RESUME
UNTUK MEMENUHI TUGAS PERKULIAHAN
“USHUL FIQH”
Di Susun :
“USHUL FIQH”
Di Susun :
NAMA :FATHURROHMAN
PRODI : PAI
SEMESTER :III (ALKINDI)
NIM : 1209.12.06537
Prodi : PAI S.1
Dosen Pengampu :
Hj. RISA MALAHAYATI. Lc. M. Pd.i
PRODI : PAI
SEMESTER :III (ALKINDI)
NIM : 1209.12.06537
Prodi : PAI S.1
Dosen Pengampu :
Hj. RISA MALAHAYATI. Lc. M. Pd.i
STAI AULIAURRASYIDIN TEMBILAHAN
T.A 2013/2014
BAB I
USHUL FIQIH
T.A 2013/2014
BAB I
USHUL FIQIH
A. PengertianUshul Fiqh
Secarabahasa, istilah ushul fiqh dibentuk dari dua lafadz, yaitu al-ushul dan al-fiqh.Ushul yang berarti dasar dan fiqh yang berarti faham, seperti kutipan ayat al-Qur’an:
(Can’t be displayed)
“Mereka berkata, ‘haiSyu’aib, kami tidak banyak faham tentang apa yang kamu katakana itu…”
(TQS.Hud [11]: 91)
Dari lafadz tersebut, kemudian para fuqaha dan ulama salaf menggunakannya untuk menyebut pengetahuan mengenai hukum syara’ tentang perbuatan yang digali atau diperoleh dari dalil-dalil tafshili-nya.
Sementara shahabat Ali bin Abi Thalib ra. Menggunakan lafadz fiqh untuk menyatakan hukum halal-haram:
“fiqih sebelum berdagang, sebab siapa saja yang berdagang sebelum memahami halal-haram, niscaya akan terperosok dalam riba, kemudian terperosok lagi.”
Kemudian, definisi ushul fiqh menurut Drs. Hafidz Abdurrahman, MA, dalam bukunya:
“Ushul al-fiqh bisa dijelaskan sebagai kaidah yang mendasari diraihnya potensi (kemampuan) menguasai hukum-hukum perbuatan (al-ahkam al-amaliyyah) dari dalil-dalil kasus perkasus (al-adilah at-tafshiliyyah).Karenaitu, ushul fiqh juga dapat didefinisikan sebagai pengetahuan mengenai kaidah-kaidah yang bisa digunakan untuk menggali hukum-hukum syara’ cabang dari dalil-dalil tafshili. Juga bias dikatakan sebagai dalil-dalil fiqh, aspek penunjukkannya terhadap hukum syara’ (jihhatdalalatiha ‘alaahkamasy-syar’iyyah), serta tata cara pemakai dalil untuk menarik kesimpulan dari dalil (kayfiyyahhal al-mustadil).”
Sementara, Prof. Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya mendefinisikan ushul fiqh adalah:
“himpunan kaidah dan bahasan yang menjadi sarana untuk mengambil dalil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terinci.”
Secarabahasa, istilah ushul fiqh dibentuk dari dua lafadz, yaitu al-ushul dan al-fiqh.Ushul yang berarti dasar dan fiqh yang berarti faham, seperti kutipan ayat al-Qur’an:
(Can’t be displayed)
“Mereka berkata, ‘haiSyu’aib, kami tidak banyak faham tentang apa yang kamu katakana itu…”
(TQS.Hud [11]: 91)
Dari lafadz tersebut, kemudian para fuqaha dan ulama salaf menggunakannya untuk menyebut pengetahuan mengenai hukum syara’ tentang perbuatan yang digali atau diperoleh dari dalil-dalil tafshili-nya.
Sementara shahabat Ali bin Abi Thalib ra. Menggunakan lafadz fiqh untuk menyatakan hukum halal-haram:
“fiqih sebelum berdagang, sebab siapa saja yang berdagang sebelum memahami halal-haram, niscaya akan terperosok dalam riba, kemudian terperosok lagi.”
Kemudian, definisi ushul fiqh menurut Drs. Hafidz Abdurrahman, MA, dalam bukunya:
“Ushul al-fiqh bisa dijelaskan sebagai kaidah yang mendasari diraihnya potensi (kemampuan) menguasai hukum-hukum perbuatan (al-ahkam al-amaliyyah) dari dalil-dalil kasus perkasus (al-adilah at-tafshiliyyah).Karenaitu, ushul fiqh juga dapat didefinisikan sebagai pengetahuan mengenai kaidah-kaidah yang bisa digunakan untuk menggali hukum-hukum syara’ cabang dari dalil-dalil tafshili. Juga bias dikatakan sebagai dalil-dalil fiqh, aspek penunjukkannya terhadap hukum syara’ (jihhatdalalatiha ‘alaahkamasy-syar’iyyah), serta tata cara pemakai dalil untuk menarik kesimpulan dari dalil (kayfiyyahhal al-mustadil).”
Sementara, Prof. Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya mendefinisikan ushul fiqh adalah:
“himpunan kaidah dan bahasan yang menjadi sarana untuk mengambil dalil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terinci.”
B. Perbedaan Fiqh dan Ushul Fiqh
Perbedaan yang paling mendasar antara fiqh dan ushul fiqh bias dideskripsikan bahwa fiqh adalah pengetahuan tentang hukum syara’ yang dihasilkan dari dalil-dalil kasus perkasus (adilah tafshiliyyah), seperti hukum khamr haram, jihad wajib, bersuci adalah syarat sah nya shalat, dan sebagainya.Sementara ushul fiqh, seperti pada bahasan tentang definisi ushul fiqh, adalah kaidah yang diikuti oleh para mujtahid dalam menggali hukum syara’ yang terkait dengan perbuatan dari dalil-dalil kasusperkasus (tafshili), seperti kaidah “I’mal ad-dalilayni awla min ihmala hadihima” (mengaplikasikan dua dalil syara’ lebih baik ketimbang mengabaikan salah satu dari keduanya).
C. Sejarah Ushul Fiqh
Dalam sejarahnya, ilmu ushul fiqh ini telah dibicarakan sejak masa shahabat, tabi’in, dan orang-orang yang ada setelah masa-masa tersebut hingga ilmu ushul fiqh ini dikumpulkan dandijadikan suatu dislipin ilmu setelah abad ke-2 hijriyyah.
Sebagaimana telah diriwayatkan, bahwa shahabat Ali bin Abi Thalib yang menjadi pakar ilmu pada masanya telah membahas mengenai muthlaq, muqayyad, khusus, umum, nasikh dan mansukh. Hanya saja pada waktu itu belum dilakukan dalam bentuk panduan deskriptif.
Para fuqaha pada zaman setelah shahabat mulai melakukan pembahasan dan pedebatan mengenai ushulfiqh, namun mereka belum memiliki kaidah umum yang menyeluruh untuk bias merujuk untuk mengetahui karakter syariah mengenai tata cara menyanggah dan menguatkannya.
Seorang imam mujtahid yang terkenal menggali ilmu ushul fiqh adalah Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (w. 204 H) yang disusun menjadi suatu bahasan dalam bukunya yang berjudul ar-Risalah yang sangat popular.Adapun yang dianggap pertama kali menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh adalah imam Abu Yusuf, teman Imam Abu Hanifah.Akan tetapi, karyanya tidak pernah sampai kepada kita.
Buku ar-Risalah karya Imam asy-Syafi’i mengandung beberapa pembahasan ilmu ushul fiqh, namun tidak meliputi seluruh pembahasan beliau di bidang ushul fiqh. Imam asy-Syafi’i mempunyai buku lain yang membahas tentang ilmu ini, seperti Ibthal al-Ihtisan dan Jamma’ al-‘Ilm, bahkan dalam kitab al-Umm. Di dalamnya, dikemukakan beberapa kaidah kulliyah (menyeluruh) ketika membahas beberapa hokum cabang.
Dalam sejarahnya, ilmu ushul fiqh ini telah dibicarakan sejak masa shahabat, tabi’in, dan orang-orang yang ada setelah masa-masa tersebut hingga ilmu ushul fiqh ini dikumpulkan dandijadikan suatu dislipin ilmu setelah abad ke-2 hijriyyah.
Sebagaimana telah diriwayatkan, bahwa shahabat Ali bin Abi Thalib yang menjadi pakar ilmu pada masanya telah membahas mengenai muthlaq, muqayyad, khusus, umum, nasikh dan mansukh. Hanya saja pada waktu itu belum dilakukan dalam bentuk panduan deskriptif.
Para fuqaha pada zaman setelah shahabat mulai melakukan pembahasan dan pedebatan mengenai ushulfiqh, namun mereka belum memiliki kaidah umum yang menyeluruh untuk bias merujuk untuk mengetahui karakter syariah mengenai tata cara menyanggah dan menguatkannya.
Seorang imam mujtahid yang terkenal menggali ilmu ushul fiqh adalah Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (w. 204 H) yang disusun menjadi suatu bahasan dalam bukunya yang berjudul ar-Risalah yang sangat popular.Adapun yang dianggap pertama kali menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh adalah imam Abu Yusuf, teman Imam Abu Hanifah.Akan tetapi, karyanya tidak pernah sampai kepada kita.
Buku ar-Risalah karya Imam asy-Syafi’i mengandung beberapa pembahasan ilmu ushul fiqh, namun tidak meliputi seluruh pembahasan beliau di bidang ushul fiqh. Imam asy-Syafi’i mempunyai buku lain yang membahas tentang ilmu ini, seperti Ibthal al-Ihtisan dan Jamma’ al-‘Ilm, bahkan dalam kitab al-Umm. Di dalamnya, dikemukakan beberapa kaidah kulliyah (menyeluruh) ketika membahas beberapa hokum cabang.
D. Ruang Lingkup Ushul Fiqh
Ruang lingkup ushul fiqh meliputi beberapa objek bahasan yang dirumuskan berdasarkan kepadadefinisi ushul fiqh, ia antara lain:
Dalil-dalil global (al-adillah al-ijmaliyyah), seperti al-Qur’an dan sunnah dan apa yang ditunjukkan oleh keduanya.
Hukum syara’ dan apa yang memiliki keterkaitan dengannya. Meliputi:
Makna hukum,
pembagian hukum,
rukun hukum , seperti pembuat hukum (al-Hakim), hukum (al-hukm), sarana hukum (al-mahkum ‘alaih), dan objek yang dihukumi (al-mahkum fiyh).
Indikasi lafadz (dalalatu al-lafadzi) al-Qur’an dan sunnah.
Ijtihad dan taqlid, yang meliputi makna, syarat, klasifikasi, dan hukumnya, serta ta’adul dan tarajih, yang meliputi makna, cara memanfaatkan keduanya dalam menyelesaikan makna-makna syar’i.
Ruang lingkup ushul fiqh meliputi beberapa objek bahasan yang dirumuskan berdasarkan kepadadefinisi ushul fiqh, ia antara lain:
Dalil-dalil global (al-adillah al-ijmaliyyah), seperti al-Qur’an dan sunnah dan apa yang ditunjukkan oleh keduanya.
Hukum syara’ dan apa yang memiliki keterkaitan dengannya. Meliputi:
Makna hukum,
pembagian hukum,
rukun hukum , seperti pembuat hukum (al-Hakim), hukum (al-hukm), sarana hukum (al-mahkum ‘alaih), dan objek yang dihukumi (al-mahkum fiyh).
Indikasi lafadz (dalalatu al-lafadzi) al-Qur’an dan sunnah.
Ijtihad dan taqlid, yang meliputi makna, syarat, klasifikasi, dan hukumnya, serta ta’adul dan tarajih, yang meliputi makna, cara memanfaatkan keduanya dalam menyelesaikan makna-makna syar’i.
BAB II
SUMBER HUKUM ISLAM
Pengertian Sumber dan Dalil
Dalam bahasa Arab, yang dimaksud dengan “sumber” secara etimologi adalah mashdar (مصدر), yaitu asal dari segala sesuatu dan tempat merujuk segala sesuatu.Dalam ushul fiqih kata mashdar al-ahkam al-syar’iyyah (مصادرالاحكام الشرعية) secara terminologi berarti rujukan utama dalam menetapkan hukum Islam, yaitu Alquran dan Sunnah.Sedangkan “dalil” dari bahasa Arab al-dalil (الدليل), jamaknya al-adillah (الادلة), secara etimologi berarti:
الهادي الى اي شئ اومعنوي
“Petunjuk kepada sesuatu baik yang bersifat material maupun non material (maknawi).”
Secara terminologi, dalil mengandung pengertian:
مايتوصل بصحيح النظرفيه الى حكم شرعي عملي
Suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang statusnya qathi’ (pasti) maupun zhanni (relatif).
Sumber dan Dalil Hukum Islam
Alquran
Pengertian Alquran
Secara etimologis, Alquran adalah mashdar dari kata qa-ra-a yang artinya bacaan. Sedangkan secara terminologis Alquran adalah:
Alquran
Pengertian Alquran
Secara etimologis, Alquran adalah mashdar dari kata qa-ra-a yang artinya bacaan. Sedangkan secara terminologis Alquran adalah:
القران هوالكلام الله المعجزالمنزل على خاتم الانبياءوالمرسلين بواسطة الامين جبريل المكتوب فى المصاحف المنقول الينابالتواترالمتعبد بتلاوته المبدوبسورة الفاتحة والختوم بسورة الناس.
“Alquran adalah Kalam Allahyang mukjiz, diturunkan kepada Nabi dan Rasul penghabisan dengan perantaraan Malaikat terpercaya, Jibril, tertulis dalam mushaf yang dinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, yang dimulai dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.”
“Alquran adalah Kalam Allahyang mukjiz, diturunkan kepada Nabi dan Rasul penghabisan dengan perantaraan Malaikat terpercaya, Jibril, tertulis dalam mushaf yang dinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, yang dimulai dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.”
b. Hukum-hukum Yang Dikandung Alquran dan Tujuan Diturunkan Alqquran
Para ulama Ushul Fiqih menginduksi hukum-hukum yang dikandung Alquran terdiri atas: I’tiqadiyah, Khuluqiyah, dan Ahkam ‘amaliyah.
Tujuan diturunkannya Alquran yakni sebagai mukjizat yang membuktikan kebenaran Rasulullah dan sebagai petunjuk, sumber syari’at dan hukum-hukum yang wajib diikuti dan dijadikan pedoman.
Para ulama Ushul Fiqih menginduksi hukum-hukum yang dikandung Alquran terdiri atas: I’tiqadiyah, Khuluqiyah, dan Ahkam ‘amaliyah.
Tujuan diturunkannya Alquran yakni sebagai mukjizat yang membuktikan kebenaran Rasulullah dan sebagai petunjuk, sumber syari’at dan hukum-hukum yang wajib diikuti dan dijadikan pedoman.
c. Penjelasan Alquran Terhadap Hukum-hukum
Ijmali (global), yaitu penjelasan yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut dalam pelaksanaannya. Contoh: masalah shalat, zakat dan kaifiyahnya.
Tafshili (rinci), yaitu keterangannya jelas dan sempurna, seperti masalah akidah, hukum waris dan sebagainya.
Ijmali (global), yaitu penjelasan yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut dalam pelaksanaannya. Contoh: masalah shalat, zakat dan kaifiyahnya.
Tafshili (rinci), yaitu keterangannya jelas dan sempurna, seperti masalah akidah, hukum waris dan sebagainya.
d. Dalalah Alquran Terhadap Hukum-hukum
Dalalah Alquran terhadap hukum-hukum adakalanya bersifat qathi’ dan adakalanya bersifat zhanni
Qathi’ yaitu lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya.
Zhanni yaitu lafal-lafal yang dalam Alquran mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan.
Dalalah Alquran terhadap hukum-hukum adakalanya bersifat qathi’ dan adakalanya bersifat zhanni
Qathi’ yaitu lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya.
Zhanni yaitu lafal-lafal yang dalam Alquran mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan.
e. Kaidah Ushul Fiqih Yang Terkait dengan Alquran
Para ulama ushul fiqih, mengemukakan beberapa kaidah umumushul fiqih yang terkait dengan Alquran. Kaidah-kaidah itu diantaranya adalah:
Alquran merupakan dasar dan sumber utama hukum Islam, sehingga seluruh sumber hukum atau metode istinbat hukum harus mengacu kepada kaidah umum yang dikandung Alquran.
Untuk memahami kandungan Alquran, mujtahid harus mengetahui secara baik sebab-sebab diturunkannya Alquran (asbab al-nuzul).
Dalam memahami kandungan Alquran, mujtahid juga dituntut untuk memahami secara baik adat kebiasaan orang Arab, baik yang berkaitan dengan perkataan maupun perbuatan.
Para ulama ushul fiqih, mengemukakan beberapa kaidah umumushul fiqih yang terkait dengan Alquran. Kaidah-kaidah itu diantaranya adalah:
Alquran merupakan dasar dan sumber utama hukum Islam, sehingga seluruh sumber hukum atau metode istinbat hukum harus mengacu kepada kaidah umum yang dikandung Alquran.
Untuk memahami kandungan Alquran, mujtahid harus mengetahui secara baik sebab-sebab diturunkannya Alquran (asbab al-nuzul).
Dalam memahami kandungan Alquran, mujtahid juga dituntut untuk memahami secara baik adat kebiasaan orang Arab, baik yang berkaitan dengan perkataan maupun perbuatan.
As-Sunnah
Pengertian As-Sunnah
As-Sunnah menurut bahasa berarti “perilaku seseorang tertentu, baik perilaku yang baik atau yang buruk.” Sedangkan menurut istilah ushul fiqih sunnah Rasulullah seperti yang dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib (Guru besar Hadis Universitas Damascus) berarti “Segala perilaku Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (sunnah Qauliyah), perbuatan (sunnah Fi’liyah), atau pengakuan (sunnah Taqririyah).”
Pengertian As-Sunnah
As-Sunnah menurut bahasa berarti “perilaku seseorang tertentu, baik perilaku yang baik atau yang buruk.” Sedangkan menurut istilah ushul fiqih sunnah Rasulullah seperti yang dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib (Guru besar Hadis Universitas Damascus) berarti “Segala perilaku Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (sunnah Qauliyah), perbuatan (sunnah Fi’liyah), atau pengakuan (sunnah Taqririyah).”
b. Dalil Keabsahan As-Sunnah Sebagai Sumber Hukum
Alquran memerintahkan kaum muslimim untuk menaati Rasulullah seperti dalam ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (Sunnahnya). Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59)
Selain ayat tersebut ada juga ayat yang menjelaskan bahwa pada diri Rasulullah terdapat keteladanan yang baik (QS.Al-Ahzab: 21), bahkan dalam ayat lain Allah memuji Rasulullah sebagai seorang yang Agung akhlaknya (QS. Al-Qalam: 4). Selain itu terdapat juga dalam QS. An-Nisa: 65 dan 80, dan QS. An-Nahl: 44.
Ayat-ayat di atas secara tegas menunjukkan wajibnya mengikuti Rasulullah yang tidak lain adalah mengikuti sunnah-sunnahnya. Berdasarkan beberapa ayat tersebut, para sahabat semasa hidup Nabi dan setelah wafatnya telah sepakat atas keharusan menjadikan sunnah Rasulullah sebagai sumber hukum.
Alquran memerintahkan kaum muslimim untuk menaati Rasulullah seperti dalam ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (Sunnahnya). Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59)
Selain ayat tersebut ada juga ayat yang menjelaskan bahwa pada diri Rasulullah terdapat keteladanan yang baik (QS.Al-Ahzab: 21), bahkan dalam ayat lain Allah memuji Rasulullah sebagai seorang yang Agung akhlaknya (QS. Al-Qalam: 4). Selain itu terdapat juga dalam QS. An-Nisa: 65 dan 80, dan QS. An-Nahl: 44.
Ayat-ayat di atas secara tegas menunjukkan wajibnya mengikuti Rasulullah yang tidak lain adalah mengikuti sunnah-sunnahnya. Berdasarkan beberapa ayat tersebut, para sahabat semasa hidup Nabi dan setelah wafatnya telah sepakat atas keharusan menjadikan sunnah Rasulullah sebagai sumber hukum.
c. Pembagian As-Sunnah atau Hadis
Sunnah atau hadis dari segi sanadnya atau periwayatannya dalam kajian ushul fiqih dibagi menjadi dua macam, yaitu: hadis mutawwatir dan hadis ahad.[10]
Sunnah atau hadis dari segi sanadnya atau periwayatannya dalam kajian ushul fiqih dibagi menjadi dua macam, yaitu: hadis mutawwatir dan hadis ahad.[10]
d. Fungsi Sunnah Terhadap Ayat-ayat Hukum
Secara umum fungsi sunnah adalah sebagai bayan (penjelasan), atau tabyim (menjelaskan ayat-ayat hukum dalam Alquran (QS. An-Naml: 44)). Ada beberapa fungsi sunnah terhadap Alquran, yaitu:
Menjelaskan isi Alquran, antara lain dengan merinci ayat-ayat global
Membuat aturan-aturan tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajiban yang disebutkan pokok-pokoknya di dalam Alquran
Menetapkan hukum yang belum disinggung dalam Alquran.
Secara umum fungsi sunnah adalah sebagai bayan (penjelasan), atau tabyim (menjelaskan ayat-ayat hukum dalam Alquran (QS. An-Naml: 44)). Ada beberapa fungsi sunnah terhadap Alquran, yaitu:
Menjelaskan isi Alquran, antara lain dengan merinci ayat-ayat global
Membuat aturan-aturan tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajiban yang disebutkan pokok-pokoknya di dalam Alquran
Menetapkan hukum yang belum disinggung dalam Alquran.
Ra’yu (Ijtihad)
Ijma’
Pengertian Ijma’
Ijma’ artinya cita-cita, rencana dan kesepakatan.Firman Allah Swt.
فاجمعواامركم (يونس:٧١)
“Maka cita-citakanlah urusanmu.”
Menurut Imam Ghazali ijma’ adalah kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama.
Ijma’
Pengertian Ijma’
Ijma’ artinya cita-cita, rencana dan kesepakatan.Firman Allah Swt.
فاجمعواامركم (يونس:٧١)
“Maka cita-citakanlah urusanmu.”
Menurut Imam Ghazali ijma’ adalah kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama.
b)Rukun dan Syarat Ijma’
Rukun ijma’ menurut Jumhur Ulama yaitu:
Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid
Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut
Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya
Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’
Sandaran ijma’ yaitu Alquran dan Hadis
Rukun ijma’ menurut Jumhur Ulama yaitu:
Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid
Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut
Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya
Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’
Sandaran ijma’ yaitu Alquran dan Hadis
c) Syarat-syarat Ijma’ Menurut Jumhur Ulama
Yang melakukan ijma’ adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad
Kesepakatan muncul dari mujtahid yang bersifat adil
Mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid’ah.
Yang melakukan ijma’ adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad
Kesepakatan muncul dari mujtahid yang bersifat adil
Mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid’ah.
d)Kedudukan Ijma’
Ijma’ tidak dijadikan hujjah (alasan) dalam menetapkan hukum karena yang menjadi alasan adalah kitab dan sunnah atau ijma’ yang didasarkan kepada kitab dan sunnah.
“Ijma’ tidaklah termasuk dalil yang bisa berdiri sendiri.”
Firman Allah Swt. QS. An-Nisa’ ayat 58 yang artinya:
“Jika kamu berlainan pendapat dalam suatu masalah, maka hendaklah kamu kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Yang dimaksud kembali kepada Allah yaitu berpedoman dan bertitik tolak dalam menetapkan suatu hukum kepada Alquran.Sedangkan yang dimaksud dengan kembali kepada Rasul-Nya yaitu berdasarkan kepada Sunnah Rasul.Dengan pengertian ijma’ yang dapat menjadi hujjah adalah ijma’ yang berdasarkan kepada Alquran dan Sunnah.
Ijma’ tidak dijadikan hujjah (alasan) dalam menetapkan hukum karena yang menjadi alasan adalah kitab dan sunnah atau ijma’ yang didasarkan kepada kitab dan sunnah.
“Ijma’ tidaklah termasuk dalil yang bisa berdiri sendiri.”
Firman Allah Swt. QS. An-Nisa’ ayat 58 yang artinya:
“Jika kamu berlainan pendapat dalam suatu masalah, maka hendaklah kamu kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Yang dimaksud kembali kepada Allah yaitu berpedoman dan bertitik tolak dalam menetapkan suatu hukum kepada Alquran.Sedangkan yang dimaksud dengan kembali kepada Rasul-Nya yaitu berdasarkan kepada Sunnah Rasul.Dengan pengertian ijma’ yang dapat menjadi hujjah adalah ijma’ yang berdasarkan kepada Alquran dan Sunnah.
b. Qiyas
Pengertian Qias
Qias menurut bahasa artinya perbandingan, yaitu membandingkan sesuatu kepada yang lain dengan persamaan illatnya. Sedangkan menurut istilah qias adalah mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang telah disebutkan (belum mempunyai ketetapan) kepada hukum yang telah ada atau telah ditetapkan oleh kitab dan sunnah, disebabkan sama illat antara keduanya (asal dan furu’).
Pengertian Qias
Qias menurut bahasa artinya perbandingan, yaitu membandingkan sesuatu kepada yang lain dengan persamaan illatnya. Sedangkan menurut istilah qias adalah mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang telah disebutkan (belum mempunyai ketetapan) kepada hukum yang telah ada atau telah ditetapkan oleh kitab dan sunnah, disebabkan sama illat antara keduanya (asal dan furu’).
b)Rukun dan Syarat Qias
Para ulama ushul fiqh menatapkan bahwa rukun qiyas itu ada empat, yaitu: ‘ashl (wadah hukum yang ditetapkan melalui nash atau ijma’), far’u (kasus yang akan ditentukan hukumnya), ‘illat (motivasi hukum) yang terdapat dan terlibat oleh mujtahid pada ‘ashl, dan hukum ‘ashl (hukum yang telah ditentukan oleh nash atau ijma’).
Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa setiap rukun qias yang telah dipeparkan dia atas harus memenuhi syarat-syarat tertentu, sehingga qias dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
Para ulama ushul fiqh menatapkan bahwa rukun qiyas itu ada empat, yaitu: ‘ashl (wadah hukum yang ditetapkan melalui nash atau ijma’), far’u (kasus yang akan ditentukan hukumnya), ‘illat (motivasi hukum) yang terdapat dan terlibat oleh mujtahid pada ‘ashl, dan hukum ‘ashl (hukum yang telah ditentukan oleh nash atau ijma’).
Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa setiap rukun qias yang telah dipeparkan dia atas harus memenuhi syarat-syarat tertentu, sehingga qias dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
Ashl
Syarat-syarat ashl itu adalah:
Hukum ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dibatalkan
Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’
‘Ashl itu bukan merupakan far’u dari ashl lainnya
Dalil yang menetapkan ‘illat pada ashl itu adalah dalil khusus
Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qias
Hukum ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qias
Hukum al-Ashl
Tidak bersifat khusus
Hukum al-ashl itu tidak keluar dari ketentuan-ketentuan qias
Tidak ada nash
Hukum al-ashl itu lebih dahulu disyariatkan dari far’u.
Far’u
‘Illatnya sama dengan ‘illatnya yang ada pada ashl
Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qias
Hukum far’u tidak mendahului hukum ashl
Tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u itu
‘Illat
‘Illat mengandung motivasi hukum, bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum
‘Illat dapat diukur dan berlaku untuk semua orang
‘Illat itu jelas, nyata, dan bisa ditangkap oleh panca indera manusia
‘Illat merupakan sifat yang sesuai dengan hukum
‘Illat itu tidak bertentangan dengan nash atau ijma
‘Illat itu bersifat utuh dan berlaku secara timbal balik
‘Illat itu tidak datang belakangan dari hukum ashl
‘Illat itu bisa ditetapkan dan diterapkan pada kasus hukum lain.
Syarat-syarat ashl itu adalah:
Hukum ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dibatalkan
Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’
‘Ashl itu bukan merupakan far’u dari ashl lainnya
Dalil yang menetapkan ‘illat pada ashl itu adalah dalil khusus
Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qias
Hukum ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qias
Hukum al-Ashl
Tidak bersifat khusus
Hukum al-ashl itu tidak keluar dari ketentuan-ketentuan qias
Tidak ada nash
Hukum al-ashl itu lebih dahulu disyariatkan dari far’u.
Far’u
‘Illatnya sama dengan ‘illatnya yang ada pada ashl
Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qias
Hukum far’u tidak mendahului hukum ashl
Tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u itu
‘Illat
‘Illat mengandung motivasi hukum, bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum
‘Illat dapat diukur dan berlaku untuk semua orang
‘Illat itu jelas, nyata, dan bisa ditangkap oleh panca indera manusia
‘Illat merupakan sifat yang sesuai dengan hukum
‘Illat itu tidak bertentangan dengan nash atau ijma
‘Illat itu bersifat utuh dan berlaku secara timbal balik
‘Illat itu tidak datang belakangan dari hukum ashl
‘Illat itu bisa ditetapkan dan diterapkan pada kasus hukum lain.
c) Kedudukan Qias
Menurut Jumhur Ulama, bahwa qias adalah hukum syara’ yang dapat menjadi hujjah dalam menetapkan suatu hukum dengan alasan:
فاعتبروايااولى الابصار (الحشر:٢)
“Maka menjadi pandangan bagi orang-orang yang berpikir.” (QS. Al-Hasyr:2)
Kalimat yang menunjukkan qias dalam ayat ini “menjadi pandangan”, ini berarti membandingkan antar hukum yang tidak disebutkan dengan hukum yang telah ada ketentuannya.
Menurut Jumhur Ulama, bahwa qias adalah hukum syara’ yang dapat menjadi hujjah dalam menetapkan suatu hukum dengan alasan:
فاعتبروايااولى الابصار (الحشر:٢)
“Maka menjadi pandangan bagi orang-orang yang berpikir.” (QS. Al-Hasyr:2)
Kalimat yang menunjukkan qias dalam ayat ini “menjadi pandangan”, ini berarti membandingkan antar hukum yang tidak disebutkan dengan hukum yang telah ada ketentuannya.
c. ‘UrfPengertian ‘Urf
Kata ‘urf secara etimologi berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara terminologi seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidin:
ماالفه المجتمع واعتاه وسارعليه فى حياته من قول اوفعله
“Sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.”
b)Macam-macam ‘Urf
‘Urf baik berupa perbuatan maupun berupa perkataan, seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, terbagi kepada dua macam:
Al-‘urf al-‘Am (adat kebiasaan umum) yaitu adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negeri disatu masa
Al-‘Urf al-Khas (adat kebiasaan khusus) yaitu adat istiadat yang berlaku pada masyarakat atau negeri tertentu
Disamping pembagian di atas, ‘urf dibagi pula kepada:
Adat kebiasaan yang benar, yaitu suatu hal yang baik yang menjadi kebiasaan suatu masyarakat, namun tidak sampai menghalalkan yang haram dan tidak pula sebaliknya
Adat kebiasaan yang tidak benar (fasid) yaitu sesuatu yang menjadi adat kebiasaan yang sampai menghalalkan yang diharamkan Allah.
Keabsahan ‘Urf menjadi Landasan Hukum
Para ulama sepakat menolak ‘urf fasid untuk dijadikan landasan hukum.Menururt hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid bahwa mazab yang dikenal banyak menggunakan ‘urf sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan Malikiyah serta kalangan Hanbaliyah dan Syafi’iyah.
d)Syarat-syarat ‘Urf
Abdul Karim Zaidan menyebutkan beberapa syarat-syarat ‘urf yaitu:
‘Urf itu harus termasuk ‘urf yang shahih
‘Urf harus bersifat umum
‘Urf harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan kepada ‘urf itu
Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan kehendak ‘urf tersebut.
e) Kaidah ‘Urf
Diterimanya ‘urf sebagai landasan pembentukan hukum memberi peluang lebih luas bagi dinamisasi hukum Islam. Sebab, disamping banyak masalah-masalah yang tidak tertampung oleh metode-metode lainnya seperti qias, istihsan dan maslahah mursalah yang dapat ditampung oleh adat istiadat ini, juga ada kaidah yang menyebutkan bahwa hukum yang pada mulanya dibentuk oleh mujtahid berdasarkan ‘urf akan berubah bilamana ‘urf itu berubah. Bahwa tidak diingkari adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan waktu dan tempat.
Kata ‘urf secara etimologi berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara terminologi seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidin:
ماالفه المجتمع واعتاه وسارعليه فى حياته من قول اوفعله
“Sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.”
b)Macam-macam ‘Urf
‘Urf baik berupa perbuatan maupun berupa perkataan, seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, terbagi kepada dua macam:
Al-‘urf al-‘Am (adat kebiasaan umum) yaitu adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negeri disatu masa
Al-‘Urf al-Khas (adat kebiasaan khusus) yaitu adat istiadat yang berlaku pada masyarakat atau negeri tertentu
Disamping pembagian di atas, ‘urf dibagi pula kepada:
Adat kebiasaan yang benar, yaitu suatu hal yang baik yang menjadi kebiasaan suatu masyarakat, namun tidak sampai menghalalkan yang haram dan tidak pula sebaliknya
Adat kebiasaan yang tidak benar (fasid) yaitu sesuatu yang menjadi adat kebiasaan yang sampai menghalalkan yang diharamkan Allah.
Keabsahan ‘Urf menjadi Landasan Hukum
Para ulama sepakat menolak ‘urf fasid untuk dijadikan landasan hukum.Menururt hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid bahwa mazab yang dikenal banyak menggunakan ‘urf sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan Malikiyah serta kalangan Hanbaliyah dan Syafi’iyah.
d)Syarat-syarat ‘Urf
Abdul Karim Zaidan menyebutkan beberapa syarat-syarat ‘urf yaitu:
‘Urf itu harus termasuk ‘urf yang shahih
‘Urf harus bersifat umum
‘Urf harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan kepada ‘urf itu
Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan kehendak ‘urf tersebut.
e) Kaidah ‘Urf
Diterimanya ‘urf sebagai landasan pembentukan hukum memberi peluang lebih luas bagi dinamisasi hukum Islam. Sebab, disamping banyak masalah-masalah yang tidak tertampung oleh metode-metode lainnya seperti qias, istihsan dan maslahah mursalah yang dapat ditampung oleh adat istiadat ini, juga ada kaidah yang menyebutkan bahwa hukum yang pada mulanya dibentuk oleh mujtahid berdasarkan ‘urf akan berubah bilamana ‘urf itu berubah. Bahwa tidak diingkari adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan waktu dan tempat.
d. Istishab
Pengertian
Kata istishab secara etimologi berarti meminta ikut serta secara terus menerus. Secara terminologi menurut Abdul Karim Zaidan yaitu:
استدامة انبات ماكان ثابتاءاونفى ماكان منفيا
“Menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.”
b)Macam-macam Istishab
Muhamad Abu Zahrah menyebutkan empat macam-macam istishab sebagai berikut:
Istishab al-ibahah al-ishliyah yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal sesuatu yaitu mubah. Contoh: bahwa seluruh hutan ini milik manusia kecuali kalau ada orang yang mempunyai bukti yang kuat sebagai pemiliknya.
Istishab al-baraah al-ashliyah yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan bebas taklif sampai ada dalil yang mengubah statusnya itu dan bebas dari utang atau kesalahan sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu
Istishab al-hukm yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya
Istishab al-wasf yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya.
Pengertian
Kata istishab secara etimologi berarti meminta ikut serta secara terus menerus. Secara terminologi menurut Abdul Karim Zaidan yaitu:
استدامة انبات ماكان ثابتاءاونفى ماكان منفيا
“Menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.”
b)Macam-macam Istishab
Muhamad Abu Zahrah menyebutkan empat macam-macam istishab sebagai berikut:
Istishab al-ibahah al-ishliyah yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal sesuatu yaitu mubah. Contoh: bahwa seluruh hutan ini milik manusia kecuali kalau ada orang yang mempunyai bukti yang kuat sebagai pemiliknya.
Istishab al-baraah al-ashliyah yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan bebas taklif sampai ada dalil yang mengubah statusnya itu dan bebas dari utang atau kesalahan sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu
Istishab al-hukm yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya
Istishab al-wasf yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya.
e. Syar’u Man Qablana
Pengertian
Ialah syariat atau ajaran-ajaran nabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa.
b)Pendapat Para Ulama
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam Alquran dan Sunnah tidak berlaku lagi bagi umat.
Pengertian
Ialah syariat atau ajaran-ajaran nabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa.
b)Pendapat Para Ulama
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam Alquran dan Sunnah tidak berlaku lagi bagi umat.
f. Mazhab Shahabi
Mazhab Sahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah Saw.Tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Alquran dan Sunnah.
Mazhab Sahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah Saw.Tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Alquran dan Sunnah.
BAB III
METODE IJTIHAD
A. Pengertian Ijtihad
Secara etimologi ijtihad adalah pendapat,tafsiran yang disimpulkan oleh ahli hukum dalam islam; upaya para ulama syaruk(syariat) mengenai suatu masalah sebelumnya tidak dijumpai dalam Al Qur’an dan hadits.
Adapun ijtihad menurut para ahli ushul fiqh ialah pengerahan daya pikir untuk menemukan suatu ketentuan hukum syar’.adapun orang yang berkecimpung dalam bidang ini dinamakan mujtahid.
Abu Zahrah mendefinisikan ijtihad sebagai pengerahan seorang ahli fiqh akan kemampuannya dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan dangan amal perbuatan dari satu per satu dalilnya
Dari ketiga definisi mengindikasikan bahwa ijtihad adalah hasil dari pemikiran manusia(mujtahid) yang pencarian hukumnya didasarkan pada AlQur’an dan Hadist.
Namun perlu dimengerti pula bahwa ijtihad tidak selamanya benar karena rosulpun melakukan ijtihad dan jika ijtihad beliau salah, segera mendapat teguran dari Allah swt melalui turunnya wahyu.
Adapun ijtihad menurut para ahli ushul fiqh ialah pengerahan daya pikir untuk menemukan suatu ketentuan hukum syar’.adapun orang yang berkecimpung dalam bidang ini dinamakan mujtahid.
Abu Zahrah mendefinisikan ijtihad sebagai pengerahan seorang ahli fiqh akan kemampuannya dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan dangan amal perbuatan dari satu per satu dalilnya
Dari ketiga definisi mengindikasikan bahwa ijtihad adalah hasil dari pemikiran manusia(mujtahid) yang pencarian hukumnya didasarkan pada AlQur’an dan Hadist.
Namun perlu dimengerti pula bahwa ijtihad tidak selamanya benar karena rosulpun melakukan ijtihad dan jika ijtihad beliau salah, segera mendapat teguran dari Allah swt melalui turunnya wahyu.
B. Dasar Ijtihad
Banyak ditunjukan firman allah yang dijadikan rujukan dalam melakukan ijtihad diantara firman allah yang sangat menonjol ialah surat An-Nisa 59
“maka jika kamu berselisih paham tentang sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan Rosulnya”
Dari dalil diatas telah tersirat bahwa manusia diperbolehkan menentukan hukum tentang suatu hal apabila terjadi pertentangan dengan cara mengambil penjelasan penjelasan yang ada dalam Al qur’an dan hadist Rosul.Fungsi Ijtihad
Imam Syafi’i mengatakan dalam kitabnya Ar-Risalah, ketika menggambarkan tentang kesempurnanaan Al Qur’an beliau menegaskan “Maka tidak terjadi suatu peristiwapun pada seorang pemeluk agama allah, kecuali terdapat dalam kitab allah tentang hukumnya. [5]menurut beliau hukum yang dikandung oleh Al Qur’an bisa menjawab berbagai permasalahan tentunya harus digali dengan melakukan ijtihad.
Apa yang disampaikan oleh imam syafi’i di atas mengisyaratkan betapa pentingnya ijtihad selaras dengan Al Qur’an dan hadist Rosul. Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadist yang tidak sampai tingkat mutawatir.Atau sebagai upaya mencari penerangan terhadap hal hal yang hanya dapat di gali melalui ijtihad.Serta berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prisip hukum baru yang sudah ada dalam Al Qur’an dan Hadist.
Banyak ditunjukan firman allah yang dijadikan rujukan dalam melakukan ijtihad diantara firman allah yang sangat menonjol ialah surat An-Nisa 59
“maka jika kamu berselisih paham tentang sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan Rosulnya”
Dari dalil diatas telah tersirat bahwa manusia diperbolehkan menentukan hukum tentang suatu hal apabila terjadi pertentangan dengan cara mengambil penjelasan penjelasan yang ada dalam Al qur’an dan hadist Rosul.Fungsi Ijtihad
Imam Syafi’i mengatakan dalam kitabnya Ar-Risalah, ketika menggambarkan tentang kesempurnanaan Al Qur’an beliau menegaskan “Maka tidak terjadi suatu peristiwapun pada seorang pemeluk agama allah, kecuali terdapat dalam kitab allah tentang hukumnya. [5]menurut beliau hukum yang dikandung oleh Al Qur’an bisa menjawab berbagai permasalahan tentunya harus digali dengan melakukan ijtihad.
Apa yang disampaikan oleh imam syafi’i di atas mengisyaratkan betapa pentingnya ijtihad selaras dengan Al Qur’an dan hadist Rosul. Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadist yang tidak sampai tingkat mutawatir.Atau sebagai upaya mencari penerangan terhadap hal hal yang hanya dapat di gali melalui ijtihad.Serta berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prisip hukum baru yang sudah ada dalam Al Qur’an dan Hadist.
C. Objek Ijtihad
Tidaklah semua hukum islam dapat dijadikan objek dalam berijtihad. Ada beberapa objek yang tidak diperbolehkan dilakukan ijtihad yakni:
Hukum yang di bawa oleh Nash Qat’i.
Hukum yang tidak dibawa oleh nash dan tidak pula diketahui dengan pasti dari agama. Namun sudah menjadi kesepakatan ulama
Dikemukakan oleh Abdul Wahhab khallaf bahwa yang menjadi objek ijtihad adalah masalah masalah yang tidak pasti (Zhanni) baik dari segi datangnya dari rosul, atau dari pengertiannya.
Yang demikian dapat di kategorikan menjadi tiga macam:
Hadist ahad
Lafadz atau redaksi Al qur’an dan hadits yang menunjukan pengertian secara zhanni.
Masalah yang tidak ada teks ayat atau hadist dan tidak ada ijma yang menjelaskan hukumnya.
Metode Ijtihad
Metode ijtihad yang dimaksud disini adalah cara yang harus ditempuh seorang mujtahid dalam memahami, menemukan,merumuskan hukum syara.
Ada beberapa metode berijtihad yang semuanya memiliki tujuan sama yakni menentukan hukumk suatu hal.istihsan, maaslahah mursalah, istishab, Urf’, mazhab shahabi, Syar’u Man Qablana, saddu Al-Zari’ah adalah beberapa metode tersebut.
Ketika terjadi suatu perkara berikut adalah langkah langkah yang harus ditempuh seorang mujtahid dalam berijtihad:
Merujuk pada Al Qur’an, yang dimaksudkan disini ialah mencari penjelasan hukum dimulai dari mencari dalil dalil dalam Al qur’an.
Jika tidak ditemukan dalam Al Qur’an maka penarian hukum dilanjutkan melalui tahapan berikutnya yaitu merujuk pada hadist hadist rosul.
Mujtahid mencari jawaban dari kesepakatan ulama(ijma’) sahabat.bila disini ditemukan hukum maka mujtahid menetapkan hukum sesuai apa yang disepakati.
Bila dari ketiga itu tidak di dapati hukum maka mujtahid mengerahkan segenap kemampuan daya ilmunya untuk menggali dan menemukan hukum Allah yang diyakini ada.
Hukum berijtihad
Al Tayyib Khuderi al sayyid berpendapat bahwa hukum brerijtihad bagi seorang mujtahid dapat menjadi fardu’ain,fardu kifayah, dan busa mandub (sunat), dan bisa pula haram. Hukum melakukan ijtihad adalah fardu’aindilakukan oleh setiap orang yang mencukupi syarat menjadi mujtahid bilamana ada sesuatu yang membutuhkan jawaban darinya. Hukum yang dikeluarkan tersebut wajib diikuti dan tidak boleh bertaklid dengan mujtahid lain.
D. MUJTAHID
Pengetian
Dari gambaran tentang ijtihad diatas tampak bahwa ijtihad adalah kegiatan otrang yang memenuhi syarat tertentu dengan melakukan penggalian terhadap hukum allah.
Disini terlihat bahwa dalam berijtihad memiliki dua unsur pokok (1)mujtahid orang yang melakukan ijtihad (2) dugaan kuat tentang hukum allah yang menjadi objek ijtihad.
Tidaklah semua hukum islam dapat dijadikan objek dalam berijtihad. Ada beberapa objek yang tidak diperbolehkan dilakukan ijtihad yakni:
Hukum yang di bawa oleh Nash Qat’i.
Hukum yang tidak dibawa oleh nash dan tidak pula diketahui dengan pasti dari agama. Namun sudah menjadi kesepakatan ulama
Dikemukakan oleh Abdul Wahhab khallaf bahwa yang menjadi objek ijtihad adalah masalah masalah yang tidak pasti (Zhanni) baik dari segi datangnya dari rosul, atau dari pengertiannya.
Yang demikian dapat di kategorikan menjadi tiga macam:
Hadist ahad
Lafadz atau redaksi Al qur’an dan hadits yang menunjukan pengertian secara zhanni.
Masalah yang tidak ada teks ayat atau hadist dan tidak ada ijma yang menjelaskan hukumnya.
Metode Ijtihad
Metode ijtihad yang dimaksud disini adalah cara yang harus ditempuh seorang mujtahid dalam memahami, menemukan,merumuskan hukum syara.
Ada beberapa metode berijtihad yang semuanya memiliki tujuan sama yakni menentukan hukumk suatu hal.istihsan, maaslahah mursalah, istishab, Urf’, mazhab shahabi, Syar’u Man Qablana, saddu Al-Zari’ah adalah beberapa metode tersebut.
Ketika terjadi suatu perkara berikut adalah langkah langkah yang harus ditempuh seorang mujtahid dalam berijtihad:
Merujuk pada Al Qur’an, yang dimaksudkan disini ialah mencari penjelasan hukum dimulai dari mencari dalil dalil dalam Al qur’an.
Jika tidak ditemukan dalam Al Qur’an maka penarian hukum dilanjutkan melalui tahapan berikutnya yaitu merujuk pada hadist hadist rosul.
Mujtahid mencari jawaban dari kesepakatan ulama(ijma’) sahabat.bila disini ditemukan hukum maka mujtahid menetapkan hukum sesuai apa yang disepakati.
Bila dari ketiga itu tidak di dapati hukum maka mujtahid mengerahkan segenap kemampuan daya ilmunya untuk menggali dan menemukan hukum Allah yang diyakini ada.
Hukum berijtihad
Al Tayyib Khuderi al sayyid berpendapat bahwa hukum brerijtihad bagi seorang mujtahid dapat menjadi fardu’ain,fardu kifayah, dan busa mandub (sunat), dan bisa pula haram. Hukum melakukan ijtihad adalah fardu’aindilakukan oleh setiap orang yang mencukupi syarat menjadi mujtahid bilamana ada sesuatu yang membutuhkan jawaban darinya. Hukum yang dikeluarkan tersebut wajib diikuti dan tidak boleh bertaklid dengan mujtahid lain.
D. MUJTAHID
Pengetian
Dari gambaran tentang ijtihad diatas tampak bahwa ijtihad adalah kegiatan otrang yang memenuhi syarat tertentu dengan melakukan penggalian terhadap hukum allah.
Disini terlihat bahwa dalam berijtihad memiliki dua unsur pokok (1)mujtahid orang yang melakukan ijtihad (2) dugaan kuat tentang hukum allah yang menjadi objek ijtihad.
Syarat Mujtahid
Menurut Wahbah Az-zuhaili menyatakan ada delapan syaratr yang harus dipenuhu untuk menjadi seorang mujtahid.
Mengerti dengan makna-makna yang terkandung oleh ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an baik secara bahasa mauoun menurut istilah syariat.
Mengetahui tentang hadist-hadist hukum baik secara bahasa mauoun dalam pemakaian syariat.
Mengetahui tentang mana ayat atau hadist yang telah di mansukh dan mana yang menjadi penggantinya.
Mempunyai pengetahuan tentang ijma dan mengetahui tempat penerapannya.
Mengetahui seluk beluk qiyas.
Mengetahui ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya(Nahwu & Shorof)
Menguasai ilmu Fiqh.
Mampu menangkap tujuan syariat dalam merumuskan suatu hukum. Peringkat Mujtahid
Membahas peringkat mujtahid berkaitan erat dengan pemenuhan syarat yang dilakukan mujtahid diatas. Dibawah ini akan disebutkan peringkat mujtahid menurut Abu Zahrah dalam kitab Tarikh:
Mujtahid dalam hukum syara’
Mujtahid ini menggali, menemukan dan mengeluarkan hukumlangsung dari sumbernya.Ia menelaah hukum dari alquran dan meng istinbathkan hukum dari hadist nabi.
Mujtahid mujtahid
Mujtahid ini dalam berijtihad memilih dan mengikuti ilmu ushul serta merode yang telah ditetapkan oleh mujtahid sebelumnya.
Mujtahid mazhab
Mujtahid ini mengikuti imam mazhabnya bernaung.Biasanya mujtahid pada tingkatan ini mempunyai ilmu yang luas tentang mazhabnya.
Mujtahid murajjih
Mujtahid tingkatan ini berusaha menggali dan mengenal hukum furu, namun ia tidak sampai menetapkan sendiri hukumnya.
Mujtahid muwazzin
Oleh Abu Zahrah disebut juga mustadillin yaitu ulama yang tidak mempunyai kemampuan untuk mentarjih.
Golongan huffaz
Mujtahid golongan ini mempunyai kemampuan untuk menghafal mengingat hukum yang telah ditemukan imam mujtahid sebelumnya.
Golongan muqallid
Golongan ini adalah gologan umat yang tidak memiliki kemampuan dalam melakukan ijtihad dan tidak punya kemampuan untuk mentahrij.
Menurut Wahbah Az-zuhaili menyatakan ada delapan syaratr yang harus dipenuhu untuk menjadi seorang mujtahid.
Mengerti dengan makna-makna yang terkandung oleh ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an baik secara bahasa mauoun menurut istilah syariat.
Mengetahui tentang hadist-hadist hukum baik secara bahasa mauoun dalam pemakaian syariat.
Mengetahui tentang mana ayat atau hadist yang telah di mansukh dan mana yang menjadi penggantinya.
Mempunyai pengetahuan tentang ijma dan mengetahui tempat penerapannya.
Mengetahui seluk beluk qiyas.
Mengetahui ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya(Nahwu & Shorof)
Menguasai ilmu Fiqh.
Mampu menangkap tujuan syariat dalam merumuskan suatu hukum. Peringkat Mujtahid
Membahas peringkat mujtahid berkaitan erat dengan pemenuhan syarat yang dilakukan mujtahid diatas. Dibawah ini akan disebutkan peringkat mujtahid menurut Abu Zahrah dalam kitab Tarikh:
Mujtahid dalam hukum syara’
Mujtahid ini menggali, menemukan dan mengeluarkan hukumlangsung dari sumbernya.Ia menelaah hukum dari alquran dan meng istinbathkan hukum dari hadist nabi.
Mujtahid mujtahid
Mujtahid ini dalam berijtihad memilih dan mengikuti ilmu ushul serta merode yang telah ditetapkan oleh mujtahid sebelumnya.
Mujtahid mazhab
Mujtahid ini mengikuti imam mazhabnya bernaung.Biasanya mujtahid pada tingkatan ini mempunyai ilmu yang luas tentang mazhabnya.
Mujtahid murajjih
Mujtahid tingkatan ini berusaha menggali dan mengenal hukum furu, namun ia tidak sampai menetapkan sendiri hukumnya.
Mujtahid muwazzin
Oleh Abu Zahrah disebut juga mustadillin yaitu ulama yang tidak mempunyai kemampuan untuk mentarjih.
Golongan huffaz
Mujtahid golongan ini mempunyai kemampuan untuk menghafal mengingat hukum yang telah ditemukan imam mujtahid sebelumnya.
Golongan muqallid
Golongan ini adalah gologan umat yang tidak memiliki kemampuan dalam melakukan ijtihad dan tidak punya kemampuan untuk mentahrij.
Kekuatan Hasil Ijtihad
Hasil yang dicapai dari proses ijtihad seorang mujtahid bersifat zhanni (tidak pasti) karena hanya merupakan dugaan kuat mujtahid melalui penalaran dan pengkajian terhadap Al Qur’an dan hadist.
Menurut salam madzkur, hasil ijtihad itu mempunyai kekuatan mengikat untuk mujtahid yang mengeluarkan fatwa tersebut, juga mempunyai kekuatan mengikat kepada orang yang meminta kejelasan hukumnya. [15]
walaupun hasil ijtihad bersifat mengikat terhadap mujtahid dan yang meminta fatwa, namun pada prinsipnya hasil ijtihad itu tidaklah mempunyai daya ikat terhadap umat. Karena itu hasil ijtihad tersebut bukan hal yang wajib untuk diikuti.Hal ini sangat beralasan karena hasil ijtihad memiliki sifat zhanni.
Hasil yang dicapai dari proses ijtihad seorang mujtahid bersifat zhanni (tidak pasti) karena hanya merupakan dugaan kuat mujtahid melalui penalaran dan pengkajian terhadap Al Qur’an dan hadist.
Menurut salam madzkur, hasil ijtihad itu mempunyai kekuatan mengikat untuk mujtahid yang mengeluarkan fatwa tersebut, juga mempunyai kekuatan mengikat kepada orang yang meminta kejelasan hukumnya. [15]
walaupun hasil ijtihad bersifat mengikat terhadap mujtahid dan yang meminta fatwa, namun pada prinsipnya hasil ijtihad itu tidaklah mempunyai daya ikat terhadap umat. Karena itu hasil ijtihad tersebut bukan hal yang wajib untuk diikuti.Hal ini sangat beralasan karena hasil ijtihad memiliki sifat zhanni.
BAB IV
KAIDAH-KAEDAH USHULLIYAH
A. Definisi Kaidah (USHULLIYAH)
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menambahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menambahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :
”Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya”.
(Q.S. An-Nahl : 26)
(Q.S. An-Nahl : 26)
Sedangkan dalam tinjauan terminologi kaidah punya beberapa arti, menurut
Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
”Kaum yang bersifat universal (kulli) yang diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”.
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
”Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.
Singkatnya, kaidah fiqh merupakan kaidah yang dirumuskan dari berbagai macam aturan fiqh dalam berbagai bidangnya, cara mempelajarinya berawal dari mempelajari mmateri fiqh dan merupakan pedoman praktis yang bijaksana dalam mengambil keputusan hukum.
Sejarah Kaidah Fiqhiyah
Sejarah perkembangan dan penyusunan Qawaidul Fiqhiyah diklarifikasikan menjadi 3 fase, yaitu :
Fase pertumbuhan dan pembentukan
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih.
Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi pase sejarahhukumi islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman Nabi muhammad SAW, yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri maazhab.Ulamapendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah.
Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru dibentuk dab ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yuang dominan adalah Jawami al-Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan maknnya sangat luas).Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh.Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau dari dua segi, yaitu :
Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum islam
yang tidak mengandung al-Mustasnayat
Segi cakupan makna dan bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh
karena kalimatnya ringkas, tapi cakupan maknanya luas.
Sejarah perkembangan dan penyusunan Qawaidul Fiqhiyah diklarifikasikan menjadi 3 fase, yaitu :
Fase pertumbuhan dan pembentukan
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih.
Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi pase sejarahhukumi islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman Nabi muhammad SAW, yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri maazhab.Ulamapendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah.
Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru dibentuk dab ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yuang dominan adalah Jawami al-Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan maknnya sangat luas).Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh.Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau dari dua segi, yaitu :
Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum islam
yang tidak mengandung al-Mustasnayat
Segi cakupan makna dan bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh
karena kalimatnya ringkas, tapi cakupan maknanya luas.
Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu :
”pajak itu disertai imbalan jaminan”
”Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang
lain)”
Demikian beberapa sabda Nabi Muhammad SAW, yang dianggap sebagai kaidah fiqh.Generasi berikutnya adalah generasi sahabat, sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta membentuk kaidah fiqh.
”pajak itu disertai imbalan jaminan”
”Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang
lain)”
Demikian beberapa sabda Nabi Muhammad SAW, yang dianggap sebagai kaidah fiqh.Generasi berikutnya adalah generasi sahabat, sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta membentuk kaidah fiqh.
Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka.
Generasi berikutnya adalah tabi’in dan tabi’ tabi’in selama 250 tahun. Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in adalah Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun adalah :
”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al-
mal”
Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islamdapat menerima harta peninggalan (tirkah atau mauruts), apbila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.
Ulama berikutnya yang mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam Asy-Syafi’i, yang hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu :
”Sesuatu yangh dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan
ketika tidak terpaksa”
Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu :
”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan
digadaikan”
Fase perkembangan dan kodifikasi
Dalam sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat imam mazhabnya masing-masing.
7
Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan agar kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa berikutnya.
”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al-
mal”
Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islamdapat menerima harta peninggalan (tirkah atau mauruts), apbila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.
Ulama berikutnya yang mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam Asy-Syafi’i, yang hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu :
”Sesuatu yangh dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan
ketika tidak terpaksa”
Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu :
”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan
digadaikan”
Fase perkembangan dan kodifikasi
Dalam sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat imam mazhabnya masing-masing.
7
Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan agar kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa berikutnya.
Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah fiqh, karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat. Buku-buku kaidah fiqh terpenting dan termasyhur abad ini adalah :
Al-Asybah wa al-Nazha’ir, karya ibn wakil al-Syafi’i (W. 716 H)
Kitab al-Qawaid, karya al-Maqarri al-maliki (W. 750 H)
Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Ala’i al-Syafi’i (W. 761
H)
Al-Qawaid fi al-Fiqh, karya ibn rajab al-Hambali (W. 795 H)
Al-Asybah wa al-Nazha’ir, karya ibn wakil al-Syafi’i (W. 716 H)
Kitab al-Qawaid, karya al-Maqarri al-maliki (W. 750 H)
Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Ala’i al-Syafi’i (W. 761
H)
Al-Qawaid fi al-Fiqh, karya ibn rajab al-Hambali (W. 795 H)
Fase kematangan dan penyempurnaan
Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah
“seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari
pemiliknya”
Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah :
“seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin”
Pembagian Kaidah Fiqhiyah
Cara membedakan sesuatu dapat dilakukan di beberapa segi :
Segi fungsi
Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan marginal.Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :
“Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
Kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya
“Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat”
“Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh”
Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu’.
Segi mustasnayat
Dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian.
Kaidah fiqh yang tidak mempunyai pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW.umpamanya adalah :
“Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat”
Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.
Segi kualitas
Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :
Kaidah kunci
Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada
dasarnya, dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :
“Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat”
Kaidah di atas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh
adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya
ia mendapatkan kemaslahatan.
Kaidah asasi
Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran
hukum Islam. Kaidah fiqh tersebut adalah :
“Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”
“Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”
“Kesulitan mendatangkan kemudahan”
“Kerusakan / kemafsadatan itu harus dihilangkan”
“Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni
Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah
“majallah al-Ahkam al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat diabad XIX M, oleh
lajnah fuqaha usmaniah.
Manfaat Kaidah Fiqhiyah
Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :
Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh
Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi
Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adaptasi yang berbeda
Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti Al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung
Menurut Imam Ali al-Nadawi (1994)
Mempermudah dalam menguasai materi hukum
kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan
Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahnan baru.
mempermudah orang yang berbakar fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hokum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik
Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hukum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih besar
Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam
Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah
“seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari
pemiliknya”
Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah :
“seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin”
Pembagian Kaidah Fiqhiyah
Cara membedakan sesuatu dapat dilakukan di beberapa segi :
Segi fungsi
Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan marginal.Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :
“Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
Kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya
“Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat”
“Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh”
Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu’.
Segi mustasnayat
Dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian.
Kaidah fiqh yang tidak mempunyai pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW.umpamanya adalah :
“Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat”
Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.
Segi kualitas
Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :
Kaidah kunci
Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada
dasarnya, dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :
“Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat”
Kaidah di atas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh
adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya
ia mendapatkan kemaslahatan.
Kaidah asasi
Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran
hukum Islam. Kaidah fiqh tersebut adalah :
“Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”
“Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”
“Kesulitan mendatangkan kemudahan”
“Kerusakan / kemafsadatan itu harus dihilangkan”
“Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni
Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah
“majallah al-Ahkam al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat diabad XIX M, oleh
lajnah fuqaha usmaniah.
Manfaat Kaidah Fiqhiyah
Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :
Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh
Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi
Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adaptasi yang berbeda
Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti Al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung
Menurut Imam Ali al-Nadawi (1994)
Mempermudah dalam menguasai materi hukum
kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan
Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahnan baru.
mempermudah orang yang berbakar fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hokum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik
Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hukum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih besar
Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam
BAB V
TA’ARUDH AL-ADILLAH
A. Pengertian Ta’arudh Al-AdillahTa’arudh menurut arti bahasa adalah pertentangan satu dengan yang lainnya.Sementara kata Al-Adillah adalah bentuk Plural dari kata dalil, yang berarti Argumen, alasan dan dalil. .
Secara Istilah Ta’arudh al- Adillah diartikan sebagai perlawanan antara kandungan salah satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil yang lain. Sehingga dalam implikasinya kedua dalil yang berlawanan tersebut tidak mungkin dipakai pada satu waktu. Perlawanan itu dapat terjadi antara Ayat Al-Qur’an dengan Al-Qur’an yang lain, Hadits Mutawatir dengan Hadits Mutawatir yang lain, Hadits Ahad dengan Hadits Ahad yang lain. Sebaliknya perlawanan tersebut tidak akan terjadi apabila kedua dalil tersebut berbeda kekuatannya, kaerna pada hakikaktnya dalil yang lebih kuatlah yang diamalkan. .
Diantara beberapa definisi Ta’arudh al- Adillah menurut beberapa ahli ushul fiqh diantaranya yang dikemukakan oleh Amir Syarifudin mena’rifkan ta’arudh dengan berlawanannya dua dalil hukum yang salah satu diantara dua dalil itu meniadakan hukum yang ditunjuk oleh dalil lainnya
Abdul Wahab Khalaf mendifinisikan ta’arudh secara singkat, yaitu kontradiksi antara dua nash atau dalil yang sama kekuatannya. Dari beberapa definisi tersebut memberi titik penekanan yang berbeda, namun dapat disimpulkan bahwa ta’arud itu merupakan pembahasan dua dalil yang saling bertentangan.
B. Bentuk-bentuk Dalil yang Kontradiktif
Pengertian dalil yang kontradiktif mencakup dalil yang naqli (dalil yang memang telah termaktub dalam Al-Qur’an atau hadist nabi secara tekstual) dan dalil aqli (dalil dimana rasionalitas menjadi penentunya) seperti qiyas, bahkan juga mencakup dalil yang qath’i dan juga zhanni.
Para ulama berbeda pendapat mengenai bentuk dalil apa saja yang memungkinkan adanya kontra antara satu dengan yang lain. Perbedaan itu antara lain:
Menurut jumhur ulama mengatakan bahwa antara dua dalil yang qath’i tidak mungkin terjadi kontradiksi secara makna dhahir karena setiap dalil qath’i mengharuskan adanya madlul (hukum).Bila dua dalil yang qath’i berbenturan berarti setiap dalil itu mengharuskan adanya hukum yang saling berbenturan. Dengan demikian maka akan terjadi dua hal yang saling meniadakan pihak lain, hal ini sangat mustahil terjadi. Sebagian ulama berpendapat memungkinkan adanya dua dalil yang qath’i yang saling meniadakan
Segolongan ulama menolak terjadinya perbenturan antara dua dalil yang zhanni sebagaimana tidak boleh terjadi perbenturan antara dua dalil yang qath’i, dengan tujuan untuk menghindarkan perbenturan dalam firman pembuat hukum syar’i.sedangkansebagian ulama yang lain membolehkan terjadinya perbenturan dua dalil yang zhanni karena tidak ada halangan bagi perbenturan tersebut selama terbatas pada dalil yang tidak qath’i, seperti yang terjadi pada qiyas. Jika kontradiksi antara dua dalil yang bukan nash seperti dua qiyas yang saling bertentangan, maka ini mungkin saja kontradiksi yang hakiki atau sebenarnya. Karena kadang-kadang dari salah satu dari keduanya salah, maka jika mungkin memenangkan salah satu dari dua qiyas tersebut, yang menang itulah yang diamalkan.
Kedua golongan yang berbeda pendapat itu semuanya sepakat bahwa terjadinya kontradiksi dalil tersebut hanya dalam pemikiran para mujtahid saja, sedangkan dalam dalil itu sendiri tidak ada benturan. Dengan kesimpulan dari dua pendapat itu bahwa kontradiksi antara dua dalil ini tidak akan terjadi kecuali apabila kedua dalil itu sama kekuatannya. Maka jika salah satu dari kedua dalil itu lebih kuat dari yang lainnya, maka yang diikuti adalah hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lebih kuat. Dengan demikian tidak akan terjadi kontradiksi antara nash yang qath’i dan nash yang zhanni. Contohnya sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an QS. Al-Baqarah ayat 180 yang berbunyi sebagai berikut:
“Diwajibkan atas kamu apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) mati, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 180)
Ayat di atas secara dhahir maknanya mengalami kontradiksi dengan ayat sebagai berikut:
“Allah mensyari’tkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian orang laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa’: 11)
Ayat pertama mewajibkan kepada yang telah merasa mendekati ajalnya agar mewasiatkan harta pusakanya kepada orang tua dan sanak kerabatnya secara baik.Dan ayat kedua menetapkan masing-masing orang tua anak-anak dan sanak kerabat mendapat hak dari harta pusaka lantaran wasiat Allah bukan wasiat yang mewariskan. Berarti kedua ayat tersebut kontradiksi secara makna lahirnya dan mungkin bisa mengkompromikan keduanya, yaitu jika yang dimaksud dalam surat al-Baqarah ayat 180 itu kedua orang tua dan sanak kerabat, maka itu merupakan ketentuan tentang mereka yang terhalang mendapat warisan oleh suatu penghalang seperti perbedaan agama
Cara Penyelesaian Ta’arudh Al-Adillah
Apabila ditemukan dua dalil yang kontradiksi secara lahirnya, maka harus diadakan pembahasan untuk memadukan keduanya dengan cara-cara memadukan yang telah diatur dalam ushul fiqh. Dan apabila dua dalil tersebut telah diusahakan perpaduannya, namun tetap tidak menemukan jalan keluar, maka pelaksaannya dihentikan dan mencari dalil yang lain. Para ulama ushul telah merumuskan tahapan-tahapan penyelesaian dalil-dalil yang kontradiksi yang bertolak pada suatu prinsip yang tertuang dalam kaidah sebagai berikut:
“Mengamalkan dua dalil yang berbenturan itu lebih baik daripada meninggalkan keduanya“
Dari kaidah di atas dapat dirumuskan tahapan penyelesaian dalil-dalil yang berbenturan serta cara-caranya sebagai berikut:
Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi
Mengamalkan satu diantara dua dalil yang kontradiksi
Meninggalkan dua dalil yang kontradiksi
Adapun pembahasan dari tahapan-tahapan di atas adalah sebagai berikut:
Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi (Al-Jam’u wa al-Taufiq), dapat ditempuh dengan cara:
Taufiq (kompromi).Maksudnya adalah mempertemukan dan mendekatkan dalil-dalil yang diperkirakan berbenturan atau menjelaskan kedudukan hukum yang ditunjuk oleh kedua dalil tersebut, sehingga tidak terlihat lagi adanya kontradiksi.
Contoh:“Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaklah berwasiat bagi istri-istri mereka untuk bersenang –senang selama satu tahun.” (QS. Al-Baqarah: 240)
Dengan ayat yang berbunyi:“Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaklah istri-istri itu menahan diri selama empat bulan sepuluh hari.”
Kedua ayat di atas secara lahir memang berbenturan karena ayat yang pertama menetapkan iddah selama satu tahun, sedangkan ayat yang kedua menetapkan iddah selama empat bulan sepuluh hari.
Usaha kompromi dalam kasus ini adalah dengan menjelaskan bahwa yang dimaksud bersenang-senang selama satu tahun pada ayat pertama adalah hak mantan istri untuk tinggal di rumah mantan suaminya selama satu tahun (jika tidak menikah lagi).Sedangkan masa iddah selama empat bulan sepuluh hari dalam ayat yang kedua maksudnya adalah sebagai batas minimal untuk tidak menikah lagi selama masa itu.
Takhsis, yaitu jika dua dalil yang secara zhahir berbenturan dan tidak mungkin dilakukan usaha kompromi, namun satu diantara dalil tersebut bersifat umum dan yang lain bersifat khusus, maka dalil yang khusus itulah yang diamalkan untuk mengatur hal yang khusus. Sedangkan dalil yang umum diamalkan menurut keumumannya sesudah dikurangi dengan ketentuan yang khusus.
Contoh firman Allah QS. Al-Baqarah:228 yang berbunyi:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menungu) tagi kali sesuci.” (QS. Al-Baqarah:22)
Dan pada ayat lain sebagai berikut:
“Perempuan-perempuan hamil (yang dicerai suami) waktu iddah mereka adalah sampai melahirkan kandungannya.”
Perbenturan secara zhahir kedua ayat di atas bahwa iddah istri yang ditalak suami adalah tiga kali sesuci, sedangkan istri yang dicerai suami dalam keadaan mengandung, maka iddahnya adalah sampai melahirkan anaknya.
Usaha penyelesaian malalui takhsis dalam dua dalil di atas yaitu memberlakukan batas melahirkan anak, khusus bagi istri yang dicerai suaminya dalam keadaan hamil.Dengan usaha takhsis ini ketentuan bagi istri yang hamil dikeluarkan dari keumumannya.
Pengertian dalil yang kontradiktif mencakup dalil yang naqli (dalil yang memang telah termaktub dalam Al-Qur’an atau hadist nabi secara tekstual) dan dalil aqli (dalil dimana rasionalitas menjadi penentunya) seperti qiyas, bahkan juga mencakup dalil yang qath’i dan juga zhanni.
Para ulama berbeda pendapat mengenai bentuk dalil apa saja yang memungkinkan adanya kontra antara satu dengan yang lain. Perbedaan itu antara lain:
Menurut jumhur ulama mengatakan bahwa antara dua dalil yang qath’i tidak mungkin terjadi kontradiksi secara makna dhahir karena setiap dalil qath’i mengharuskan adanya madlul (hukum).Bila dua dalil yang qath’i berbenturan berarti setiap dalil itu mengharuskan adanya hukum yang saling berbenturan. Dengan demikian maka akan terjadi dua hal yang saling meniadakan pihak lain, hal ini sangat mustahil terjadi. Sebagian ulama berpendapat memungkinkan adanya dua dalil yang qath’i yang saling meniadakan
Segolongan ulama menolak terjadinya perbenturan antara dua dalil yang zhanni sebagaimana tidak boleh terjadi perbenturan antara dua dalil yang qath’i, dengan tujuan untuk menghindarkan perbenturan dalam firman pembuat hukum syar’i.sedangkansebagian ulama yang lain membolehkan terjadinya perbenturan dua dalil yang zhanni karena tidak ada halangan bagi perbenturan tersebut selama terbatas pada dalil yang tidak qath’i, seperti yang terjadi pada qiyas. Jika kontradiksi antara dua dalil yang bukan nash seperti dua qiyas yang saling bertentangan, maka ini mungkin saja kontradiksi yang hakiki atau sebenarnya. Karena kadang-kadang dari salah satu dari keduanya salah, maka jika mungkin memenangkan salah satu dari dua qiyas tersebut, yang menang itulah yang diamalkan.
Kedua golongan yang berbeda pendapat itu semuanya sepakat bahwa terjadinya kontradiksi dalil tersebut hanya dalam pemikiran para mujtahid saja, sedangkan dalam dalil itu sendiri tidak ada benturan. Dengan kesimpulan dari dua pendapat itu bahwa kontradiksi antara dua dalil ini tidak akan terjadi kecuali apabila kedua dalil itu sama kekuatannya. Maka jika salah satu dari kedua dalil itu lebih kuat dari yang lainnya, maka yang diikuti adalah hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lebih kuat. Dengan demikian tidak akan terjadi kontradiksi antara nash yang qath’i dan nash yang zhanni. Contohnya sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an QS. Al-Baqarah ayat 180 yang berbunyi sebagai berikut:
“Diwajibkan atas kamu apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) mati, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 180)
Ayat di atas secara dhahir maknanya mengalami kontradiksi dengan ayat sebagai berikut:
“Allah mensyari’tkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian orang laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa’: 11)
Ayat pertama mewajibkan kepada yang telah merasa mendekati ajalnya agar mewasiatkan harta pusakanya kepada orang tua dan sanak kerabatnya secara baik.Dan ayat kedua menetapkan masing-masing orang tua anak-anak dan sanak kerabat mendapat hak dari harta pusaka lantaran wasiat Allah bukan wasiat yang mewariskan. Berarti kedua ayat tersebut kontradiksi secara makna lahirnya dan mungkin bisa mengkompromikan keduanya, yaitu jika yang dimaksud dalam surat al-Baqarah ayat 180 itu kedua orang tua dan sanak kerabat, maka itu merupakan ketentuan tentang mereka yang terhalang mendapat warisan oleh suatu penghalang seperti perbedaan agama
Cara Penyelesaian Ta’arudh Al-Adillah
Apabila ditemukan dua dalil yang kontradiksi secara lahirnya, maka harus diadakan pembahasan untuk memadukan keduanya dengan cara-cara memadukan yang telah diatur dalam ushul fiqh. Dan apabila dua dalil tersebut telah diusahakan perpaduannya, namun tetap tidak menemukan jalan keluar, maka pelaksaannya dihentikan dan mencari dalil yang lain. Para ulama ushul telah merumuskan tahapan-tahapan penyelesaian dalil-dalil yang kontradiksi yang bertolak pada suatu prinsip yang tertuang dalam kaidah sebagai berikut:
“Mengamalkan dua dalil yang berbenturan itu lebih baik daripada meninggalkan keduanya“
Dari kaidah di atas dapat dirumuskan tahapan penyelesaian dalil-dalil yang berbenturan serta cara-caranya sebagai berikut:
Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi
Mengamalkan satu diantara dua dalil yang kontradiksi
Meninggalkan dua dalil yang kontradiksi
Adapun pembahasan dari tahapan-tahapan di atas adalah sebagai berikut:
Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi (Al-Jam’u wa al-Taufiq), dapat ditempuh dengan cara:
Taufiq (kompromi).Maksudnya adalah mempertemukan dan mendekatkan dalil-dalil yang diperkirakan berbenturan atau menjelaskan kedudukan hukum yang ditunjuk oleh kedua dalil tersebut, sehingga tidak terlihat lagi adanya kontradiksi.
Contoh:“Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaklah berwasiat bagi istri-istri mereka untuk bersenang –senang selama satu tahun.” (QS. Al-Baqarah: 240)
Dengan ayat yang berbunyi:“Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaklah istri-istri itu menahan diri selama empat bulan sepuluh hari.”
Kedua ayat di atas secara lahir memang berbenturan karena ayat yang pertama menetapkan iddah selama satu tahun, sedangkan ayat yang kedua menetapkan iddah selama empat bulan sepuluh hari.
Usaha kompromi dalam kasus ini adalah dengan menjelaskan bahwa yang dimaksud bersenang-senang selama satu tahun pada ayat pertama adalah hak mantan istri untuk tinggal di rumah mantan suaminya selama satu tahun (jika tidak menikah lagi).Sedangkan masa iddah selama empat bulan sepuluh hari dalam ayat yang kedua maksudnya adalah sebagai batas minimal untuk tidak menikah lagi selama masa itu.
Takhsis, yaitu jika dua dalil yang secara zhahir berbenturan dan tidak mungkin dilakukan usaha kompromi, namun satu diantara dalil tersebut bersifat umum dan yang lain bersifat khusus, maka dalil yang khusus itulah yang diamalkan untuk mengatur hal yang khusus. Sedangkan dalil yang umum diamalkan menurut keumumannya sesudah dikurangi dengan ketentuan yang khusus.
Contoh firman Allah QS. Al-Baqarah:228 yang berbunyi:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menungu) tagi kali sesuci.” (QS. Al-Baqarah:22)
Dan pada ayat lain sebagai berikut:
“Perempuan-perempuan hamil (yang dicerai suami) waktu iddah mereka adalah sampai melahirkan kandungannya.”
Perbenturan secara zhahir kedua ayat di atas bahwa iddah istri yang ditalak suami adalah tiga kali sesuci, sedangkan istri yang dicerai suami dalam keadaan mengandung, maka iddahnya adalah sampai melahirkan anaknya.
Usaha penyelesaian malalui takhsis dalam dua dalil di atas yaitu memberlakukan batas melahirkan anak, khusus bagi istri yang dicerai suaminya dalam keadaan hamil.Dengan usaha takhsis ini ketentuan bagi istri yang hamil dikeluarkan dari keumumannya.
b. Mengamalkan satu dalil diantara dua dalil yang berbenturan
Bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat dikompromikan atau ditakhsis, maka kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan keduanya.Dengan demikian hanya satu dalil yang dapat diamalkan. Usaha penyelesaian dalam bentuk ini dapat ditempuh dengan 3 cara:
Nasakh. Maksudnya apabila dapat diketahui secara pasti bahwa satu diantara dua dalil yang kontradiksi itu lebih dahulu turun atau lebih dahulu berlakunya, sedangkan dalil yang satu lagi belakangan turunnya, maka dalil yang datang belakangan itu dinyatakan berlaku untuk seterusnya, sedangkan dalil yang lebih dulu dengan sendirinya dinyatakan tidak berlaku lagi.
Contoh:
“Sesungguhnya saya telah melarangmu berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah.”
Keterangan waktu yang menjelaskan berlakunya dua nash yang berbeda adalah apabila dua dalil hukum berbenturan dan tidak mungkin diselesaikan dengan cara apapun, tetapi dapat diketahui bahwa yang satu lebih dahulu datangnya dari pada yang satunya, maka yang terakhir ini menasakh yang lebih dahulu datang, sebagaimana yang terjadi pada hadist di atas, dan juga hadits di bawah ini yang berbunyi:
“Sesungguhnya saya telah melarangmu menyimpan daging kurban lebih dari keperluan tiga hari, maka sekarang makanlah dan simpanlah.”
Tarjih.Maksudnya adalah apabila diantara dua dalil yang diduga berbenturan tidak diketahui mana yang belakangan turun atau berlakunya, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan nasakh, namun ditemukan banyak petunjuk yang menyatakan bahwa salah satu diantaranya lebih kuat dari pada yang lain, maka diamalkanlah dalil yang disertai petunjuk yang menguatkan itu, dan dalil yang lain ditinggalkan.
Contoh: Seperti mendahulukan khabar dari Aisyah ra. tentang wajibnya mandi bila terjadi persetubuhan dari pada khabar Abu Hurairah yang mewajibkan mandi hanya apabila keluar mani.
Takhyir. Maksudnya bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat ditempuh secara nasakh dan tarjih, namun kedua dalil itu masih mungkin untuk diamalkan, maka penyelesaiannya ditempuh dengan cara memilih salah satu diantara dua dalil itu untuk diamalkan, sedangkan yang lain tidak diamalkan.
Bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat dikompromikan atau ditakhsis, maka kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan keduanya.Dengan demikian hanya satu dalil yang dapat diamalkan. Usaha penyelesaian dalam bentuk ini dapat ditempuh dengan 3 cara:
Nasakh. Maksudnya apabila dapat diketahui secara pasti bahwa satu diantara dua dalil yang kontradiksi itu lebih dahulu turun atau lebih dahulu berlakunya, sedangkan dalil yang satu lagi belakangan turunnya, maka dalil yang datang belakangan itu dinyatakan berlaku untuk seterusnya, sedangkan dalil yang lebih dulu dengan sendirinya dinyatakan tidak berlaku lagi.
Contoh:
“Sesungguhnya saya telah melarangmu berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah.”
Keterangan waktu yang menjelaskan berlakunya dua nash yang berbeda adalah apabila dua dalil hukum berbenturan dan tidak mungkin diselesaikan dengan cara apapun, tetapi dapat diketahui bahwa yang satu lebih dahulu datangnya dari pada yang satunya, maka yang terakhir ini menasakh yang lebih dahulu datang, sebagaimana yang terjadi pada hadist di atas, dan juga hadits di bawah ini yang berbunyi:
“Sesungguhnya saya telah melarangmu menyimpan daging kurban lebih dari keperluan tiga hari, maka sekarang makanlah dan simpanlah.”
Tarjih.Maksudnya adalah apabila diantara dua dalil yang diduga berbenturan tidak diketahui mana yang belakangan turun atau berlakunya, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan nasakh, namun ditemukan banyak petunjuk yang menyatakan bahwa salah satu diantaranya lebih kuat dari pada yang lain, maka diamalkanlah dalil yang disertai petunjuk yang menguatkan itu, dan dalil yang lain ditinggalkan.
Contoh: Seperti mendahulukan khabar dari Aisyah ra. tentang wajibnya mandi bila terjadi persetubuhan dari pada khabar Abu Hurairah yang mewajibkan mandi hanya apabila keluar mani.
Takhyir. Maksudnya bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat ditempuh secara nasakh dan tarjih, namun kedua dalil itu masih mungkin untuk diamalkan, maka penyelesaiannya ditempuh dengan cara memilih salah satu diantara dua dalil itu untuk diamalkan, sedangkan yang lain tidak diamalkan.
c. Meninggalkan dua dalil yang berbenturan
Bila penyelesaian dua dalil yang dipandang berbenturan itu tidak mampu diselesaikan dengan dua cara di atas, maka ditempuh dengan cara ketiga, yaitu dengan meninggalkan dua dalil tersebut. Adapun cara meninggalkan kedua dalil yang berbenturan itu ada dua bentuk, yaitu:
Tawaquf (menangguhkan), menangguhkan pengamalan dalil tersebut sambil menunggu kemungkinan adanya petunjuk lain untuk mengamalkan salah satu diantara keduanya.
Tasaquth (saling berguguran), meninggalkan kedua dalil tersebut dan mencari dalil yang lain untuk diamalkan.
Bila penyelesaian dua dalil yang dipandang berbenturan itu tidak mampu diselesaikan dengan dua cara di atas, maka ditempuh dengan cara ketiga, yaitu dengan meninggalkan dua dalil tersebut. Adapun cara meninggalkan kedua dalil yang berbenturan itu ada dua bentuk, yaitu:
Tawaquf (menangguhkan), menangguhkan pengamalan dalil tersebut sambil menunggu kemungkinan adanya petunjuk lain untuk mengamalkan salah satu diantara keduanya.
Tasaquth (saling berguguran), meninggalkan kedua dalil tersebut dan mencari dalil yang lain untuk diamalkan.
BAB VI
PENGERTIAN QAWAID ( USHULIYYAH DAN FIQHIYYAH )
A. Pengertian Al-Qawâ’id al-FiqhiyahAl- Qawâ’id merupakan jamak dari qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan qaidah secara etimologi (asal usul kata) dan terminologi (istilah). Dalam arti bahasa, qaidah bermakna asas, dasar, atau fondasi, baik dalam arti yang konkret maupun yang abstrak, seperti kata-kata qawâ’id al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawâ’id al-dîn, artinya dasar-dasar agama, qawâ’id al-îlm, artinya kaidah-kaidah ilmu. Arti ini digunakan di dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat 26 :
“Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail……..” (QS. Al-Baqarah : 127).
“…….Allah menghancurkan bangunan mereka dari fondasi-fondasinya……..” (QS. An-Nahl : 26)
Dari kedua ayat tersebut bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar, asas atau fondasi, tempat yang diatasnya berdiri bangunan.
Sedangkan arti fiqhiyah diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan ya’ nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara etimologi makna fiqh lebih dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang banyak dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil dari firman Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 122 :
“untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”
Hadist Nabi SAW : “Barang siapa dikehendaki baik oleh Allah maka akan dimudahkan dalam urusan agama” (HR. Bukhari Muslim)
Maka Al-Qawâ’id al-Fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) secara etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas yang berkaitan dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih.
Para ulama berbeda dalam mendefinisikan kaidah secara terminologi (istilah). Ada yang meluaskannya dan ada yang mempersempitkannya. Akan tetapi, substansinya tetap sama.
Sebagai contoh, Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan kaidah dengan :
“Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogi yang mengumpulkannya”
Sedangkan Al-Jurjani mendefinisikan kaidah fikih dengan :
”Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya”
Imam Tajjuddin al-Subki (w.771 H) mendefinisikan kaidah dengan :
”Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi”
Bahkan Ibnu Abidin (w. 1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim (w. 970 H) dalam kitab al-asybâh wa al-nazhâir dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
”Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci dari padanya hukum”
Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi di dalam kitabnya al-asybâh wa al-nazhâir, mendefinisikan kaidah : ”Hukum kulli (menyeluruh, general) yang meliputi bagian-bagiannya”
Dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyat-nya (bagian-bagiannya).
Kaidah-kaidah fikih yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
Pengertian Qaidah Ushuliyyah
Ushul Fiqh berasal dari dua kata, yaitu kata ushl bentuk jamak dari Ashl dan kata fiqh. Ashlsecara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.
Adapun menurut istilah, Ashl mempunyai beberapa arti :
Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul fiqh bahwa ashl dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunnah Rasul.
Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad SAW : ”Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi)”.
Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih : ”Yang terkuat dari (isi/kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”.
Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.
d. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinannya?
Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul : ”Anak adalah cabang dari ayah” (Abu Hamid Al-Ghazali)
Dari kelima pengertian ashl di atas, yang biasa digunakan adalah dalil, yakni dalil-dalil fiqih.
Maka qaidah ushuliyyah adalah dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal dan global (kulli dan mujmal). Qaidah ushuliyyah merupakan sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafazh atau kebahasaan.
Qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa sumber hukum. Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah faqih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.
Dengan demikian di dalam hukum islam ada dua macam kaidah, yaitu :
Pertama, kaidah-kaidah ushul fiqh, yang kita temukan di dalam kitab-kitab ushul fiqh, yang digunakan untuk mengeluarkan hukum (takhrîj al-ahkâm) dari sumbernya, Al-qur’an dan/atau Al-hadist.
Kedua, kaidah-kaidah fikih, yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia.
Beberapa Contoh Qaidah Ushuliyyah
Untuk mengenal qaidah ushuliyyah lebih jauh, di bawah ini disebutkan beberapa qaidah ushuliyyah :
Kaidah :
”Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka didahulukan dalil yang melarang”
b. Kaidah :
”Petunjuk perintah (amr) menunjukkan wajib”
c. Kaidah :
”Makna implisit (kabur, gelap) tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna eksplisit (terang, tegas)”
d. Kaidah :
”Petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir”
e. Kaidah :
”Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya”
f. Kaidah :
”Perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya”
Kegunaan Kaidah Fikih
Berbagai ungkapan para ulama tentang kepentingan dan manfaat dari kaidah-kaidah fikih, antara lain :
Dengan mengetahui kaidah-kaidah fikih kita akan mengetahui asas-asas umum fikih. Sebab, kaidah-kaidah fikih itu berkaitan dengan materi fikih yang banyak sekali jumlahnya.
Perbedaan antara Qawaid Ushuliyyah dan Qaidah Fiqih
Perbedaan pokok antara qawaid ushuliyyah dan qaidah fiqih, adalah sebagai berikut :
Objek qawaid ushuliyyah adalah dalil hukum, sedangkan qaidah fiqih adalah perbuatan mukallaf.
Ketentuan qawaid ushuliyyah berlaku bagi seluruh juziyyah, sedangkan qaidah fiqih berlaku pada sebagian besar (aghlab) juziyyah.
Qawaid ushuliyyah, sebagai saran istinbath hukum, sedangkan qawaid fiqih sebagai usaha menghimpun dan mendekatkan ketentuan hukum yang sama untuk memudahkan pemahaman fiqih.
Qawaid ushuliyyah bisa bersifat prediktif, sedangkan qawaid fiqih bersifat wujud setelah ketentuan furu’
Qawaid ushuliyyah bersifat kebahasaan dan qaidah fiqih bersifat ukuran.
Dari kedua ayat tersebut bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar, asas atau fondasi, tempat yang diatasnya berdiri bangunan.
Sedangkan arti fiqhiyah diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan ya’ nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara etimologi makna fiqh lebih dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang banyak dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil dari firman Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 122 :
“untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”
Hadist Nabi SAW : “Barang siapa dikehendaki baik oleh Allah maka akan dimudahkan dalam urusan agama” (HR. Bukhari Muslim)
Maka Al-Qawâ’id al-Fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) secara etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas yang berkaitan dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih.
Para ulama berbeda dalam mendefinisikan kaidah secara terminologi (istilah). Ada yang meluaskannya dan ada yang mempersempitkannya. Akan tetapi, substansinya tetap sama.
Sebagai contoh, Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan kaidah dengan :
“Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogi yang mengumpulkannya”
Sedangkan Al-Jurjani mendefinisikan kaidah fikih dengan :
”Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya”
Imam Tajjuddin al-Subki (w.771 H) mendefinisikan kaidah dengan :
”Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi”
Bahkan Ibnu Abidin (w. 1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim (w. 970 H) dalam kitab al-asybâh wa al-nazhâir dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
”Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci dari padanya hukum”
Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi di dalam kitabnya al-asybâh wa al-nazhâir, mendefinisikan kaidah : ”Hukum kulli (menyeluruh, general) yang meliputi bagian-bagiannya”
Dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyat-nya (bagian-bagiannya).
Kaidah-kaidah fikih yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
Pengertian Qaidah Ushuliyyah
Ushul Fiqh berasal dari dua kata, yaitu kata ushl bentuk jamak dari Ashl dan kata fiqh. Ashlsecara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.
Adapun menurut istilah, Ashl mempunyai beberapa arti :
Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul fiqh bahwa ashl dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunnah Rasul.
Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad SAW : ”Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi)”.
Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih : ”Yang terkuat dari (isi/kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”.
Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.
d. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinannya?
Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul : ”Anak adalah cabang dari ayah” (Abu Hamid Al-Ghazali)
Dari kelima pengertian ashl di atas, yang biasa digunakan adalah dalil, yakni dalil-dalil fiqih.
Maka qaidah ushuliyyah adalah dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal dan global (kulli dan mujmal). Qaidah ushuliyyah merupakan sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafazh atau kebahasaan.
Qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa sumber hukum. Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah faqih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.
Dengan demikian di dalam hukum islam ada dua macam kaidah, yaitu :
Pertama, kaidah-kaidah ushul fiqh, yang kita temukan di dalam kitab-kitab ushul fiqh, yang digunakan untuk mengeluarkan hukum (takhrîj al-ahkâm) dari sumbernya, Al-qur’an dan/atau Al-hadist.
Kedua, kaidah-kaidah fikih, yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia.
Beberapa Contoh Qaidah Ushuliyyah
Untuk mengenal qaidah ushuliyyah lebih jauh, di bawah ini disebutkan beberapa qaidah ushuliyyah :
Kaidah :
”Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka didahulukan dalil yang melarang”
b. Kaidah :
”Petunjuk perintah (amr) menunjukkan wajib”
c. Kaidah :
”Makna implisit (kabur, gelap) tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna eksplisit (terang, tegas)”
d. Kaidah :
”Petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir”
e. Kaidah :
”Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya”
f. Kaidah :
”Perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya”
Kegunaan Kaidah Fikih
Berbagai ungkapan para ulama tentang kepentingan dan manfaat dari kaidah-kaidah fikih, antara lain :
Dengan mengetahui kaidah-kaidah fikih kita akan mengetahui asas-asas umum fikih. Sebab, kaidah-kaidah fikih itu berkaitan dengan materi fikih yang banyak sekali jumlahnya.
Perbedaan antara Qawaid Ushuliyyah dan Qaidah Fiqih
Perbedaan pokok antara qawaid ushuliyyah dan qaidah fiqih, adalah sebagai berikut :
Objek qawaid ushuliyyah adalah dalil hukum, sedangkan qaidah fiqih adalah perbuatan mukallaf.
Ketentuan qawaid ushuliyyah berlaku bagi seluruh juziyyah, sedangkan qaidah fiqih berlaku pada sebagian besar (aghlab) juziyyah.
Qawaid ushuliyyah, sebagai saran istinbath hukum, sedangkan qawaid fiqih sebagai usaha menghimpun dan mendekatkan ketentuan hukum yang sama untuk memudahkan pemahaman fiqih.
Qawaid ushuliyyah bisa bersifat prediktif, sedangkan qawaid fiqih bersifat wujud setelah ketentuan furu’
Qawaid ushuliyyah bersifat kebahasaan dan qaidah fiqih bersifat ukuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar