AL-IHTIFAAL
BI AL- MAULID AN-NABAWI SAW
PERSPEKTIF
HADITS
I.
PENDAHULUAN
Sejarah selalu meninggalkan ‘ruang kosong’ atau ‘misteri’ bagi manusia
sesudahnya. Dibalik kemisterian itu, akan muncul sebuah usaha yang dilakukan
untuk mencari kenyataan sejarah yang ada. Serta akan selalu menimbulkan
‘kontroversi’ yang membuat dinamika kehidupan semakin berkembang.
Dalam tradisi sejarah Islam, banyak hal yang masih harus dikaji dan
diteliti kebenarannya. Salah satunya adalah sebuah tradisi perayaan Maulid Nabi
Muhammad SAW. Terlebih lagi soal kontroversi apakah perayaan Maulid Nabi SAW
merupakan tuntunan yang diwajibkan atau disunnahkan atau sebuah hal yang tidak
ada sandaran hukumnya.
Indonesia, sebuah negeri yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, memiliki
dan melaksanakan tradisi perayaan Maulid Nabi SAW setiap tahunnya yaitu pada
bulan Rab’iul Awwal, bahkan hari kelahiran Nabi SAW tersebut menjadi Hari Libur
Nasional, sebuah perhatian khusus dari pemerintah untuk menghormati pribadi
Agung Nabi Muhammad SAW.
Sesuai dengan pernyataan diatas, bahwa sejarah selalu menyisakan berbagai
pertanyaan, perayaan Maulid Nabi SAW menjadi topik hangat yang menimbulkan
kontroversi pendapat yang nampak dari perbedaan pendapat para ulama akan
perayaan tersebut.
Ada dua
pendapat mengenai perayaan Maulid Nabi SAW yaitu, pendapat pertama yang
mengatakan bahwa perayaan Maulid Nabi SAW adalah satu perbuatan yang dianjurkan
bagi umat Islam.[1] Sedangkan
pendapat kedua adalah yang menyalahkan atau tidak membolehkan perayaan tersebut
karena perbuatan itu termasuk bid'ah yang tidak pernah dilakukan Rasullullah SAW
dan para Sahabat.[2] Perbedaan ini cenderung menimbulkan konflik
internal umat Islam sampai saat ini, dan sangat mungkin, sekelompok umat Islam
akan merasa alergi jika mendengar
hal-hal yang berbeda pendapatnya.[3]
Kontroversi ini tidak akan pernah ada ujungnya, artinya ia tidak akan
berkompromi untuk saling mencari kesamaan dan membenarkan satu dengan lainnya,
karena masing-masing pendapat memiliki sandaran yang diyakini kebenarannya. Pemakalah
tidak akan memberikan vonis tentang kebenaran akan kontroversi yang ada. Cara
yang bersifat kompromis adalah dengan merunut hulu atau sumber perbedaan yaitu
dengan cara meneliti hadits-hadits yang berhubungan dengan perayaan Maulid Nabi
SAW yang dijadikan Hujjah oleh kedua pihak.
Makalah ini akan memaparkan Pengertian Perayaan Maulid Nabi SAW, Teori
Asal-usul Perayaan Maulid Nabi SAW, Dasar / Dalil Hadits Perayaan Maulid Nabi
SAW, Kontroversi Perayaan Maulid Nabi SAW, serta Sebuah Pandangan / Analisis terhadap
Kontroversi yang ada.
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Al-Ihtifaal Bi Al-Maulid
An-Nabawi SAW
Dalam bahasa Arab, kata Ihtifaal berasal dari ha-fa-la
yang berarti Tajamma’a, diwakili dalam bahasa Inggris dengan kata to
gather.[4] Dalam
bahasa Indonesia
dipakai kata berkumpul sebagai arti dari kata tersebut. Kata Ihtafala
dan disambung dengan huruf bi, maka kata ini bermakna pay attention
to, atau memberikan perhatian, merperdulikan.[5]
Kata Maulid berakar kata wa-la-da berarti to give
birth, melahirkan.[6]
Diawali dengan huruf Mim, kata Maulid adalah bentuk ism zaman
atau keterangan waktu kelahiran. Dan kata An-Nabawi, berarti Nabi
Muhammad SAW.
Secara lengkap kalimat Al-Ihtifaal Bi Al-Maulid An-Nabawi
SAW berarti memberikan perhatian khusus kepada hari kelahiran
Nabi SAW. Kata Ihtifaal terkadang diganti dengan kata haflah,
dua kata ini memiliki arti yang hampir sama dilihat dari sisi penggunaannya.
Perayaan hari kelahiran Nabi SAW diperingati oleh umat Islam
pada bulan Rabi’ul Awwal setiap tahunnya. Hanya saja para sejarawan berbeda
pendapat dalam menentukan hari kelahiran Nabi SAW.
Jumhur ulama berpendapat bahwa hari kelahiran Nabi SAW pada
hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awwal pada tahun peristiwa ‘Gajah’.[7] Saat
itu belum ada penanggalan Hijriyah yang menetapkan usia Tahun, hanya tanggal
dan bulan saja yang sudah dikenal. Hal ini senada dengan apa yang ditulis oleh Abdul Waheed
Khan, Nabi SAW lahir pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awwal dan dikonversi ke
penanggalan Masehi bertepatan dengan 20 April 570 Masehi.[8]
Berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Safi’ur Rahman Mubarakfuri, seorang pemenang
King Sa’ud Award dalam bidang penulisan sejarah Nabi Muhammad SAW tahun 2000, bahwa
Nabi SAW dilahirkan di perkampungan Bani Hasyim di Mekkah pada hari Senin
tanggal 9 Rabi’ul Awwal tahun ‘Gajah’, dan jika dikonversi ke Masehi,
bertepatan dengan 20 atau 22 April 571 M.[9]
Terlepas dari perbedaan sejarawan dalam menetapkan hari lahir
Nabi Muhammad SAW, prosesi perayaan Maulid Nabi SAW merupakan sebuah kenyataan yang
sudah hadir dalam tradisi umat Islam sejak dahulu, yang masih menyisakan
beberapa persoalan.
B.
Teori Asal-usul Perayaan Maulid Nabi
SAW
Perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW ini telah dilakukan oleh umat
Islam sejak 300 tahun sesudah wafat Nabi Muhammad SAW. Perayaan ini tidak
didapati di masa Nabi SAW, atau Sahabat atau Tabi’in.[10] Dan
pendapat tentang siapa yang awal mula melaksanakan perayaan ini menjadi bahasan
tersendiri yang sangat menarik karena penuh dengan perbedaan.
Ada tiga teori
tentang asal-usul perayaan Maulid Nabi SAW yang sering diungkap oleh sejarawan
:
1.
Teori yang mengatakan bahwa awal mula
perayaan Maulid Nabi SAW dimunculkan oleh Bani Ubaid yang bermazhab Syi’ah pada
abad ke 3 H, sebuah suku yang memproklamirkan kelompok mereka sebagai keturunan
dari Fatimah Az-Zahra binti Muhammad SAW.[11]
Bani Ubaid adalah cikal bakal dinasti Fatimiyah yang berdomisili di
wilayah Maghrib (sekarang Maroko, Afrika
Utara). Suku ini memiliki
beberapa perayaan yang kemudian menjadi perayaan wajib bagi dinasti Fatimiyah. Perayaan
tersebut dikenal dengan Al-Maulid As-Sittah (enam hari lahir) yaitu :[12]
a.
Perayaan Maulid Nabi SAW.
b.
Perayaan Maulid Ali ibn Abi Thalib.
c.
Perayaan Maulid Hasan ibn Ali.
d.
Perayaan Maulid Husain ibn Ali.
e.
Perayaan Maulid Fatimah binti Muhammad
SAW.
f.
Perayaan Maulid Khalifah yang sedang
memimpin.
Terdapat beberapa perbedaan pendapat para sejarawan tentang asal-usul
Bani Ubaid dengan pemimpinnya yaitu Ubaidullah Al-Mahdi. Disatu sisi, dikatakan
bahwa ia bukan keturunan Fatimah binti
Muhammad SAW. Tetapi banyak juga sejarawan yang berkeyakinan bahwa Ubaidullah
Al-Mahdi adalah keturunan sah Fatimah binti Muhammad SAW. Hal ini diperkuat dengan
adanya pengesahan resmi dari Khalifah Bani Umayyah yang ditulis dalam sebuah surat edaran kepada
masyarakat di Maghrib.[13]
2.
Peringatan Maulid Nabi Muhammad
SAW pertama kali diperkenalkan oleh seorang penguasa Dinasti Fatimiyah pada
abad 4 H di Kairo, Khalifah Al-Mu’iz Li Dinillah.
Ketika khalifah Mu’iz menguasai Mesir, kota ini kemudian terkenal dengan sebutan muizziyah.
Disinilah perayaan Maulid Nabi SAW mulai dipopulerkan oleh khalifah.[14] Ada misi politis dibalik
perayaan ini, yaitu khalifah dinasti Fatimiyah ingin melegitimasi kekuasaannya
dengan cara memperkuat keyakinan akan absahnya silsilah keturunan Fatimah binti
Muhammad SAW. Misi politik dari peringatan ini terlihat dari pelarangan akan
perayaan Maulid Nabi SAW tersebut oleh khalifah selanjutnya.
Kemudian peringatan Maulid diadakan lagi untuk menegaskan bahwa keluarga
Dinasti Fatimiyah adalah betul-betul keturunan Nabi Muhammad SAW. Penegasan
hubungan geneologi ini sangat diperlukan untuk mengesahkan "hak"
keluarga Fatimiyah sebagai "pewaris kekuasaan politiknya" Nabi Muhammad.
3.
Awal mula perayaan maulid dilakukan
oleh Al-Malik Muzaffar al-Din Kaukaburi di kota Irbil.[15]
Pernyataan al-Suyuthi ini nampaknya diambil dari ungkapan Ibn Katsir
dalam kitabnya Al-Bidayah wa al-Nihayah fi Tarikh yang mengatakan bahwa
al-Malik al-Muzaffar Abu Sa’id Kaukaburi Ibn Zain al-Din ‘Ali Ibn Baktakin[16]
adalah seorang penguasa yang mulia yang selalu menjalankan ibadah maulid pada
bulan Rabi’ul Awal dan merayakannya secara meriah.
Salah satu motif penyelenggaraan perayaan Maulid Nabi SAW pada saat ini
adalah polits, yaitu meningkatkan gairah dan motivasi umat Islam dalam
menghadapi perang salib yang dipimpin oleh Solahuddin Al-Ayyubi. Al-Malik
Muzaffar Ad-Din adalah salah satu orang
kepercayaan Solahuddin, yang kemudian menikahi adik Solahuddin, Rabi’ah Khatun.[17]
C.
Dasar / Dalil Hadits Perayaan
Maulid Nabi SAW
Berbagai dasar dihadirkan para ulama yang
menganjurkan perayaan Maulid Nabi SAW, baik dari al-Qur’an, al-Hadits, Atsar
maupun pandangan akal dan rasio. Di bawah ini ditulis beberapa dalil Hadits
Nabi SAW dan Atsar yang dinisbahkan kepada sahabat (Khulafa ar-Rasyidin) dalam keutamaan
perayaan tersebut. Ada
dua jenis (kategori) dalil yang ada, yaitu dalil yang menunjuk langsung tentang
perayaan dan dalil yang tidak menunjuk langsung.
1. Hadits tentang puasa Asyura :
عن ابن عبّاس رضي الله عنه قال : أن رسول الله قدم المدينة، فراى اليهود تصوم يوم عاشوراء فقال لهم رسول الله : ما هذا اليوم الذي تصومونه ؟ قالوا : هذا يوم عظيم (صالح)، أنجى الله فيه
(بنى اسرائيل) موسى وقومه، وغرَّق فرعون وقومه، فصامه موسى شكرا، فنحن نصومه تعظيما له ,فقال :فنحن أحق وأولى بموسى منكم فأمر بصيامه.
Artinya : Dari
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi SAW mendatangi Madinah, dan beliau
menjumpai Yahudi berpuasa pada hari Asyuro, maka beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam berkata: Hari apakah ini? Mereka menjawab: Ini adalah hari agung, hari
Allah menyelamatkan Musa dan pengikutnya dan menenggelamkan Fir’aun dan bala
tentaranya, lalu Musa berpuasa sebagai ungkapan syukur, maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Kami lebih berhak dengan Musa daripada
kalian, akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa dan memerintahkan
untuk berpuasa pada hari itu. (HR. Al-Bukhari dan Muslim) [18]
Hadits di atas menggambarkan sebuah kejadian tatkala Nabi SAW sampai di
Madinah, mendapati komunitas Yahudi sedang berpuasa pada hari Asyura (hari
kesepuluh) bulan Muharram disebabkan peristiwa dimana Allah SWT menyelamatkan
Nabi Musa as. dan kaum Bani Isra’il dari pengejaran Firaun dan tentaranya
dengan cara menenggelamkan Firaun. Hari ini dijadikan hari yang sangat
bersejarah (azhim) bagi kaum Yahudi, sehingga mereka mengungkapkan rasa syukur
dengan berpuasa seperti yang dilakukan Musa as.
Pada keterangan ini, dikatakan Nabi SAW merasa lebih berhak memiliki
sejarah dan ‘mengadopsi’ rasa syukur dari peristiwa Musa as, hingga
memerintahkan umat Islam untuk berpuasa Asyura pada tanggal 10 Muharram. Hanya
saja kemudian Nabi SAW meralat, agar tidak menyamai perilaku Yahudi, mengubah
puasa Asyura pada tanggal 9 Muharram, meskipun hal ini tidak pernah dilakukan
Nabi SAW karena telah wafat.
Tidak ada perintah untuk merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW, tetapi
hadits di atas memiliki ‘makna’ bahwa Nabi SAW memerintahkan untuk ‘mensyukuri’
peristiwa yang telah lalu dengan berpuasa. Inilah ‘gerbang’ atau ‘pintu
pembuka’ bagi ulama yang menganjurkan perayaan Maulid Nabi SAW sebagai ungkapan
rasa ta’zhim dan syukur.
Ibnu Hajar Al-Asqalani, menjelaskan bahwa jika Nabi SAW mengapresiasi keberhasilan
Musa as atas pertolongan Allah SWT, maka kenapa kita tidak bisa dan tidak boleh
mengapresiasi keberhasilan perjuangan Nabi SAW atau peristiwa kelahirannya yang
agung.[19]
Bukankah kesyukuran dapat diapresiasikan dan diekspresikan dalam berbagai cara?
Bukankah Allah SWT telah menjelaskan dengan pasti bahwa Nabi SAW diutus untuk
menjadi Rahmat bagi Alam yang harus disyukuri? Sebagaimana Allah SWT firmankan
:
!$tBur
š»oYù=y™ö‘r&
žwÎ)
ZptHôqy‘
šúüÏJn=»yèù=Ïj9
Artinya : Dan tidaklah Kami
utus kamu (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.[20]
2. Hadits
tentang puasa hari Senin :
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ
فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ )
رواه الإمام مسلم في الصحيح في كتاب الصيام(
Artinya : Dari
Abi Qotadah al-Anshori ra. sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai
puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan
wahyu diturunkan kepadaku. (HR. Muslim)[21]
Hadits ini dijadikan sandaran untuk perayaan
Maulid Nabi SAW karena tertera dengan jelas bagaimana Nabi SAW mensyukuri hari
kelahirannya dengan cara berpuasa di hari Senin, yang menjadi ibadah sunnah. Jika
puasa adalah ibadah, maka apresiasi dalam bentuk lain juga harusnya dibolehkan,
seperti It’am Al-Masakin, Dzikr Wa Qiro’ah Al-Qur’an atau Ijtima’ Bi Dzikr Shalawat ‘Ala An-Nabi SAW.[22]
Dua hadits di atas inilah yang dinilai cukup
kuat untuk melegalisasi perayaan Maulid Nabi SAW, dan selalu dijadikan hujjah
kebolehannya.
3. Perkataan yang di katakan sebagai hadits :
من عظم مولدى
كنت شفيعاله يوم القيامة, ومن أنفق درهما فى مولدى فكأنما أنفق
جبلا من ذهب فى سبيل الله .
Artinya : Barangsiapa yang merayakan hari kelahiranku,
maka aku akan menjadi pemberi syafa'atnya dihari Kiamat. dan berangsiapa yang
menginfaqkan satu dirham untuk maulidku maka seakan-akan dia telah menginfaqkan
satu gunung emas di jalan Allah.[23]
Istilah syafa’at ini kemudian menjadi populer di kalangan umat Islam,
terlebih dalam perayaan Maulid Nabi SAW. Perayaan Maulid disejajarkan dengan
apa yang disebut dengan infaq, yaitu memberikan harta kepada orang lain yang
membutuhkan.
Keterangan di atas dijadikan hujjah oleh Syaikh Imam Nawawi Al-Bantani, ulama
asal Indonesia
yang kemudian menetap di Mekkah dan menulis beberapa kitab seperti Uqud
Al-Lujjain Fi Bayani Huquq Az-Zaujan. Tetapi khusus soal perayaan Maulid Nabi
SAW, Imam Nawawi menulis keterangan di atas dalam Kitab Madarij Ash-Shu’ud Fi
Iktisa’I Al-Burud. Sebuah kitab yang memuat beberapa keterangan pendukung atau
dasar bagi kebolehan perayaan Maulid nabi SAW. Hanya saja tidak dicantumkan
bagaimana periwayatan keterangan (yang dianggap hadits) tersebut sehingga menimbulkan
berbagai pertanyaan bagi orang
yang membacanya.
4. Atsar yang
dinisbahkan kepada Sahabat :[24]
وقال أبوبكر الصديق
رضى الله عنه من انفق درهما فى مولد النبى
صلى الله عليه وسلم كان رفيقى فى الجنة
Artinya : Sahabat Abu Bakar ra. berkata, Siapa infaq satu dirham pada Maulid Nabi SAW maka ia menjadi temanku disurga.
وقال عمر رضى الله عنه من عظم
مولد النبى صلى الله عليه وسلم فقد
أحيا الإسلام
Artinya : Sahabat Umar ra berkata, Siapa mengagungkan Maulid Nabi SAW maka ia benar-benar menghidupkan Islam.
وقال عثمان
رضى الله عنه من انفق درهما على مولد النبى
صلى الله عليه وسلم فكأنما شهد يوم وقعة بدر
وحنين
Artinya : Sahabat Utsman ra. Berkata, Siapa infak satu dirham atas Maulid Nabi SAW maka seolah-olah ia menyaksikan hari perang Badar dan perang khunain.
وقال على كرم الله وجهه
من عظم مولد النبى صلى الله عليه وسلم
لايخرج من الدنيا إلا بالإيمان
Artinya : Sahabat Ali ra berkata, Siapa mengagungkan Maulid Nabi SAW, maka ia tidak keluar dunia kecuali dengan membawa iman.
Indahnya
kenikmatan bagi siapapun yang merayakan Maulid Nabi SAW dan melakukan segala
bentuk kebaikan pada momen tersebut merupakan gambaran keniscayaan perayaannya.
Siapa yang tidak ingin menjadi pendamping para sahabat di surga?
Empat pernyataan sahabat (khalifah Ar-Rasyidin) diatas juga termaktub
dalam kitab Imam Nawawi, dan sama dengan keterangan sebelumnya, tidak pula
dicantumkan sumber yang menjadi rujukan perkataan di atas.
Inilah dasar yang secara langsung atau tidak langsung menjelaskan
kebolehan dan keutamaan perayaan Maulid Nabi SAW, dan hal ini sangat populer di
kalangan umat Islam serta dipercaya dan diyakini menjadi kebaikan dalam
mengamalkannya.
D.
Kontroversi Hukum Perayaan Maulid
Nabi SAW
Perbedaan pandangan umat Islam dalam masalah bagaimana status
hukum atau boleh tidaknya perayaan Maulid Nabi SAW sudah muncul sejak lama, dan
ulama atau orang-orang
yang memiliki pengetahuan menjadi penggerak masing-masing pendapat. Dalam
sejarahnya, ada dua motif yang mendasari perbedaan ini yaitu motif politis dan motif
teologis (syar’i).
Motif politis nampak
ketika awal perayaan ini diadakan yaitu Bani Ubaid yang menjadi cikal bakal
dinasti Fatimiyah di Maghrib. Untuk melegalisasi dan memperkuat status
keturunan Fatimah binti Muhammad SAW.[25]
Pada saat kekuasaan dinasti Fatimiyah berkuasa di Mesir
(Kairo), perayaan ini pernah dilarang atau dihentikan untuk sementara waktu,
disebabkan kondisi perpolitikan yang tidak kondusif karena terjadi perpecahan
dalam pemerintahan.[26]
Kemudian disaat dinasti Ayyubiyah (mazhab Sunni) berhasil merebut kekuasaan
dari dinasti Fatimiyah di Mesir, keagiatan perayaan sempat dihentikan beberapa
waktu, sampai akhirnya Al-Malik Muzaffar Ad-Din bermusyawarah dengan Salahuddin
Al-Ayyubi menghidupkan kembali tradisi perayaan dengan tujuan meningkatkan
gairah perjuangan umat Islam, disertai dengan perlombaan penciptaan puisi tentang
kehidupan Nabi SAW. Muncullah sebuah karya puisi kehidupan Nabi SAW dengan
judul Iqd al-Jawahir (Kalung Permata). Namun, dalam perkembangannya,
nama pengarangnyalah yang lebih masyhur disebut, yaitu Syekh Ja'far ibn Hasan
ibn Abdul Karim ibn Muhammad al-Barzanji. Dia seorang sufi yang lahir di Madinah
pada 1690 M dan meninggal pada 1766 M.
Bagaimana
dengan motif teologis (syar’i)?
Ibn Taimiyah adalah salah satu ulama yang tidak membolehkan
perayaan Maulid Nabi SAW, dijelaskan bahwa ketidak bolehan ini disebabkan
beberapa hal, yaitu :[27]
1.
Tidak adanya perintah dari Nabi SAW.
2.
Tidak adanya contoh yang dilakukan oleh
para Sahabat, tabi’in dan Salaf, meski tidak adanya larangan. Sebab jika hal
ini dianggap baik, tentunya para ahlus salaf sudah melakukan hal ini.
3.
Hadits tentang puasa Asyura dan puasa
hari Senin tidak bisa dijadikan sandaran, disebabkan bukan dalil asal untuk
merayakan Maulid Nabi SAW.
4.
Qiyas tidak dapat dijadikan hujjah dalam
bidang ibadah. Sebab yang menjadi alas an bahwa Nabi SAW memuliakan hari
kelahiran dengan puasa adalah Illah
yang tidak boleh digunakan.
5.
Perayaan Maulid masuk ke kategori Bid’ah
dan semua bid’ah adalah dhalalah fi an-nar.
Sedangkan
persoalan beberapa keterangan yang dianggap hadits dan atsar sahabat yang
termaktub dalam Kitab Madarij Ash-Shu’ud karya Imam Nawawi Al-Bantani, setelah
diteliti, merupakan perkataan yang tidak ada sumber dalam kitab hadits manapun.[28] Pujian
kepada Nabi SAW sebagai pemberi syafa’ah, ampunan, dan keselamatan adalah
perbuatan syirik karena pujian seperti itu menempatkan Nabi dalam kapasitas
sebagai pemberi keselamatan, sebuah status yang menjadi hak mutlak Tuhan saja.
Sejarah mencatat beberapa tokoh (ulama) membolehkan bahkan
menganjurkan perayaan ini seperti :[29]
1.
Imam As-Suyuthi
2.
Ibn Dahiyah
3.
Ibn Al-Jaziri
4.
Ibn Nashir Ad-Dimasyqi
5.
Ibnu Hajar Al-Asqalani
Imam As-Suyuthi lebih menekankan kepada tujuan dan aktifitas
yang ada dalam apresiasi perayaan maulid, jika dilakukan dengan cara yang batil
maka ia tidak boleh dilakukan, tetapi jika dilakukan dengan segala bentuk
kebaikan seperti dzikr sirah nabi, it’am masakin, infaq, dll, maka hal ini
harus dilestarikan. Tujuan kebaikan dari tradisi inilah yang tetap dan harus
dilaksanakan.[30]
Keterangan tentang kebolehan perayaan Maulid Nabi SAW telah
dijelaskan pada sub-bab Dalil/dasar perayaan Maulid Nabi di atas.
E.
Sebuah Pandangan / Analisis
Terhadap Kontroversi
Ada
banyak penjelasan sejarawan yang membuka fikiran penulis, dimulai dari
asal-usul perayaan dan pencetus serta motifnya. Kemudian, keberlangsungan
perayaan pada masa awal sejarahnya setelah berganti khilafah. Perdebatan
tentang siapa sebenarnya Ubaid al-Mahdi menjadi topik menarik dan penting untuk
menelusuri motif perayaan ini. Berbekal perdebatan tersebut, beberapa
pertanyaan muncul :
1.
Jika latar belakang Ubaid al-Mahdi yang
disinyalir berasal dari keturunan Yahudi, wajar jika tidak pernah dimunculkan
dalil syar’i tentang perayaan maulid, dan hanya bermotif politik saja. Lantas,
mungkinkah Ubaid Al-Mahdi terinspirasi dari tradisi agama yang dianut
sebelumnya yaitu Yahudi?
2.
Pada saat Solahuddin Al-Ayyubi melegitimasi
perayaan maulid, sangat jelas motif politisnya dan tidak pula dimunculkan dasar
syar’i, maka bukankah awal mula mazhab sunni mengakomodir perayaan ini juga
tidak memiliki landasan syar’i?
3.
Jika dari awal munculnya perayaan ini
bermotif politis, apakah layak persoalan perayaan ini dengan dibahas dengan
menggunakan landasan syar’i?
Persoalan perayaan Maulid Nabi SAW akan lebih jelas fahami
jika dirunut dari hulu sejarahnya, sehingga bisa membuka pemahaman yang
fundamental dan holistik.
III.
KESIMPULAN
Ada
beberapa hal yang perlu diberikan catatan dari pembahasan di atas :
1.
Al-Ihtifal Bi Maulid An-Nabawi adalah tradisi
atau perilaku umat Islam yang diformat dalam berbagai bentuk acara, untuk
menghormati dan perwujudan rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW.
2.
Dari beberapa teori asal-usul perayaan
Maulid Nabi SAW, yang muncul paling awal adalah teori Bani Ubaid Al-Mahdi,
cikal bakal dinasti Fatimiyah di Maghrib, dan ini melemahkan beberapa teori
lain yang hadir setelah masa dinasti Fatimyah di Maghrib.
3.
Tidak ada satu dalil (hadits) yang
bersifat qath’i atau pasti ketetapannya tentang perayaan Maulid Nabi SAW. Beberapa
dalil yang menunjuk langsung kepada perayaan Maulid dan dijadikan rujuan ulama,
tidak didapati di dalam kitab Hadits manapun (Kutub At-Tis’ah) bahkan masuk ke
dalam kategori La Asla Lahu. Dan dalam disiplin ilmu hadits, ketika
sebuah dalil tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, maka ia tertolak
dan amalannya menjadi batal.
4.
Kontroversi kebolehan perayaan Maulid
Nabi SAW tidak akan pernah berakhir, ketetapan para ulama telah tertulis dan
diyakini oleh penganutnya. Persoalan ini akan menjadi jelas jika dirunut
kembali sejarah awal serta motivasi yang melatarbelakangi perayaan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Azamimi, Izzuddin Madhi, Basya’ir Al-Akhbar Fi Maulid
Al-Mukhtar, Kairo, Dar Al-Madinah Al-Munawwaroh, 1985.
Ba’albaki, Al-Maurid, Beirut,
Dar Al-Ilm Al-Malayin, 1995.
Cholil, Munawar, dan A. Hasan dan dalam Fiderspiel: The Persatuan
Islam : Moenawar Chalil, Fatwa Oelama jang Haq tentang Bid’ah Maoeloedan, Pembela Islam No. 65.
Hamad, Muhammad Ibn Ali Ibn, Akhbar Muluk Bani Ubaid Wa
Sirotuhu, Kairo, Dar Ash-Shohwah, TT.
Hamim, Thoha, Pesantren dan Tradisi Maulid, Telaah atas Kritik
terhadap Tradisi Membaca Kitab Maulid di Pesantren, dalam Makalah
disampaikan dalam acara Dies Natalies ke-32 IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Al-Hasani, Muhammad Alawi Al-Makki, Haul Al-Ihtifal Bi
Dzikri Al-Maulid An-Nabawi Asy-Syarif, T.K., www.kitabklasik.co.cc, T.T.
Hisyam, Ibn, Tahdzib Sirah Ibn Hisyam, terj, Inas A. Farid,
Kairo, Al-Falah Foundation, 2000.
Al-Hanini, Nashir Ibn Yahya, Al-Maulid An-Nabawi Tarikhuhu Hukmuhu Wa
Atsarohu, Ar-Riyadh, T.P, 1422 H.
Kabbani, Muhammad Hisyam, Maulid & Ziarah Ke Makam Nabi SAW,
terj. A. Syamsu Rizal, Jakarta,
Serambi, 2007.
Khan, Abdul Waheed, The Life Of Prophet Muhammad, Riyadh, IIPH, 2002.
Al-Khayyath, Abd Ar-Rahman Ibn Abd Al-Mu’im, Maulid An-Nabi,
Kairo, Dar Al-Afaq Al-Arabiyah, 2002.
Al-Makki, Muhammad Ali Ibn Husain
Al-Maliki, Al-Hady At-Tam Fi Mawarid Al-Maulid An-Nabawi, T.K., T.P.,
1421 H.
Al-Maqrizi, Taqi Ad-Din Ahmad Ibn
Ali, Al-Mawa’izh Wa Al-I’tibar Bi Dzikri Al-Khuthot Wa Al-Atsar, T.K, www.al-mostafa.com, T.T.
Al-Mubarakpuri, Safi’
Ar-Rahman, Ar-Rahiiq Al-Makhtum, India, Maktaba Dar As-Salam, 2000.
Al-Musawa, Munzir, Kenalilah
Aqidahmu, www.majelisrasulullah.org.
Ali Mustofa Ya'qub, Hadits-Hadits
Bermasalah, Cet.3, Jakarta,
Pustaka Firdaus, 2005.
As-Sandubi, Hasan, Tarikh Ikhtifal
Bi Al-Maulid An-Nabawi Min Ashr Al-Islam Al-Awwal Ila Ashri Faruq Al-Awwal,
Kairo, Matba’ah Al-Istiqomah, 1948.
As-Suyuthi, Jalal Ad-din Abd
Ar-Rahman, Hushn Al-Maqsid Fi ‘Amal Al-Maulid, Beirut, Darul Kutub
Al-Ilmiyah, 1985.
As-Suyuthi, Jalal Ad-din Abd
Ar-Rahman, Al-Hawi Li Al-Fatawa, Juz I & II, Beirut, Darul Kutub
Al-Ilmiyah, 1983.
At-Thanthawi, Ali, Rijal
Min At-Tarikh, Jilid II, Jeddah, Dar Al-Minaroh, 1990.
Az-Zain, Mahmud Ahmad, Al-Bayan
An-Nabawi ‘An Fadhl Al-Ihtifal Bi Maulid An-Nabawi, Dubai, Dar Al-Buhuts Li
Ad-Dirasah Al-Islamiyah Wa Ihya’ At-Turats, 2005.
As-Sidawi, Abu Ubaidah, Mengkritisi
Hadits Populer, ebook, hlm. 56-57.
Ebook Sahih
Al-Bukhari, Kairo, Natata Software, 2002.
Ebook Sahih
Muslim, Kairo, Natata Software, 2002.
[1] Salah satu ulama yang membolehkan perayaan Maulid
Nabi adalah Imam As-Suyuthi, seorang ulama mazhab Asy-Syafi’i, dan untuk
melihat pendapatnya tentang kebolehan perayaan ini, Lihat Al-Suyuthi, Husn
al-Maqsid fi ‘Amal al-Mawlid (Dar al-Kutub: al-’Ilmiyah, 1985).
[2] Mereka yang menolak peringatan maulid menganggap
bahwa peringatan maulid yang dilakukan adalah perbuatan tercela (bid’ah
dhalalah). Selanjutnya, mereka munuduh bahwa dengan tetap mempertahankan
tradisi maulid, berarti telah mengesahkan amalan yang dicela Islam. Lihat Thoha
Hamim, Pesantren dan Tradisi Maulid, Telaah atas Kritik terhadap Tradisi
Membaca Kitab Maulid di Pesantren, dalam Makalah disampaikan dalam acara
Dies Natalies ke-32 IAIN Sunan Ampel Surabaya. Juga Lihat A. Hasan dan Munawar
Cholil dalam Fiderspiel: The Persatuan Islam : Moenawar Chalil, Fatwa Oelama
jang Haq tentang Bid’ah Maoeloedan, Pembela Islam No. 65.
[3] Al-Musawa, Kenalilah Aqidahmu, www.majelisrasulullah.org., hlm.
14.
[4] Ba’albaki, Al-Maurid, Beirut, Dar Al-Ilm Al-Malayin, 1995, hlm.
479.
[5] Ibid
[6] Ibid, hlm. 1247.
[7] Hisyam, Tahdzib Sirah Ibn Hisyam, terj, Inas
A. Farid, Kairo, Al-Falah Foundation, 2000, hlm. 21. Berdasarkan data yang
dimilikinya, Ibn Hisyam tidak menyebut tahun kelahiran Nabi SAW secara pasti,
ia hanya menyebut bertepatan dengan peristiwa ‘Gajah’. Hal ini disebabkan penanggalan
Hijriyah belum dimulai.
[8] Khan, Abdul Waheed, The Life of Prophet Muhammad, Riyadh, IIPH, 2002, hlm.
11.
[9] Penanggalan ini berdasarkan hitungan Falak seorang
ulama bernama Muhammad Sulaiman al-Manshurfuri dan Mahmud Basya, pakar ilmu
falak di India.
Lihat Al-Mubarakpuri, Safi’ Ar-Rahman, Ar-Rahiiq
Al-Makhtum, India,
Maktaba Dar As-Salam, 2000, hlm. 15.
[10] Al-Hanini, Nashir Ibn Yahya, Al-Maulid An-Nabawi
Tarikhuhu Hukmuhu Wa Atsarohu, Ar-Riyadh, T.P, 1422 H, hlm. 2.
[11] Al-Maqrizi, Taqi Ad-Din Ahmad Ibn Ali, Al-Mawa’izh
Wa Al-I’tibar Bi Dzikri Al-Khuthot Wa Al-Atsar, T.K, www.al-mostafa.com, T.Th., hlm. 490.
[12] Ibid.
[13] Para ahli nasab
menjelaskan bahwa sesungguhnya Ubaid berasal dari keturunan Al-Qaddah beragama
Majusi, pendapat lain menjelaskan bahwa dia adalah anak seorang Yahudi yang
bekerja sebagai pandai besi di Syam. Dinasti ini menganut paham Syiah
Bathiniyah; diantara kesesatannya adalah bahwa para pengikutnya meyakini Al
Mahdi sebagai tuhan pencipta dan pemberi rezki, setelah Al-Mahdi mati
anaknya yang menjadi raja selalu mengumandangkan kutukan terhadap Aisyah istri Rasulullah
SAW di pasar-pasar. Penjelasan lengkap tentang asal-usul dan perdebatan
sejarawan tentang Bani Ubaid, lihat Hamad, Muhammad Ibn Ali Ibn, Akhbar
Muluk Bani Ubaid Wa Sirotuhu, Kairo, Dar Ash-Shohwah, TTh., hlm. 3-52.
[14] As-Sandubi, Hasan, Tarikh Ikhtifal Bi Al-Maulid
An-Nabawi Min Ashr Al-Islam Al-Awwal Ila Ashri Faruq Al-Awwal, Kairo,
Matba’ah Al-Istiqomah, 1948, hlm. 62-63.
[15] As-Suyuthi, Jalal Ad-din Abd Ar-Rahman, Hushn
Al-Maqsid Fi ‘Amal Al-Maulid, Beirut,
Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1985, hlm. 42. Kota Irbil (terletak di selatan Mosul,
Irak) adalah sebuah kota yang besar, padat penduduk, memiliki pasar yang besar
yang dipimpin oleh Al-Malik Muzaffar pada dinasti Ayyubiyah, setelah merebut
kekuasaan dari dinasti Fatimiyah. Lihat As-Sandubi, Hasan, Tarikh Ikhtifal
Bi Al-Maulid An-Nabawi Min Ashr Al-Islam Al-Awwal Ila Ashri Faruq Al-Awwal,
Kairo, Matba’ah Al-Istiqomah, 1948, hlm. 80.
[16] Al-Malik adalah sebutan untuk orang (pejabat dalam
khilafah) yang memiliki beberapa keistimewaan, juga disebut Hakim atau Wali
dalam pemerintahan dinasti Ayyubiyah. Lihat At-Thanthawi, Ali, Rijal Min
At-Tarikh, Jilid II, Jeddah, Dar Al-Minaroh, 1990, hlm. 267.
[17] Ibid.
[18] HR. Bukhari, hadits No. 2043, dikutip dari ebook Sahih Al-Bukhari,
Kairo, Natata Software, 2002. Juga HR. Muslim, Hadits No. 2712, dikutip dari
ebook Sahih Muslim, Kairo, Natata Software, 2002.
[19] Az-Zain, Mahmud Ahmad, Al-Bayan An-Nabawi ‘An
Fadhl Al-Ihtifal Bi Maulid An-Nabawi, Dubai,
Dar Al-Buhuts Li Ad-Dirasah Al-Islamiyah Wa Ihya’ At-Turats, 2005, hlm. 45-46.
[20] QS. Al Anbiya [21]: 107:
[22] Al-Hasani, Muhammad Alawi Al-Makki, Haul
Al-Ihtifal Bi Dzikri Al-Maulid An-Nabawi Asy-Syarif, T.K., www.kitabklasik.co.cc, T.T., hlm. 2.
[23] Kalimat ini dikatakan sebagai Hadits oleh beberapa
ulama seperti Imam Nawawi Al-Bantani. Lihat Al-Bantani, Imam Nawawi, Madarij
as-Shu'udh fi Iktisa’I Al-Burud, Semarang, Toha Putra, TT., hlm.15.
Meskipun setelah diteliti, tidak didapati dalam Kitab Hadits Manapun (La Ashla
Lahu). Lihat juga Ali Mustofa Ya'qub, Hadits-Hadits Bermasalah, Cet.3,
Jakarta,
Pustaka Firdaus, 2005, hlm.102.
[24] Perkataan sahabat (Khulafa Ar-Rasyidin) ini termaktub
dalam kitab karya Imam Nawawi, tetapi tidak dijelaskan sumbernya, dari mana
perkataan tersebut berasal. Lihat Ibid.
[25] Al-Hanini, Nashir Ibn Yahya, Al-Maulid An-Nabawi
Tarikhuhu Hukmuhu Wa Atsarohu, Ar-Riyadh, T.P, 1422 H, hlm. 2. Juga Lihat
penjelasan Al-Maqrizi, Taqi Ad-Din Ahmad Ibn Ali, Al-Mawa’izh Wa Al-I’tibar
Bi Dzikri Al-Khuthot Wa Al-Atsar, T.K, www.al-mostafa.com,
T.T., hlm. 490-510.
[26] As-Sandubi, Hasan, Tarikh Ikhtifal Bi Al-Maulid
An-Nabawi Min Ashr Al-Islam Al-Awwal Ila Ashri Faruq Al-Awwal, Kairo,
Matba’ah Al-Istiqomah, 1948, hlm. 62-68.
[27] Az-Zain, Mahmud Ahmad, Al-Bayan An-Nabawi ‘An
Fadhl Al-Ihtifal Bi Maulid An-Nabawi, Dubai,
Dar Al-Buhuts Li Ad-Dirasah Al-Islamiyah Wa Ihya’ At-Turats, 2005, hlm. 37-40.
[28] As-Sidawi, Abu Ubaidah, Mengkritisi Hadits
Populer, ebook, hlm. 56-57.
[29] Az-Zain, Mahmud Ahmad, Al-Bayan An-Nabawi ‘An
Fadhl Al-Ihtifal Bi Maulid An-Nabawi, Dubai, Dar Al-Buhuts Li Ad-Dirasah
Al-Islamiyah Wa Ihya’ At-Turats, 2005, 31-32.
[30] As-Suyuthi, Jalal Ad-din Abd Ar-Rahman, Hushn
Al-Maqsid Fi ‘Amal Al-Maulid, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1985, 15-25.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar