian keduanya mendapatkan air pada saat -waktu sholat yang mereka kerjakan- belum habis maka salah seorang dari keduanya berwudlu dan mengulangi sholatnya karena waktu belum habis, sedangkan seseorang yang lain tidak melakukannya, maka keduanya brtanya kepada Nabi Saw dan beliau bersabda kepada orang yang tidak mengulang sholatnya: engkau telah melakukan sunnah dan telah cukup sholatmu itu. Dan kepada yang mengulangi sholatnya beliau bersabda: bagimu pahala dua kali lipat ganda” (HR. Nasai).
  
Dalam kajian Ushul Fiqih, Hadis dari segi sanadnya terbagi menjadi 2 macam: Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad.
1.    Hadis Mutawatir; Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh sekelompok perawi (minimal 4 sahabat) yang menurut kebiasaan individu-individunya jauh dari kemungkinan berbuat bohong. Hadis mutawatir terbagi menjadi dua:
- Mutawatir Lafdzi: Hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang makna dan lafadznya sama. Misalnya Hadis tentang seseorang yang berbuat dusta atas diri nabi maka hendaknya ia mengambil tempat dineraka (HR.Muslim)
- Mutawatir Ma’nawi:  Hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang maknanya sama namun lafadznya berbeda. Misalnya Hadis tentang nabi mengangkat tangan pada saat berdoa (HR. Tirmidzi)

2.    Hadis Ahad; Hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih (maximal 3 sahabat) dan tidak sampai ke batas Hadis mutawatir. Hadis ahad terbagi menjadi tiga:
- Hadis Masyhur: Hadis yang pada masa sahabat diriwayatkan oleh 3 orang perawi. Contoh Hadis tentang amal tergantung kepada niat (HR. Bukhori Muslim)
- Hadis ‘Aziz: Hadis yang pada masa sahabat diriwayatkan oleh 2 orang perawi. Contoh menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap orang islam (HR. al-Baihaqi)
- Hadis Ghorib: Hadis yang diriwayatkan oleh orang 1 orang perawi. Contoh belum sempurna iman seseorang sehingga ia lebih mencintai rasulullah melebihi cintanya kepada orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia (HR. Bukhori Muslim)

 Fungsi Sunnah terhadap al-Quran adalah:
1.    Menjelaskan isi al-Quran; ex.: Hadis yang menjelaskan tata cara sholat dll
2.    Membuat aturan tambahan yang bersifat teknis, yang mana pokok-pokoknya telah disebutkan dalam al-Quran; ex.: Hadis yang menjelaskan suami istri yang li’an (sumpah empat kali dan yang kelima sumpah laknat Allah jika ia berdusta), maka keduanya telah bercerai selama-lamanya (HR.Ahmad dan Abu Daud)
3.    Menetapkan hukum yang belum disinggung dalam al-Quran; keharaman binatang buruan yang mempunyai taring dan burung yang mempunyai cakar yang tajam (HR. An-Nasai)

Wallahu A’lam

3. Ijma’ (Konsensus Ulama)

A. Pengertian Ijma’
Kata ijma’ secara bahasa berarti kesepakatan tentang suatu masalah. Adapun ijma’ menurut istilah Ushul Fiqih adalah: “Kesepakatan para mujtahid tentang hukum syara’ (hukum Islam) pada suatu masalah dalam satu masa setelah Rasulullah Saw wafat”.
Kata ijma’ juga dapat diartikan sebagai konsensus mujtahid dalam menetapkan hukum pada suatu masalah. Apabila ada suatu peristiwa yang pada saat terjadinya diketahui oleh semua mujtahid, kemudian mereka sepakat memutuskan hukum atas peristiwa tersebut, maka kesepakatan mereka ini disebut ijma’.
Contoh; kesepakatan para sahabat yang melarang seorang laki-laki madu (poligami) dengan bibi istri dari jalur ayahnya ataupun ibunya. Begitu pula mereka sepakat bahwa saudara seayah dapat menempati posisi saudara sekandung jika saudara sekandung tidak ada. Keputusan hukum ini tidak ditemukan dalam al-Quran dan Hadis.

B. Dalil keabsahan ijma’
1. Berdasarkan al-Quran, antara lain dalam surat an-Nisa’ ayat 115:“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang mukmin, Kami biarkan leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan kami masukkan ia ke dalam neraka jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
Argumentasi: dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa wajib hukumnya mengikuti jalan orang-orang mukmin, antara lain mengikuti kesepakatan mereka. Jika tidak maka ia akan diancam dengan neraka jahannam.

2. Berdasarkan Hadis Nabi, antara lain:“Dari Ibnu Umar, Rasulullah Saw Bersabda: sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku, atau beliau berkata umat Muhammad, atas kesesatan ………..”. (HR. Tirmidzi).

Argumentasi: Rasulullah menjamin bahwa Allah tidak akan mengumpulkan umat Muhammad untuk bersepakat dalam hal kesesatan. Hal ini mengindikasikan bahwa apa yang telah mereka sepakati hendaknya dipatuhi. Sebab tidak mungkin mereka bersepakat dalam kesesatan.

C. Rukun Ijma’
Rukun Ijma’ ada 4 (empat):
1.    Adanya beberapa pendapat yang kemudian mengerucut menjadi satu pendapat dalam masa tertentu
2.    Adanya kesepakatan semua mujtahid terhadap keputusan hukum pada suatu masalah tanpa memandang kebangsaan, tempat ataupun kelompok mereka
3.    Kesepakan itu nyata, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun pengakuan
4.    Kesepakatan tersebut direalisasikan oleh semua ahli fiqih

D. Macam-macam Ijma’
* Ditinjau dari cara penetapannya, ijma’ terbagi menjadi 2 (dua):
1.    Ijma’ Shorih; Para mujtahid sepakat atas suatu hukum terhadap suatu masalah dengan terlebih dahulu menyampaikan pendapatnya masing-masing, yang kemudian mengerucut menjadi satu pendapat.
2.    Ijma’ sukuti; Sebagian mujtahid mengemukakan pendapat dan keputusan hukum dalam suatu masalah, dan sebagian lain diam tidak mengemukakan pendapatnya. Maka diamnya ini dapat diartikan sebagai tanda setuju.

* Ditinjau dari segi kekuatannya, ijma’ terbagi menjadi 2 (dua):
1.    Ijma’ Qath’i; ijma’ yang betul-betul terjadi dan tidak ada kemungkinan lain yang menyangkalnya. Ijma’ ini terjadi di dalam ijma shorih.
2.    Ijma’ Dzonni: Ijma’ yang masih ada kemungkinan penyangkalan atasnya.

E. Kedudukan Ijma’
Para ulama menetapkan bahwa Ijma menduduki peringkat ketiga setelah al-Quran dan Hadis Nabi. Namun demikian suatu ijma tidak boleh menyalahi Nash al-Quran dan Hadis yang bersifat qath’I (nash yang sudah jelas, gamblang dan tidak membutuhkan penafsiran).
Seluruh ulama sepakat bahwa “Ijma’ shorih” dapat dijadikan sebagai hujjah / dasar pijakan hukum.
Namun demikian mereka berbeda pendapat mengenahi “ijma’ sukuti”, apakah dapat dijadikan sebagai hujjah atau tidak?.
•    Imam Syafi’i dan mayoritas ulama: tidak dapat dijadikan sebagai hujjah / dasar hukum.
Argumentasi pendapat ini antara lain:
-    Orang yang diam tidak dapat dipandang sebagai orang yang telah mengemukakan pendapat.
-    Diam tidak dapat dipandang sebagai tanda setuju. Sebab dalam diamnya terdapat banyak kemungkinan. Mungkin ia belum berijtihad, mungkin ia khawatir dengan pendapatnya dan kemungkinan-kemungkinan yang lain

•    Madzhab Hanafiah: dapat dijadikan sebagai hujjah.
Argumentasi pendapat ini antara lain sbb:
-    Memang pada dasarnya diam tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Namun jika diamnya tersebut setelah merenung, berfikir dan menganalisa maka diamnya tersebut adalah sikapnya, yakni diam yang berarti setuju
-    Pada umunya tidak semua mujtahid memberi fatwa. Sebab biasanya sang pemberi fatwa hanya satu orang dan yang lain menyetujuinya.
-    Jika seorang mujtahid diam terhadap pendapat mujtahid lain, sementara pendapat itu bertentangan dengan pendapatnya yang dianggap benar, maka haram ia berdiam diri tanpa ada penyangkalan.

•    Sebagian ulama lain: dapat dijadikan sebagai hujjah namun tidak masuk dalam kategori ijma’.
Argumentasi:
-    Ijma’ sukuti tidak terkategorikan ijma’ lantaran tidak memenuhi Kriteria ijma’. Meskipun demikian tidak setiap orang alim mau mengemukakan pendapatnya oleh karena beberapa hal.
-    Ijma’ sukuti ini dapat dijadikan sebagai hujjah oleh karena diamnya seorang ulama lebih kuat menunjukkan arti setuju dibandingkan dengan tidak setuju

F. Kemungkinan Terjadinya Ijma’
Terdapat beberapa pendapat menganehai kemungkinan terjadinya Ijma’ pada masa pasca periode sahabat sampai sekarang. Sebagian ulama mengatakan tidak mungkin terjadi lagi, melihat para ulama sudah tinggal berjauhan dan sangat sulit untuk mengumpulkan mereka dalam satu tempat dan waktu, selain juga mengingat begitu banyanya jumlah mereka.
Namun demikan juga ada pendapat yang mengatakan bahwa ijma’ sangat mungkin terjadi, dengan syarat aktivitas ini ditangani langsung oleh Negara. Sebagaimana yang dikemukakan oleh ulama-ulama kontemporer seperti Abdul wahab kholaf, Qordlowi dll.

Catatan: Untuk melihat hasil-hasil ijma’ para ulama, dapat dilihat dalam beberapa buku yang mengumpulan hasil ijma’, seperti bukunya Ibn Hazm dll.
4. Qiyas (Analogi)

A. Pengertian Qiyas
Qiyas (analogi) merupakan dasar hukum islam yang disepakati, ia menduduki  peringkat ke 4 setelah al-Quran, Hadis dan Ijma’.
Secara bahasa qiyas berarti “mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk diketahui persamaan antara keduanya”. Sedangkan Qiyas menurut istilah adalah: “Menyamakan sesuatu yang tidak ada hukumnya dengan sesuatu yang telah ada ketentuan hukumnya karena ada persamaan ‘illat (penyebab) antara keduanya”.
Qiyas dilakukan oleh seorang mujtahid dengan meneliti alasan logis dari rumusan hukum pada suatu masalah yang telah ditetapkan oleh al-Quran dan Hadis, dan setelah itu dicari ‘illat / penyebabnya, yang kemudian dibandingkan dengan masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya. Bila ada kesamaan “illat / sebab” maka hukumnya sama. Ulama pertama kali yang merumuskan Qiyas adalah Imam Syafi’i (Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i w. 820 M).

B. Rukun Qiyas
Qiyas dianggap sah dan benar apabila telah memenuhi rukun-rukunnya. Seluruh ulama sepakat bahwa rukun Qiyas ada 4:
1.    Al-Ashlu (pokok masalah yang ada dalam Nash dan sebagai tempat menganalogikan sesuatu), misal: khamr.
2.    Hukm al-Ashli (keputusan hukum Asal), misal: Haram
3.    Al-Far’u (cabang masalah yang belum ada ketentuan hukumnya dalam nash), misal: ganja.
4.    Illat (faktor penyebab). Misal: memabukkan.

Misal: Firman Allah dalam Surat al-Maidah 90:“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”

Firman Allah dalam Surat al-Nahl 67 :“Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang  memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan”

Keterangan:
1.    Al-Ashlu (Asal masalah) dari ayat diatas adalah khamr. Khamr adalah minuman keras yang dibuat dari perasan kurma atau buah-buahan.
2.    Hukm al-Ashli (keputusan hukum Asal) dari ayat di atas adalah “Jauhilah”, yang berarti perintah wajib untuk menjauhi dan Haram dikerjakan.
3.    al-‘Illat (faktor penyebab / motivasi) keharamannya adalah Memabukkan.
4.    Al-Far’u (cabang masalah yang dianalogikan) misalnya; kokoin. Karena kokoin memabukkan maka hukum kokoin sama dengan hukum khomr.

Proses Qiyas (Analogi) Dengan  Sebab “Memabukkan”
# Syarat Al-Ashlu (asal):
1.    Hukum asal tidak boleh termansukh (terhapus)
2.    Hukum asal harus berupa hukum syara’ (terdapat dalam nash, dan tidak boleh berupa hukum akal.
3.    Hukum asal bukan merupakan hukum perkecualian. Misal, sah puasanya orang yang lupa makan.

# Syarat Hukmul Ashli (hukum asal)
1.    Hukum asal harus berupa hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan mukallaf
2.    Hukum asal dapat ditelusuri ‘illatnya (faktor penyebab / motivasinya).
3.    Hukum asal bukan merupakan hukum perkecualian, seperti diperbolehkan nikah lebih dari 4 orang bagi Nabi.

# Syarat al-Far’u (cabang masalah)
1.    Cabang tidak mempunyai ketentuan hukum sendiri di dalam nash
2.    Illat pada cabang harus sama dengan Illat yang terdapat dalam asal
3.    hukum cabang harus sama dengan hukum asal

# Syarat ‘Illat (faktor penyebab/motivasi hukum)
Penentuan ‘Illat (faktor penyebab) membutuhkan kejelian, sehingga keputusan yang dihasilkan tidak mengakibatkan kesalahan. Suatu misal, dalam menentukan penyebab minuman keras adalah barang cair, maka kesimpulannya semua barang cair adalah tidaklah boleh dikonsumsi. Secara rasional jika semua benda cair tidak boleh dikonsumsi, maka hal itu terjadi kesalahan dalam penentuan penyebabnya. Karena benda cair tidak hanya minuman keras.
Untuk sahnya suatu illat sebagai landasan qiyas (analogi), para ulama telah memberikan beberapa persyaratan. Syarat Illat, antara lain:
1.    Illat harus sesuai dengan tujuan pembentukan suatu hukum. Kuat dugaan bahwa hukum tersebut ditetapkan oleh karena alasan adanya illat tersebut bukan karena faktor lain. Contoh: sifat memabukkan, adalah relevan sebagai illat diharamkannya khamer. Sebab dengan mengharamkannya berarti menolak kemadlorotan dari kehidupan manusia. Berbeda dengan sifat cair, adalah tidak relevan. Sebab tidak semua benda cair mendatangkan madlorot, bahkan banyak benda cair yang memberi manfaat, seperti air.
2.    Illat harus bersifat jelas, tidak boleh samara atau sembunyi-sembunyi, karena tidak dapat terdeteksi keberadaannya. Contoh: Ijab dan qabul adalah relevan sebagai illat sahnya jual beli. Sebab ijab qabul dapat diketahui dan tanda bahwa seseorang tersebut ridha. Berbeda dengan sifat ridha, adalah tidak relevan dijadikan sebagai illat sahnya jual beli. Sebab ridha adalah tersembunyi dan samara.
3.    Illat harus berupa sesuatu yang bias dipastikan bentuk, jarak dan timbangannya. Contoh: tindakan pembunuhan adalah sifat yang dapat dipastikan menghilangkan nyawa seseorang. Oleh sebab itu tindakan pembunuhan dapat dijadikan sebagai illat bagi terhalangnya mendapat harta warisan.

Cara Mengetahui ‘Illat
Menurut penelitian ulama, ada beberapa cara yang dapat ditempuh guna mengetahui ‘illat, antara lain:
1.    Melalui dalil-dalil al-Quran dan Hadis, baik secara tegas ataupun tidak tegas.
Contoh ‘illat yang tegas terdapat dalam Ayat 7 Surat al-Hasyr: yang artinya: “ Apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.

Ayat tersebut secara tegas menyebutkan bahwa illat (alasan) mengapa harta rampasan itu harus dibagikan antara kelompok-kelompok tersebut adalah agar harta kekayaan jangan hanya beredar di tangan orang-orang kaya saja. Terhadap hukum ini kemudian dianalogikan bahwa setiap pembagian harta kekayaan haruslah merata dan tidak boleh harta hanya diberikan kepada orang-orang kaya saja.

Contoh Illat yang tegas juga terdapat dalam Hadis Nabi, yang artinya: “Dari Aisyah berkata, orang-orang arab badui berduyun-duyun untuk meminta daging kurban, maka Rasulullah Saw. Bersabda: “makan dan simpanlah jangan sampai lebih dari tiga hari”. Setelah mendengar anjuran itu mereka berkata kepada beliau: “Ya Rasulallah, orang-orang umumnya memanfaatkan untuk membuat minyak dan untuk menjamu para tukang siram, mengapa mesti engkau larang untuk menyimpan daging qurban?” Maka beliau bersabda: “aku larang karena dahulu masih banyak rombongan badui yang mengharap pemberian daging qurban tersebut, tapi sekarang makan simpan (sampai kapan saja) dan sedekahkanlah” (HR. Nasai)
Hadis di atas menjelaskan bahwa illat dari adanya larangan menyimpan daging kurban adalah karena banyak orang-orang Islam dari pedusunan datang membutuhkannya. Namun beberapa saat setelah illatnya tidak ada yakni orang-orang dusun sudah tidak lagi dating membutuhkannya, maka nabi memperbolehkan menyimpannya kembali.

Contoh Illat yang tidak tegas terdapat dalam Firman Allah di dalam surat al-Baqarah Ayat 222, yang artinya: “Dan janganlah kamu mendekati mereka (istri-istrimu), sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”

Redaksi ayat tersebut mengandung pengertian bahwa yang menjadi Illat bagi haramnya mendekati istri adalah karena keadaan haidlnya, dan illat halal mendekatinya adalah keadaanya yang telah suci. Kesimpulan ini bukan tersurat  dalam ayat diatas, namun tersirat di dalamnya.

2.    Melalui Ijma’.
Contoh: Kesepakatan ulama bahwa keadaan kecil seseorang menjadi ‘illat bagi perlu ada pembimbing untuk mengendalikan hartanya, sampai ia dewasa. Dianalogikan kepadanya hak mewalikan anak prempuan kecil dalam masalah pernikahan bagi madzhab hanafiah.

3.    Melalui Ijtihad
Hasilnya dinamakan ‘illat al-mustanbathah (‘illat yang dihasilkan dengan jalan ijtihad). Metodenya adalah al-Sibru wa al-Taqsim, yakni al-sibru yang berarti menyeleksi dan al-taqsim yang berarti mengumpulkan. Contoh: khomer diharamkan oleh Al-Quran. Kemudian seorang mujtahid mencari ‘illat (motovasinya), mengapa khomer diharamkan?. Merek kemudian mengumpulkan (taqsim) berbagai sifat yang terdapat di dalamnya, seperti keadaan cai, keadaannya terbuat dari anggur, keadaannya berwarna merah dan keadaannya memabukkan. Setelah beberapa sifat tersebut dikumpulkan lalu di adakan analisis, pengujian dan penyeleksian, mana yang paling relevan untuk dijadikan sebagai ‘illat. Sehingga ditemukan bahwa yang paling relevan adalah memabukkan. Sebab hal itu sesuai dengan tujuan pembentukan hukum islam yakni jalbul masholih dan dar’ul mafasid.

C. Macam-Macam Qiyas
Ditinjau dari segi perbandingan antara ‘illat yang terdapat pada asal dan pada cabang, qiyas dibagi menjadi 3 macam:
1.    Qiyas Aula; yakni qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada cabang lebih utama dan lebih kuat dari pada ‘illat yang terdapat dalam asal. Contoh: mengatakan “ah” kepada orag tua hukumnya adalah haram (hukum asal). Illatnya adalah menyakiti. Kemudian dianalogikan dengan memukul orang tua (hukum cabang) juga haram. Karena juga menyakiti. Maka memukul orang tua (cabang) ‘illatnya lebih kuat dari pada illat yang terdapat dalam asal yakni mengatakan “ah”.
2.    Qiyas Musawi; yakni qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada hukum asal bobotnya sama dengan illat yang terdapat pada hukum cabang. Contoh: memakan harta anak yatim hukumnya adalah haram. ‘illatnya adalah melenyapkan harta anak yatim. Kemudian di analogikan dengan membakar harta anak yatim adalah haram juga. Sebab sama-sama melenyenyapkan harta anak yatim. Bobot kedua illat ini adalah sama.
3.    Qiyas Adna; yakni qiyas di mana bobot ‘illat yang terdapat dalam hukum asal lebih utama dan lebih kuat dari pada bobot ‘illat yang terdapat dalam hukum cabang. Contoh: sifat memabukkan yang terdapat dalam khomer jauh lebih kuat dan utama dari pada sifat memabukkan dalam bir. Meskipun hukum meminum bir dapat dianalogikan dengan hukum meminum khomer.

Adapun qiyas bila ditinjau dari segi jelas dan tidak jelasnya ‘illat yang dijadikan sebagai landasan hukum, maka qiyas terbagi menjadi 2 macam:
1.    Qiyas Jali; qiyas yang didasarkan atas ‘illat yang ditegaskan dalam nash ataupun tidak ditegaskan, namun ditegaskan berdasarkan penelitian dan bobotnya kuat. Qiyas ini mencakup qiyas awla dan qiyas musawi
2.    Qiyas Khofi; qiyas yang didasarkan atas ‘illat yang ditarik dari hukum asal. Contoh, menganalogikan pembunuhan dengan memakai benda tumpul kepada pembunuhan dengan memakai benda tajam. Illatnya adalah sama-sama ada faktor kesengajaan.

A. Dasar Hukum yang Tidak Disepakati
1. Istihsan
secara bahasa, istihsan berarti “menganggap sesuatu baik dan layak dilakukan”. Sedangkan menurut istilah Istihsan ialah: “Memakai qiyas khofi dan meninggalkan qiyas jali karena ada petunjuk untuk itu”. Atau “Hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk”.
Dengan demikian, istihsan adalah memilih yang paling baik dengan meninggalkan “qiyas jali” (analogi yang jelas dan pasti) karena lebih sesuai dan lebih patut bagi kebaikan manusia.
Kerangka teori ini dikembangkan dan dibangun oleh Abu Hanifah (w. 767 M) dan diteruskan oleh pendukungnya (madzhab Hanafiyah). Sedang-kan menurut fiqih Malikiyah memberi penjelasan, Istihsan diperbolehkan dengan alasan kebaikan/kemanfaatan dan karena menghilangkan kesulitan. Kedua mazhab ini (Hanafiyah dan Malikiyah) banyak membicarakan “pilihan yang patut” (Istihsan). Dengan demikian, Istihsan yang dikemukakan mazhab Malikiyah ini hampir-hampir tidak memiliki perbedaan prinsipil dengan Hanafiyah.

Macam Istihsan
1.    Istihsan Qiyasi: pada prinsip awalnya, seorang mujtahid harus mendahulukan qiyas jali dibanding dengan qiyas khofi. Namun bilamana seorang mujtahid memandang bahwa meninggalkan qiyas jali lebih besar kemaslahatannya dibanding menggunakannya, maka qiyas jali tersebut boleh ditinggalkan dan beralih ke istihsan. Contoh: menurut kesimpulan qiyas jali, sumur yang berada di atas tanah pertanian yang diwakafkan, tidak dianggap ikut diwakafkan kecuali jika ditegaskan didalam akad wakaf. Hal ini di qiyaskan (dianalogikan) dengan akad jual beli, dengan persamaan illat “sama-sama menghilangkan hak milik”. Di dalam jual beli, sumur tersebut tidak termasuk yang dijual terkecuali ditegaskan dalam akad. Namun berdasarkan istihsan yang berorientasi pada kemaslahatan, sumur tersebut termasuk barang yang diwakafkan, tanpa harus dipertegas di dalam akad. Karena diqiyaskan dengan sewa menyewa dengan persamaan illat  “sama-sama untuk diambil manfaatnya”. Oleh karena kemaslahatan dari qiyas yang disebut terakhir ini lebih menonjol, yakni sesuai dengan disyariatkannya wakaf, yaitu untuk diambil manfaatnya, maka lebih patut jika meninggalkan qiyas jali dan menggunakan qiyas khofi (istihsan).
2.    Istihsan Istisna’i: memilih yang patut (baik) dan terolong perkecualian. Istihsan ini terbagi menjadi 4 macam:
a.    Istihsan berdasarkan Nash. Yaitu istihsan oleh karena hukum pengecualian yang didasarkan pada nash dan meningalkan kaidah yang bersifat umum. Contoh: menurut kadiah umum, makan di siang bulan romadlon puasanya batal. Namun jika itu dilakukan karena lupa, maka berlandaskan istihsan, puasanya sah. Istihsan ini telah ditegaskan di dalam Hadis Nabi
b.    Istihsan berlandaskan ijma’. Contoh: pesanan untuk membuat lemari. Menurut kaidah umum praktik seperti ini dilarang, sebab pada saat akad jual beli barang tidak ada. Padahal salah satu dari rukun jual beli adalah harus ada barang. Memperjual belikan barang yang belum ada termasuk bai’ul ghurur (jual beli yang dapat menipu) yang dilarang oleh Nabi. Namun hal ini diperbolehkan, dengan alasan istihsan. Akad ini boleh dan telah menjadi ijma’ di kalangan ulama.
c.    Istihsan berlandaskan urf (adat kebiasaan). Contoh: menurut  ketentuan umum, wakaf hanya diperbolehkan pada harta benda yang kekal dan tidak bergerak, seperti tanah. Namun wakaf pada benda yang tidak kekal dan bergerak, seperti buku, kendaraan, perkakas memasak dll diperbolehkan untuk diwakafkan dengan alas an istihsan. Dasarnya adalah adat kebiasaan masyarakat yang membolehkan wakaf pada benda tersebut.
d.    Istihsan berlandaskan kemaslahatan. Contoh: menurut kaidah umum, seorang penyewa rumah kontrakan tidak dibebankan suatu apapun kecuali membayar uang kontrak yang telah disepakati. Namun pemilik rumah diperbolehkan meminta tambahan berupa uang jaminan, dengan perjanjian jika terdapat terjadi kerusakan yang disebabkan oleh ulah penyewa maka akan dipotongkan dari uang tersebut . praktek semacam ini diperbolehkan dengan alasan istihsan yang berlandaskan kemaslahatan. Sebab jika tidak ada uang jaminan dikhawatirkan penyewa akan bertindak serampangan dan tidak mau bertanggung jawab.

Ulama yang tidak menerima istihsan sebagai dasar hukum islam adalah Imam Syafi’i (w. 820 M). Ia mengatakan bahwa: barang siapa yang menetapkan hukum berlandaskan istihsan sama dengan membuat-buat hukum syariat baru dengan menggunakan hawa nafsunya. Ungkapan beliau yang terkenal adalah: من إستحسن فقد تشرع
Pendapat Imam Syafi’i ini didasarkan pada ayat –ayat al-Quran, antara lain di dalam surat  al-An’am ayat 38 dan ayat 44 surat al-Nah. Dimana dalam ayat pertama menerangkan kesempuranaan al-Quran untuk menajawab segala sesuatu. Sedang ayat kedua menjelaskan bahwa disamping al-Quran ada Sunnah Nabi untuk menjelaskan dan memerinci al-Quran sehingga menjadi lebih lengkap untuk  menjadi rujukan dalam menetapkan hukum, sehingga tidak lagi memerlukan istihsan yang merupakan kesimpulan pribadi.
Selain itu, dalam mendukung pendapatnya ini; Imam Syafi’i juga memberikan ilustrasi contoh: andaikata seorang pejabat negara atau Mufti harus memutuskan masalah berkenaan dengan bencana dahsyat yang tidak ada landasannya dalam nash atau analogi (Qiyas), dan andaikan diputuskan melalui Istihsan, maka bukanlah mereka harus mengakui hak orang lain untuk memilih ketentuan yang lain. Jika demikian, setiap pejabat dan Mufti dari setiap kota akan mengatur sesuai dengan pilihannya dan akan menimbulkan berbagai macam kebijakan yang bertentangan dengan kasus yang sama (Zahrah, 1997:412-416).
Adapun ulama yang menggunakan istihsan sebagai dasar hukum islam adalah madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali. Meskipun Imam Syafi’i tidak setuju, kerangka teori istihsan (pilihan yang patut) ini merupakan salah satu jenis “upaya Ijtihad” yang memiliki peranan tempat di dalam membicarakan koleksi dalil Syariah. (Ensiklopedia hukum Islam, 1999; Zahroh, 1999; Romli, 1999; Khalaf, 1990; Britannica, 2005).

Wallahu A’lam

2. Maslahah Mursalah
Secara bahasa Kata maslahah berarti “manfaat”, dan kata mursalah berarti “lepas”. Sedangkan secara istilah maslahah mursalah adalah: “Sesuatu yang dianggap maslahat (memberi manfaat) namun tidak ada ketegasan hukumnya di dalam Nash dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya”.
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa maslahah mursalah merupakan suatu hal yang dapat memberikan manfaat, akan tetapi hal tersebut tidak ada ketentuannya di dalam Nash. Contoh: Peraturan lalu lintas dengan segala rambu-rambunya. Peraturan seperti ini tidak ada dalil di dalam Nash, namun hukumnya penting untuk ditegakkan. Sebab peraturan ini sejalan dengan tujuan hukum syariat, yakni memelihara jiwa dan akal.

Macam Maslahah
1.    Maslahah Mu’tabaroh: yaitu maslahah yang secara tegas diakui syariat dan telah ditentukan ketentuan hukumnya di dalam Nash untuk direalisasikan. Contoh: perintah berjihad untuk memelihara agama, penegakan hukuman qishos untuk menjaga kelestarian jiwa, ancaman hukuman zina untuk memelihara kehormatan dan keturunan dll.
2.    Maslahah Mursalah: maslahah macam inilah yang sedang dibahas. Yakni kemaslahatan yang tidak ditegaskan secara pasti oleh nash dan tidak ada ketentuan hukumnya. Contoh: bagi pengendara sepeda motor yang tidak memakai helm, maka pak polisi berhak menilangnya. Jika ada yang melanggar maka polisi boleh menilangnya. Sebab pemakaian helm dapat memelihara jiwa manusia.
3.    Maslahah Mulghoh: yakni sesuatu yang dianggap maslahah oleh akal pikiran tetapi dianggap palsu, karena bertentangan dengan ketentuan syariat. Maslahah macam ini adalah tertolak dan tidak diakui. Contoh: ada anggapan bahwa pembagian warisan antara anak laki dan perempuan seharusnya disamakan, dasarnya adalah maslahah. Maslahah semacam ini bertentangan dengan ketentuan syariat, oleh karenanya tertolak.
Syarat Maslahah Mursalah:
1.    Benar-benar mendatangkan manfaat dan menolak madlarat (maslahah hakiki) bukan hanya dugaan belaka, semisal hanya mempertimbangkan kemanfaatan tanpa melihat kepada akibat negatif yang ditimbulkan.
2.    Berupa kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi / golongan
3.    Tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam Nash dan Ijma’

Azas Maslahah harus meliputi lima hal dasar:
1.    Pemeliharaan agama;
2.    Pemeliharaan jiwa raga:
3.    Pemeliharaan akal
4.    Pemeliharaan keturunan dan kehormatan
5.    Pemeliharaan harta benda

3. ‘Urf (Adat Istiadat/Kebiasaan)
‘Urf/adat istiadat secara bahasa berarti “Sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal”. Sedang menurut istilah: “Sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan”.
Contoh adat istiadat berupa perbuatan: Jual beli kebutuhan ringan seperti krupuk, ote-ote, tempe dll dengan hanya menerima barang dan menyerahkan harga tanpa ada ijab dan qabul.
Contoh adat istiadat berupa perkataan: Kebiasaan di masyarakat yang membedakan antara daging dan ikan. Padahal dalam al-Quran keduanya sama, yakni disebut daging. Hal-hal di atas dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum.

Macam ‘Urf
A. Ditinjau dari sisi legalitas syariah:
1.    Adat istiadat yang benar (al-‘Urf al-Shohih): suatu hal baik yang menjadi adat kebiasaan masyarakat namun tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Contoh: seorang suami belum boleh membawa istrinya jika belum melunasi maharnya secara penuh dll.
2.    Adat istiadat yang tidak benar (al-‘Urf al-Fasid): sesuatu yang menjadi adat kebiasaan, namun menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Contoh: menyajikan minuman keras / berfoya-foya tanpa manfaat pada saat lulus wisuda, tari-tarian yang membuka aurat dll.
B. Ditinjau dari sisi cakupan:
1.    Adat kebiasaan umum (al-‘Urf al-‘Am): yakni adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negeri di satu masa. Contoh: perkatan suami kepada istri “haram aku berdekatan denganmu” berarti sang suami telah mentalak istri, atau masuk kamar mandi umum dengan membayar uang sewa yang ditentukan tanpa membatasi berapa lama, berapa kadar air yang digunakan dll.
2.    Adat kebiasaan Khusus (al-‘Urf al-Khos): adat istiadat yang berlaku pada suatu masyarakat/negeri tertentu. Contoh: adat kebiasaan masyarakat Tuban, Lamongan dan Bojonegoro yang menentukan bahwa wanita yang melamar pria dalam prosesi pra-nikah, dll.

Seluruh Ulama sepakat: Menolak adat kebiasaan yang tidak benar (al-Urf al-Fasid).
Menurut penelitian salah seorang ulama, Madzhab fiqih yang paling benyak menggunakan adat istiadat sebagai dasar hukum adalah (skala kuantitas) Madzhab Hanafi, Maliki, Hanbali, kemudian baru Syafi’i.

* Catatan: Pada prinsipnya semua madzhab ini sepakat menggunakan adat istiadat sebagai landasan hukum. Namun oleh karena masing-masing madzhab punya jumlah dan rincian tentang adat kebiasaan yang berbeda maka metode ini dimasukkan dalam kategori dasar hukum yang diperselisihkan.

Syarat ‘Urf yang Dapat Dijadikan sebagai Landasan Hukum
1.    Adat istiadat harus yang benar, dalam arti tidak bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Hadis.
2.    Adat istiadat harus bersifat umum, minimal telah menjadi kebiasaan mayoritas penduduk pada suatu daerah / negeri tertentu.
3.    Adat istiadat harus sudah ada ketika muncul peristiwa yang hendak diputuskan dengan landasan ini.
4.    Tidak ada ketegasan dari pihak terkait yang berbeda dengan adat istiadat setempat (tidak diperselisihkan). Jika ada, maka adat istiadat tidak berlaku, dan yang digunakan adalah ketegasan dari pihak terkait.

Wallahu A’lam

4. Syar’u Man Qablana (Ajaran Para Nabi Sebelum Kerasulan Nabi Muhammad)
Pengertian:syar’u man qablana adalah: “Ajaran-ajaran para Nabi mengenahi hukum-hukum syariat sebelum Nabi Muhammad Saw diturunkan, seperti syariat Nabi Ibrahim, Musa, Isa dll.
Apakah syariat mereka tetap harus dijalankan oleh umat Muhammad ataukah tidak?. Terdapat beberapa pendapat dari para ulama.

Pendapat ulama:
A.    Ulama Ushul Fiqih sepakat: Bahwa syariat para Nabi dahulu yang tidak tercantum di dalam al-Quran dan Sunnah Rasul tidak berlaku bagi umat Islam. Sebab kedatangan syariat Muhammad telah menghapus ajaran-ajaran tersebut.
B.    Ulama Ushul Fiqih sepakat: Bahwa syariat para Nabi yang tercantum di dalam al-Quran dan Sunnah adalah berlaku bagi umat Islam jika ada ketegasan bahwa syariat itu masih berlaku. Misalnya syariat berkurban, puasa dll.
C.    Ulama Ushul Fiqih berselisih: Bagaimana jika ajaran tersebut tercantum di dalam al-Quran dan Sunnah, namun tidak ada ketegasan bahwa hukum itu masih berlaku bagi umat Islam dan tidak pula ada penjelasan tentang pembatalannya?!. Misalnya: hukum qisos. Bagi orang yang memukul kepala maka ia harus dipukul kepalanya juga. Sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 45 yang -kurang lebih- artinya sebagai berikut:
“Dan telah Kami tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-likapun ada qisasnya. Barang siapa melepaskan (hak qisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itulah orang-orang dzalim ”

Dari sekian ayat-ayat qisos yang ada keterangan dan ketegasan pemberlakuannya hanyalah mengenahi pembunuhan, yakni jika seseorang membunuh maka ia harus dibunuh, sebagaimana yang tercantum di dalam surat al-Baqarah ayat 178:“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atasmu qisos berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu Rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang pedih”.

Terdapat dua pendapat:
1.    Madzhab Hanafi, Maliki, mayoritas madzhab Syafi’i dan sebagian madzhab Hanbali: Masih berlaku bagi umat Islam.
Dasar dan Argumentasi:
a.    Pada dasarnya syariat itu adalah satu kesatuan yang datang dari Allah Swt. Oleh karena itu apa yang disyariatkan kepada para Nabi dahulu dan disebut di dalam Nash, maka berlaku pula bagi umat Islam. Hal ini ditunjukkan di dalam surat al-Syura ayat 13.
b. Terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti Nabi terdahulu, sebagaimana yang tercantum di dalam surat al-Nahl ayat 123

2. Madzhab Mu’tazilah, Syiah, sebagian kecil madzhab Syafi’i dan sebagian Hanbali: Tidak berlaku lagi bagi umat Islam.
Dasar dan argumentasi:
a.    Setiap umat itu mempunyai syariat tersendiri, sebagaimana yang ditunjukkan di dalam surat al-Maidah ayat 48. Itu berarti syariat para Nabi terdahulu tidak berlaku lagi.
b.    Ketika Nabi mengutus Muadz bin Jabbal ke Yaman, Beliau bertanya kepadanya, tentang dengan apa ia memutuskan perkara. Ia jawab dengan al-Quran, Hadis dan Ijtihad. Dalam dialog tersebut tidak terdapat petunjuk Rasul untuk merujuk kepada Syar’u Man Qoblana. Jika hal ini berlaku pasti Nabi akan mewasiatinya.

Dari dua pendapat di atas, menurut salah seorang ulama Ushul –Abdul Wahab Kholaf- yang terkuat adalah pendapat pertama yang mengata-kan bahwa syariat para Nabi dahulu yang tercantum di dalam Nash dan tidak ada ketegasan pemberlakuannya adalah masih berlaku bagi umat Islam. Alasannya: Syariat Islam hanya menghapus syariat yang berbeda dengan syariat Islam. Dengan demikian syariat terebut masih berlaku bagi umat islam. Selain itu hukum-hukum yang terdapat dalam al-Quran bertujuan untuk memberi petunjuk kepada umat Islam, hal ini menunjukkan bahwa syariat para Nabi terdahulupun masih tetap berlaku, sampai ada dalil yang menghapuskannya. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar