KATA PENGANTAR
Bismillah,
walhamdulillah, was-sholatu wassalamu ‘ala Rosulillah, wa’ala alihi wa
ashohbihi waman walah, wala haula wala quwwata illa billah.
Naskah
terjemahan yang berjudul “KH ALI MAKSUM MEMBELA KEBENARAN AMALIAH (Tradisi)
NAHDHIYYIN” ini merupakan terjemahan dari kitab berbahasa
arab “Hujjatu Ahlissunnah Wal Jama’ah, karya KH Ali
Makshum, Rois Am PBNU periode 1979 - 1983.
Sesuai
dengan judulnya, naskah ini menguraikan beberapa amaliah atau
tradisi keagamaan “Kaum Nahdhiyyin” di
Indonesia khususnya dan mayoritas kaum “Ahlussunnah Wal Jama’ah” di
dunia pada umumnya, seperti tradisi talqin mayyit pasca penguburan,
ziarah kubur, shalat tarawih 20 rakaat, wisata ziarah ke makam Rasulullah,
penetapan awal-akhir ramadhan dan lain-lain. Namun menginjak awal abad
duapuluh miladiyah, amaliah dan tradisi kaum Nahdhiyyin
tersebut digugat keabsahannya oleh “segerombol” umat islam
yang menyatakan diri sebagai Kaum Modernis, MTA (Majlis Tafsir
Al-Qur’an), Salafi Wahhabi dan antek-anteknya dengan tuduhan bid’ah,
syirik, kufur, sesatdan lain-lain. Akibatnya, tidak jarang hal ini
menimbulkan keresahan, perpecahan, dan bahkan bentrok fisik di kalangan kaum
Muslimin sendiri, yang berujung pada rusaknya ukhuwwah Islamiyyah.
Padahal kalau dikaji lebih dalam, amaliah dan tradisi tersebut merupakan
persoalan furu’ iyyah fiqhiyyah (cabang), bukan ushul (prinsip)
dan bersifat ijtihadiyah (hasil pemikiran ijtihad) yang
memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama. Di samping itu,
amaliah dan tradisi ini sudah mapan berkembang sejak periode awal pembentukan
Islam, yakni sejak masa Nabi SAW dan masa-masa sesudahnya sampai sekarang.
Sehingga tidak ada gunanya memperdebatkan dan mengungkit-ungkit persoalan yang
sudah mapan berkembang tersebut, apalagi sampai menimbulkan bentrok fisik dan
rusaknya ukhuwwah Islamiyyah. Na’udzibillahi min dzalik.
Melalui
karya tulisnya ini, KH Ali Makshum berusaha untuk membela dan mempertahankan
kebenaran amaliah dan tradisi tersebut dengan cara mengkaji
kembali, meneliti dalil-dalilnya dan mengembalikannya kepada sumbernya yang
asli, yakni Al-Qur’an, Hadis, serta perilaku para sahabat dan salafus-shalih.
Dengan harapan agar kaum Nahdhiyyin khususnya dan kaum Muslimin pada umumnya
akan semakin mantap dalam menjalankan amaliah dan tradisinya, serta tidak
terjebak kedalam percekcokan dan perdebatan semu dengan sesama saudara muslim
tentang persoalan khilafiyah.
Sehubungan
dengan itu, kami sengaja untuk mempublikasikan hasil penterjemahan atas karya
monumental KH Ali Maksum tersebut melalui blog “Alumni Krapyak
Ngayogjokarto Berbagi” ini secara bersambung, dengan mengikutsertakan
teks arabnya.
Selanjutnya,
kami menyadari bahwa naskah ini masih banyak kekurangan disana sini. Oleh
karenanya, saran, masukan dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan
untuk penyempurnaan naskah ini di masa depan.
Tak lupa
kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses
penyelesaian naskah ini, terutama kepada KH Asyhar Sofwan, MPdI (pengasuh PP
Al-Fatih Tambos Sby & Katib Syuriyah PCNU Kota Surabaya) atas koreksi &
masukannya, dan Ustadz Muhammad Ma’ruf (Ketua LBM PCNU Kota Surabaya &
Pengasuh acara Hujjah Aswaja di TV9) yang
meluangkan waktunya untuk mentakhrij Hadis-hadisnya.
Akhirul
kalam. Semoga bermanfaat dan membawa keberkahan. Robbi fanfa’naa
bibarktihii, wahdinal husnaa bihurmatihii. Wa amitnaa fii thoriiqotihii, wa
mu’aafaatin minal fitani. Amin. (Penterjemah).
_________________________________________________
T A Q D I
M
Oleh KH Ali Maksum
الحمد لله الذي انزل الكتاب تبيانا لكل شيئ و هدى و رحمة
لقوم يؤمنون. فيه بصائر و نور و شفاء لما في الصدور. و لا يعقله الا الراسخون.
فاسألوا أهل الذكر إن كنتم تعلمون. و قال تعالى : و من يشاقق الرسول من بعد ما
تبين له الهدى و يتـبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى و نصله جهنـم و ساءت مصيرا ( سورة
النساء, 4 : 115 ) .
و الصلاة و السلام على سيدنا محمد المبعوث بالحلم و
الرحمة الواسعة القائل : مهما اوتيتم من كتاب الله فالعمل به واجب لا عذر لأحد في
تركه, فإن لم يكن في كتاب الله فسنة لي ماضية, فإن لم يكن في سنة لي فما قال
أصحابي, لأن أصحابي كالنجوم في السماء, فأيما أخذتم به فقد اهتديتم, و اختلاف
أصحابي لكم رحمة. و على أله و صحبه الصابرين و الصادقين و القانتين و المنفقين و
المستغفرين بالأسحار الذين هم أمنة هذه الأمة المعصومة من الإجماع على الخطاء و
الغواية, و على الذين اتـبعواهم بإحسان و لا يتـبعون خطوات الشيطان.
و بعد, لما رأيت مسيس حاجة اخواني الطلبة بالمعهد
الإسلامي (كـرابياك جقجاكرتا) خصوصا و غيرهم من امثالي القاصرين عموما الى بيان :
1- أمثلة من المسائل التي
لا ينبغي تبادل الإنكار فيها, مثل مسألة قبلية الجمعة و مثل مسألة تلقين الميت بعد
الدفن و نحوهما.
2- و أمثلة من المسائل
التي أجمع عليها و تمسك بها أهل السنة و الجماعة, مثل مسألة ثبوت شهري
رمضان و شوّال بالرؤية و مثل زيارة
القبور و نحوهما.
كي لا يستولي عليهم في دينهم الوساوس و الأوهام الباطلة
و لا يتسلط عليهم الشيطان و اولياؤه بالإغواء و الإضلال, و لا يغـتروا تلبيسات اهل
الأهواء, و ان كثر القيل و القال, و يعلموا حقا أن ما عليه السلف الصالح هو الحق
المتـبع. فما بعد الحق الا الضلال؟
جمعت في هذا الكتاب ما قاله أساطين العلماء الأعلام و
أكابر رجال الإسلام. إذ لا سبيل لمثلي القاصر في هذا الأمر إلا الجمع و النقل من
عبارات هؤلاء الكرام و الإعتماد عليهم.
على أنـي لم أكن لأحدث نفسي بتجشّم هذا العناء. لولا
أخرجه الخطيب البغدادي في الجامع و غيره, انـه صلى الله عليه و سلم قال : إذا ظهرت
الفـتن ( او قال) البدع, و سب أصحابي فليظهر العالم علمه. فمن لم يفعل ذلك فعليه
لعنة الله و الملائكة و الناس أجمعين, لا يقبل الله منه صرفا و لا عدلا. و ما رواه
الحاكم عن ابن عباس رضي الله عنه, أن النـبي صلى الله عليه و سلم قال : ما ظهر اهل
بدعة إلا أظهر الله فيهم حجـته على لسان من شاء من خلقه.
و ها انا ذا, أذكر فيما يأتي امثلة من النوعين. و الله
المستعان لإصابة الصواب, و عليه التكلان و اليه المصير.
TERJEMAH :
Segala
puji bagi Allah yang telah menurunkan kitab suci Al-Qur`an sebagai penjelas,
petunjuk dan rahmat bagi kaum beriman. Didalamnya terkandung berbagai ilmu
pengetahuan, cahaya dan obat penyakit hati. Tiada yang mampu mendalami dan
mengungkap isinya selain para ulama yang mumpuni (ar-Rasyikhun). Karena
itu, bertanyalah kepada ahlinya agar kamu mengetahui.
Allah SWT berfirman :
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ
لَهُ الْـهُدَى وَ يَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْـمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا
تَوَلَّى وَ نُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَ سَاءَتْ مَصِيْرًا
Artinya : “Dan barangsiapa
yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanna, Dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali”. (QS an-Nisa`[4] : 115)
Shalawat
dan salam semoga dilimpahkan Allah SWT kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW
yang diutus dengan penuh toleransi, kasih sayang dan berpandangan luas, yang
pernah bersabda :
مَهْمَا أُوْتِيْتُمْ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَالْعَمَلُ بِهِ وَاجِبٌ لَا عُذْرَ لِأَحَدٍ
فِي تَرْكِهِ, فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَسُنَّةٌ مِنِّى مَاضِيَةٌ, فَإِنْ
لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةٍ مِنِّى فَمَا قَالَ أَصْحَابِي,إِنَّ أَصْحَابِي
بِمَنْزِلَةِ النُّجُوْمِ فِي السَّمَاءِ, بِأَيُّمَا أَخَذْتُمْ بِهِ اهْتَدَيْتُمْ, وَ اخْتِلَافُ
أَصْحَابِي لَكُمْ رَحْمَةٌ.
Artinya : “Bagaimana pun
juga, kalian telah diberi kitab suci Al- Qur`an. Untuk itu, kalian wajib
mengamalkan isi kandungannya. Tidak ada alasan meninggalkannya. Jika tidak
ditemukan didalam Al-Qur`an, ambillah sunnahku (hadis) yang telah lewat. Jika
tidak ada didalam sunnahku, ambillah apa yang dikatakan oleh para sahabatku.
Karena mereka bagaikan bintang di langit. Manakala kalian mengambil perkataan
mereka, kalian akan memperoleh petunjuk. Perbedaan pendapat di kalangan
sahabatku merupakan rahmat bagi kalian”.[1]
Semoga
shalawat dan salam juga dilim-pahkan Allah SWT kepada segenap keluarga dan
sahabat beliau yang penyabar, benar keimanannya, patuh, gemar berinfaq, dan
beristighfar di akhir malam (waktu sahur). Mereka merupakan umat yang
terpercaya dan mereka tidak akan bersekongkol untuk berbuat salah, apalagi
menyesatkan. Shalawat dan salam semoga juga dilimpahkan kepada orang-orang yang
mengikuti jejak para sahabat dengan penuh keimanan dan tidak mengikuti jejak
langkah setan.
Saya
memperhatikan para santri Pondok Krapyak Yogya khususnya dan kaum muslimin yang
sangat terbatas keilmuannya pada umumnya sangat membutuhkan penjelasan tentang
beberapa persoalan agama yang nampaknya sepele dan selayaknya tidak perlu
dipertengkar-kan diantara sesama umat Islam, seperti masalah shalat sunnah
qabliyah jum’at, men-talqin mayyit, dan sejenisnya. Juga beberapa persoalan
agama yang sudah disepakati dan dipegangi oleh golongan Ahlussunnah wal
Jamaah dalam kehidupan beragama seperti masalah
penetapan awal bulan Ramadhan danSyawwal berdasarkan rukyatul hilal, berziarah kubur, dan
sejenisnya. agar mereka tidak lagi merasa waswas dan ragu terhadap kebenaran amaliyah keagamaan mereka, tidak
dijerumuskan oleh setan, tidak terjerumus ke jurang kesesatan, tidak mudah
terkecoh dengan berbagai pandangan ngawur para pemuja hawa nafsu, dan agar
mereka mengetahui dengan sebenarnya bahwa apa saja yang telah dilakukan oleh
para ulama salaf as-shalih itu semuanya benar (haqq)
dan mesti diikuti, karena selain yang haqq itu sesat.
Didalam buku ini,
saya sekedar menyusun kembali berbagai pendapat para ulama besar dunia dan
tokoh-tokoh agama Islam. Karena tidak ada cara lain bagi orang seperti
saya yang sangat dangkal ilmunya ini selain sekedar menyusun kembali berbagai
pendapat mereka dan mengikutinya.
Saya sendiri
sebenarnya merasa berat melakukan tugas ini. Kalau saja tidak ada sebuah hadis
Nabi yang dikemukakan oleh Al-Khathib al-Baghdadi didalam kitab Al-Jami` dan
kitab-kitab lainnya, yaitu sabda Rasulullah SAW bersabda :
إِذَا ظَهَرَتْ الْفِتَنُ اَوْ قَالَ الْبِدَعُ, وَ سُبَّ
أَصْحَابِي فَلْيُظْهِرْ العَالِمُ عِلْمَهُ. فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ
فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَ الْمَلَائِكَةِ وَ النَّاسِ أَجْمَعِيْن, لَا
يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ صرْفًا وَ لَا عَدْلًا
Artinya : “Jika telah muncul
fitnah, (atau kata beliau : bid’ah) dan sahabatku dicacimaki,
maka orang yang berilmu (ulama) hendaklah menampakkan keilmuannya. Barangsiapa
yang tidak melakukannya, ia tentu akan dilaknat Allah, para malaikat dan
seluruh manusia. Allah tidak akan menerima amalnya, baik yang wajib maupun yang
sunnah”. [2]
Dan sebuah hadis lagi
riwayat al-Hakim dari Ibnu Abbas r.a. yang menyatakan :
مَا ظَهَرَ أَهْلُ بِدْعَةٍ قَطُّ إِلَّا أَظْهَرَ
اللَّهُ فِيْهِمْ حُجَّتَهُ عَلَى لِسَانِ مَنْ شَاءَ مِنْ خَلْقِهِ.
Artinya : “Tidak
sekali-kali muncul ahli bid’ah melainkan Allah akan menampakkan argumentasi-Nya
untuk menghadapi mereka melalui lidah orang yang dikehendak-Nya”.[3]
Berikut ini akan saya
jelaskan beberapa contoh dari kedua bentuk persoalan agama yang telah saya
sebutkan di muka. Hanya kepada Allah-lah kami memohon pertolongan, bertawakkal
dan kembali.
[1] HR Baihaqi nomor 152 dalam Al Madkhol ila
as-Sunan al-Kubro; I/162;
Abu Nashr as Sajzy dalam Al- Ibanah dan mengatakan
sebagai hadits Gharib; Khathib dalam Al Kifayah fi ‘Ilm
ar-Riwayah, I/48; Ibnu ‘Asakir, XXII/359; Dailami, IV/160, nomor hadits 6497
[2] HR Khothib nomor hadis 1266 dalam Al-Jami’, dan Abu Bakar
al-Khalal nomor 797 dalam As-Sunnah.
[3] Ditakhrij oleh
Dailami, IV/36
جواز هبة ثواب القراءة
و الصدقة للميت و وصول ثواب القراءة و أعمال البر للميت
و
هو من مسائل الفروع الخلافية. فلا يجوز بشأنه إثارة الفتن و الجدال و الإنكار على
القائل و العامل به و لا على المخالف, و لا ينبغي ان يقع بينهما ما لا ينبغي و
قوعه بين أخوين مسلمين. و لئن كان للمانع مستند, فإن لغيره مستندا كذلك.
فقد قال ابن تيمية : إن الميت ينتفع بقراة القرآن, كما
ينتفع بالعبادة المالية من الصدقة و نحوها.
و قال ابن القيم في كتاب الروح : أفضل ما يهدى الى الميت
الصدقة و الإستغفار و الدعاء له و الحج عنه. و أما قراءة القرآن و إهداؤها اليه
تطوعا من غير أجر فهذا يصل اليه كما يصل
اليه ثواب الصوم و الحج. و
قال في موضع أخر من كتابه : و الأولى ان ينوي عند الفعل انها للميت, و لا يشترط
التلفظ بذلك.
ذلك ما قال ابن تيمية و ابن القيم نقله عنهما العلامة
الشيخ حسنين محمد مخلوف, مفتي الديار المصرية السابق. ثم قال : و ذهب الحنفية الى
ان كل من أتى بعبادة سواء أكانت صدقة أم قراءة قرآن او غير ذلك من انواع البر, له
جعل ثوابها لغيره و يصل ثوابها اليه.
و في فتح القدير : روي عن علي كرم الله وجهه, عن النـبي
صلى الله عليه و سلم, انه قال : من مر على المقابر و قرأ قل هو الله أحد احدى
عشرة, ثم وهب أجرها للأموات, اعطي من الأجر بعدد الأموات.
و عن أنس أن النـبي صلى الله عليه و سلم سئل, فقال
السائل : يا رسول الله, انا نتصدق عن موتانا و نحج عنهم و ندعو لهم, هل يصل ذلك
اليهم؟. قال : نعم, انه ليصل اليهم و انهم ليفرحون به كما يفرح احدكم بالطبق اذا
اهدي اليه. اه.
و مذهب الشافعية : ان الصدقة يصل ثوابها الى الميت
باتفاق. و أما القراءة, فالمختار - كما في شرح المنهاج - وصول ثوابها الى
الميت. و ينبغي الجزم به لأته دعاء.
و مذهب المالكية : انه لا خلاف في وصول ثواب الصدقة الى
الميت. و اختلف في جواز القراءة للميت. فأصل المذهب كراهتها.
و ذهب المتأخرون الى جوازها, و هو الذي جرى عليه العمل,
فيصل ثوابها الى الميت. و نقل ابن فرحون, انه الراجح.
و في المجموع للإمام النووي, سئل القاضي ابو الطيب عن
ختم القرآن في المقابر. فقال : الثواب للقارئ, و يكون الميت كالحاضرين ترجى له
الرحمة و البركة. و يستحب قراءة القرآن في المقابر في لهذه المعنى. و ايضا فالدعاء
عقيب القراءة أقرب الى الإجابة. و الدعاء ينفع للميت.
و نقل النووي في الأذكار عن جماعة من اصحاب
الشافعية, أنه يصل ثواب القراءة
الى الميت كما ذهب اليه ابن حنبل و جماعة من العلماء.( انتهى عن الشيخ المفتى
المذكور).
و في الميزان الكبرى للإمام الشعراني : و الخلاف في وصول
ثواب القراءة او عدم وصوله مشهور, و لكل منهما وجه.
و مذهب أهل السنة : أن للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره,
و به قال أحمد ابن حنبل. اه.( الميزان اخر كتاب الجنائز).
TERJEMAH
Menghadiahkan pahala
bacaan, shodaqah dan amal sholeh merupakan salah satu dari sekian furu’
khilafiyah yang seharusnya tidak mendorong terjadinya fitnah,
pertengkaran, perdebatan dan sikap antipati kepada orang yang melakukannya dan
yang menentangnya. Kedua belah pihak yang saling berbeda pendapat sebaiknya
tidak melakukan hal-hal yang tidak pantas dilakukan oleh sesama saudara
muslimnya. Karena masing-masing pihak tentu memiliki alasan dan argumentasi
sendiri yang membenarkan amaliahnya.
Ibnu Taimiyah
mengatakan : “Mayit dapat mengambil manfaat dari pahala bacaan ayat Al-Qur`an
orang lain yang dihadiahkan kepadanya, sebagaimana ia juga dapat mengambil
manfaat dari pahala ibadah maliyah seperti shadaqah dan
sejenisnya.[1]
Ibnul Qayyim
mengatakan didalam kitab Ar-Ruh : “Sebaik-baik pahala yang
dihadiahkan kepada mayit adalah pahala shadaqah, istighfar,
mendoakan kebaikan untuk mayit, dan ibadah haji atas namanya. Adapun pahala
bacaan ayat Al-Qur`an yang dihadiahkan secara sukarela oleh pembacanya kepada
si mayit, dan bukan karena dibayar, hal semacam ini pun sampai kepada si mayit,
sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji kepadanya”.[2]
Ibnul Qayyim
mengatakan lagi di bagian lain dari kitabnya, bahwa yang lebih utama
ketika melakukannya (membaca Al-Qur`an) adalah hendaknya diniati agar pahalanya
diberikan Allah kepada si mayit. Dalam hal ini, tidak
disyaratkan untuk melafalkan niatnya.
Kedua pandangan Ibnu
Taimiyah dan Ibnul Qayyim tersebut pernah dinukil oleh Syaikh Hasanain
Muhammad Makhluf, mantan seorang mufti Mesir. Kemudian
beliau menyatakan: menurut pendapat ulama madzhab hanafi, bahwa
orang yang melakukan amal ibadah, baik yang berbentuk shadaqah, bacaan ayat
Al-Qur`an, maupun amal sholeh lainnya, ia boleh menghadiahkan pahalanya kepada
orang lain dan kiriman pahala tersebut sampai kepadanya.[3]
Didalam kitab Fathul
Qadir diriwayatkan sebuah hadis dari Ali bin Abi Thalib, dari
Rasulullah saw, beliau bersabda,
مَنْ مَرَّ عَلَى الْمَقَابِرِ وَ قَرَأَ قُلْ هُوَ اللَّهُ
أَحَدٌ اِحْدَى عَشْرَةَ, ثُمَّ وَهَبَ أَجْرَهَا لِلْأَمْوَاتِ, اُعْطِيَ مِنَ
الْأَجْرِ بِعَدَدِ اْلأَمْوَاتِ.
Artinya : “Siapa saja
yang melewati lokasi pekuburan dan membaca Qul huwallohu ahad (surat
al-Ikhlash) sebelas kali, lantas pahala bacaannya dihadiahkan kepada para
mayit, maka ia diberi pahala sejumlah mayit itu”. [4]
Dari Anas bin Malik
ra, bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya oleh seseorang : “Sungguh, aku
bersedekah atas nama mereka, berhaji atas nama mereka dan berdoa memohon
kebaikan untuk mereka. Apakah pahala amal yang demikian itu sampai kepada
mereka?”. Jawab beliau :
نَعَمْ, اَنَّهُ لَيَصِلُ اِلَيْهِمْ وَ اَنَّهُمْ
لَيَفْرَحُوْنَ بِهِ كَمَا يَفْرَحُ اَحَدُكُمْ بِالطّبْقِ اِذَا اُهْدِيَ
اِلَيْهِ
Artinya : “Ya,
pahalanya tentu akan sampai kepada mereka dan mereka pun merasa gembira dengan
kiriman tersebut, sebagaimana kegembiraan salah seorang diantara kalian sewaktu
menerima hadiah sepiring makanan”.[5]
Ulama syafi’iyah sepakat,
bahwa pahala shadaqah dapat sampai kepada mayyit. Namun tentang
pahala bacaan ayat Al-Qur`an, menurut pendapat yang terpilih –
sebagaimana yang dijelaskan didalam kitab Syarah al-Minhaj -
juga sampai kepada si mayit. Sebaiknya kita kokoh berpegang pada
pendapat yang terpilih ini, karena ini merupakan suatu doa.
Di kalangan
ulama madzhab maliki pada umumnya tidak ada perselisihan
pendapat dalam hal sampainya pahala shadaqah kepada mayit. Yang mereka
diperselisihkan ialah tentang bolehnya menghadiahkan pahala bacaan (Qur`an
dan kakimat thoyyibah lainnya) kepada si mayit. Namun pada prinsipnya, madzhab
maliki memakruhkan hal itu.
Sedangkan para ulama
mutakhirin membolehkan pengiriman hadiah pahala bacaan, sebagaimana
yang tercermin dalam amaliyah (tradisi) yang sudah berjalan
selama berabad-abad di tengah masyarakat, dan pahala yang dikirimkannya pun
dapat sampai kepada si mayit. Ibnu Farhun menukil suatu pendapat yang
menyatakan bahwa sampainya pahala bacaan kepada mayit merupakan pendapat yang
terunggul.
Didalam kitab Al-Majmu` yang
ditulis oleh imam An-Nawawi disebutkan, bahwa al-Qadhi Abu
ath-Thayyib pernah ditanya soal mengkhatamkan Al-Qur`an di makam. Jawabnya,
bahwa orang yang membaca akan mendapatkan pahala, sementara mayit (yang ada di
makam itu) bagaikan orang-orang yang hadir menyimak, dimana mereka berharap
memperoleh rahmat dan keberkahan dari bacaan Al-Qur`an tersebut. Atas dasar
ini, maka membaca Al-Qur`an di makam adalah mustahab(sunnah).
Selain itu, doa yang dibaca setelah membaca Al-Qur`an lebih mudah dikabulkan
dan bermanfaat bagi si mayit.
Imam An-Nawawi
didalam kitab Al-Adzkar menukil pendapat dari sekelompok ashabus-syafi’iy,
bahwa pahala bacaan (Al-Qur`an dan kalimat thoyyibah lainnya)
dapat sampai kepada si mayit, sama seperti pendapat yang dikemukakan oleh Imam
Ahmad bin Hanbal dan sekelompok ulama` lainnya.
Didalam kitab Al-Mizan
al-Kubra yang ditulis oleh Imam Al-Sya’rani dijelaskan, bahwa
perselisihan pendapat tentang sampai atau tidaknya pahala bacaan memang
cukup terkenal. Masing-masing kelompok memiliki dalil sendiri-sendiri. Namun
menurut madzhab Ahlissunnah, seseorang hendaklah menghadiahkan
pahala amal sholehnya kepada orang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam
Ahmad bin Hanbal. (Lihat Al-Mizan al-Kubra pada akhir
pembahasan tentang Jenazah).
[1] Iqtidla' as-Shirat al
Mustaqim II/261. Dalam Majmu' al-Fatawa 24/164 Ibnu Taimiyah
menegaskan sampainya kiriman bacaan tahlil, tasbih, takbir dan dzikir lainnya
bila dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal
[2] Ar-Ruh I/142.
[3] Fatawa Hasanain
Makhluf I/52
[4] HR ar-Rafi'i dalam Tarikh Quzwain
II/297, sebagaimana dikutip oleh Syaikh al-'Ajluni dalam Kasyf al-Khafa' II/272
Senada dengan itu,
Abul Qasim Sa’d bin ‘Ali az-Zanjaniy dalam Fawaidi nya mentakhrij hadis
yang bersumber dari Abu Hurairah ra, katanya, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأَ فَاتِحَةَ
الْكِتَابِ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ وَأَلْهَاكُمْ التَّكَاثُرُ ثُمَّ قَالَ
إِنِّي جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ ِلأَهْلِ الْمَقَابِرِ مِنَ
الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ كَانُوْا شُفَعَاءَ لَهُ إِلَى اللهِ تَعَالَى
Artinya:”Siapa saja
yang masuk ke pekuburan, lalu membaca QS Al-Fatihah, QS Al-Ikhlash dan QS
At-Takatur, kemudian mengatakan “Aku jadikan / hadiahkan pahalaku dari
membaca firman-Mu tersebut untuk ahli kubur dari kalangan kaum mukminin dan
mukminat”, maka mereka memperoleh syafaat / pertolongan Allah SWT.”.
Penulis Al-Khollal dengan sanadnya
meriwayatkan hadis dari Anas ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ فَقَرَأَ سُوْرَةَ يس خَفَّفَ
اللهُ عَنْهُمْ وَكَانَ لَهُ بِعَدَدِ مَنْ فِيْهَا حَسَنَاتٌ
Artinya: “Siapa
yang masuk ke pekuburan, lalu membaca surat Yaasiin, maka Allah SWT memperingan
siksaan mereka, dan si pembaca memperoleh ganjaran sejumlah ahli kubur yang ada
di situ”.
Baca kitab ‘Umdatul Qari syarh
Shahih al-Bukhari (IV/497), tulisan Badruddin
al-‘Aini; kitab Syarh ash-Shudur bi Syarh Hal al-Mauta wa al-Qubur(I/303), tulisan imam
Jalaluddin as-Suyuthi; dan Ahkam Tamanny al-Maut (p. 75) tulisan
Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri aliran Wahhabiyah.
[5]) KH Ali Maksum mengutip hadis ini dari Fatawa Hasanain
Makhluf I/52. Tapi hadis ini juga dikutip oleh Syaikh Badruddin al-Aini dalam
Umdat al-Qari Syarah Sahih al-Bukhari XIII/154 dengan sanad yang bersambung
(muttashil), yaitu dari riwayat Ibnu Makula dari Ibrahim Ibnu Hibban dari Anas
bin Malik
هل لصلاة الجمعة سنة
قبلية او لا؟
و هذا أيضا من المسائل الفرعية الإجتهادية التي لا ينبغي
تبادل الإنكار فيها.
أما الشافعية فقالوا : نعم, للجمعة سنة قبلية كالظهر,
لحديث فيها.
قال الكردي على با فضل في باب صلاة الجمعة : و أقوى ما
يتمسك به في مشروعية الركعتين قبل الجمعة ما صححه ابن حبان من حديث عبد الله بن
الزبير مرفوعا : ما من صلاة الا و بين يديها ركعتان.قاله في فتح الباري.
و في فتح الوهاب, جز اول, ص 65 خبر الشيخين : بين كل
أذانين صلاة.
و قال الكردي ايضا : و رأيت نقلا عن شرح المشكاة لملا
علي القارى ما نصه : و قد جاء بسند جيد كما قاله العراقي, انه صلى الله عليه و سلم
كان يصلي قبلها اربعا.
و في سنن الترمذي لأحمد شاكر, في باب ما جاء ما
يقرأ به في صلاة الصبح يوم الجمعة. ما نصه : كان ابن عمر يطيل الصلاة قبل الجمعة و
يصلي بعدها ركعتين في بـيته و يحدث أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان يفعل
ذلك.
قال في عون المعبود : قال النووي في الخلاصة :
صحيح على شرط البخاري. و قال العراقي في شرح الترمذي : إسناده صحيح لا جرم, و
أخرجه ابن حبان في صحيحه. (انتهىعن أحكام الفقهاء في
مقررات نهضة العلماء, الجزء الأول).
TERJEMAH
Persoalan kedua ini
juga merupakan persoalan furu’iyyah ijtihadiyyah yang
sebaiknya tidak menimbulkan terjadinya pertengkaran dan percekcokan pendapat di
kalangan sesama saudara muslim.
Ulama`
syafi’iyah memandang adanya shalat sunnah qobliyah jum’at, sama seperti shalat
zhuhur, disebabkan adanya hadis Nabi yang mengisyaratkan hal ini.
Imam Al-Kurdi pernah
mengomentari sebuah kitab karangan Saikh Ba Fadhal tentang shalat
jum’at,bahwa dalil yang dijadikan dasar tentang disyariatkannya dua
rekaat qabliyah jum’at adalah hadis Nabi yang dinilai shahih oleh
Ibnu Hibban, yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Zubair r.a. secaramarfu’ :
مَا مِنْ صَلَاةٍ اِلَّا وَ بَيْنَ يَدَيْهَا
رَكْعَتَانِ.
Artinya : “Tiada satu
pun shalat (fardhu) melainkan di depannya (sebelumnya) ada shalat sunnah dua
rekaat”[1]
Hal yang sama
juga pernah dikatakan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani didalam
kitabnya, Fathul Bari,syarah dari kitab Shahih a-Bukhari.[2]
Didalam kitab Fathul
Wahhab juz 1 hal. 65 disebutkan, bahwa Asy-Syaikhoni (Imam
Bukhari dan Muslim) meriwayatkan hadis yang menjelaskan bahwa setiap diantara
adzan dan iqomat terdapat shalat sunnah.
Kata imam Al-Kurdi
lagi : “Saya melihat nukilan pendapat dari kitab Syarah Al-Misykat,
susunan Mulla ‘Ali al-Qari, yang teksnya sebagai berikut :
وَقَدْ جَاءَ بِسَنَدٍ جَيِّدٍ كَمَا قَالَهُ
الْعِرَاقِيُّ, اَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي
قَبْلَهَا اَرْبَعًا
Artinya : Ada sebuah
hadis dengan sanad jayyid, seperti yang dikatakan oleh Al-‘Iraqi,
bahwa Rasulullah SAW melakukan shalat sunnah qabliyah Jum’at empat rekaat”.[3]
Didalam kitab Sunan
at-Tirmidzi karya Ahmad Syakir, pada bab Ma Ja-a ma Yuqra-u
bihi fi Shalatis-Shubhi Yaumal Jumu’at disebutkan :
كَانَ ابْنُ عُمَرَ يُطِيْلُ الصَّلَاةَ قَبْلَ
الْجُمُعَةِ وَ يُصَلِّي بَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ فِي بَيْتِهِ وَيُحَدِّثُ أَنَّ
رَسُوْلَ اللَّهِ كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ
Artinya : Ibnu Umar memperpanjang
shalat (sunnah) sebelum shalat Jum’at dan shalat sunnah dua rekaat sesudahnya
di rumahnya. Ia menceritakan, bahwa Rasulullah SAW juga melakukan shalat
seperti itu.[4]
Dijelaskan didalam
kitab ‘Aunul Ma’bud, Imam An-Nawawi mengatakan didalam
kitab Al-Khulashah,bahwa hadis tersebut Shahih menurut
syarat al-Bukhari. Dan Al-‘Iraqi mengatakan didalam kitabSyarah At-Tirmidzi, bahwa Isnad-nya shahih dan
tidak perlu diragukan. Sementara Ibnu Hibban pun juga men-takhrij hadis
itu didalam kitabnya, Shahih Ibnu Hibban.[5] (Baca
kitab Ahkamul Fuqaha’ fi Muqarrarati Nahdhatil ‘Ulama’, juz pertama).
[1] HR Ibnu Hibban No
2455, al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir No 82, dan
ad-Daruquthni I/267
[2] Fathul Bari Syarah
Sahih al-Bukhari II/426
[3] Mirqat al-Mafatih, Syaikh Mulla Ali
al-Qari, IV/280
[4]) HR Abu Dawud No 1130
dan Ibnu Hibban No 2476. Dalam riwayat Ibnu Majah (1114) disebutkan ketika
Sulaik al-Ghathafani datang ke masjid saat Rasulullah Saw berkhutbah, beliau
bertanya kepadanya: "Apakah kamu sudah salat dua rakaat sebelum datang (ke
masjid)?" Sulaik menjawab: "Belum". Rasulullah bersabda:
"Salatlah dua rakaat, dan ringankanlah". Syaikh asy-Syaukani berkata:
"Dua rakaat ini adalah salat sunah Qabliyah Jumat, bukan Tahiyat
al-Masjid. Hadis ini dinilai sahih oleh al-Iraqi" (Nail al-Author III/314)
[5]) 'Aun al-Ma'bud Syarah
Sunan abi Dawud, Syaikh Abdul Haq al-Adzim, III/81
التلقين للميت
قال ابن تيمية في فتاويه (الجزء الأول) : هذا التلقين
المذكور (يعني تلقين الميت بعد الدفن) قد ثبت عن طائفة من الصحابة انهم امروا به
كأبي أمامة الباهلي و غيره. و روي فيه حديث عن النـبي صلى الله عليه و سلم, و لكنه
مما لا يحكم بصحته و لم يكن كثير من الصحابة يفعل ذلك. فلهذا قال الإمام أحمد و
غيره من العلماء : إن هذا التلقين لا بأس به, فرخصوا فيه و لم يأمروا به. و استحبه
طائفة من اصحاب الشافعي و احمد و كرهه طائفة من اصحاب مالك و غيرهم.
أما الحديث الذي قال أنه لا يحكم بصحته
فهذا لفظه :
قال أبو أمامة الباهلي : اذا مت فاصنعوا بي كما امرنا
رسول الله صلى الله عليه و سلم أن نصنع بـموتانا.أمرنا رسول الله صلى الله
عليه و سلم, فقال : إذا مات
احد من اخوانكم فسويتم التراب على قبره, فليقم احدكم على رأس قبره, ثم ليقل : يا
فلان بن فلانة, فإنه يسمعه و لا يجيب. ثم ليقل : يا فلان بن فلانة, فإنه يقول :
أرشدنا يرحمك الله. و لكن لا تشعرون. فليقل : اذكر ما خرجت عليه من الدنيا شهادة
ان لا اله الا الله و ان محمدا عبده و رسوله, و انك رضيت بالله ربا و بالإسلام
دينا و بمحمد نـبيا و بالقرآن اماما. فإن منكرا و نكيرا يأخذ كل واحد منهما بيد
صاحبه و يقول : انطلق بنا ما يقعدنا؟. فقال رجل : يا رسول الله, فإن لم نعرف أمه؟.
قال : تنسبه الى حواء, يا فلان بن حواء.
يقول الشوكاني : قال الحافظ في كتابه التلخيص, هذا
الحديث اسناده جيد. و ايده الضياء في كتابيه المختارة و الأحكام.
أقول : ففي التلقين خلاف فقهي, فهو مما ينبغي عدم تبادل
الإنكار بشأنه, بله التشدد و التعادي من جرائه.
TERJEMAH
Ibnu Taimiyah
mengatakan didalam kitab Fatawi-nya juz pertama, bahwa Talqin mayyit
(yakni menuntun mayit setelah dikubur) ditetapkan dari sekelompok sahabat
seperti Abu Umamah al-Bahili dan lain-lain. Mereka memerintahkan untuk
melakukan hal itu.[1]
Persoalan Talqin
Mayit didasarkan pada sebuah hadis Nabi SAW, namun hadis ini tidak
dinilai sebagai hadis shahih dan tidak banyak sahabat Nabi
yang melakukannya. Oleh karena itu, Imam Ahmad dan sekelompok ulama lainnya
menyatakan, bahwa talqin mayit tidak apa-apa dilakukan. Dalam
arti, mereka membiarkan dan tidak memerintahkan orang-orang untuk melakukannya.
Namun sekelompok ashabus-Syafi’iy dan Ahmad memandangnya mustahab. Sementara
sekelompok dari ashabul Maliki dan ulama` lainnya
memakruhkannya.
Hadis Nabi yang
dinilai tidak shahih di atas, teksnya sebagai berikut :
قَالَ أَبُو أُمَامَةَ الْبَاهِلِيُّ :إِذَا مُتُّ
فَاصْنَعُوْا بِي كَمَا أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللَّهُ e أَنْ َنَصْنَعَ
بِمَوْتَانَا. فَقَالَ : إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ اِخْوَانِكُمْ فَسَوَّيْتُمْ
التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ, فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ, ثُمَّ
لْيَقُلْ : يَا فُـلَانُ بْنُ فُـلَانَةَ, فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وُ لُا يُجِيْبُ.
ثُمَّ لْيَقُلْ : يَا فُلَانُ بْنُ فُـلَانَةَ, فَإِنَّهُ يَقُوْلُ : أَرْشِدْنَا
يَرْحَمْكَ اللَّهُ. وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُوْنَ. فَلْيَقُلْ : اُذْكُرْ مَا
خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةً اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللَّهُ
وَاَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ, وأَنَّكَ رَضِيْتَ بِاللَّهِ رَبًّا
وَبِالْإِسْلَامِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا وَبِالْقُرْآنِ اِمَامًا.
فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيْرًا يَأْخُذُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ
وَيَقُوْلُ : اِنْطَلِقْ بِنَا مَا يَقْعَدُنَا؟. فَقَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُوْلَ
اللَّهِ, فَإِنْ لَمْ نَعْرِفْ أُمَّهُ؟. قَالَ : تُنْسِبُهُ اِلَى حَوَّاءَ, يَا
فُلَانُ بْنُ حَوَّاءَ.
Artinya : Abu Umamah
al-Bahili mengatakan: “Jika nanti aku mati, lakukan kepadaku seperti yang
pernah diperintahkan Rasulullah SAW kepada kami untuk melakukannya kepada
mayit-mayit kami. Beliau memerintahkan kami dengan sabdanya : “Jika seorang
diantara saudara kalian meninggal dunia, setelah kalian ratakan tanah di atas
kuburannya, seorang diantara kalian hendaklah berdiri di atas arah kepala
mayit, lalu ucapkan : “Hai fulan (sebutkan nama si mayit) bin fulanah (nama
ibunya si mayit)”. Sesungguhnya si mayit mendengar panggilan itu, tetapi ia
tidak mampu menjawabnya. Kemudian ucapkan lagi : “Hai fulan bin fulanah”.
Begitu mendengar panggilan tersebut, ia langsung duduk. Lantas ucapkan lagi:
“Hai fulan bin fulanah”, maka ia akan bilang : ”Berilah kami pengarahan, semoga
Allah merahmatimu”. Hanya saja kamu tidak merasa (mendengar jawabannya). Lalu
katakan : “Ingatlah sesuatu ketika kamu keluar dari dunia (mati), yaitu
kesaksianmu bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan
utusan-Nya. Bahwa kamu menerima dengan rela Allah sebagai Tuhanmu, Islam
sebagai agamamu, Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, serta Al-Qur`an sebagai
panutanmu”. Sesungguhnya malaikat Munkar dan Nakir (begitu mendengar talqin
tersebut), salah seorang diantara keduanya memegang tangan temannya seraya
berkata : “Mari kita pergi dari tempat ini. Tidak ada gunanya duduk di sini”.
Seorang sahabat bertanya : “Ya Rasulullah! Bagaimana jika kita tidak tahu nama
ibunya?”. Jawab beliau : “Kamu sebut saja nama ibu Hawwa`. Hai fulan bin
Hawwa`”[2].
Imam al-Syaukani
berkomentar : “Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani pernah mengatakan didalam
kitab At-Talkhish, bahwa Hadis ini ber-isnad jayyid”.
Komentar ini diperkuat lagi oleh imam Adh-Dhiya` didalam dua kitabnya, Al-Mukhtarah dan al-Ahkam.[3]
Menurut saya, Talqin
mayit merupakan persoalan khilafiyah fiqhiyyah. Karenanya,
sebaiknya hal ini tidak perlu menimbulkan saling cekcok, bertengkar atau saling
menentang, apalagi sampai melakukan kekerasan dan adu otot.
[1] Majmu'
al-Fatawa 24/296
[2] HR al-Thabrani dalam al-Kabir No 7906 dan ad-Dua' No 1214
[3] Nail al-Author IV/481. Sementara
dalam kitab Talkhis al-Habir (II/310-311)
al-Hafidz Ibnu Hajar menegaskan sunahnya talqin. Sebab kendatipun hadis diatas
dlaif, namun diperkuat oleh hadis pendukung lainnya (syawahid), seperti
riwayat al-Thabrani dalam al-Kabir No 3171, No 13094,
dan riwayat Ibnu Majah No 1553
الــــــــتراويح
ان كا هنا خلاف, فهو ايضا مما ينبغي عدم تبادل الإنكار
بشأنه. و هي عندنا نحن الشافعيه, بل و في مذهب اهل السنة و الجماعة عشرون ركعة. و
هي سنة عين مؤكـدة للرجال و
النساء عند الحنفية و الشافعية و الحنابلة و المالكية. و تسن فيها الجماعة عينا
عند الشافعية و الحنابلة. و المالكية قالوا : الجماعة فيها مندوبة. و الحنفية
قالوا : الجماعة فيها سنة كـفاية لأهل الحي, فلو قام بعضهم سقط الطلب عن
الباقين.
و قد اثبت سنـيتها الأئمة بفعل النـبي صلى الله عليه و
سلم. فقد روى الشيخان, انه صلى الله عليه و سلم خرج من جوف الليل ليالي من رمضان.
و هي ثلاث متفرقة : ليلة الثالث و الخامس و السابع و العشرين. و صلى في المسجد و
صلى الناس بصلاته فيها. و كان يصلي بهم ثمان ركعات (أي بأربع تسليمات كما
سيأتي), و يكملون باقيها في بيوتهم (أي حتى تتم عشرون ركعة لما يأتي).
فكان يُسمَع لهم ازيز كأزيز النحل.
و من هذا يتـبـين ان النـبي صلى الله عليه و سلم سـن لهم
التراويح و الجماعة فيها, و لكـنه لم يصل بهم عشرين ركـعة, كما جرى عليه العمل من
عهد الصحابة و من بعدهم الى الآن. و لم يخرج صلى الله عليه و سلم
اليهم خشـية ان تفرض عليهم
كما صرح به في بعض الروايات.
و من هذا ايضا يتبـين ان عددها ليس قاصرا على الثمان
الركـعات التي صلاها بهم, بدليل انهم كانوا يـكملونها في بـيوتهم.
و قد بـيّن فعل عمر رضي الله عنه
أن عددها عشرون, حيث انه جمع الناس اخيرا على هذا العدد في المسجد, و وافقه
الصحابة على ذلك, و لم يوجد مخالف ممن بعدهم من الخلفاء الراشدين ( و استمروا
يصلونها جماعة عشرين ركـعة). و قد قال النـبي صلى الله عليه و سلم : عليكم بسـنتي
و سنة الخلفاء الراشدين المهديّـين. عضّوا عليها بالنواجـد. (رواه ابن داود)
و قد سئل ابو حنيفة عما فعله عمر رضي الله عنه, فقال :
التراويح سنة مؤكـدة و لم يتخرّجه عمر من تلقاء نفسه, و لم يكـن فيه مبتدعا, و لم
يأمر به الا عن أصل لديه و عهد من رسول الله صلى الله عليه و سلم.
نعم, زيد فيها في عهد عمر بن عبد العزيز رضي الله عنه (
و هو اذ ذاك على المدينة) فجعلت ستا و ثلاثين ركـعة, و لكـن كان القصد من هذه
الزيادة مساواة أهل مكـة في الفضل, لأنـهم كانوا يطوفون بالبيت بعد كل اربع ركـعات
(أي بعد كل تسليمتين لما يأتي) , فرأى رضي الله عنه ان يصلي ( و هو حينئذ يؤمّ
الناس ) بدل كل طواف اربع ركـعات (أي
بتسليمتـين).
فالتراويح إذا, عشرون ركـعة عند الجميع سوى الوتر. المالكـية قالوا : عدد
التراويح عشرون ركـعة سوى الشفع و الوتر على حسب
اصطلاحهم.( عن الفقه على المذاهب الأربعة.
لكـن … هناك من يقول : إن
التراويح ثمان ركـعات مستندا الى حديث عائشة رضي الله عنها, قالت : ما كان رسول
الله صلى الله عليه و سلم يزيد في رمضان و لا في غيره على احدى عشرة ركـعة, يصلّي
اربعا (أي بتسليمتين فيما يظهر لما يأتي), فلا تسأل عن حسنهن و طولهن. ثم يصلي
اربعا (أي بتسلينتين كـذلك), فلا تسأل عن حسنهن و طولهن. ثم يصلي ثلاثا. قالت عائشة : يا رسول
الله : أتـنام قبل ان توتر ؟. قال : يا عائشة, إن عيـني تنامان و لا يـنام قلبي.
(متفق عليه)
لكـن هذا الإستناد عندي لا يصح, لأن موضوع الحديث هنا
فيما يظهر هو صلاة الوتر. و معلوم عندنا, ان الوتر اقله ركـعة و اكـثره احدى عشرة ركـعة.
فهو صلى الله عليه و سلم إنـما كان إذ ذاك يصلي بعد النوم
اربعا بتسليمتين ولاء, ثم اربعا اخرى بتسليمتين ايضا ولاء, ثم ثلاثا بتسليمتين
كـذلك.
و يدل على انها صلاة الوتر :
أولا, قول عائشة رضي الله
عنها له صلى الله عليه و سلم : أتنام قبل ان توتر ؟. فإن صلاة التراويح
تـفعل بعد صلاة العشاء و قبل النوم.
ثانـيا, أن صلاة التراويح لا توجد في
غير رمضان.
ثالثا, أن البخاري وضع الحديث المذكـور في باب صلاة
الوتر.
و هكـذا, يزول بذلك التعارض, و يتم الجمع بـين الأدلة.
و قال العلامة القسطلاني في ارشاد الساري لشرح صحيح
البخاري : و المعروف و هو الذي عليه الجمهور انـه (أي عدد ركـعات التراويح) عشرون
ركـعة بعشر تسليمات, و ذلك خمس ترويحات, كل ترويحة اربع ركـعات
بتسليمـتـين غير الوتر, و هو ثلاث ركـعات.
و في سـنن البيهقي بإسناد صحيح كما قال ابن العراقي في
شرح التقريب عن السائب بن يزيد رضي الله عنه, قال : كانوا يقومون على عهد عمر بن
الخطاب رضي الله عنه في شهر رمضان بعشرين ركـعة.
و روى مالك في الموطأ عن يزيد بن رومان, قال : كان الناس
يقومون في زمن عمر بن الخطاب رضي الله عنه بثلاث و عشرين. و جمع البيهقي بينهما
بأنهم كانوا يوترون بثلاث. و قد عدّوا ما وقع في زمن عمر بن الخطاب رضي الله عنه
كالإجماع.
و اعلم , أن صلاة التواويح مثـنى مثـنى في مذهب أهل
السنة و الجماعة.
و الشافعية قالوا : يجب ان يسلم من كل ركـعتـين, فإذا
صلاها بسلام واحد لم تصح.
و الحنفية و المالكـية و الحنابلة قالوا : يندب ان يسلّم
في آخر كل ركـعتـين. فلو فعلها بسلام واحد و قعد على رأس كل ركـعتين صحّت مع
الكـراهة.
أما إذا لم يقعد على رأس كل ركـعتين ففيه اختلاف المذاهب
:
- أما الشافعية فقالوا : يجب ان يسلّم من كل
ركـعتين. فإذا صلاها بسلام واحد لم تصحّ, قعد ام لم يقعد على رأس كلّ
ركعتـين.
- و أما الحنفية فقالوا : إذا صلى اربع ركعات بسلام واحد
نابت عن ركـعتين اتفاقا. و اذا صلى اكـثر من اربع بسلام واحد اختلف التصحيح فيه.
فقيل ينوب عن شفع من التراويح, و قيل يفسد.
- و أما الحنابلة فقالوا
: تصحّ مع الكراهة و تحسب عشرين ركعة.
- و أما المالكية فقالوا : تصحّ و تحسب عشرين ركعة, و
يكون تاركا لسنة التشهّد و لسنة السلام في كل ركعتين, و ذلك مكروه. قال رسول الله
صلى الله عليه و سلم : صلاة الليل مثـنى مثـنى, فإذا خشي احدكم الصبح
صلى ركعة واحدة توتر له ما قد صلى. (رواه البخاري عن عبد الله بن عمر).
TERJEMAH
Shalat
tarawih juga masih diperdebatkan di kalangan ulama. Kondisi ini sebaiknya tidak
sampai menimbulkan pertengkaran antar sesama saudara muslim. Menurut kami,
selaku pengikutmadzhab syafi’iy, dan bahkan dalam madzhab ahlussunnah
wal jamaah, shalat tarawih adalah dua puluh rekaat. Shalat tarawih hukumnya
sunnah ‘ain yang muakkad bagi kaum lelaki dan perempuan, menurut pendapat
ulama hanafiyyah, syafi’iyyah, hanabilah dan malikiyyah. Shalat
tarawih Sunnah a’indilakukan secara berjamaah, menurut ulama syafi’iyyah
dan hanabilah. Ulama Malikiyyahmemandangnya mandub (dianjurkan)
dilakukan secara berjamaah. Sementara ulama hanafiyyahmemandang
tarawih secara berjamaah sebagai sunnah kifayah bagi penduduk
kampung. Jika sebagian penduduk sudah ada yang melakukannya, maka yang
selebihnya gugur kesunnahan berjamaah.[1]
Kesunnahan shalat
tarawih ditetapkan oleh para imam madzhab berdasarkan perbuatan Rasulullah SAW.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis yang menyatakan, bahwa Rasulullah
SAW pernah keluar rumah di tengah malam pada beberapa malam di bulan
ramadhan, tepatnya selama tiga malam secara terpisah-pisah, yakni pada malam
tanggal 23, 25 dan 27 Ramadhan. Beliau SAW shalat di masjid dan orang-orang pun
ikut shalat seperti shalat beliau pada malam-malam tersebut. Beliau SAW shalat
bersama mereka delapan rekaat (yakni dengan empat kali salam, sebagaimana yang
dijelaskan nanti). Mereka kemudian meneruskan rekaat selebihnya di rumah
masing-masing, (dalam arti mereka menyempurnakan sampai duapuluh rekaat,
sebagaimana yang akan dijelaskan nanti). Dan suara sholat mereka terdengar
seperti suara lebah.[2] Dari sini
jelaslah bahwa Rasulullah SAW mensunnahkan mereka melakukan shalat
tarawih dan dilakukan secara berjamaah. Hanya saja, beliau melakukannya bersama
mereka tidak dengan bilangan dua puluh rekaat, sebagaimana yang bilangan
tarawih yang sudah berjalan sejak jaman sahabat dan jaman sesudahnya sampai
sekarang. Sementara tidak keluarnya beliau SAW kepada mereka (pada selain tiga
malam tersebut) disebabkan khawatir kalau-kalau shalat tersebut nantinya
diwajibkan kepada mereka, sebagaimana yang dijelaskan pada sebagian riwayat.
Dari cerita ini pula
maka jelaslah bahwa bilangan rekaat tarawih tidak terbatas pada delapan rekaat
sebagaimana yang pernah beliau saw lakukan bersama para sahabat. Dengan alasan
bahwa mereka meneruskan tarawihnya (sampai dua puluh rekaat) di rumahnya
masing-masing.
Dan lagi, tindakan
Umar bin Khatthab ra benar-benar menjadi penjelas bahwa jumlah rekaat tarawih
adalah dupuluh rekaat, dimana pada akhir masa pemerintahannya, Umar
mengorganisir orang-orang untuk melakukan shalat tarawih duapuluh rekaat di
masjid. Para sahabat pun menyetujui tindakan Umar tersebut dan tidak ada
seorang pun dari khulafaur-rasyidin yang datang sesudahnya
yang menentang atau memprotes tindakannya. Mereka pun meneruskan shalat tarawih
secara berjamaah sebanyak duapuluh rekaat.[3]
Rasulullah SAW
bersabda :
عَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِيْ وَ سُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ. عَضُّوْا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِدِ. (رواه ابن داود)
Artinya : “Kalian
harus berpegangan pada sunnah (tradisi)-ku dan sunnah (tradisi)
khulafaur-rasyidin yang memperoleh petunjuk. Gigitlah sunnah tersebut dengan
gigi gerahammu” (HR Abu Dawud).
Abu Hanifah pernah
ditanya seseorang tentang tindakan yang dilakukan oleh Umar bin Khatthab ra.
Jawabnya : “Shalat tarawih itu sunnah muakkad. Umar
tidak melakukan tindakan seperti itu sekedar menuruti hawa nafsunya dan juga
tidak berarti bahwa ia melakukan perbuatan bid’ah. Perintah Umar tersebut
semata-mata atas dasar / dalil yang ada pada dirinya dan berdasarkan kenyataan
yang terjadi pada masa Rasulullah SAW.[4]
Memang benar, bahwa
pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, yang saat itu ia menjadi gubernur
Dinasti Umaiyah di Madinah, ada tambahan jumlah rekaat tarawih. Shalat tarawih
tidak sekedar dua puluh rekaat, tetapi dijadikan tiga puluh enam rekaat. Maksud
dan tujuannya adalah agar penduduk Madinah dapat menyamai keutamaan penduduk
Makkah, disebabkan mereka melakukan thawaf setiap memperoleh
empat rekaat tarawih (artinya setelah tiap-tiap dua kali salam). Umar bin Abdul
Aziz – yang pada saat itu menjadi imam tarawih – berpendapat untuk menambah
empat rekaat (dua kali salam) sebagai ganti dari setiap thawaf.
Dengan demikian,
jumlah rekaat shalat tarawih adalah duapuluh rekaat menurut seluruh Imam
Madzhab, selain rekaat shalat witir. Ulama malikiyyah mengatakan,
jumlah shalat tarawih duapuluh rekaat selain rekaat genap dan ganjil (witir),
menurut istilah mereka. (Sumber : kitab Al-Fiqhu ‘alal madzahibil
arba’ah).
Namun di sana ada
orang yang mengatakan, bahwa shalat tarawih itu delapan rekaat, berdasarkan
hadis ‘Aisyah ra, yang menyatakan:
مَا كَانَ رَسُوْلُ
اللَّهِ يَزِيْدُ فِي
رَمَضَانَ وَ لَا فِي غَيْرِهِ عَلَى ِاحْدَى عَشَرَةَ رَكْعَةً, يُصَلِّي
اَرْبَعًا, فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلِهِنَّ. ثُمَّ يُصَلِّي
اَرْبَعًا, فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلِهِنَّ. ثُمَّ يُصَلِّي
ثَلَاثًا. قَالَتْ عَائِشَةُ :
يَا رَسُوْلَ اللَّهِ : أَتَنَامُ قَبْلَ اَنْ تُوْتِرَ ؟. قَالَ : يَا عَائِشَةُ,
إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَ لَا يَنَامُ قَلْبِيْ. (متفق عليه)
Artinya : “Adalah
Rasulullah saw, baik di bulan ramadhan maupun diluar bulan ramadhan, tidak
melakukan shalat (malam) melebihi sebelas rekaat. Beliau SAW shalat
empat rekaat (dengan dua kali salam, seperti penjelasan di belakang
nanti). Maka jangan tanya tentang bagusnya dan panjang/lamanya shalat beliau.
Lalu shalat lagi empat rekaat (dua kali salam), dan jangan tanya pula tentang
bagus dan lamanya shalat beliau. Selanjutnya beliau shalat tiga rekaat”.
‘Aisyah bertanya kepada beliau, “Ya Rasulallah! Apakah engkau tidur sebelum
melakukan shalat witir itu?”. Jawab beliau : “Kedua mataku memang tidur,
tetapi hatiku tidak tidur”. (HR Muttafaq ‘alaih).
Akan tetapi
penggunaan hadis ‘Aisyah ra tersebut sebagai dasar shalat tarawih delapan
rekaat, menurut saya tidak benar, karena tema hadis tersebut secara tekstual
dan nyata adalah berbicara soal shalat witir. Sudah kita maklumi, bahwa jumlah
rekaat shalat witir paling sedikit satu rekaat dan paling banyak sebelas
rekaat. Sementara itu, beliau SAW ketika itu melakukannya setelah tidur
sebanyak empat rekaat yang dilakukan dengan dua kali salam secara bersambung,
lalu shalat lagi empat rekaat dengan dua kali salam secara bersambung.
Selanjutnya shalat tiga rekaat dengan dua kali salam seperti itu.
Argumentasi yang
menunjukkan bahwa shalat yang beliau lakukan tersebut merupakan
shalat witir, adalah :
1) Pertanyaan
‘Aisyah ra : “Ya Rasulallah! Apakah engkau tidur sebelum melakukan shalat witir
?”. Sementara itu, yang namanya shalat tarawih adalah dilakukan setelah shalat
‘isyak dan sebelum tidur.
2) Shalat
tarawih tidak akan ditemui diluar bulan ramadhan.
3) Imam
Bukhari menempatkan hadis tersebut pada bab shalat witir.[5]
Dengan begitu, maka
tidak ada kontradiksi/pertentangan dan dapat dikompromikan diantara beberapa
dalil yang ada.
Al-Qastholani didalam
kitab Irsyadus-Sari Lisyarhi Shahih al-Bukhari mengatakan :
“Yang kita ketahui dari pendapat jumhurul ulama` (mayoritas
ulama`), bahwa jumlah rekaat tarawih itu duapuluh rekaat dengan sepuluh kali
salam, dan ini dilakukan lima kali istirahat, yakni setiap empat rekaat sekali
istirahat, selain shalat witir tiga rekaat.
Disebutkan
didalam Sunan at-Tirmidzi dengan sanad shahih, sebagaimana
yang dikatakan oleh Ibnu al-‘Iraqi didalam kitab Syarah Taqrib,
sebuah riwayat dari As-Saib bin Yazid ra. Kata dia :[6]
كَانُوْا يَقُوْمُوْنَ عَلَى
عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ
بِعِشْرِيْنَ رَكْعَةً.
Artinya : “Mereka
melakukan shalat tarawih di bulan ramadhan pada masa khalifah Umar bin Khatthab
ra sebanyak duapuluh rekaat”.
Imam Malik
meriwayatkan didalam kitab Al-Muwattha`, dari Yazid bin
Rauman. Kata dia :
كَانَ النَّاسُ
يَقُوْمُوْنَ فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بِثَلَاثٍ وَ عِشْرِيْنَ.
Artinya : “Orang-orang
pada masa khalifah Umar bin Khatthab ra melakukan shalat (tarawih dan witir)
duapuluh tiga rekaat”[7]
Imam al-Baihaqi
mencoba mengkompromikan kedua riwayat di atas, bahwa mereka melakukan (tarawih
20 rekaat dan) shalat witir tiga rekaat. Dan mereka memandang bahwa apa yang
terjadi pada masa khalifah Umar bin Khatthab tersebut adalah semacam ijmak.
Perlu diketahui,
bahwa shalat tarawih dikerjakan dua rekaat dua rekaat dalam pandangan madzhab
Ahlussunnah wal Jama’ah. Ulama syafi’iyyah berpendapat, wajib salam
setiap dua rekaat. Jika shalat tarawih dilakukan sekaligus duapuluh
rekaat dengan sekali salam, maka tidak sah. Ulamahanafiyah, malikiyah dan hanabilah berpendapat, sunnah mengucapkan salam pada
setiap akhir dua rekaat. Kalaupun shalat tarawih (20 rekaat) tersebut dilakukan
sekaligus dengan sekali salam, dan duduk (membaca tasyahhud) setiap dapat dua
rekaat, shalatnya tetap sah, namun makruh. Jika
tidak duduk tasyahud setiap dapat dua rekaat, hal ini
diperselisihkan di kalangan ulama madzhab :
a. Menurut
ulama’ syafi’iyyah: Wajib salam setiap dapat dua rekaat. Jika
shalat tarawih (20 rekaat) dengan sekali salam, maka tidak sah,
baik dilakukan dengan cara duduk tasyahud setiap mendapat dua
rekaat, maupun tidak,
b. Menurut
ulama hanafiyyah : Jika shalat tarawih empat rakaat sekali
salam, secara ittafaq(kesepakatan di kalangan ulama) dianggap dua
rekaat. Dan jika lebih dari empat rekaat dengan sekali salam, maka masih
diperselisihkan sah-tidaknya, ada yang menganggapnya sebagai ganti dari rekaat
genap tarawih, dan ada yang mengatakan tidak sah.
c. Menurut
ulama’ hanabilah : Shalatnya sah, tetapi makruh, dan tetap
dihitung duapuluh rekaat.
d. Menurut
ulama’ malikiyah : Shalatnya sah dan tetap
dihitung 20 rekaat, namun meninggalkankesunnahan membaca tasyahhud dan salam pada
setiap mendapat dua rekaat. Shalat semacam inimakruh hukumnya.
Rasulullah SAW
bersabda:
صَلَاةُ اللَّيْلِ
مَثْنَى مَثْنَى, فَإِذَا خَشِيَ
اَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوْتِرَ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى. (رواه البخاري عن عبد
الله بن عمر).
Artinya : “Shalat
sunnah malam itu dua rekaat dua rekaat. Jika seseorang diantara kalian khawatir
masuk waktu subuh, hendaklah shalat satu rekaat witir sebagai pengganjil shalat
yang dilakukan sebelumnya)”. (HR al-Bukhari, dari Abdullah bin Umar)
[1] Madzahib al-Arba'ah, Syaikh Abd Rahman
al-Jaziri, I/324
[2] Madzahib al-Arba'ah, Syaikh Abd Rahman
al-Jaziri, I/324, Hawasyai asy-Syarwani II/240, dan Bujairimi Khotib III/472
[3] Umat Islam di Masa
Khalifah Utsman salat Tarawih 20 Rakaat (riwayat al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra No 4801), dan
Sayidina Ali memerintahkan umat Islam salat Tarawih 20 rakaat (Mushannaf
Ibnu Abi Syaibah II/285)
[4] Baca Fatawa al-Azhar I/48
[5] Al-Hafidz Ibnu Hajar
menjadikan hadis ini sebagai dalil salat Witir dalam Bulugh al-Maram No 277, bukan dalil
Tarawih
[6] Al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra No 4801
[7] Al-Muwaththa' I/355. Ibnu Taimiyah
menilai riwayat Tarawih 20 rakaat adalah sahih. Ibnu Taimiyah berkata:
Mayoritas Ulama menilai Tarawih 20 rakaat adalah sesuai sunah, sebab Ubay bin
Ka'ab melakukannya di hadapan kaum Muhajirin dan Anshor, dan tak satupun yang
menolaknya (Majmu' al-Fatawa 23/112)
ثبوت شهري رمضان و
شوّال
ففي هذا الزمان, أي منذ نصف قرن تقريبا في إندونيسيا
مثلا, يثور بين المسلمين جدل و مراء حول ثبوت الشهرين رمضان و شوّال,
لتعيـين اول رمضان لابتداء
الصوم, و شوّال لعيد الفطر.
و نحن نـنصح ذوى الشأن ان يفصّلوا
فى المسألة بالرجوع إلى الكـتاب و السنة و الإعتصام بحبل الله جميعا و اجتناب
التفرّق. فإن بدأ الصيام و يوم عيد الفطر من شعاعر الله تعالى و من معالم توحيد
الكلمة على كلمة التوحيد.
و هنا تحقيقات علمية شرعية قام بها أئمـة اعلام, كان من
نتائجها ان علمنا :
(1) أن أئمـة المذاهب
الأربعة اجمعت على ان شهر رمضان لا يثبت الا بأحد امرين : رؤية هلاله أو إكمال
شعبان ثلاثين يوما, اذا كان هناك ما يمنع الرؤية من غيم او دخان او غبار او نحوها.
(2) و انهم أجمعوا ايضا على أنّ دخول شوال يـثبت كـذالك
برؤية هلاله. فإن لم ير هلال شوال وجب
إكمال رمضانثلاثـين يوما.
(3) و ان سيرة المسلمين
جميعا على ذلك بدون استثـناء, اذ لم نـقف على خلاف له من اهل القبلة خارج اهل السنة
و الجماعة قبل ظهور الخلاف فى الزمن الأخير.
(4) و ان اهل السنة و
الجماعة و غيرهم اجمعوا كلهم على عدم جواز العمل بالحساب. هذا بالنسبة للعموم. و
أما بالنسبة للحاسب نفسه و تلاميذه فقد جوّزه الإمام الشافعي وحده. و اما
غيره من الأئمة, سواء من اهل السنة و الجماعة و غيرهم فقالوا بالمنع مطلقا, اي
للعموم و الخصوص.
(5) و ان العبرة في ثبوت
شهري رمضان و شوال بـرؤية الهلال, لا بوجوده بالفعل فى الواقع الذي قد يعرف من
طريق الحساب.
هذه النـتائج الخمس معلومة من التحقيقات الآتـية :
و في مذاهب الأربعة يثـبت شهر رمضان بأحد امرين : الأول
رؤية هلاله إذا كانت السماء خالية مما يمنع الرؤية من
غيم او دخان او غبار او نحوها. الثاني إكمال شعبان ثلاثين يوما اذا لم تكـن السماء
خالية مما ذكـر, لقوله صلى الله عليه و سلم : صوموا لرؤيـته و أفطروا لرؤيته, فإن
غمّ عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين (رواه البخاري, عن أبي هريرة ).
و في قوله صلى الله عليه و سلم "فإن غمّ
عليكم", وجدنا الحنابلة يحتاطون, فقالوا : اذا غم الهلال في غروب اليوم
التاسع و العشرين من شعبان, فلا يجب إكمال شعبان ثلاثين يوما و وجب عليه تبـييت
النـيّة و صوم اليوم التالي لتلك
الليلة, سواء كان فى الواقع من شعبان او من رمضان, و ينويه عن رمضان. فإن ظهرفي
أثنائه انه من شعبان لم يجب اتمامه.
قولهم هذا بالنسبة لأول رمضان. و أما بالنسبة لأخره, فإنهم
كالشافعية و الحنفية و المالكية فى القول بوجوب إكمال رمضان ثلاثـين يوما اذا غم عليهم .كل
ذلك عملا بالإحتياط فى العبادة.
هكـذا اجمع أئمة المذاهب
الأربعة على الرؤية او الإكمال فقط. فليس
عندهم طريق اخر غيرها. و ذلك عملا بالحديث المذكور. فلا عبرة بقول المنجّمين أي اهل
الحساب عندهم. فلا يجب عندهم على أهل الحساب أنفسهم الصوم, و على من وثق بهم, غير
أنّ الإمام الشافعيّ و الشافعيّة قالوا : يعتـبر قول المنجّم في حقّ نفسه و حقّ من
صدّقه, و لا يجب الصوم على عموم الناس بقوله على الراجح.
و احتجّ المانعون بأنّ الشارع علّق الصوم على أمّارة
ثابتـة لا تـتغـيّر ابدا, و هي رؤية الهلال أو إكمال العدة ثلاثـين يوما.
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : ترائ الناس الهلال
فأخبرت النـبي صلى الله عليه و سلم أني رأيته, فصام و أمر
الناس بصيامه . (رواه أبو داود, و
صححه ابن حبان و الحاكم).
و عن ابن عباس رضي الله عنهما, أن أعرابـيا جاء الى
النـبي صلى الله عليه و سلم, فقال : إني رأيت الهلال, فقال : أتشهد ان لا اله الا
الله ؟. قال : نعم. قال : أتشهد أن محمدا رسول الله؟. قال : نعم. قال : فأذّن فى
الناس يا بلال, ان يصوموا غدا.(رواه
الخمسة, و صححه ابن حزيمة و ابن
حبان).
قلت : من هنا نفـهم أن العبرة برؤية الهلال لا بوجوده و
لا بالعلم بوجوده من طرق حسابية. و هذا الأحاديث تفسّر معنى قوله تعالى : فمن شهد
منكم الشهر فليصمه – أي فمن شهد منكم دخول الشهر برؤية الهلال فعلى كل من
رآه او ثبـتت عنده رؤية
غيره ان يصومـه. (راجع تفسير الجلالين و حاشية الصاوي عليه).
و هذا الإحتجاج يعزّز القول بأن العبرة في ثـبوت شهري
رمضان و شوال برؤية الهلال لا بوجوده الذي قد يعرف من طريق الحساب او إكمال شعبان
للصوم او رمضان للعيد ثلاثين يوما.
أما قول المنجّمين, فهو : و ان كان مبنـيا على قواعد
دقيقة, فإنا نراهم تختلف أراؤهم في أغلب الأحيان.
ثم ان الحديث المذكور يفهم منه عدم اعتبار الحساب اذ حصر
الأمّارة فى الرؤية او الإكمال. و الحساب قد يناقض الإكمال.
و يثـبت شوال ايضا بمثل ما يثـبت به رمضان, اجماعا بـين
المذاهب الأربعة و غيرها خارج اهل السنة و الجماعة. فإليك الآن قول السيّد ابن
القاسم الخوئي, و هو من علماء الشيعة الإمامية, قال : و لا عبرة بغير ما ذكرنا (أي
رؤية هلال رمضان او مضيّ ثلاثـين يوما من شعبان) من قول المنجم, و نحو ذلك … إلى ان قال : لا بـدّ
في ثبوت هلال شوال من تحقيق احد الأمور المتقدَمة (يعني رؤية الهلال و شهادة عدلين
او إكمال العدّة ثلاثـين). فلو لم يثـبت شيئ منها لم يجز الإفطار.
(المسائل المنتجنة للخوئي, الطبعة الثانية, بمطبعة الأداب فى النجف سنة 1382ه,
صحيفة 149).
TERJEMAH
Pada masa kini,
kira-kira sejak setengah abad yang lalu di Indonesia misalnya, pernah terjadi
perdebatan yang cukup seru di kalangan kaum muslimin seputar penetapan awal
ramadhan untuk memulai berpuasa dan awal syawal untuk berhari raya idul fitri.
Kami berpesan kepada
para ulama yang berkompeten agar mengkaji masalah ini dengan
semangat kembali kepada Al-Qur`an dan sunnah, serta
berpegang teguh kepada tali agama Allah (hablullah)secara
menyeluruh dan menghindari perpecahan. Karena penetapan awal puasa dan hari
raya idul fitri merupakan sebagian dari syi’ar Allah dan
simbol penyatuan kata melalui kalimat tauhid : La
Ilaha Illalloh.
Dalam persoalan ini,
para ulama` besar dunia melakukan kajian secara ilmiyyah syar’iyyah. Diantara
kesimpulan yang perlu kita ketahui adalah :
1) Imam
madzhab empat sepakat, bahwa penetapan awal bulan ramadhan tiada lain adalah
melalui salah satu dari dua cara, yaitu ru`yatul hilal, atau
menyempurnakan bilangan tiga puluh hari bulan sya’ban, jika hilal tidak
berhasil di-rukyat disebabkan terhalang oleh mendung,
awan, debu dan sejenisnya.
2) Mereka
sepakat, bahwa masuknya awal bulan syawal juga ditetapkan dengan
cara seperti di atas, yakni dengan rukyatul hilal.
Jika hilal syawal tidak berhasil di-rukyat, maka
wajib menyempurnakan bulan ramadhan tiga puluh hari.
3) Seluruh
kaum muslimin pada dasarnya telah melakukan “tradisi keagamaan” seperti
itu, tanpa kecuali, karena kami tidak melihat adanya perbedaan pendapat di
kalangan ahli qiblat (orang Islam) di luar ahlissunnah
waljama’ah, sebelum munculnya perselisihan pendapat akhir-akhir ini.
4) Baik Ahlusunnah
Waljama’ah maupun golongan lainnya, kesemuanya menyepakati
ketidakbolehan menggunakan hisab dalam menentukan awal
ramadhan dan awal syawal, jika hal ini diberlakukan untuk kalangan umum. Namun,
jika terbatas untuk kalangan ahli hisab sendiri beserta para
muridnya, hanya imam Syafi’iy saja yang memperbolehkannya. Sedangkan para
ulama’ lainnya, baik dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah maupun
golongan lainnya tidak memperbolehkannya secara mutlak, baik untuk kalangan
umum maupun kalangan terbatas.
5) Yang
dianggap sah dalam penetapan awal bulan ramadhan dan syawal
adalah dengan cara melihat hilal, bukan dengan
terwujudnya hilal yang terjadi dalam kenyataan (wujudul
hilal bil fi’li fil waqi’) yang terkadang dapat diketahui melalui
jalan hisab.
Kelima kesimpulan
tersebut diketahui dari hasil kajian sebagai berikut :
Didalam kitab Al-Madzahibul
Arba’ah dijelaskan, bahwa awal bulan ramadhan ditetapkan berdasarkan
salah satu dari dua cara : Pertama, dengan cara rukyatul
hilal jika langit cerah dan terbebas dari sesuatu yang menghalangi
keberhasilan rukyat seperti mendung, kabut, debu dan
sejenisnya. Kedua, dengan menyempurnakan bilangan bulan sya’ban
30 hari, jika langit tidak cerah atau terhalang oleh sesuatu yang menyebabkan
ketidakberhasilan rukyat, berdasarkan Hadis Nabi :
صُوْمُوْا
لِرُؤْيَتِهِ وَ اَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا
عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ (رواه البخاري, عن أبي
هريرة ).
Artinya : “Berpuasalah
karena berhasil melihat hilal dan berbukalah (beridul fitri) karena berhasil
melihat hilal. Jika terjadi mendung, maka sempurnakanlah bilangan bulan sya’ban
berumur tigapuluh hari”. (HR al-Bukhari, dari Abi Hurairah ra).
Mengenai sabda
Rasulullah saw : “Fa in ghumma ‘alaikum” (jika terjadi mendung atas
kalian), kami menemukan pendapat dari ulama hanabilah yang bersikap hati-hati,
bahwa yang dimaksudkannya adalah jika hilal terhalang mendung
ketika matahari tenggelam pada tanggal 29 Sya’ban, maka tidak perlu
menyempurnakan bulan sya’ban 30 hari, namun wajib menginapkan niat puasa di
malam harinya dan berpuasa pada hari berikutnya, baik hari itu menurut
kenyataannya masih termasuk bulan sya’ban ataupun sudah masuk bulan ramadhan,
kemudian berniat puasa ramadhan. Jika di tengah menjalankan puasanya itu
ternyata terbukti bahwa hari itu termasuk bulan sya’ban, maka ia tidak perlu
meneruskan puasanya.
Pendapat hanabilah tersebut
berkaitan dengan pelaksanaan awal bulan Ramadhan. Jika berkaitan dengan akhir
bulan Ramadhan, mereka berpendapat sama seperti yang dikemukakan oleh ulamasyafi’iyah,
hanafiyah dan malikiyah, yaitu wajib menyempurnakan
bilangan 30 hari bulan ramadhan, jika terjadi mendung (sehingga hilal tidak
berhasil di-rukyat). Kesemuanya itu sebagai bentuk kehati-hatian mereka
dalam beribadah.
Itulah hasil
kesepakatan para imam madzhab empat hanya tentang rukyat dan ikmal saja.
Tidak ada cara lain menurut mereka, selain dengan jalan rukyat atau ikmal.
Hal ini sebagai bentuk pengamalan mereka terhadap hadis yang dituturkan di
muka. Dengan begitu, pendapat ahli nujum atau ahli
hisabdipandang tidak sah, sehingga tidak wajib atas diri mereka
sendiri untuk berpuasa berdasarkan hasil hisab-nya dan juga tidak
wajib atas orang-orang yang percaya kepada ucapan ahli hisab tersebut.Hanya
saja, imam Syafi’iy dan ulama syafi’iyah mengatakan, bahwa
pendapat ahli nujum atau ahli hisab dianggap sah (boleh
diikuti) terbatas untuk ahli hisab itu sendiri dan orang-orang
yang membenarkannya. Sedangkan kaum muslimin pada umumnya tidak wajib berpuasa
atas dasar pendapat ahli hisab tersebut, menurut pendapat
yang rajih (unggul, terkuat).
Ulama yang menolak
penggunaan hisab berargumentasi, bahwa Syari’ (Allah
dan Rasul-Nya) menggantungkan pelaksanaan puasa kepada tanda-tanda (fenomena
alam) yang tetap lagi tidak berubah selamanya, yaitu dengan cara me-rukyat
hilal dan ikmal, yakni menyempurnakan usia bulan 30 hari.
Dari Ibnu Umar ra,
katanya :
تَرَائَ النَّاسُ الْهِلَالَ
فَأَخْبَرْتُ النَّبِيَّ أَنِّي
رَأَيْتُهُ, فَصَامَ وَ أَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ . (رواه أبو داود, و
صححه ابن حبان و الحاكم).
Artinya : “Orang-orang
sama melihat hilal, lantas aku kabarkan kepada Rasulullah SAW bahwa aku
melihatnya, lantas beliau berpuasa dan memerintahkan kepada para sahabat agar
berpuasa” (HR Abu Dawud, dan dinilai shahih oleh Ibnu
Hibban dan al-Hakim)
Riwayat dari Ibnu
Abbas ra,
أَنَّ أَعْرَابِيًّا
جَاءَ اِلَى النَّبِيِّ, فَقَالَ : إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ, فَقَالَ : أَتَشْهَدُ
اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللَّهُ ؟. قَالَ : نَعَمْ. قَالَ : أَتَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُوْلَ اللَّهِ؟. قَالَ : نَعَمْ. قَالَ : فَأَذِّنْ فِى النَّاسِ
يَا بِلَالُ, اَنْ يَصُوْمُوْا غَدًا.(رواه الخمسة, و صححه ابن حزيمة و ابن
حبان).
Artinya : “Seorang
A’rabiy datang menemui Rasulullah SAW seraya berkata, “Aku telah melihat
hilal”. Beliau bertanya, “Apakah Anda bersaksi bahwa tiada tuhan selain
Allah?”. “Ya, benar!”, jawabnya. Beliau bertanya lagi, “Apakah Anda bersaksi
bahwa Muhammad itu utusan Allah?”. “Ya, benar!”, jawabnya. Beliau lantas
bersabda : “Wahai Bilal, umumkan kepada semua orang, agar mereka berpuasa
besok”. (HRal-Khamsah, dan dinilai shahih oleh
Ibnu Huzaimah dan Ibnu Hibban).
Menurut saya, dari
sini dapat kita pahami, bahwa yang dianggap sah dalam
menentukan awal ramadhan dan syawal, adalah dengan cara melihat hilal, bukan
sebab terwujudnya hilal, dan bukan dengan mengetahui wujudnya
hilal melalui berbagai metode hisab.
Hadis-hadis
tentang rukyatul hilal tersebut merupakan penafsiran terhadap
isi kandungan firman Allah :
فَمَنْ شَهِدَ
مِنْكُـمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya :
“… Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, …” (QS al-Baqarah,[2] : 185).
Maksudnya, siapa saja
yang menyaksikan masuknya bulan dengan cara rukyatul hilal, maka
wajib berpuasa bagi orang yang melihatnya dan orang yang mendengar kabar dari
orang yang melihathilal. (Lihat : Tafsir al-Jalalain dan Hasyiyah
ash-Shawi).
Argumentasi tersebut
memperkuat pendapat bahwa yang dianggap sah dalam menetapkan
awal bulan ramadhan dan syawal adalah dengan cara rukyat (melihat
hilal), dan bukan disebabkan oleh wujudnya hilal sebagaimana
yang diketahui melalui hisah, atau dengan cara ikmal, yakni
menyempurnakan bulan sya’ban (30 hari) untuk memulai berpuasa dan
menyempurnakan bulan ramadhan untuk ber-idul fitri.
Pendapat ahli
hisab, sekalipun hal itu didasarkan pada kaidah-kaidah ilmu
hisab yang cukup rumit, saya benar-benar menyaksikan ternyata masih terjadi
perselisihan di kalangan mereka. Dengan kata lain, hasil perhitungan mereka
sering berbeda.[1]
Kemudian hadis-hadis
tersebut tidak mengindikasikan perlunya menggunakan hisab, tetapi
membatasi tanda-tanda masuknya suatu bulan dengan cara rukyat atau ikmal.
Sementara cara hisabterkadang tidak sesuai (berbeda hasilnya)
dengan ikmal.
Cara penetapan bulan
syawal juga sama seperti penetapan bulan ramadhan berdasarkan ijmak di
kalangan ulama madzhab empat dan ulama lain diluar Ahlussunnah
wal Jamaah. Sehubungan dengan ini, perlu saya paparkan kepada Anda
pendapat as-Sayyid Ibnul Qasim al-Khu`iy, seorang ulama dari
kalangan Syi’ah al-Imamiyah, yang menyatakan
bahwa pendapat ahli hisab dan yang serupa dengannya
dipandang tidak sah, selain apa yang telah kami jelaskan – yakni rukyatul
hilal ramadhan atau ikmal bulan sya’ban 30
hari….. Demikian pula penetapan 1 Syawal juga mesti menggunakan
salah satu dari dua cara seperti di muka -- yakni dengan rukyatul
hilal disertai kesaksian dua orang saksi yang adil, atau dengan
menggenapkan bilangan 30 hari. Jika tidak ditetapkan seperti itu,
maka tidak boleh berbuka. (Lihat : Al-Masail al-Muntajinah, karya
Al-Khu`iy, cet.2, Mathba’ah al-Adab di Najaf, th.1382 H, hal.
149).
هل تجوز زيارة القبور؟
زيارة القبور تجيزها مذاهب
المسلمين كلها, و تشرح للزائر ادابها. و هي سنة رسول الله صلى الله عليه و سلم.
فقد زار عليه الصلاة و السلام بنفسه القبور و علّم أصحابه كـيف يزورون القبور فعلا
في حياته الدنيوية صلى الله عليه و سلم.
أما زيارته صلى الله عليه و سلم للقبور فيدلّ ما رواه
مالك عن عائشة رضي الله عنها, أنه صلى الله عليه و سلم أخبرها أن جبريل جاءه, فقال
له : إن ربّك يأمرك ان تأتي اهل البقيع, فتستغفر لهم. و أنه صلى الله عليه و سلم
جاء البقيع, فقام و أطال
القيام, ثم رفع يديه ثلاث مرات. و انها رضي الله عنها قالت له : كـيف أقول لهم؟.
فقال : قولي السلام عليكم اهل الديارمن المؤمنين و
المسلمين, و يرحم الله المستقدمين منكم و المستأخرين, و إنا إن شاء الله بكم
لاحقون.
بل روي عن سيّدتنا عائشة رضي الله عنها, أن زيارة البقيع
كانت عادة للنـبي صلى الله عليه و سلم. و هذا لفظه :
كان رسول الله صلى الله عليه و سلم كلما كانت ليلتها من
رسول الله صلى الله عليه و سلم يخرج آخر الليل الى البقيع, فيقول : السلام عليكم
دار قوم مؤمنين, و آتاكم ما توعدون غدا مؤجّلون, و إنّا إن شاء الله بكم لاحقون.
اللهم اغفر لأهل بقيع الغرقد( رواه مسلم ).
و أما زيارة المؤمنين في عهده صلى الله عليه
و سلم و تعليمه لهم كـيف يزورون, فاسمع شيئا مما يدل على ذلك:
- روى البخاري و مسلم حديث المرأة التي كانت تزور قبر
صبـي لها و تبكي, فلم ينهها صلى الله عليه و سلم عن زيارتها, و إنما قال لها :
اتـّقي و اصبري. و قال لها : الصبر عند الصدمة الأولى.
- و روى مسلم, انه صلى الله عليه و سلم كان يعلّم
الصحابة إذا خرجوا الى المقابر ان يقولوا : السلام عليكم اهل الديار من المؤمنين و المسلمين و
المسلمات, و انا إن شاء الله بكم للاحقون, أسأل الله لنا و لكم العافية.
نعم, كانت زيارة القبور منـهيّا عنها في صدر الإسلام. و
الناس قريبو عهد بجاهيلة. ثم نسخ ذلك بقوله صلى الله عليه و سلم و فعله. أما فعله
فقد سمعته. و أما قوله فهو : كـنتُ نهيتكم عن زيارة القبور, فزوروها. فقد أذن
لـمحمد في زيارة قبر أمهه, فزوروها فإنـها تذكّر الآخرة . (اخرجه مسلم و ابو
داود و الترمذي و ابن حبان و الحاكم)
و في حديث آخر أخرجه الحاكم : فزوروا القبور, فإنها
تذكّـر الآخرة.
و كان صلى الله عليه و سلم يزور قبور شهداء أحد و قبور
أهل البقيع, و يسلّم عليهم و يدعو لهم بما تقدّم. (رواه مسلم و احمد و ابن ماجه)
و اختلف في زيارة النساء للقبور. فقال جماعة من اهل
العلم بكـراهيتها كراهة تحريم او تنزيه, لحديث أبي هريرة, أن رسول الله صلى الله
عليه و سلم لعن زوّارات القبور (رواه أحمد و ابن ماجه
و الترمذي).
و ذهب الأكـثرون الى الجواز أذا أُمنت الفـتنة و استدلوا
بما رواه مسلم عن عائشة, قالت : كيف أقول يا رسول الله إذا زرت القبور؟ قال : قولي
السلام عليكم أهل الديار المؤمنين - الحديث-. و بما أخرجه
البخاري, أنّ النـبيّ مـرّ بامرأة
تبكي عند قبر صـبيّ لها, فقال : اتّقي الله و اصبري- الحديث-. و لم ينكر
عليها الزيارة. و بما رواه الحاكم , أنّ فاطمة كانت تزور قبر عمّها حمزة كل جمعة. و بحديث عبد
الله بن ابي مليكة, أنّ عائشة أقبلت ذات يوم الى المقابر, فقلت لها : يا أمّ
المؤمنين, من أين أقبلتِ؟ فقالت : من قبر أخي عبد الرحمن. فقلت لها : أليس كان
ينهى رسول الله صلى الله
عليه و سلم عن زيارة القبور؟. قالت : نعم, كان نهى عن زيارة القبور, ثمّ أمر
بزيارتها.
و من هنا يعلم الجواب عن ابي هريرة و يجاب عنه ايضا بأنه
محمول على الزيارة التي تقـترن بها فتنة او محرّم كالندب و نحوه, او بحمله على
المكـثرات من الزيارة لما تقتضيه الصيغة (الزوّارات) من المبالغة, و لعلّ السبب ما
يفضي ذلك من تضيـيع حقّ الزوج و التـبرّج و ما ينشأ عنه من الصياح و نحو ذلك. فإذا
أمن ذلك , فلا بأس من زيارتهن لاحتياجهن الى تذكـر الموت كالرجال. اه. (منقولا
باختصار و تصرّف عن غوث العباد لمصطفى الحمامي و فتاوي الشيخ حسنين محمد مخلوف)
و فى الفتاوى المذكورة, انعقد الإجماع على أن من السنة
زيارة الرجال القبور بعد ان كان منهيّا عنها في صدر الإسلام الى ان قال : و قد أخذ
بعض فقهاء الشافعية بظاهر هذا الحديث ( يـعنـي حديث لـعن زوّارات القبور ). فقالوا
: إن زيارة النساء القبور حرام و مكروهة كراهة تحريم. و تعقّبه النووي فى الـمجموع
بأنه قول شاذّ فى المذهب. و الذي قطع به الجمهور أنها جائزة مع الكراهة
التـنزيهية. و نـقل عن صاحب البحر وجهين للشافعية : احدهما الكراهة كما قال
الجمهور. و الأخر عدم الكراهة. و قال : انه الأخصّ عندي اذا أمـن الإفتـتان.
نعم, قد يكون هناك شيـئ من آفات زيارة القبور, و هو أن
الناس يخرجون اليها في بعض الجهات بحالة تنافي الدين, فيختلط الرجال بالنساء فى
الطرق و على المقابر اختلاطا لا يرضاه عقل و لا دين. و على المقابر يأكلون و
يشربون و ينامون و يتـبرّزون و يفعلون ما يفعلون ما يستحي القلم عن تسطيره.
فالزيارة التي هذا حالها لا تجوز لعارض, لا لأنها زيارات.
و بعد, فإنا نقول لأولـئك الذين يمنعون زيارة القبور :
نرجوكم ان تقرؤوا هذا لـتروا بأنفسكم انكم في واد و دين الإسلام في واد أخر. و
لعلكم اذا رأيتموه أقلعتم عما أنتم عليه من تحريم تلك الزيارة أشدّ التحريم و
النظر الى من يجيزها او يفعلها بعـين الاحتقار و الإزدراء و تسميته قبوريّا,
فلا حول و لا قوة الا بالله العلي العظيم.
فما أشد جهلكم بمذاهب المسلمين كلها, فهي تجيز تلك
الزيارة و تشرح للزائر آدابها, و جهلكم بسنة رسول الله صلى الله عليه و سلم, فإنه
صلى الله عليه و سلم زار القبور بنفسه و علّم اصحابه كـيف يزورونها كما علمت, و
تـبعهم على ذلك كل هذه الأمة من عهدهم لليوم. و هذه كـتب العلماء خنفية و مالكية و
شافعية و حنبلية و غيرهم, بها
بـيان تلك الزيارة . و كـذلك
دواوين السنة النبوية مـفعمة بـبيان جوازها و الندب اليها و كـيف تكون. و من رأى
كل هذا ثمّ أنكره, فلا حيلة لنا فيه, و أمره الى ربـه. و الله أعلم.
TERJEMAH
Semua madzhab dalam
islam memperbolehkan ziarah kubur dan menjelaskan adab sopan
santunnya. Ziarah kubur merupakan sunnah (tradisi,
perilaku) Rasulullah SAW. Beliau benar-benar melakukannya sendiri ketika masih
hidup di dunia dan mengajari para sahabatnya tentang bagaimana cara ber-ziarah yang
benar.[1]
Perilaku ziarah beliau
ditunjukkan oleh hadis yang diriwayatkan imam Malik dari ‘Aisyah ra. Beliau SAW
pernah memberitahukan kepada ‘Aisyah, bahwa malaikat Jibril menemui beliau
seraya berkata :
إِنَّ رَبَّكَ
يَأْمُرُكَ أَنْ تَأْتِيَ اَهْلَ الْبَقِيْعِ فَتَسْتَغْفِرُ لَهُمْ
Artinya : “Tuhanmu
memerintahkanmu agar mendatangi ahli kubur Baqi’, untuk memintakan
ampunan buat mereka”.[2]
Beliau SAW akhirnya
datang ke pekuburan Baqi’, dan berdiri agak lama sambil
mengangkat kedua tangannya tiga kali (untuk berdoa memohonkan ampunan). Aisyah
ra bertanya, “Apa yang aku ucapkan untuk mereka?”. Jawab beliau : “Ucapkan
salam :
اَلسَّلَامُ
عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
وَ الْمُسْلِمِيْنَ, وَ يَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنْكُمْ وَ
الْمُسْتَأْخِرِيْنَ, وَ إِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُوْنَ
Artinya : “Salam
sejahtera atas kalian, wahai penghuni kubur dari kalangan kaum mukminin dan
muslimin. Semoga Alloh merahmati para pendahulu diantara kalian dan orang-orang
yang datang kemudian. Sungguh, kami Insya Allah akan menyusul kalian.
Bahkan
Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah ra, bahwa menziarahi pekuburan Baqi’merupakan
adat kebiasaan Rasulullah SAW.
كَانَ رَسُوْلُ
اللَّهِ كُلَّمَا كَانَتْ لَيْلَتُهَا مِنْ رَسُوْلِ
اللَّهِ يَخْرُجُ آخِرَ اللَّيْلِ اِلَى الْبَقِيْعِ, فَيَقُوْلُ :
اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِيْنَ, وَ آتَاكُمْ مَا تُوْعَدُوْنَ
غَدًا مُؤَجَّلُوْنَ, وَ إِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُوْنَ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِأَهْلِ بَقِيْعِ الْغَرْقَدِ( رواه مسلم )
Artinya : Adalah
Rasulullah saw, setiap kali giliran menginap di rumah Aisyah ra, beliau keluar
rumah pada akhir malam menuju ke makam Baqi’ seraya mengucapkan
salam :
اَلسَّلَامُ
عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِيْنَ, وَ آتَاكُمْ مَا تُوْعَدُوْنَ غَدًا
مُؤَجَّلُوْنَ, وَ إِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُوْنَ. اَللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِأَهْلِ بَقِيْعِ الْغَرْقَدِ
Artinya : “Salam
sejahtera atas kalian, wahai penghuni kubur dari kalangan kaum mukminin. Segera
datang apa yang dijanjikan kepada kalian besok. Sungguh, kami Insya Allah akan
menyusul kalian. Ya Allah ampunilah penghuni kubur Baqi’ Gharqad”. (HR
Muslim).
Mengenai
kondisi ziarah kuburnya kaum muslimin di masa Rasulullah saw dan pengajaran
beliau kepada mereka tentang bagaimana seharusnya berziarah, simaklah beberapa
hadis berikut ini:
1. Imam
Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis tentang seorang wanita yang menziarahi
makam anaknya sambil menangis. Sementara Rasulullah sendiri tidak melarang
wanita tersebut menziarahinya. Beliau saw hanya mengingatkannya :
اِتَّقِيْ وَ اصْبِرِيْ.
وَ قَالَ لَهَا : اَلصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ اْلأُوْلَى.
Artinya : “Bertakwalah
dan bersabarlah”, dan bersabda kepadanya : “Sabar itu dilakukan pada
saat awal menerima cobaan”
2. Imam Muslim juga
meriwayatkan hadis, bahwa Rasulullah saw pernah mengajari para sahabatnya jika
mereka keluar berziarah kubur, agar mereka mengucap-kan :
اَلسَّلَامُ
عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ
الْمُسْلِمَاتِ, وَ إِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُوْنَ. أَسْأَلُ اللَّهَ
لَنَا وَ لَكُمُ الْعَافِيَةَ.
Artinya : “Salam
sejahtera atas kalian, wahai penghuni kubur dari kalangan kaum mukminin,
muslimin dan muslimat. Sungguh, kami Insya Allah akan menyusul kalian. Saya
mohon kepada Allah agar kami dan kalian mendapatkan kesejahteraan.
Memang
benar, bahwa ziarah kubur pernah dilarang pada awal periode
datangnya Islam dan pada saat itu kaum muslimin masih dekat dengan jaman jahiliyah.
Larangan tersebut lalu di-nasakh(dihapus, dinyatakan tidak berlaku)
dengan sabda dan perbuatan nyata beliau. Perbuatan nyata beliau saw dalam
berziarah sudah anda dengar di muka. Sedangkan sabda beliau adalah :
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ
عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ, فَزُوْرُوْهَا, فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِي
زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ, فَزُوْرُوْاهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ .(اخرجه مسلم و ابو
داود و الترمذي و ابن حبان و الحاكم)
Artinya : “Dulu Aku
pernah melarang kalian berziarah kubur. Maka (sekarang), lakukan ziarah kubur.
Muhammad benar-benar telah diizinkan menziarahi makam ibunya. Karena itu, berziarahlah
kubur, karena ziarah kubur itu dapat mengingatkan (kehidupan) akhirat”. (HR
Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Hibban dan al-Hakim).
Didalam
hadis lain yang diriwayatkan oleh Al-Hakim, disebutkan : “Berziarahlah ke
kubur, karena ia dapat mengingat (kehidupan) akhirat”.
Rasulullah
SAW menziarahi kuburan syuhada’ Uhud dan kuburan ahli
Baqi’. Beliau mengucapkan salam kepada mereka dan berdoa untuk mereka,
sebagaimana yang dijelaskan di muka. (HR Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah).
Hukum
berziarah kubur bagi wanita masih diperselisihkan para ulama’. Sekelompok ulama
memakruhkanya dengan status hukum makruh tahrim atau makruh
tanzih, berdasarkan hadis dari Abu Hurairah ra
أَنَّ رَسُوْلَ
اللَّهِ لَعَنَ زَوَّارَاتِ
الْقُبُوْرِ (رواه أحمد و ابن ماجه
و الترمذي).
Artinya : “Sesungguhnya
Rasulullah SAW melaknat para wanita yang sering berziarah kubur.” (HR
Ahmad, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi).
Sementara
sebagian besar ulama membolehkan kaum wanita berziarah kubur jika aman dari
fitnah. Mereka mendasarkan pendapatnya pada beberapa hadis berikut :
1). Hadis
riwayat Muslim dari Aisyah ra. Didalam hadis ini disebutkan
pertanyaan ‘Aisyah ra kepada Rasulullah SAW : “Apa yang aku ucapkan sewaktu
aku berziarah kubur?”. Jawab beliau : “Ucapkan Assalamu
‘alaikum ahlad-diyaril mukminin…”
2). Hadis
riwayat Bukhari yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw pernah melewati seorang
wanita yang menangis di samping kuburan anaknya. Lantas beliau bersabda
kepadanya : اِتَّقِيْ
وَ اصْبِرِيْ “Bertakwalah
kepada Allah dan bersabarlah”. Dan beliau sendiri tidak mengingkari ziarah
yang dilakukan oleh wanita tersebut.
3). Hadis
riwayat al-Hakim yang menjelaskan bahwa Fathimah ra menziarahi kuburan
pamannya, Hamzah bin Abdul Muthalib setiap hari jum’at.
4). Hadis
riwayat Abdullah bin Abi Mulaikah ra menjelaskan,
أَنَّ عَائِشَةَ
اَقْبَلَتْ ذَاتَ يَوْمٍ إِلَى الْمَقَابِرِ فَقُلْتُ لَهَا : يَا أُمَّ
الْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ أَيْنَ أَقْبَلْتِ , فَقَالَ مِنْ قَبْرِ أَخِيْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ. فَقُلْتُ لَهَا : أَلَيْسَ كَانَ يَنْهَى
رَسُوْلُ اللَّهِ عَنْ زِيَارَةِ
الْقُبُوْرِ؟ قَالَتْ نَعَمْ كَانَ نَهَى عَنْ
زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ ثُمَّ أَمَرَ بِزِيَارَتِهَا
Artinya, “’Aisyah
ra pada suatu hari berjalan menuju ke lokasi pemakaman, lalu ditanya oleh
Abdullah : “Wahai Ummul Mukminin! Dari mana engkau?”. “Dari kuburan saudara
lelakiku, Abdurrahman” jawab Aisyah ra. Tanya Abdullah, “Bukankah Rasulullah
saw telah melarang ziarah kubur?”. Jawab Aisyah, “Memang benar beliau pernah
melarangnya. Namun beliau lalu memerintahkannya”.
Dari sini
maka terjawablah larangan dari hadis Abu Hurairah di atas. Bahwa larangan
tersebut terkait dengan ziarah yang dibarengi dengan fitnah, atau dibarengi
dengan melakukan perbuatan haram seperti meratapi orang yang mati dan
semisalnya, atau dikaitkan dengan seringnya kaum wanita berziarah, sebagaimana
yang ditunjukkan oleh shighat mubalaghah “Zawwaaraat”
pada hadis tersebut. Barangkali penyebab lain dari larangan ziarah bagi wanita
adalah dikhawatirkan ia menyia-nyiakan kewajibannya kepada suami, melakukan tabarruj (bersolek),
dan melakukan hal-hal negatif lainnya seperti berteriak-teriak, menangis sambil
menjerit-jerit dan semisalnya. Jika dampak negatif tersebut sudah hilang
dan aman, kaum wanita boleh berziarah kubur, karena mereka tentu butuh
untuk dzikrul maut (ingat mati), seperti kaum lelaki juga.
(Dipetik secara ringkas dari kitabGhautsul ‘Ibad, tulisan Mushthafa
al-Hamami dan dari kitab Fatawi, tulisan syaikh
Hasanain Muhammad Makhluf).
Didalam
kitab Fatawi tersebut dijelaskan, sudah menjadi kesepakatan di
kalangan ulama, bahwa ziarah kubur bagi kaum lelaki adalah sunnah, setelah
sebelumnya dilarang pada masa awal munculnya Islam. Sebagian ulama syafi’iyyah mengambil
bunyi lahiriyah hadis “La’ana zawwaaraatil qubuur” sebagai dalil tentang
keharaman dan makruh tahrim-nya kaum wanita berziarah kubur.
Kemudian dikomentari oleh imam An-Nawawi didalam kitab Al-Majmu’,
bahwa pendapat ini syadz(aneh dan langka) dikalangan madzhab syafi’iyah.
Yang jelas, jumhurul ulama’ memandangnya sebagai perbuatan
yang diperbolehkan disertai makruh tanzih. Imam Nawawi
juga menukil dari penyusun kitab Al-Bahr dua pendapat
dikalangan ulama syafi’iyyah : 1) hukumnya makruh,sebagaimana
pendapat jumhurul ulama, 2) hukumnya tidak makruh.
Juga dijelaskan, bahwa tidak makruhnya wanita berziarah, menurut saya,
merupakan pendapat yang lebih khas, jika aman dari fitnah.
Memang
benar, bahwa ziarah kubur terkadang menimbulkan dampak negatif. Tidak sedikit
orang yang pergi berziarah kuburan sambil melakukan perbuatan-perbuatan diluar
tuntunan agama. Misalnya kaum lelaki dan wanita bercampur, baik di tengah
perjalanan maupun di lokasi makam. Hal ini tentu tidak dibenarkan oleh akal dan
hukum agama. Di lokasi makam, mereka makan-minum, tidur, bersolek (mejeng)
dan melakukan perbuatan yang memalukan. Jika kondisinya seperti ini, maka
ziarah kubur tidak dibolehkan, karena dapat mendatangkan fitnah atau dampak
negatif, bukan semata-mata disebabkan bahwa ziarah kubur itu dilarang.
Perlu kami
tegaskan kepada orang-orang yang anti dan melarang ziarah kubur, dan kami
berharap supaya kalian membaca buku tulisan ini, agar kalian menyaksikan
sendiri bahwa kalian sebenarnya berada di suatu jurang, sementara agama Islam
berada di jurang yang lain. Jika kalian sudah mengetahui hal ini, kalian
diharapkan membuang jauh-jauh sikap antipati seperti sikap anti ziarah,
memandang sinis kepada orang yang membolehkan dan orang yang melakukannya, dan
menjulukinya sebagai “Ahli Kubur” (penduduk kuburan). La haula
wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘azhim.
Sikap
kalian tersebut menunjukkan kekerdilan dan ketololan kalian terhadap seluruh
ajaranmadzhab dalam Islam, yang kesemuanya membolehkan berziarah
kubur dan menjelaskan adab sopan santunnya bagi peziarah. Sekaligus menunjukkan
kebodohan kalian terhadap sunnah Nabi(perilaku Nabi),
karena beliau saw telah melakukan sendiri ziarah kubur dan mengajarkan kepada
para sahabat tentang bagaimana tatacara berziarah, sebagaimana yang kalian
ketahui dan diikuti oleh seluruh umat Islam sejak jaman sahabat sampai jaman
sekarang. Kitab-kitab susunan para ulama, baik dari kalangan hanafiyah,
malikiyyah, syafi’iyyah, hanabilah, maupun lainnya, terdapat
penjelasan tentang bolehnya berziarah.. Demikian pula kitab-kitab hadis dipenuhi
dengan penjelasan tentang kebolehan, anjuran dan tata cara ber-ziarah kubur. Siapa
saja yang sudah mengetahui hal ini, lalu mengingkarinya, tidak ada daya bagi
kami dalam hal ini selain menyerahkannya kepada Allah. Walloohu A’lamهل في القبر نعيم و
عذاب؟
أنكر عذاب القبر و
نعيمه اناس ينتسبون الى الإسلام و قد برهنوا بإنكارهم هذا على جهل فاحش بدينهم.
فإن الكتاب و السنة ناطقان بما يكون فى القبر من نعيم و عذاب لا يجرؤ على انكاره
مسلم. و إليك البيان :
قال ربنا عز و جل في
كـتابه : النار يعرضون عليها غدوا و عشيا, و يوم تقوم الساعة أدخلوا
آل فرعون اشد العذاب.
أفهمتنا هذه
الأية أن فرعون و قومه يعرضون عليها غدوا و عشيا. و هذا العرض لا يخلو إما ان يكون
فى الدنيا او فى القبر او فى الأخرة. أما فى الدنيا فلم يكن ذلك قطعا. و أما فى
الأخرة فالأية تقول بصراحة تبـين حالهم هناك: "و يوم تقوم
الساعة أدخلوا آل فرعون اشد العذاب" , إذن هذا العرض ليس فى
الأخرة. و إذا انتفى ان يكون فى الدنيا و الأخرة تـعين ان يكون فى القبر . و هذا
دليل الكتاب على ما نقول.
و أما السنة الصحيحة
فورد منها شيئ كـثير يدل على ذلك المعنى. فقد روى الشيخان, البخاري و مسلم و
النسائي, أن رسول الله صلى الله عليه و سلم خرج بعد ما غربت الشمس, فسمع صوتا,
فقال : يهود تعذب في قبرها.
و روي النسائي و مسلم,
انه صلى الله عليه و سلم قال : لو لا ان تدافنوا لدعوت الله ان يسمعكم عذاب القبر.
و روى الشيخان و
الترمذي و النسائي و ابو داود, أنه صلى الله عليه و سلم مر على قبرين. فقال :
إنهما لايعذبان في كـبير (أي في نظر الناس). اما احدهما فكان يمشي بالنميمة. و اما
الأخر فكان لا يستـتر من بوله. ثم دعا بعسيب رطب, فشقّه اثنـين, فغرس على هذا
واحدا و على هذا واحدا, ثم قال : لعله يخفـف عنهما ما لم يـيبسا.
و روى الترمذي عن هانئ
مولى سيدنا عثمان رضي الله عنه كان اذا وقف على قبر بكى حتى بلّ لحيته. قيل له :
أتذكر الجنة و النار, و لا تبكي و تذكر القبر فتبكي؟. فقال : إني سمعت رسول الله
صلى الله عليه و سلم يقول : القبر اول منزل من منازل الأخرة. فإن نجا منه, فما
بعده ايسر منه. و إن لم ينج منه, فما بعده اشدّ منه. و سمعته يقول : ما رأيت منظرا
قطّ الا و القبر افظع منه.
و روى البخاري و مسلم
و ابو داود و النسائي, انه صلى الله عليه و سلم قال: ان العبد اذا وضع في قبره و
تولى عنه اصحابه, انه ليسمع خفق قرع نعالهم. اذا انصرفوا عنه أتاه ملكان فيقعدانه,
فيقولان له : ما كـنت تقول في هذا الرجل محمد؟. فأما المؤمن فيقول : أشهد ان ه عبد
الله و رسوله. فيقال : انظر الى مقعدك من النار, ابدلك الله به مقعدا في الجنة.
فيراهما جميعا. و اما الكافر و المنافق فسيقول : لا أدري كـنت اقول ما
يقول الناس فيه. فيقال : لادريت و لا تليت. ثم يضرب بمطرقة من حديد ضربة بـين
اذنيه, فيصيح صيحة يسمعها من يليه الا الثـقلين.
و هذا الحديث
يثـبت شيئا أخر غير مقصود الترجمة, و هو سؤال القبر.
و ورد في احاديث اخرى
السؤال عن ربنا عز و جل و ديننا زيادة عن السؤال عن نبـينا. و هذا السؤال هو فتـنة
القبر الذي فيه يقول الله تعالى :
يثـبّت الله الذين
أمنوا بالقول الثابت فى الحياة الدنيا و فى الأخرة و يضلّ الله الظالمين و يفعل
الله ما يشاء.(سورة إبراهيم : 27 )
و في هذا القدر
كـفاية, و فوق الكـفاية للمسلم الذي يريد الوصول الى الحق من طريقه. و الله
الموفق.
TERJEMAH
Sekelompok orang dengan mengaku beragama Islam mengingkari adanya siksa dan
nikmat kubur, dengan berbagai argumentasi yang mendukung keingkaran mereka.
Dengan argumentasi tersebut justru menunjukkan kebodohan mereka terhadap agama
Islam itu sendiri. Karena Al-Qur`an dan Hadis sebenarnya telah menyinggung
adanya nikmat dan siksa kubur. Tiada seorang muslim pun yang berani mengingkari
hal ini.
Allah swt berfirman :
اَلنَّارُ
يُعْرَضُوْنَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَ عَشِيًّا, وَ يَوْمَ تَقُوْمُ ُ السَّاعَةُ
اَدْخِلُوْا آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ (سورة
المؤمنون : 46 )
Artinya: “Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan
pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): "Masukkanlah
Fir`aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras". (QS
al-Mukmin, [40] : 46)
Ayat di atas memberitahukan kita bahwa Allah memperlihatkan neraka kepada
Fir’aun dan kaumnya setiap pagi dan sore. Peristiwa ini bisa jadi terjadi di
dunia, di alam kubur, atau mungkin di akhirat. Di dunia, hal ini pasti tidak
mungkin tejadi. Jika terjadi di akhirat, ayat ini telah menjelaskan secara
tegas tentang keadaan mereka di sana : “… dan pada hari terjadinya
Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): "Masukkanlah Fir`aun dan kaumnya ke
dalam azab yang sangat keras" (QS Al-Mukminun : 46). Dengan
demikian, peristiwanya tidak terjadi di akhirat. Jika tidak mungkin terjadi di
dunia dan di akhirat, maka jelaslah, bahwa peristiwanya terjadi di alam kubur.
Itulah nash Al-Qur`an tentang adanya nikmat dan siksa kubur.
Selain nash Al-Qur’an diatas, tidak sedikit hadis Nabi yang menjelaskan
adanya nikmat dan siksa kubur. Imam Bukhari, Muslim dan an-Nasai meriwayatkan,
bahwa Rasulullah saw pernah keluar rumah (melewati makam) setelah matahari
tenggelam, lantas mendengar suara (jeritan), lalu bersabda:
يَهُوْدُ تُعَذَّبُ
فِيْ قَبْرِهَا
Artinya : “Orang Yahudi sedang
disiksa didalam kuburnya”.
Imam An-Nasai dan Muslim meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw pernah
bersabda:
لَوْ لَا اَنْ
تَدَافَنُوْا لَدَعَوْتُ اللَّهَ اَنْ يُسْمِعَكُمْ عَذَابَ الْقَبْرِ.
Artinya: “Sekiranya kalian tidak menguburkan (jenazah), tentu aku
memohon kepada Allah agar kalian diperdengarkan adanya siksa kubur”.
Asy-Syaikhani (Bukhari dan Muslim), at-Tirmidzi, an-Nasaiy dan Abu Dawud meriwayatkan,
bahwa Rasulullah saw pernah melewati dua makam, lantas bersabda :
إِنَّهُمَا
لَيُعَذَّبَانِ فِي كَبِيْرٍ (أي في نظر الناس).
أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيْمَةِ. وَأَمَّا اْلآخَرُ فَكَانَ
لَا يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ.
Artinya: “Sungguh penghuni dua makam ini benar-benar sedang disiksa.
Keduanya disiksa bukan karena melakukan dosa besar (dalam pandangan manusia).
Seorang diantara keduanya (sewaktu di dunia) suka mengadu domba (memfitnah).
Sedangkan yang lain, ia tidak menutupi (memasang pelindung) dari percikan
kencingnya”.
Beliau saw
kemudian meminta kepada sahabatnya agar mengambilkan satu pelepah pohon yang
masih basah, lalu membelahnya menjadi dua bagian. Satu bagian ditancapkan di
atas satu makam, dan satu bagian lagi ditancapkan di atas makam lainnya. Beliau
lalu bersabda :
لَعَلَّهُ يُخَفَّفُ
عَنْهُمَا مَا لَمْ يـَيْبَسَا
Artinya: “Semoga (pelepah pohon ini) dapat meringankan siksa kedua orang
ini, selama kedua bagian pelepah ini belum kering”.[1]
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Hanik, seorang budak yang dimerdekan oleh
Usman bin Affan ra. Adalah Usman bin Affan ra, jika berdiri di atas suatu
makam, beliau menangis sampai air matanya membasahi jenggotnya. Beliau ditanya
seseorang : “Kenapa, sewaktu mengingat surga dan neraka engkau tidak
menangis, sedangkan mengingat kubur saja engkau lalu menangis?”. Jawab
beliau : “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda :
اَلْقَبْرُ اَوَّلُ
مَنْزِلٍ مِنْ مَنَازِلِ الْأَخِرَةِ. فَإِنْ نَجَا مِنْهُ, فَمَا بَعْدَهُ
اَيْسَرُ مِنْهُ. وَ إِنْ لَمْ يَنْجُ مِنْهُ, فَمَا بَعْدَهُ أَشَدُّ مِنْهُ
Artinya: “Alam kubur adalah satu dari sekian tempat di akhirat. Jika
seseorang selamat dari (siksa) kubur, maka seterusnya ia akan selamat dan
mengalami kemudahan. Namun jika tidak selamat dari (siksa) kubur, maka
perjalanan selanjutnya (di akhirat) akan semakin pedih dan berat daripada
sewaktu berada di alam kubur”.
Aku juga
pernah mendengar beliau saw bersabda :
مَا رَأَيْتُ
مَنْظَرًا قَطُّ اِلَّا وَ الْقَبْرُ
اَفْظَعُ مِنْهُ.
Artinya: “Aku sama sekali belum pernah melihat tempat pemandangan,
selain bahwa kuburan lebih berat darinya”.
Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasaiy meriwayatkan hadis, bahwa
Rasulullah saw pernah bersabda :
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا
وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَ تَوَلَّى عَنْهُ أَصْحَابُهُ, اَنَّهُ لَيَسْمَعُ حَفْقَ
قَرْعِ نِعَالِهِمْ. اِذَا انْصَرَفُوْا عَنْهُ أَتَاهُ مَلَكَانِ
فَيُقْعِدَانِهِ, فَيَقُوْلَانِ لَهُ : مَا كُـنْتَ تَقُوْلُ فِي هَذَا الرَّجُلِ
مُحَمَّدٍ؟. فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيَقُوْلُ : أَشْهَدُ اَنَّهُ عَبْدُ اللَّهِ
وَ رَسُوْلُهُ. فَيُقَالُ : اُنْظُرْ اِلَى مَقْعَدِكَ مِنَ النَّارِ, أَبْدَلَكَ
اللَّهُ بِهِ مَقْعَدًا فِي الْجَنَّةِ. فَيَرَاهُمَا جَمِيْعًا. وَ اَمَّا
الْكَافِرُ وَ الْمُنَافِقُ فَيَقُوْلُ : لَا أَدْرِي كُنْتُ
أَقُوْلُ مُا يَقُوْلُ النَّاسُ فِيْهِ. فَيُقَالُ : لَادَرَيْتَ وَ لَا تَلَيْتَ.
ثُمَّ يُضْرَبُ بِمِطْرَقَةٍ مِنْ حَدِيْدٍ ضَرْبَةً بَيْنَ أُذُنَيْهِ,
فَيَصِيْحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيْهِ اِلَّا الثَّـقَلَيْنِ.
Artinya “Sesungguhnya seorang hamba jika sudah diletakkan didalam
kuburannya dan ditinggal pergi oleh teman-teman yang mengantarkannya, ia
benar-benar mendengar suara gemerisik sandal mereka. Jika mereka sudah pergi
meninggalkan kuburannya, dia didatangi oleh dua orang malaikat. Dia lantas
didudukkan oleh kedua malaikat tersebut seraya berkata : “Apa pendapatmu
tentang seorang lelaki yang bernama Muhammad?”. Jika ia seorang yang beriman,
ia akan menjawab : “Aku bersaksi bahwa dia adalah hamba dan utusan Allah”.
Lantas dikatakan kepadanya, “Lihatlah calon tempat dudukmu dari neraka. Semoga
Allah mengganti tempat dudukmu ini dengan tempat duduk di surga”. Orang itu
lalu melihat kedua tempat duduk di surga dan neraka seluruhnya. Jika ia seorang
yang kafir dan munafiq, dia akan menjawab : “Aku tidak tahu, bagaimana aku
mengatakan apa yang dikatakan orang-orang tentangnya”. Lantas dikatakan
kepadanya : “Jadi, kamu tidak tahu dan tidak membaca (penjelasan Al-Qur`an dan
Hadis)”. Lantas dipukullah diantara kedua telinganya dengan palu besi sekali
pukulan dan menjerit dengan suatu jeritan yang mampu didengar oleh makhluk di
sekitarnya, selain jin dan manusia.
Hadis di atas selain menjelaskan adanya siksa kubur, juga menjelaskan
adanya pertanyaan kubur.
Pertanyaan kubur juga disebutkan dalam beberapa hadis lain, seperti
pertanyaan tentang siapa Tuhan kita dan apa agama kita,
sebagai tambahan dari pertanyaan tentang siapa Nabi kita.
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang disebut fitnah kubur, sebagaimana
yang disinggung Allah dalam firman-Nya :
يُثَبِّتُ اللَّهُ
الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِى الْحَيَـوةِ الدُّنْيَا وَ فِى
الْآخِرَةِ وَ يُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِيْنَ وَ يَفْعَلُ اللَّهُ
مَا يَشَاءُ. ( سورة إبراهيم : 27 )
Artinya: “Allah
meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam
kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim
dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS Ibrahim,[14] : 27)
Ayat tersebut cukup sebagai bukti adanya siksa kubur, bahkan lebih dari
cukup bagi seorang muslim yang ingin sampai (mengetahui) kepada persoalan yang
haq (sebenarnya) dari jalannya.
[1] Hadis
ini dijadikan dalil sampainya bacaan al-Quran kepada orang yang meninggal.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: "Jika siksa kubur bisa diringankan dengan
benda mati (pelepah pohon), maka dengan bacaan al-Quran yang merupakan dzikir
paling mulia dan dibaca oleh orang soleh, adalah lebih utama untuk mendapatkan
berkah dari bacaan tersebut" (al-Imta' I/85. Begitu juga
al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi yang mengutip pernyataan al-Qurthubi dalam Syarh as-Sudur I/305)
زيارة رسول
الله صلى الله عليه و سلم و شدّ الرحال اليها
قال القاضي عياض في
كـتابه " الشفا بتعريف حقوق المصطفى" : زيارة قبره صلى الله عليه و سلم
من سنن المسلمين مجمع عليها و فضيلة مرغب فيها. ثم روى بسنده المتصل عن ابن عمر
رضي الله عنهما, قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : "من زارني في المدينة
محتسبا كان في جواري و كـنت شفيعا له يوم القيامة". و في حديث أخر : "من
زارني بعد مـماتي فكأنما زارني في حياتي".
و فى الفصل الذي عقده
في تخصيصه صلى الله عليه و سلم بتـبليغ صلاة من صلّى عليه او سلّم من الأنام. روي
عن أبي هريرة رضي الله عنه, قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : "من
صلى عليّ عند قبري سمعـته, و من صلّى نائـبا بلّغته". و عن ابن مسعود قال :
"إنّ لله ملائكـة سياحين يـبلّغوني عن أمتي السلام" . و نحوه عن أبي
هريرة و عن ابن عمر رضي الله عنهم : "أن احدا لا يصلّي عليّ الا عرضت صلاته
علي حين يفرغ منها".
فأللهم صلّ على مولانا
و شفيعنا رسول الله صلاة ترضيك و ترضيه و ترضى بها عنا يا ربّ العالمين.
و لكـن هناك شرذمة من الناس
– و هؤلاء هم الذين حكـينا عنهم منع زيارة القبور - منعوا زيارته صلى الله
عليه و سلم و صنّـفوا في هذه المسألة مصنّفات و أصدروا فتاوي تفهم اهل الإسلام, أن
شدّ الرحال الى زيارته صلى الله عليه و سلم لا يجوز. أما لو شدّ المؤمن رحله الى
زيارة مسجده صلى الله عليه و سلم فيه فذلك جائز.
و دليلهم الوحيد
الذي جعلوه في كلّ مصنفاتهم و فتاويهم قوله صلى الله عليه و سلم :" لا تشدّ
الرحال الا إلى ثلاثة مساجد. المسجد الحرام و مسجدي هذا و المسجد الأقصى".
(رواه الشيخان البخاري و مسلم و غيرهما).
قال الإمام الغزالي
في" الإحياء" تحت عنوان "
فضيلة المدينة المنوّرة على سائر البلاد" : و قد ذهب بعض العلماء الى
الإستدلال بهذا الحديث (: لا تشد الرحال الا الى ثلاثة مساجد) فى المنع من الرحلة
لزيارة المشاهد و قبور العلماء و الصلحاء. و ما تبـين لي أن الأمر كـذلك, بل
الزيارة مأمور بها. قال صلى الله عليه و سلم : " كـنت نهيتكم عن زيارة
القبور, فزوروها, و لا تقولوا هُجرا".
و الحديث إنما ورد في
"المساجد" و ليس في معناها " المشاهد". لأن المساجد بعد المساجد
الثلاثة متماثلة, و لا بلد الا و فيه مسجد, فلا معنى للرحلة لمسجد أخر. و أما
المشاهد فلا تتساوى, بل بركة زيارتها على قدر درحاتهم عند الله عزّ و جلّ. ثم قال
: ليت شعري هل يمنع هذا القائل من شد الرحال الى قبور الأنـبياء عليهم السلام مثل
إبراهيم.
فالمنع من ذلك في غاية
الإحالة. فإذا جوّز ذلك فقبور الأولياء و العلماء و الصلحاء في معناها, فلا يبعد
ان يكون ذلك من أغراض الرحلة, كما أن زيارة العلماء في
الحياة من المقاصد.
و إني أعجب ثم
أعجب ان يفهم ذو عقل منع
زيارته صلى الله عليه و سلم من هذا الحديث مع فهم جواز شدّ
الرحال الى المدينة المنوّرة بأنواره صلى الله عليه و سلم لأجل الصلاة في مسجده صلى
الله عليه و سلم؛ و إنما عحبت ثم عجبت من ذلك الفهم, لأن المدينة المنورة بأنواره
صلى الله عليه و سلم ما كان لها ايّ قيمة بين البلاد قبل هجرته صلى الله عليه و
سلم إليها.
و هذا المسجد الكريم
مسجده صلى الله عليه و سلم, لو لا إضافته إليه عليه الصلاة و السلام لكان ككل
المساجد, لا فضل له على أيّ مسجد من مساجد الدنيا. فالمسجد إنما عظم هذه العظمة و
صارت اليلاة فيه بألف صلاة في سواه من المساجد, لأنه المسجد الذي اختاره صلى الله
عليه و سلم و بناه, و الذي كان يشرّفه بالصلاة فيه و الذي كانت تهمى فيه الرحمات و
البركات لخطوته بحلول شخصه الكريم فيه صلى الله عليه و سلم.
و إذا كان الأمر هكذ,
فهل من المعقول ان يقال : إنّ هذا
المسجد له بركات تعود الى المسافر
اليه, فلهذا يجوز ان تشدّ الرحال اليه. و أما الرسول الذي ما عظم هذا المسجد الا
بنسبته اليه فلا بركة فيه تعود الى زائريه. و إذن لا يجوز ان تشدّ الرحال الى
زيارته. إنّ هذا انـما يقوله : المجانـين الذين لا يعون ما يقولون, او يقوله :
عدّوا الإسلام و رسول الإسلام.
و أما المؤمن الذي حظّ
من العقل فلا يـمكن ان يخطر
بباله : هذا المعنى السخيف.
و الحديث الذي يستـند
اليه اولـئك الذين يريدون ان يجولوا بيـنه صلى الله عليه و سلم و بـين أمته في
نـاحية, و ما يذهبون اليه في ناحية أخرى, فإنـه يتكلّم عن المساجد خاصّة.
يقول للناس : أنتم عقلاء,
يجب ان تصان أعمالكم عن
العبث الذي لا فائدة فيه. فأوصيكم ان لا تسافروا و
تتحمّلوا متاعب السفر و مشاقّه من أجل ان تصلوا بمسجد من مساجد الدنيا فاهمين أنّ
له فضلا على غيره. لا تفعلوا ذلك, فإنكم تتعبون في سفركم بلا فائدة تعود عليكم,
لأنّ المساجد كلّها في مستوى واحد, لا فضل لبعضها على بعض. لكن لا تفهموا أنّ ذلك
على عمومه, بل فى الدنـيا مساجد ثلاثة لها مـيزة على غيرها من المساجد, هي المسجد
الحرام بمكة و المسجد النبوي بالمدينة المنوّرة و المسجد الأقصى بالشام. هذه
المساجد وحدها لو شددتم الرحال اليها لا يـضيّع تعبكم, بل يعود عليكم من الثواب
بمضاعفة ثواب الصلاة فيها ما يوازي تعبكم و زيادة.
و إنما امتازت هذه
المساجد الثلاثة لأنّ المسجد الحرام أمر بـبناه, فـبناه سيدنا إبراهيم خليل
الرحمـن صلى الله عليه و سلم, و
كان يساعد في بنائه سيدنا إسماعيل عليه الصلاة و السلام, ثم هو بـجوار بيت الله
الحرام قبلة العالمين. فلذلك البناء و هذا الجوار العالي نال من الشرف ما جعل الصلاة
فيه بمائة ألف صلاة في سواه من المساجد.
و أما مسجده صلى الله
عليه و سلم, فعظمته لما قدّمـنا, ثم هو بجوار بـيته صلى الله عليه و سلم. و لا
يشكّ مؤمن في ان بيته صيى الله عليه و سلم مهما علا شرفه و عظم قدره لا يصل ابدا
الى شرف بيت ربّ العالمين. لهذا كانت الصلاة في مسجده صلى الله عليه و سلم بألف
صلاة في سواه, ليشير التفاوت في عظم الثواب الى التفاوت في شرف الجوار.
وأما المسجد
الأقصى, فبناه سيدنا يعقوب صلى الله عليه و سلم
بعد أن بـنى المسجد الحرام جدّه سيدنا إبراهيم صلى الله عليه و سلم بأربعين سنة,
كما جاء في الحديث. ثم كان هذا المسجد مصلّى أنـبياء بني إسرائيل عليهم الصلاة و
السلام, و كان بجوار بيوتهم و روضاتهم التي هم بعد انتـقالهم الى الرفيق الأعلى عليهم
الصلاة و السلام. و لا يخفى أن جوار الأنـبياء, و ان كان رفيع القدر عظيما, لا يصل
الى درجة كرم جواره صلى الله عليه و سلم. لهذا كانت الصلاة في المسجد الأقصى
بخمسمائة صلاة في سواه من المساجد, كما ورد هذا التحديد فى الكلّ بحديث رواه
البيهقي في شعب الإيمان.
هذا ما يستطيع الإنسان
ان يفهمه من السرّ في التفاوت بـين هذه المساجد الثلاثة و
بـين غيرها, و في تفاوت الثواب بـينهما.
و لنعد الى الكلام مع
المانعين زيارته صلى الله عليه و سلم. فنقول : لو فهمنا أنّ النهي عن شدّ الرحال
فى الحديث المذكور عام في كلّ سفر, الا السفر الى هذه المساجد الثلاثة, لـلزم :
(1) أن لا يجوز لنا السفر
فى الأرض للإعتبار و العظة, و قد أمرنا ربّـنا عزّ و جلّ بهذا السير في
كتابه و حرّضنا في غير آية
من كتابه.
(2) و ان لا نسافر
لصلة ارحامنا إذا كانوا
بجهات بعيدة, و قد أمرنا ربّـنا بهذه الصلة و شدّد علينا فيها و وعد من يقوم بها
ان يصله و توعّد من أخلّ بها ان يقطعه.
(3) و ان لا نسافر للجهاد
و لتبليغ الشريعة او القضاء بـين الناس بالعدل.
(4) و ان لا يجوز لنا
السفر للتجارة و إلى ان و الى ما يهمّهم من شؤون الدنـيا في أيّ ناحية من نواحي
الأرض.
(5) و ان لا يـشدّ الرحال
اليه صلى الله عليه و سلم في حياتـه, فإنّ الوفود كانت تفيد اليه صلى الله عليه و
سلم من أنحاء الأرض مسافرين لم يبعثهم على ذلك الا حبّ لقائه صلى الله عليه و سلم
و زيارته و التـبرك بالوجود في حضرته الشريفة, و كان صلى الله عليه و سلم يـرى
هذا و يقرّه, بل و يحرّض عليه بما كان
يـثيب به تلك الوفود من الجوائز التي كان يـمنحهم بها, و هو الآن في روضته الشريفة
مثـله و هو حيّ تماما. فزيارته الآن لا تختلف ابدا عن زيارته قبل وفاته صلى الله
عليه و سلم. و نـبّه هو صلى الله عليه و سلم على ذلك في قوله : " من حجّ فزار
قبري بعد وفاتي فكأنّما زارني في حياتي" (رواه الدارقطني في سنـنه و البيهقي
و ابن عساكر و الطبراني في معجمه الكبـير و الأوسط ).
(6) و لزم كذلك ان
يكون علماء الإسلام من اول هذه الأمة الى اليوم في خطإ عظيم حيث انهم يعقدون في
كـتبهم الديـنية الأبواب و الفصول يذكرون فيها زيارته صلى الله عليه و سلم و ما
يتعلّق بها من ترغيب فيها و من آداب ينـبغي ان تراعي فى القيام بها.
و إنّي …… بـما احمل
من لقب "كـياهي" آمر و أشدّد فى الأمر كلّ مؤمن ان يشدّ رحله الى زيارته
صلى الله عليه و سلم. و له على ذلك ما قاله هو صلى الله عليه و سلم : " من
زار قبري وجبت له شفاعتي
", ( رواه الدار قطني و البيهقي و غيرهما ). و قال : "من جاءني زائرا لا
يحمله حاجةٌ إلا زيارتي, كان حقا ان أكون له شفيعا يوم القيامة" ( رواه
الطبراني في معجمه الكـبـير و الدار قطني في اماليه و ابن المقري في معجمه و
غيرهم.). و قال : "من زارني متعمدا كان في جواري يوم القيامة" (رواه
العقيلي و غيره). و هو شيئ لا يسمعه
مؤمن و يهدأ له بال حتّى يتشرّف بالمثول بـين يديه صلى الله عليه و سلم.
و هل بي جنون حتّى
أصدر أمري للمؤمن ان لا يزوروا رسولهم و وليّ نعمتهم الذي له في عنق كل مؤمن منة
محال ان يقوم بشكرها؟ و من يستطع ان يكافئ من أخرجه من نار ابدية الى نعيم ابديّ؟
أنّ من يأمر الناس ان
لا يزوروا سيد الوجود و صفوة الخلق لا يدري ماذا يفعل انّه يحول بـين عباد الله و
بـين رحمة الله, فإنه صلى
الله عليه و سلم رحمة الله للعالمين. فليعرف ذلك , أولـئك المانعون
ليعلموا في أيّ موقف هم.
و إني أحبّ ان يعلم
القارئ المؤمن انّ الإجماع على طلب زيارته صلى الله عليه و سلم طلبا أكـيدا لم
يخالف في ذلك. لا عالم و لا جاهل, و لا اسود و لا ابيض, و لا رجل و لا امرأة. بل صرّح
بعض هداة الأمة : "أن هذه الزيارة واجبة فرارا من الجفاء الذي رمى به صلى
الله عليه و سلم من لم يزره, فإنـه قال عليه الصلاة و السلام فيما رواه ابن نـجّار
: " من لم يزرني فقد جفاني". و قال :" ما من أحد من أمتي له سعة ثم
لم يزرني, فليس له عذر". و هذا شيئ يخيف أهل الإيـمان.
نعم, لم ير الناس و لم
يسمعوا من عهده صلى الله عليه و سلم لهذا العهد الذي نـحن فيه الآن احدا يخالف في
طلب هذه الزيارة الكريـمة, إلاّ هذا الرجل ( ابن تـيمية ) و من
اغـترّ به من عصره لليوم, و هم افراد يعدّون بالأصابع بـين أمة بأسرها تعدّ
بـمـئات الملايـين عندهم هذه الزيارة بعد الحجّ الذي هو احد أركان الإسلام.
و لو كان لـهؤلاء
المانعين عقل و رويّة لسكـتواعن الجهر بهذه الشنيعة, و هم يرون عباد الله تعالى
تعدّ بالآلاف و الملايـين تبعثهم الأشواق المقلقة اليه صلى الله عليه و سلم,
فيـتركون أوطانهم و أحبابهم و أموالهم يتابعون
المسير ليلا و نهارا, يبتهلون إلى ربّهم ان يطيل آجالهم حتى يصلوا اليه صلى الله
عليه و سلم. فإذا وصلوا فلا
تسأل عن مبلغ ما يقوم بهم
من مسرّات ثم مسرات, فإن ذلك شيئ انـما يعلمه العليم الخبـير. و من قرأ عبارات
العشّاق لذلك المقام الكريم عرف : أن المؤمنـين في عالم, و هؤلاء المانعـين في
عالم أخر.
رزقنا الله زيارته صلى
الله عليه و سلم مرّات ثم مرات في عفو و عافية. أللهم أمـين.
TERJEMAH
Al-Qadhi ‘Iyadh mengatakan didalam kitabnya, Asy-Syifa bita’rifi
Huquqil Mushthafa : “Berziarah ke makam Rasulullah saw merupakan
perilaku kaum muslimin yang sudah disepakati kebolehannya dan merupakan amal
utama yang dianjurkan.[1] Diriwayatkan
dengan sanad muttashildari Ibnu Umar ra, ia berkata bahwa
Rasulullah saw bersabda :
مَنْ زَارَنِي فِي
الْمَدِيْنَةِ مُحْتَسِبًا كَانَ فِي جِوَارِي وَ كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ.
Artinya: “Barangsiapa yang menziarahiku di
Madinah dengan niat ingin memperoleh pahala, maka ia dalam perlindunganku dan
aku akan memberinya syafaat pada hari kiamat”.[2]
Rasulullah saw bersabda lagi di lain kesempatan :
مَنْ زَارَنِي بَعْدَ
مَمَاتِي فَكَأَنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي.
Artinya: “Siapa saja yang menziarahiku setelah wafatku, seolah-olah ia
menziarahiku semasa hidupku”[3]
Dalam satu fasal yang secara khusus membahas tentang
disampaikannya bacaan shalawat dansalam kepada
Rasulullah saw, dijelaskan oleh riwayat dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah
saw bersabda :
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ
عِنْدَ قَبْرِي سَمِعْتُهُ, وَ مَنْ صَلَّى نَائِيًا بُلِّغْتُهُ
Artinya: “Barangsiapa yang ber-shalawat atasku di samping makamku, aku
mendengarnya dan barangsiapa yang ber-shalawat dari jauh, hal itu pun
disamapaikan kepadaku”.[4]
Dari Ibnu Mas’ud ra, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda :
إِنَّ لِلَّهِ
مَلَائِكَةً سَيَّاحِيْنَ يُبَلِّغُوْنِي عَنْ أُمَّتِي السَّلَامَ .
Artinya: "Sungguh, Allah memiliki malaikat-malaikat yang
melanglang dunia. Mereka menyampaikan kepadaku kiriman salam dari umatku”.[5]
Riwayat dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar, bahwa Rasulullah
bersabda :
أَنَّ أَحَدًا لَا
يُصَلِّي عَلَيَّ اِلَّا
عُرِضَتْ صَلَاتُهُ عَلَيَّ حِيْنَ يَفْرَغُ مِنْهَا.
Artinya: “Sungguh, seseorang tidak ber-shalawat kepadaku, melainkan
shalawat-nya itu dihaturkan kepadaku setelah ia selesai membacanya”.[6]
فَأَللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى مَوْلَانَا وَ شَفِيْعِنَا رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَاةً تُرْضِيْكَ وَ
تُرْضِيْهِ وَ تَرْضَى بِهَا عَنَّا يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ.
Artinya: “Ya Allah, sampaikan shalawat kepada tuan kami dan pemberi
syafaat kami, Rasulullah, yakni shalawat yang membuat Engkau ridha, membuat beliau
ridha, dan membuat Engkau ridha kepada kami, Wahai Tuhan Pemelihara alam
semesta”.
Hanya saja, ada segelintir orang yang melarang ziarah ke
makam Rasulullah saw. Mereka menyusun berbagai buku karangan tentang persoalan
ini dan berfatwa kepada umat Islam bahwa mengadakan wisata ziarah ke
makam beliau saw tidak diperbolehkan, sedangkan wisata ziarah dalam
rangka mengunjungi Masjid beliau untuk melakukan shalat di sana diperbolehkan.
Dalil satu-satunya yang mereka tonjolkan pada setiap karya tulis dan fatwa
mereka adalah sabda Rasulullah saw :
لَا تُشَدُّ
الرِّحَالُ اِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ. اَلْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَ
مَسْجِدِي هَذَا وَ الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى. (رواه الشيخان البخاري
و مسلم و غيرهما).
Artinya: “Janganlah kamu bersusah payah mengadakan wisata ziarah kecuali
ke tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid-ku ini (Masjid Nabawi) dan
Masjidil Aqsha” (HR Bukhari, Muslim dan selainnya).
Imam Al-Ghazali mengatakan didalam kitab Ihya` Ulumiddin di
bawah judul Kelebihan Kota Madinah al-Muawwarah atas Kota-kota
lain, bahwa sekelompok ulama mengambil hadis Nabi di atas(=لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ اِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ , “Janganlah kamu
mengadakan wisata ziarah kecuali ke tiga masjid”) sebagai dalil larangan
melakukan wisata ziarah mengunjungi makam-makam pada umumnya,
serta makam para ulama dan shalihin. Saya tidak tahu, kenapa persoalannya
menjadi seperti itu, yang jelas, melakukan ziarah sebenarnya
diperintahkan.
Rasulullah saw bersabda :
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ
عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ, فَزُوْرُوْهَا, وَ لَا تَقُوْلُوْا هُجْرًا.
Artinya: “Aku (dulu) pernah melarang kalian berziarah kubur, maka
(sekarang) berziarah kuburlah, dan jangan mengucapkan perkataan kotor.”
Hadis Nabi saw yang mereka jadikan dalil tersebut hanyalah menjelaskan
masalah “masjid”,[7]sedangkan “makam”
tidak dapat disamakan atau diartikan sebagai “masjid”, karana
masjid-masjid selain ketiga masjid yang disebutkan didalam hadis diatas
memiliki nilai yang sama. Tidak ada satu negara pun melainkan didalamnya tentu
ada masjid. Karena itu tidak ada gunanya melakukanwisata ziarah ke
masjid-masjid selain ke tiga masjid di atas. Sedangkan mengenai “makam-makam”,
tidak sama nilaiya, bahkan niai keberkahan dari menziarahi makam tersebut
tergantung pada tingkat derajat penghuninya di sisi Allah.
Barangkali ini perasaan saya, apakah orang yang berpendapat seperti di atas
juga melarangwisata ziarah ke makam-makam para Nabi as, seperti ke
makam Nabi Ibrahim as, dll ? Nampaknya sangat mustahil melarang yang demikian
itu. Jika mengadakan wisata ziarah ke makam para Nabi saja
diperbolehkan, maka makam-makam para ulama dan kaum shalihin pun semakna dengan
makam para Nabi. Karena itu tidak aneh jika makam para ulama dan auliya`
menjadi salah satu tujuan wisata ziarah, sama seperti menziarahi
mereka sewaktu hidupnya adalah termasuk tujuan.
Saya heran dan benar-benar heran kepada orang yang mengaku berakal sehat,
namun ia memahami hadis Nabi tersebut sebagai larangan menziarahi makam
Rasulullah saw, sementara mengadakan wisata ziarah mengunjungi
kota Madinah al-Munawwarah dalam rangka melakukan shalat di Masjid Nabawi
mereka perbolehkan. Yang saya herani hanyalah pemahamannya itu.
Karena kota Madinah al-Munawwarah sebenarnya tidak memiliki nilai sama sekali
melebihi kota-kota lainnya sebelum beliau saw hijrah ke sana.
Masjid Nabawi yang mulia ini merupakan
Masjid Rasulullah saw. Sekiranya tidak karena disandarkan kepada beliau saw,
tentu Masjid Nabawi ini sama derajatnya dengan masjid-masjid
lainnya dan tidak memiliki keutamaan melebihi masjid mana pun di dunia.
Masjid Nabawi menjadi sedimikian agung
dan shalat di sana senilai dengan shalat seribu kali di masjid-masjid
selainnya, hanyalah disebabkan karena Masjid Nabawi telah
dipilih, dibangun dan dimuliakan oleh Rasulullah saw dengan melakukan shalat
didalamnya. Selain itu, Masjid Nabawimerupakan masjid yang penuh
dengan rahmat dan barakah disebabkan pribadi Rasulullah saw telah bertempat di situ.
Jika persoalannya demikian, apakah masuk akal jika dikatakan bahwa Masjid
Nabawi memiliki keberkahan yang akan kembali kepada orang yang
menziarahinya, sehingga mengadakan wisata ziarah diperolehkan.
Sementara pribadi Rasulullah saw sendiri yang menyebabkan Masjid Nabawimenjadi
begitu agung, dipandangnya tidak memiliki keberkahan yang akan kembali kepada
orang yang menziarahi beliau, sehingga mengadakan wisata ziarah ke
(makam) beliau tidak diperbolehkan. Pendapat ini sebenarnya hanya pantas
diucapkan oleh orang-orang gila yang tidak mampu menyadari apa yang mereka
ucapkan, atau hanya pantas diucapkan musuh Islam dan musuh Rasulullah saw.
Sekiranya dia menyadari sebagai seorang mukmin yang berpikiran waras, tentu dia
tidak mungkin memiliki pemikiran dan pendapat seperti itu.
Hadis Nabi yang dijadikan dasar oleh orang-orang yang menginginkan
terhalangnya hubungan antara Rasulullah saw dengan umatnya di satu sisi dan
menghendaki sesuatu yang mereka pilih di sisi lain, sebenarnya merupakan hadis
yang berbicara tentang persoalan masjid secara khusus, yakni keutamaan Masjidil
Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha.
Hadis tersebut seolah-olah berkata kepada orang-orang : “Kalian selaku
orang yang berakal harus menjaga amalnya dari perbuatan sia-sia yang tidak ada
faedahnya. Saya berpesan agar kalian tidak bersusah payah melakukan perjalanan
jauh (musafir) hanya sekedar ingin shalat di salah satu masjid yang ada di
dunia ini, dengan pemahaman bahwa masjid tersebut memiliki keutamaan melebih
masjid-masjid selainnya. Jangan melakukan yang demikian itu, karena berarti
kalian telah bersusah payah melakukan perjalanan jauh yang tidak ada faedahnya
buat kalian. Sebab, seluruh masjid yang ada (di dunia ini) memiliki derajat
yang sama, tidak ada kelebihan antara satu masjid dengan masjid lainnya. Namun
jangan kalian pahami bahwa yang demikian itu berlaku untuk seluruh masjid
secara umum, karena di dunia ini hanya ada tiga masjid yang memiliki
keistimewaan melebihi masjid-masjid selainnya, yaitu Masjidl
Haram di Makkah, Masjid Nabawi di Madinah dan Masjidil
Aqsha di Palestina. Sekiranya kalian mengadakan wisata ziarah ke
masing-masing masjid tersebut, maka kesusahpayahan kalian tidak akan sia-sia,
bahkan kalian akan memperoleh pahala berlipat ganda dengan melakukan shalat di
sana, seimbang dengan susah payah kalian, bahkan lebih banyak.
Berikut ini beberapa alasan yang menyebabkan ketiga masjid tersebut
memiliki keistimewaan lebih :
(1). Masjidil Haram di Makkah merupakan masjid yang
diperintahkan untuk dibangun, lalu dibangun oleh Khalilurrahman Nabi
Ibrahim as dan dibantu oleh putranya, Nabi Ismail as. Kemudian Masjid ini
berada di samping Baitullah Ka’bah yang menjadi kiblat seluruh
manusia di dunia. Oleh karena adanya perintah membangun dan kedekatannya
dengan Baitullah Ka’bah, makaMasjidil Haram memperoleh
kemuliaan, yakni sekali melakukan shalat didalamnya sama nilainya dengan
melakukan shalat seratus ribu kali di masjid-masjid selainnya.
(2). Masjid Nabawi di Madinah menjadi agung nilainya
disebabkan dibangun oleh Rasulullah saw dan posisinya yang berdampingan
dengan rumah beliau. Namun seorang mukmin tidak boleh ragu,
sekalipun rumah beliau saw sangat tinggi kemuliaannya dan sangat agung
derajatnya, selamanya ia tidak akan mencapai kemuliaan dan keagungan Baitullah (Rumah
Allah). Untuk itu, sekali melakukan shalat di Masjid Nabawi sama
nilainya dengan melakukan shalat seribu kali di masjid-masjid selainnya. Hal
ini menunjukkan bahwa ketidaksamaan dalam hal besarnya pahala
(antara shalat di Masjid Haram dengan Masjid Nabawi)
lebih ditentukan oleh ketidaksamaan dalam kemuliaan kedekatan atau
keberdampingan antara Baitullah dan Baiturrasul.
(3). Masjidil Aqsha di Palestina merupakan masjid yang dibangun oleh Nabi
Ya’qub as, selang 40 tahun setelah kakeknya, yakni Nabi Ibrahim as, membangun
Masjidil Haram, sebagaimana yang dijelaskan dalam suatu Hadis Nabi. Masjid ini
dijadikan sebagai mushalla (tempat shalat) para Nabi bani
Israil dan posisinya berada di samping rumah para Nabi dan
disamping raudhah (taman) mereka setelah mereka wafat. Tidak
samar lagi, berdampingannya para Nabi dengan Masjidil Aqsha,
sekalipun mereka memiliki ketinggian dan keagungan derajat, tentu tidak akan
melebihi derajat kemuliaan berdampingannya Rasulullah saw dengan Masjid
Nabawi. Untuk itu wajar, bahwa sekali melakukan shalat di Masjidil
Aqsha sama nilainya dengan 500 (lima ratus) kali melakukan shalat di
masjid-masjid selainnya.
Ketidaksamaan besarnya pahala shalat di ketiga masjid di atas telah
dijelaskan didalam Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi didalam
kitab Syu’abul Iman.
Demikianlah penjelasan kami yang tidak setiap orang mampu memahami rahasia
di balik berbeda-bedanya tingkatan derajat dan pahala shalat di Masjidil
Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha dengan di
masjid-masjid selainnya.
Kita kembali kepada persoalan orang-orang yang melarang menziarahi makam
Rasulullah saw. Menurut kami, Jika larangan wisata religi (ziarah) sebagaimana
yang dijelaskan didalam hadis di atas adalah bersifat umum, menyangkut berbagai
bentuk dan tujuan bepergian selain bepergian ke tiga masjid, maka akan
melahirkan beberapa konsekwensi hukum sebagai berikut :[8]
1) Tidak boleh bepergian di muka bumi dalam rangka ber-i’tibar (belajar),
memberi/mencari nasehat dan sejenisnya. Sementara Allah swt didalam kitab
suci-Nya memerintahkan agar melakukan bepergian semacam ini dan menganjurkannya
tidak hanya dalam satu ayat dari KitabNya.
2) Tidak boleh bepergian dalam rangka shilaturrahim (menyambung
tali persaudaraan), mengunjungi saudara kita yang jauh tempat tinggalnya,
sementara shilaturrahim sangat dianjurkan dan diperintahkan
Allah. Allah berjanji akan menjalin hubungan pada orang yang melakukannya dan
mengancam memutus jalinan pada orang yang merusakkannya.
3) Tidak boleh bepergian dalam rangka melakukan jihad fi sabilillah,
berdakwah menyebarkan syariat Islam, atau menegakkan keadilan di kalangan
manusia.
4) Tidak boleh bepergian dalam rangka berdagang mencari penghidupan dan
menyelesaikan urusan duniawi di manapun tempat di dunia.
5) Tidak boleh bepergian dalam rangka mengunjungi Rasulullah saw semasa
beliau masih hidup. Padahal, banyak orang yang sengaja datang dari pelosok
negeri untuk menemui beliau sekedar terdorong oleh rasa cinta dan rindu bertemu
beliau, mengunjungi dan mencari keberkahan dari pertemuan secara langsung
dengan beliau saw. Sementara Beliau saw sendiri menyaksikan kenyataan ini dan
membiarkannya. Bahkan beliau saw menganjurkannya disertai dengan janji pahala
yang besar bagi orang yang melakukannya. Sekarang beliau saw sudah wafat, hidup
di tamannya yang mulia (alam kubur), sama persis dalam keadaan
hidupnya yang sempurna. Dengan demikian, menziarahi beliau saw pada saat ini
tidak berbeda selamanya dengan menziarahi beliau pada waktu sebelum wafatnya.
Rasulullah saw mengingatkan hal ini didalam sabdanya :
مَنْ حَجَّ فَزَارَ
قَبْرِي بَعْدَ وَفَاتِي فَكَأَنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي. (رواه الدارقطني في
سنـنه و البيهقي و ابن عساكر و الطبراني في معجمه الكتـير و الأوسط ).
Artinya: “Barangsiapa beribadah haji, lalu ia menziarahi makamku setelah
wafatku, seolah-olah ia menziarahiku semasa hidupku”. (HR ad-Daruquthni
didalam kitab Sunan-nya, Al-Baihaqi dan Ibnu ‘Asakir, serta Ath-Thabrani
didalam kitab Mu’jamul Kabir dan Mu’jamus-Shaghir)[9]
6) Para ulama sejak generasi pertama Islam sampai sekarang ini tentu patut
dipersalahkan, disebabkan mereka menuliskan beberapa bab dan fasal dalam
kitab-kitab mereka tentang persoalan menziarahi makam beliau saw disertai
dengan anjuran dan adab sopan santun dalam berziarah.
Dan saya sebagai seorang “Kiyai”, senantiasa memerintahkan
dan menganjurkan kepada setiap muslim agar mengadakan wisata religi
berziarah ke makam Rasulullah saw. Orang yang mau melaksanakannya akan
memperoleh keuntungan sebagaimana yang dijanjikan beliau saw dalam sabdanya:
مَنْ زَارَ
قَبْرِي وَجَبَتْ لَهُ
شَفَاعَتِي ( رواه الدار قطني و
البيهقي و غيرهما )
Artinya: “Barangsiapa yang menziarahiku, tentu ia berhak memperoleh
syafaatku” (HR al-Daruquthni, al-Baihaqi dan selainnya)[10]
Rasulullah saw bersabda lagi :
مَنْ جَاءَنِي زَائِرًا لَا يَحْمِلُهُ حَاجَةٌ إِلَّا
زِيَارَتِي, كَانَ حَقًّا اَنْ أَكُوْنَ لَهُ شَفِيْعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ( رواه الطبراني في
معجمه الكـبـير و الدار قطني في اماليه و ابن المقري في معجمه و غيرهم.)
Artinya: “Barangsiapa yang menziarahiku, ia tidak memiliki hajat dan
tujuan selain sekedar berziarah, maka ia berhak untuk aku beri syafaat pada
hari kiamat”. (HR ath-Thabrani didalam kitab Mu’jamul Kabir-nya,
Ad-Daruquthni didalam kitabnya, Ibnul Muqri didalam kitab Mu’jam-nya
dan lain-lain).[11]
Beliau saw bersabda :
مَنْ زَارَنِي
مُتَعَمِّدًا كَانَ فِي جِوَارِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه العقيلي و غيره)
Artinya: “Barangsiapa yang secara sengaja menzia-rahiku, maka ia
berdampingan denganku di hari kiamat” (HR al-‘Uqaili dan selainnya).[12]
Hadis-hadis tersebut membuat orang beriman yang pernah mendengarnya merasa
tidak tenang hatinya, sehingga ia diberi kesempatan untuk sowan (bertemu,
berziarah) langsung dihadapan Rasulullah saw.
Apakah saya ini sudah edan sehingga berani melarang kaum
muslimin menziarahi Rasulullah, yaitu seorang manusia yang menyebabkan setiap
muslim memperoleh anugerah (agama Islam) yang hampir mustahil untuk dapat
disyukuri, seorang manusia yang mampu menyelamatkan umat manusia dari api
neraka menuju ke surga ?
Orang yang menyuruh manusia agar tidak menziarahi pemuka dan pensuci
seluruh makhluk, yakni Rasulullah saw, sebenarnya tidak menyadari,
bahwa apa yang ia lakukan tersebut merupakan usaha menghalangi
antara hamba Allah (manusia) dan rahmat-Nya,
disebabkan Rasulullah saw merupakan pembawa rahmat bagi
makhluk seluruh alam. Untuk itu, orang-orang yang melarang ziarah agar
menyadari, dimana posisi mereka berdiri.
Saya merasa senang jika pembaca muslim mengetahui, bahwa menziarahi makam
Rasulullah saw merupakan perintah agama yang secara ijmak (hasil
konsensus di kalangan para ulama) sangat dianjurkan untuk dilakukan. Tidak
seorang pun yang menyangkal hal ini, baik itu orang yang berilmu maupun bodoh,
berkulit putih maupun hitam, lelaki maupun perempuan. Bahkan sebagian ulama
menegaskan, bahwa menziarahi makam beliau saw wajib hukumnya. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari ancaman beliau seperti didalam sabdanya :
مَنْ حَجَّ وَ لَمْ
يَزُرْنِي فَقَدْ جَفَانِي. وَ قَالَ : مَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ أُمَّتِي لَهُ سَعَةٌ
ثُمَّ لَمْ يَزُرْنِي, فَلَيْسَ لَهُ عُذْرٌ
Artinya: “Barangsiapa yang berhajji dan ia tidak menziarahiku, ia
benar-benar berpaling dariku”. Beliau saw bersabda lagi : “Tiada seorang
pun dari umatku yang memiliki kesempatan (tersedianya dana, tenaga, dll)
kemudian ia tidak menziarahiku, maka tidak ada alasan baginya (untuk
menghindar)”.[13]
Sehingga
hadis ini membuat orang yang beriman merasa takut bila tidak beziarah.
Memang benar, orang-orang sejak jaman Rasulullah hidup sampai jaman kita
sekarang ini belum pernah melihat dan mendengar seseorang yang menentang
perintah menziarahi beliau saw, selain seorang lelaki yang
bernama Ibnu Taimiyah beserta segelintir orang yang tertipu
dengan pendapatnya sejak masa itu sampai sekarang.[14] Jumlah mereka tidak banyak dan
dapat dihitung dengan jari, bila dibanding dengan ratusan juta jamaah haji.
Ziarah ini dilakukan sesudah menunaikan ibadah haji yang merupakan salah satu
rukun Islam.
Sekiranya kelompok anti ziarah ini berakal waras, tentu akan diam dan tidak
lagi mengembar-gemborkan penenta-ngannya. Karena mereka tahu, bahwa jutaan kaum
muslimin yang menziarahi makam Rasulullah saw seusai menunaikan haji lebih
terdorong oleh perasaan rindunya kepada beliau saw. Demi melepas kerinduannya
ini, kaum muslimin bersedia meninggalkan negaranya, orang-orang yang
dicintainya dan harta bendanya, serta berani bersusah payah melakukan
perjalanan siang dan malam dengan tidak lupa mendekatkan diri dan berdoa kepada
Allah agar dipanjangkan usianya sampai diberi kesempatan untuk dapat menziarahi
makam beliau saw. Kalau cita-citanya ini sudah tercapai, seluruh kepayahan dan
beban beratnya akan terasa hilang dengan sendirinya, berganti dengan perasaan
senang dan bahagia setinggi-tingginya. Orang yang mampu memahami kondisi
kejiwaan orang-orang yang rindu semacam ini akan menyimpulkan, bahwa kaum
mukminin yang menziarahi makam beliau saw seolah-olah hidup di suatu alam,
sementara orang-orang yang anti menziarahi kubur beliau hidup di alam lain.
Semoga Allah swt memberi kita kesempatan berkali-kali menziarahi makam
Rasulullah saw dalam keadaan penuh ampunan dan kesejahteraan. Amin.
[1] Asy-Syifa bi Ta'rifi
Huquq al-Mushtafa II/83
[2] HR al-Baihaqi sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh
al-'Ajluni dalam Kasyf al-Khafa' II/251
[3] ) HR al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir No 13314 dan al-Ausath. al-Haitsami
berkata: di dalam sanadnya ada Aisyah binti Yunus. Saya tidak temukan
biografinya
[4] HR Abu Syaikh (Ibnu
Hibban) dalam ats-Tsawab. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: "Diriwayatkan
oleh Abu Syaikh dengan sanad yang bagus (jayyid). Fathul Bari Syarah
Sahih al-Bukhari X/243
[5]) Al Hafidz al-Haitsami
berkata: Diriwayatkan oleh al-Bazzar (No 1925). Para perawinya adalah perawi
sahih. (Majma' az-Zawaid IV/68)
[6] ) HR Ibnu Majah No
1637. Al-Mundziiri berkata: Sanadnya jayyid. Al-Munawi mengutip
pendapat ad-Damiri: Perawinya terpercaya. (al-jami' al-Kabir, al-Hafidz
al-Suyuthi I/4627)
[7]) Hal ini berdasarkan takhsis dari dua hadis. Pertama riwayat Ahmad
(III/471) dari Abu Said al-Khudri: "Seharusnya bagi pengendara tidak
melakukan perjalanan ke suatu masjid untuk melaksanakan salat disana, selain
masjid al-Haram, masjid al-Aqsha dan masjidku". Al-Hafidz Al-Haitsami
berkata: "Di dalam sanadnya terdapat Syahr bin Hausyab, hadisnya
hasan" (Majma' az-Zawaid IV/7). Al-Hafidz Ibnu
Hajar juga menilainya hasan dalam Fathul Bari III/65
Kedua, hadis riwayat
al-Bazzar dari Aisyah: "Aku adalah penutup para Nabi, dan masjidku adalah
penutup masjid-masjid para Nabi. Dan yang paling berhak didatangi adalah masjid
al-Haram dan masjidku…." (Baca Majma' az-ZawaidIV/7 karya al-Hafidz
al-Haitsami)
[8]) Analisa KH Ali Maksum
ini sesuai dengan al-Hafidz Ibnu Hajar. Bahwa secara umum hadis ini justru
melarang setiap bentuk perjalanan seperti berdagang, silaturrahim, mencari ilmu
dan lain-lain. Maka yang dimaksud disini adalah larangan bepergian ke masjid
untuk salat disana kecuali tiga masjid tersebut. Dengan demikian, telah jelas
kesalahan fatal para ulama yang melarang melakukan perjalanan ke makam
Rasulullah dan makam orang-orang soleh lainnya. (Fathul Bari Syarh Sahih
al-Bukhari IV/190)
[9]) HR
al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir No 13315 dan al-Ausath No 3376. al-Haitsami
berkata: di dalam sanadnya ada Hafs bin Abi Dawud al-Qari', ia dinilai terpercaya
oleh Ahmad dan dinilai dlaif oleh imam yang lain
[10]) HR al-Daruquthni No 2695 dan al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman No 3862
[11]) HR
al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Ausath No 4546 dan al-Kabir No 12971. al-Haitsami
berkata: di dalam sanadnya ada Maslamah bin Salim, ia dlaif
[12]) HR al-Baihaqi dalam
Syu'ab al-Iman No 4152 dan al-Uqaili IV/361
[13] ) Hadis bagian pertama
diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam adl-Dlu'afa' III/73. Al-Hafidz as-Suyuthi
berkata: "Ibnu al-Jauzi memasukkannya dalam kitab al-Maudlu'at (kumpulan
hadis palsu). Hal ini tidak benar" (al-Jami' al-Kabir No 4728). Hadis
bagian kedua diriwayatkan oleh oleh Ibnu an-Najjar dalam Tarikh al-Madinah dari
Anas (al-mughni / Takhrij Ahadits Ihya Ulumiddin, al-Hafidz al-Iraqi I/210)
[14]) Ibnu Taimiyah menuduh
hadis-hadis tentang ziarah ke makam Rasulullah sebagai hadis lemah, bahkan
palsu, dan tidak dapat dijadikan dalil (at-Tawassul wa al-Wasilah I/112). Pernyataan
ini ditentang oleh banyak ahli hadis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar