BAB
I
PENDAHULUAN
Objek
utama yang akan dibahas dalam ushul fiqh adalah al-Qur’an dan sunnah Rasul
sedang untuk memahami teks-teks dan sumber yang berbahasa Arab tersebut para
ulama telah menyusun semacam tematik
yang akan digunakan dalam praktik penalaran fikih. Bahasa Arab menyampaikan
suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam berbagai tingkat kejelasan. Untuk
itu para ahlinya telah membuat beberapa kategori lafal atau redaksi, di antara
yang sangat penting dan akan dikemukakan disini. Antara lain tentang Amr,
nahi.
Memahami redaksi
Al-Qur’an dan Al-Hadits bagaikan menyelam ke dalam samudra yang dalam lagi luas
dibutuhkan kunci, metode dan keilmuan khusus untuk sampai ke sana sehingga kita
bisa mengetahui maksud dan tujuan nash Al-Qur’an dan Al-Hadits baik dari sudut
teks maupun dari aspek makna. Diantara beberapa pembahasan yang berkaitan
dengan Ilmu Ushul Fiqh yang didalamnya terdapat kaidah-kaidah (ushuliyah) yaitu
tentang ‘Am, Khos, Amr, Nahi dan lain sebagainya. Akan tetapi dalam makalah ini
pembahasan yang akan kita pelajari adalah yang berkaitan dengan Amr dan Nahi.
Mempelajari kaidah amar
dan nahi mungkin sangat banyak sekali kaidah kaidah yang bersangkutan dengan
kaidah itu, dalam makalah ini saya jelaskan sedikit tentang kaidah kaidah
tersebut, untuk mempermudah dalam memahaminya saya sertakan contoh dan dalil
tentang kaidah kaidahnya, sehingga pembaca bisa faham terperinci. Pada
kenyataan yang ada orang akan cenderung pada kaidah kaidah ushul yang ada lima,
tanpa memahami kaidah kaidah yang terkandung dalam pokok pembahasan amar dan
nahi. Ilmu ushul fiqh menyajikan berbagai cara dari berbagai aspeknya untuk
menimba pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Untuk memahami teks-teks dari dua sumber yang berbahasa Arab tersebut, para
ulama telah menyusun semacam sistematik yang akan digunakan dalam praktek
penalaran fiqih. Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan
dalam beberapa tingkat kejelasannya.
Secara garis besar,
metode istinbath dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu segi kebahasaan, segi
mawasid(tujuan) syari’ah, dan segi penjelasan beberapa dalil yang bertentangan.
Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an dalam menyampaikan ajaran Allah dan begitu juga
Sunnah Rasulullah ada yang berbentuk amr(perintah), nahi(larangan), dan
takhyir(pilihan). dari tiga kategori ayat-ayat hukum itulah terbentuk
hukum-hukum, seperti wajib, mandub, haram, makruh dan mubah. dalam makalah ini,
yang akan dibahas adalah masalah metode istinbath bila dilihat dari segi
kebahasaan yang berbetuk amr(perintah) dan nahi (larangan).
BAB II
PENBAHASAN
A.
AL-AMRU
(PERINTAH)
1.
Pengertian
Al-Amru
Amar menurut bahasa berarti perintah. Sedangkan menurut istilah adalah,
اْلأَمْرُ
طَلَبُ اْلفِعْلِ مِنَ اْلأَعْلَى إِلَى اْلأَدْنَى
”amr
adalah perbuatan meminta kerja dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yng
lebih rendah tingkatannya.”
atau dapat didefinisikan,
اْللَفْظُ
الدُّالُّ عَلَى طَلَبُ اْلفِعْلِ عَلَى جِهَةِ اْلإِسْتِعْلَاءِ
Suatu
tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi
kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya.
Adapun
perintah untuk melakukan suatu perbuatan, seperti dikemukakan oleh Khudari Bik
dalam bukunya Tarikh al Tasyri’, disampaikan dalam berbagai gaya atau redaksi
antara lain:
a) Perintah tegas dengan
menggunakan kata amara (أمر)
“Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”
b) Perintah
dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas seseorang dengan
memakai kata kutiba (كتب)
“ Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita “
c) Perintah dengan menggunakan kata faradha (فرض/mewajibkan).
Al-Ahzab/33 : 50
“Sesungguhnya
kami Telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka tentang
isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi
kesempitan bagimu”
2.
Hukum-huum yang mungkin
ditunjukan ‘Amar.
Suatu
bentuk perintah, seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Adib Saleh, Guru Besar
Ushul Fiqh Universitas Damaskus, bisa digunakan untuk berbagai pengertian,
yaitu:
a. Menunjukkan hukum wajib
seperti perintah untuk sholat.
b. Untuk menjelaskan bahwa sesuatu
itu boleh dilakukan. Al-mukminun ayat 51
“Hai rasul-rasul, makanlah dari
makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya
Aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”
c. Sebagai
anjuran. Al-Baqarah : 282
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”
d. Untuk melemahkan. Al-Baqarah :
23
“Dan jika kamu (tetap) dalam
keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad),
buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah
penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”
3.
Kaidah-kaidah dalam ’Amar.
Apabila dalam nash syara’ terdapat salah satu dari bentuk
perintah, maka ada beberapa kaidah yang mungkin bisa diberlakukan.
Kaidah pertama, الأصل قى الأمر للوجوب, meskipun suatu perintah bisa menunjukkan berbagai
pengertian, namun pada dasarnya suatu perintah menunjkkan hukum wajib
dilaksanakan kecuali bila ada indikasi atau dalil yang memalingkannya.
Contoh perintah yang terbebas dari indikasi yang
memalingkan dari hukum wajib adalah ayat 77 surat an-Nisa
“Dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!"
Ayat tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan sholat
lima waktu dan menunaikan zakat. Adapun contoh perrintah yang disertai indikasi
yang menunjukkan hukum selain wajib, ayat 283 surat al-Baqarah
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Kaidah kedua, دلالة الأمر على التكرار أو الواحدة, adalah
suatu perintah, haruskah dilakukan berulang kali atau cukup dilakukan sekali
saja?. Menurut jumhur ulama ushul fiqh, pada dasarnya suatu perintah tidak
menunjukkan harus berulang kali dilakukan kecuali ada dalil untuk itu.
Contohnya ayat 196 surat al-Baqarah
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah Karena Allah….”
Perintah melakukan haji dalam ayat diatas sudah terpenuhi
satu kali haji dalam seumur hidup.
Adanya kemestian pengulangan ditunjukkan oleh dalil lain.
Al-Isra 78
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir
sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat
subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”
Menurut sebagian ulama Ushul Fiqh, seperti Abu Ishaq
al-Syirazi (w. 476 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah seperti dinukil
Muhammad Adib Saleh, suatu perintah pada dasarnya menunjukkan berulang kali
dilakukan sepanjang hidup, kecuali ada dalil yang menunjukkan cukup dilaukan
satu kali.
Kaidah ketiga, دلالة الأمر على الفور أو التراخىو, adalah
suatu perintah, dilakukan sesegera mengkin atau bisa ditunda-tunda?.Pada
dasarnya suatu perintah tidak menghendaki untuk segera dilakukan selama tidak
ada dalil lain yang menunjukkan untuk itu. Pendapat ini dianut oleh jumhur
ulama Ushul Fiqh. Sedangkan adanya ajaran suatu kebaikan sege ra dilakukan,
bukan ditarik dari perintah itu sendiri, tetapi dari dalil lain.
Menurut sebagian ulama, antara lain Abu Hasan al-Karkhi
(w. 340 H) seperti dinukil Muhammad Adib Salih, bahwa suatu perintah
menunjukkan hukum wajib segera dilakukan. Barangsiapa yang tidak segera
melakukan suatu perintah di awal waktunya, maka ia berdosa.
4.
Segi-segi lain dari Amr
Perintah atau suruhan ada kalanya datang sesudah
larangan, dan dipertanyakan pula apakah harus segera dikerjakan atau harus
berulang-ulang kali dikerjakan.
Oleh karena itu para ulama uul telah memberikan beberapa
patokan dan ketentuan-ketentuan untuk menjadi pedoman dalam menginsbatkan
hukum.
1.
Perintah sesudah larangan (الأمر بعد النهي)
Ada perbedaan pendapat ulama
tentang dalalah amar sesudah nahi (larangan). Ada yang mengatakan bahwa amar
itu tetap wajib dikerjakan walaupun sebelumnya ada larangan untuk berbuat
Contoh sabda nabi:
“Tinggalkanlah (janganlah mengerjakan) shalat pada hari-hari haidlmu, apabila
haid sudah hilang maka mandilah. Kemudian teruskan sholat seperti biasa”
Namun demikian yang
masyhur dikalangan ulama ushul ialah amar sesudah nahi adalah ibahah.
2. Perintah dan
waktu mengerjakannya
Lafadz amar dalam
al-Qur’an maupun al-Hadits pada hakekatnya adalah untuk mengerjakan apa yang
disuruh. Suruhan itu tidak harus segera dikerjakan dalam waktu yang cepat
ataupun ditangguhkan.
Ada kaidah yang menegaskan:
الأمر لا يقثضي الفور
“Suatu
perintah atau suruhan itu tidak menghendakikesegeraan dikerjakan”
3. Perintah dan
perulangan mengerjakannya
Pada dasarnya tidak ada
ketentuan bahwa lafadz amar menuntut supaya suruhan atau perintah dikerjakan
sekali saja atau lebih atau berulang-ulang. Oleh karena itu dikalangan ulama
ushul fiqh ada kaedah:
الإصل فى الأمر لا يقثضى الثكرار
“Pada
dasarnya suruhan/perintah titu tidak menghendaki perulangan (berulang-ulang
mengerjakan perintah itu)”
Kalau perintah itu harus dikerjakan berulang-ulang, maka harus ada
kata-kata atau qarinah yang
menyertainya yang menunjukkan kepada perulangan itu.
4. Perintah dan
perantaranya (wasilah)
Kadang-kadang ada perintah yang tidak dapat terwujud tanpa adanya
perbuatan-perbuatan lain yang mendahuluinya atau alat-alat tertentu untuk dapat
melaksanakan perintah-perintah tersebut.
Perbuatan-perbuatan lain atau alat-alat tertentu disebut wasilah
(perantara)
الأمر بالشيئ أمر بوسائله
“Memerintahkan
sesuatu berarti memerintahkan pula seluruh wasilahnya”
Wasilah-wasilah itu bisa berupa:
1. Syarat
seperti bersuci untuk sahnya sholat
2.
Adat
kebiasaan seperti memakai paying bila ingin menghindari panas sinar matahari
atau basah karena hujan.
B.
NAHI
(LARANGAN)
1. Pengertian dan
bentuk-bentuk Nahi
Mayoritas ulama Ushul Fiqh mendefinisikan nahi sebagai
طلب الكف عن الفعل على جهة الإستعلاء
بالسيغة الدال عليه
“Larangan
melakukan suatu perbuatam dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada
yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.
Jika
lafal khusus yang terdapat dalam nash syara’ berbentuk nahi atau bentuk berita
yang nermakna larangan, maka berarti haram. Yaitu menuntut untuk tidak
melakukan yang dilarang secara tetap dan pasti.
Firman
Allah Swt, al-Baqarah : 221
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,”
Memberikan
pengertian: Haram bagi seorang laki-laki muslim mengawini wanita musyrik.
Dalam
melaang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudari Bik. Allah juga memakai berbagai ragam bahasa, diantaranya
adalah:
a) Larangan tegas dengan memakai
kata naha (نهى) atau
yang seakar dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Seperti surat
an-Nahl ayat 90,
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”
b)
Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan
diharamkan. Al-’Araf : 33
Katakanlah: "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan
yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa,
melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan
Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan
(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui."
c) Larangan dengan mengancam
pelakunya dengan siksaan pedih. At-Taubah :34
“dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa
yang pedih,
2. Kemungkinan
hukum yang ditunjukan bentuk Nahi.
Seperti
dikemukakan Adib Saleh, bahwa bentuk larangan dalam penggunaannya menunjukkan
berbagai pengertian, antara lain:
a) Menunjukkan hukum haram,
misalnya surat al-Baqarah ayat 221
“Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,”
b) Sebagai anjuran untuk
meninggalkan, seperti al-Maidah :101
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal
yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan
di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah
memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun.”
c) Penghinaan,
dalam surat at-Tahrim ayat 7
“Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan
uzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu Hanya diberi balasan menurut apa yang
kamu kerjakan”
3. Kaidah-kaidah yang berhubungan
dengan Nahi.
Para ulama Ushul Fiqh merumuskan beberapa kaidah yang
berkenaan dengan larangan, antara lain,
Kaidah pertama, الأصل فى النهى للتحريم, pada
dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan yang
dilarang kecuali ada indikasi yang menunjukkan hukum lain. Contohnya ayat 151
surat al-An’am.
“dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”
Contoh
larangan yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum selain haram, dalam
surat al-Jum’ah : 9.
“Hai
orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475].
yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.”
Kaidah
kedua, الأصل
فى النهى يطلق الفساد مطلقا, suatu
larangan menunjukkan fasad (rusak) perbuatan yang dilarang itu jika dikerjakan.
Kaidah ini disepakati bilamana larangan itu tertuju kepada zat atau esensi
suatu perbuatan, bukan terhadap hal-hal yang terletak diluar esensi perbuatan
itu.
Kaidah
ketiga, النهي
عن الشيئ أمر بضده, suatu
larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya.
Seperti dalam surat Luqman : 18
“dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh”
Larangan
tersebut mengajarkan agar berjalan di permukaan bumi dengan rendah hati dan
sopan.
C. QAIDAH-QAIDAH FIQHIYAH
Qaidah
secara etimologi adalah al asas (dasar), atau yang menjadi dasar
berdirinya sesuatu. Dengan Qaidah dapat dicari persamaan hukum itu dalam
berpuluh-puluh masalah yang sama hukumnya, sesuai dengan Qaidah-qaidah
tersebut.
Secara
terminologi atau istilah, banyak ulama memberikan definisi antara lain:
اَلاَمْرُ اْلكُلِّىُّ اَّلذِيْ يَنْطَبِقُ
عَلَى جُزْ ئِيَّاتٍ كَشِيْرَةٍ نُفْهَمُ اَحْكَامُهَا مِنْهَا ( الاشباه )
Artinya
: “ ketentuan universal yang bisa bersesuaian dengan bagian-bagiannya serta
difahami hukumnya dari perkara tersebut “
اُصُولُ فِقْهِيَّةٍ كُلِّيَةٍ فِى نُصُوْصِ
مُوجِزَةٍ دِسْتَورِيَةٍ تَتَضَمَنُ اَحْكَامُهَا
تَشْرِيْعِيَّةٍ عَامَّةً فِى اْلحَوَادِثِ الّتِى تَذْخُلُ تَحْتَ مَوْضُوعِهَا
Artinya
: “Dasar-dasar hukum fiqh yang bersifat kully yang diungkapkan dalam
teks-tekssingkat yang bersifat undang-undang dan mengandung hukum-hukum syara
dalamberbagai kasus yang termasuk
dalamcakupan kaidah tersebut”
Dari
berbagai macam definisi yang telah dikemukakan diatas, dapat dilihat bahwa para
ulama’ terdahulu berbeda-beda dalam mendefinisikan, namun dari semua definisi
tersebut tetap memiliki substansi yang sama, yaitu dasar hukum fiqih yang
bersifat kully.
a) Qaidah Kulliyyah (Kebahasaan)
1. Al-Amru (Perintah)
Amr
(perintah), yang artinya : Tuntunan melakukan pekerjaan dari yang lebih tinggi
kepada yang lebih rendah (kedudukannya). Yang lebih tinggi kedudukannya dalam
hal ini adalah Allah dan yang lebih rendah kedudukannya adalah manusia
(mukallaf). Jadi Amr ialah perintah Allah Swt yang harus dilakukan oleh ummat
manusia yang mukallaf. Amar itu mempunyai ketentuan-ketentuan yang
menjadi dasar pengambilan atau penetapan hukum. Ketentuan-ketentuan itu kemudian
kita kenal dengan istilah Qaidah. Amar mempunyai beberapa Qaidah :
·
اَلْاَصْلُ
فِى اْلاَمْرِ لِلْوُجُوْبِ
“Pada asalnya amr itu menunjukkan wajib”
·
اَلْاَصْلُ
فِى اْلاَمْرِ لَايَقْتَضِى التَّكْرَارَ
“Pada asalnya perintah itu tidak menghendaki
pengulangan”
·
اَلْاَصْلُ
فِى اْلاَمْرِ لَايَقْتَضِى اْلفَوْرَ
“Pada asalnya perintah itu menghendaki kesegeraan”
·
اَلاَمْرُ
بِالشَّئ اَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ
“Perintah mengerjakan sesuatu juga berarti perintah
mengerjakan wasilahnya”
·
اَلْاَمْرُ
بِالشَّئِ نَهَيٌ عَنْ ضِدِّهِ
“Perintah terhadap
sesuatu berarti larangan terhadap kebalikannya”
·
اَلْقَضَاءُ
بِاَمْرٍ جَدِيْدٍ
“Qadha’ itu dengan perintah baru”
·
اَلْاَمْرُ
بَعْدَ النَّهْىِ يُفِيْدُ اْلاِبَاحَةَ
“Perintah setelah larangan memfaedahkan hukum mubah”
2. An-Nahyu (Larangan)
Nahi
adalah perintah meninggalkan sesuatu perbuatan dari pihak atasan kepada
bawahannya (dari tuhan kepada manusia). Yang lebih tinggi kedudukannya dalam
hal ini adalah Allah dan yang lebih rendah adalaha Mukallaf. Jadi Nahi itu
adalah larangan Allah yang harus ditinggalkan oleh mukallaf.
Nahi
mempunyai beberapa Qaidah :
·
اَلْاَصْلُ
فِى النَّهِى لِلتَّحْرِيْمِ
“Pada asalnya Nahi itu menunjukkan haram”
·
اَلنَّهِى
عَنِ اَمْرٌ بِضِدِّهِ
“Larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan
kebalikannya”
·
اَلْاَصْلُ
فِى النَّهِى اْلمُطْلَقُ يَقْتَضِى التِّكْرَار فِى جَمِيْعِ اْلاَزْمِنَةِ
“Pada asalnya larangan mutlak menghendaki
pengulangan sepanjang zaman”
Dengan
adanya qaidah-qaidah kebahasaan tersebut bahwasannya setiap ada perintah pasti
ada pula larangan, al-amru dan an-nahyu selamanya akan
bertentangan. Makna atau pengertian yang cepat ditangkap dari
lafazh Amar adalah ijab artinya tuntutan wajib mengerjakan pekerjaan yang
diperintahkan. Jika
Allah memerintahkan kepada hamba-hambaNya
suatu perbuatan berarti kewajiban memenuhi perintahNya. Amar tetap mengandung arti wajib, kecuali Amar itu
tidak mutlaq lagi artinya terdapat qarinah ( petunjuk ) yang dapat mengubah
ketentuan tersebut, sehingga tidak menunjukkan wajib melainkan menunjukkan
hukum sunnat atau mubah dan sebagainya.
Makna haram bisa berpindah ke makna lain apabila ada
petunjuk (qarinah) yang menghendaki peralihan ke makna lain tersebut, baik qarinahnya
itu berupa tuntutan makna yang dapat dipahami dari susunan bahasanya,
maupundari nash lain yang menunjukkan tuntutan terhadap perpalingan makna itu. Lafazh nahi menghendaki larangan secara kekal dan
spontan. Sebab yang dilarang itu tidak terwujud kecuali apabila larangan itu
bersifat kekal. Para ahli ushul menyebutkan “Menurut asalnya nahi yang mutlak
itu menuntut kesinambungan untuk semua masa”.
BAB
III
PENUTUP
Sebagai kesimpulan Dari
pembahasan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
- ‘Amr adalah Suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya.
- Nahi adalah Larangan melakukan suatu perbuatam dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.
- Adapun bentuk kata yang digunakan untuk meminta sesuatu perbuatan agar dikerjakan, ada kalanya dengan:
a. Bentuk fi’il amr,
b. Bentuk
fi’il mudhari’ (kata kerja untuksekarang dan yang akan datang) yang disertai
oleh lam al-amr (huruf yang berarti perintah),
c. Bentuk
isim fi’il amr,
d. Bentuk
masdar pengganti fi’il,
e. Bentuk
jumlah khabariyah-kalimat berita yang mengandung arti insyaiyah, perintah atau
permintaan.
- Ada beberapa kaidah istinbath yang berhubungan dengan amr, yakni :
a. Amr
menunjukkan kepada wajib
b. Amr
menunjukkan pada sunnah
c. Amr
tidak menunjukkan untuk berulang-ulang
d. Amr
tidak menunjukkan untuk bersegera
e. Amr
dan perantara (wasilah) nya
Demikian yang dapat
kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini,
tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan
judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman memberikan kritik dan saran yang membangun
kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di
kesempatan–kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada
khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, 2007, Fiqh
Siyasah, Kencana Prenada Media, Jakarta.
Effendi, Satria, Prof,
Dr, H, M.ZEIN, M.A , 2008,Ushul Fiqh, Kencana, Jakarta
Khallaf, Abdul Wahhab,
Prof, Dr, Ilmu Ushul Fiqh, 2003, Pustaka Amani, Jakarta
Muchtar Hadi, 2011, Buku
Ajar Ushul Fiqih, UNDARIS, Ungaran.
Syarifuddin, Amir,
Prof, Dr, H, Ushul Fiqh, 2009, Kencana, Jakarta
http://www.dakwatuna.com/2012/02/29/19086/pengantar-fiqih-bagian-ke-3-sejarah-perkembangan-fiqih-islam/#ixzz2yzNj50a2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar