AMR, NAHI, TAKHYIR
‘AM dan KHAS
- PENDAHULUAN
Objek
utama yang dibahas dalam ushul fiqh adalah al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah. Umtuk memahami teks-teks dua sumber yang berbahasa Arab
tersebut, para ulama telah menyusun semacam “semantik” yang akan
digunakan dalam praktik penalaran fikih. Untuk itu, para ahli telah
membuat beberapa kategori lafal atau redaksi yang mencakup masalah amar,
nahi, dan takhyir, serta pembahasan lafal dari segi umum dan khusus
yang akan sedkit dijabarkan dalam makalah ini.
- PEMBAHASAN
a. Pengertian, bentuk, kemungkinan hukum, dan kaidah-kaidah yang berkenaan dengan Amr.
1. Pengertian dan bentuk-bentuk ‘Amr.
Amar menurut bahasa berarti perintah. Sedangkan menurut istilah adalah,
الأمر طلب الفعل من الأعلى إلى الأدنى
”amr adalah perbuatan meminta kerja dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yng lebih rendah tingkatannya.”
atau dapat didefinisikan,
اللفظ الدال على طلب الفعل على جهة الإستعلاء
Suatu
tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih
tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya.[1]
Adapun
perintah untuk melakukan suatu perbuatan, seperti dikemukakan oleh
Khudari Bik dalam bukunya Tarikh al Tasyri’, disampaikan dalam berbagai
gaya atau redaksi antara lain:
a) Perintah tegas dengan menggunakan kata amara (أمر)
90. Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran
dan permusuhan
b) Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas seseorang dengan memakai kata kutiba (كتب)
178. Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
c) Perintah dengan menggunakan kata faradha (فرض/mewajibkan). Al-Ahzab/33 : 50
50. ...Sesungguhnya kami Telah mengetahui
apa yang kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan
hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu.
..
2. Hukum-huum yang mungkin ditunjukan ‘Amr.
Suatu
bentuk perintah, seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Adib Saleh,
Guru Besar Ushul Fiqh Universitas Damaskus, bisa digunakan untuk
berbagai pengertian, yaitu:
a) Menunjukkan hukum wajib seperti perintah untuk sholat.
b) Untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu boleh dilakukan. Al-mukminun ayat 51
51. Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan
c) Sebagai anjuran. Al-Baqarah : 282
282. Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. ..
d) Untuk melemahkan. Al-Baqarah : 23
23. Dan
jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan
kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al
Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu
orang-orang yang benar..
3. Kaidah-kaidah dalam ’Amr.
Apabila dalam nash syara’ terdapat salah satu dari bentuk perintah, maka ada beberapa kaidah yang mungkin bisa diberlakukan.
Kaidah pertama, الأصل قى الأمر للوجوب,
meskipun suatu perintah bisa menunjukkan berbagai pengertian, namun
pada dasarnya suatu perintah menunjkkan hukum wajib dilaksanakan kecuali
bila ada indikasi atau dalil yang memalingkannya.
Contoh perintah yang terbebas dari indikasi yang memalingkan dari hukum wajib adalah ayat 77 surat an-Nisa
.
Dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!"
Ayat
tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan sholat lima waktu dan
menunaikan zakat. Adapun contoh perrintah yang disertai indikasi yang
menunjukkan hukum selain wajib, ayat 283 surat al-Baqarah
283. Jika
kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Kaidah kedua, دلالة الأمر على التكرار أو الواحدة,
adalah suatu perintah, haruskah dilakukan berulang kali atau cukup
dilakukan sekali saja?. Menurut jumhur ulama ushul fiqh, pada dasarnya
suatu perintah tidak menunjukkan harus berulang kali dilakukan kecuali
ada dalil untuk itu. Contohnya ayat 196 surat al-Baqarah
196. Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah Karena Allah….
Perintah
melakukan haji dalam ayat diatas sudah terpenuhi satu kali haji dalam
seumur hidup. Adanya kemestian pengulangan ditunjukkan oleh dalil lain.
Al-Isra 78
ÉOÏ%r&78. Dirikanlah
shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan
(oleh malaikat).
Menurut
sebagian ulama Ushul Fiqh, seperti Abu Ishaq al-Syirazi (w. 476 H),
ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah seperti dinukil Muhammad Adib
Saleh, suatu perintah pada dasarnya menunjukkan berulang kali dilakukan
sepanjang hidup, kecuali ada dalil yang menunjukkan cukup dilaukan satu
kali.[2]
Kaidah ketiga, دلالة الأمر على الفور أو التراخىو,
adalah suatu perintah, dilakukan sesegera mengkin atau bisa
ditunda-tunda?.Pada dasarnya suatu perintah tidak menghendaki untuk
segera dilakukan selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan untuk itu.
Pendapat ini dianut oleh jumhur ulama Ushul Fiqh. Sedangkan adanya
ajaran suatu kebaikan sege ra dilakukan, bukan ditarik dari perintah itu
sendiri, tetapi dari dalil lain.
Menurut
sebagian ulama, antara lain Abu Hasan al-Karkhi (w. 340 H) seperti
dinukil Muhammad Adib Salih, bahwa suatu perintah menunjukkan hukum
wajib segera dilakukan. Barangsiapa yang tidak segera melakukan suatu
perintah di awal waktunya, maka ia berdosa.[3]
4. Segi-segi lain dari Amr
Perintah
atau suruhan ada kalanya datang sesudah larangan, dan dipertanyakan
pula apakah harus segera dikerjakan atau harus berulang-ulang kali
dikerjakan.
Oleh
karena itu para ulama uul telah memberikan beberapa patokan dan
ketentuan-ketentuan untuk menjadi pedoman dalam menginsbatkan hukum.[4]
1) Perintah sesudah larangan (الأمر بعد النهي)
Ada
perbedaan pendapat ulama tentang dalalah amar sesudah nahi (larangan).
Ada yang mengatakan bahwa amar itu tetap wajib dikerjakan walaupun
sebelumnya ada larangan untuk berbuat
Contoh sabda nabi:
دعى الصلاة أيام أفرائك فإذا ادبرث الحيصة فاغثسلى عنك الدم
Tinggalkanlah
(janganlah mengerjakan) shalat pada hari-hari haidlmu, apabila haid
sudah hilang maka mandilah. Kemudian teruskan sholat seperti biasa.
Namun demikian yang masyhur dikalangan ulama ushul ialah amar sesudah nahi adalah ibahah (الأمر بعد النهي يفيد الإباجة).[5]
2) Perintah dan waktu mengerjakannya
Lafadz amar dalam
al-Qur’an maupun al-Hadits pada hakekatnya adalah untuk mengerjakan apa
yang disuruh. Suruhan itu tidak harus segera dikerjakan dalam waktu
yang cepat ataupun ditangguhkan.
Ada kaidah yang menegaskan:
الأمر لا يقثضي الفور
Suatu perintah atau suruhan itu tidak menghendakikesegeraan dikerjakan
Contoh yang menunjukkan tidak harus segera dikerjakan, seperti firman Allah
Dan sabda nabi
إن الله كثب عليكم الحج فحجوا (الحديت)
3) Perintah dan perulangan mengerjakannya
Pada
dasarnya tidak ada ketentuan bahwa lafadz amar menuntut supaya suruhan
atau perintah dikerjakan sekali saja atau lebih atau berulang-ulang.
Oleh karena itu dikalangan ulama ushul fiqh ada kaedah:
الإصل فى الأمر لا يقثضى الثكرار
Pada dasarnya suruhan/perintah titu tidak menghendaki perulangan (berulang-ulang mengerjakan perintah itu).
Kalau perintah itu harus dikerjakan berulang-ulang, maka harus ada kata-kata atau qarinah yang menyertainya yang menunjukkan kepada perulangan itu.[6]
4) Perintah dan perantaranya (wasilah)
Kadang-kadang
ada perintah yang tidak dapat terwujud tanpa adanya perbuatan-perbuatan
lain yang mendahuluinya atau alat-alat tertentu untuk dapat
melaksanakan perintah-perintah tersebut.
Perbuatan-perbuatan lain atau alat-alat tertentu disebut wasilah (perantara)[7]
الأمر بالشيئ أمر بوسائله
Memerintahkan sesuatu berarti memerintahkan pula seluruh wasilahnya.
Wasilah-wasilah itu bisa berupa:
1. Syarat seperti bersuci untuk sahnya sholat
2. Adat kebiasaan seperti memakai paying bila ingin menghindari panas sinar matahari atau basah karena hujan.
b. Pengertian, bentuk, kemungkinan hukum, dan kaidah-kaidah yang berkenaan dengan Nahi.
1. Pengertian dan bentuk-bentuk Nahi
Mayoritas ulama Ushul Fiqh mendefinisikan nahi sebagai
طلب الكف عن الفعل على جهة الإستعلاء بالسيغة الدال عليه
Larangan melakukan suatu perbuatam dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.
Jika
lafal khusus yang terdapat dalam nash syara’ berbentuk nahi atau bentuk
berita yang nermakna larangan, maka berarti haram. Yaitu menuntut untuk
tidak melakukan yang dilarang secara tetap dan pasti.[8]
Firman Allah Swt, al-Baqarah : 221
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4
221. Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,
Memberikan pengertian: Haram bagi seorang laki-laki muslim mengawini wanita musyrik.
Dalam melaang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudari Bik. Allah juga memakai berbagai ragam bahasa, diantaranya adalah:
a) Larangan tegas dengan memakai kata naha (نهى) atau yang seakar dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Seperti surat an-Nahl ayat 90,
90. Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran
dan permusuhan
b) Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan. Al-’Araf : 33
33. Katakanlah:
"Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak
ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia
tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan
sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan)
mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui."
c) Larangan dengan mengancam pelakunya dengan siksaan pedih. At-Taubah :34
34. dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada
jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan
mendapat) siksa yang pedih,
2. Kemungkinan hukum yang ditunjukan bentuk Nahi.
Seperti dikemukakan Adib Saleh, bahwa bentuk larangan dalam penggunaannya menunjukkan berbagai pengertian, antara lain:
a) Menunjukkan hukum haram, misalnya surat al-Baqarah ayat 221
221. Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,
b) Sebagai anjuran untuk meninggalkan, seperti al-Maidah :101
101. Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu)
hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika
kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan
diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
c) Penghinaan, dalam surat at-Tahrim ayat 7
7. Hai
orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini.
Sesungguhnya kamu Hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan.
3. Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan Nahi.
Para ulama Ushul Fiqh merumuskan beberapa kaidah yang berkenaan dengan larangan, antara lain,
Kaidah pertama, الأصل فى النهى للتحريم,
pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram melakukan
perbuatan yang dilarang kecuali ada indikasi yang menunjukkan hukum
lain. Contohnya ayat 151 surat al-An’am.
151. dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar
Contoh larangan yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum selain haram, dalam surat al-Jum’ah : 9.
9. Hai
orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at,
Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli[1475]. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.
Kaidah kedua, الأصل فى النهى يطلق الفساد مطلقا,
suatu larangan menunjukkan fasad (rusak) perbuatan yang dilarang itu
jika dikerjakan. Kaidah ini disepakati bilamana larangan itu tertuju
kepada zat atau esensi suatu perbuatan, bukan terhadap hal-hal yang
terletak diluar esensi perbuatan itu.[9]
Kaidah ketiga, النهي عن الشيئ أمر بضده, suatu larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya. Seperti dalam surat Luqman : 18
18. dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Laramgam tersebut mengajarkan agar berjalan di permukaan bumi dengan rendah hati dan sopan.
c. Takhyir.
Menurut Abd. Karim Zaidan, bahwa yang dimaksud takhyir adalah,
ما خير الشارع المكلف بيت فعله وتركه
Bahwa syari’ (Allah dan Rosul-Nya) memberi pilihab pada hamba-Nya antara melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan.
Hukum
yang ditujukkan dalam bentuk takhyir adalah halal atau mubah (boleh
dilakukan) dalam arti tidak berpahala jika dilakukan dan tidak nerdosa
jika ditinggalkan.[10]
Untuk memberikan hak pilih antara melakukan atau tidak melakukan dalam al-Qur’an terdapat berbagai cara, seperti
1. Menyatakan bahwa suatu perbuaan halal dilakukan, QS. Al-Baqarah : 187.
187. Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu;
2. Pembolehan dengan menafikan dosa dari suatu perbuatan. QS. Al-Baqarah : 173
173. tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
3. Pembolehan dengan menafikan kealahan dari melakukan suatu perbuatan. QS. Al-Baqarah : 235.
235. Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu[148] dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.
Ayat tersebut membolehkan meminang wanita yang dalam iddah wafat, tetapi dengan sindiran bukan terus terang.
d. Pengertian, macam dan takhsis al’aam.
1. Pengetian dan pembagian ‘aam.
Al-‘aam menurut bahasa adalah, شمول أمر لمتعدد, artinya mencakup sesuatu yang terbilang-bilang (tidak terbatas).[11]
Sedang menurut istilah ‘aam dapat diartikan,
هو اللفظ المستغرق بجميع ما يصلع له بحسب وضع واحد دفعه
Lafal yang menunjukkan pengertian umum yang mencakup satuan-satuan (afrad) yang ada dalam lafal itu tanpa pembatasan jumlah.
Menurut
Muhammad Adib Saleh, lafal umum adalah lafal yang diciptakan untuk
pengertian umum sesuai dengan lafal itu sendiri tanpa dibatasi dengan
jumlah.
Lafal umum, seperti dijelaskan Musthafa Sa’id al-Khin, dibagi kepada tiga macam:[12]
a) Lafal
umum yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil yang menunjukkan
tertutupnya kemungkinan ada takhsis. Misal QS. Hud : 6.
6. Dan
tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezkinya, dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan
tempat penyimpanannya[710]. semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata
(Lauh mahfuzh).
yang
dimaksud binatang melata disini adalah umum, mencakup seluruh jenis
binatang tanpa kecuali, karena diyakini bahwa setiap yang melata adalah
Allah yang memberi rezekinya.
b) Lafal umum pada hal yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang menunjukkan makna seperti itu. QS. At-Taubah: 120
120. Tidaklah
sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badwi yang
berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (berperang)
dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada
mencintai diri rasul.,
Ayat
tersebut menunjukkan makna umum, yaitu setiap penduduk Madinah dan
orang-orang Arab sekitarnya termasuk orang-orang sakit dan orang-orang
lemah harus turut menyertai Rasulullah pergi berperang. Namun yang
diaksud ayat tersebut bukanlah makna umum itu, tetapi hanyalah
orang-orang yan mampu.
c) Lafal umum yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umumnya atau sebagian cakupannya. QS. Al-Baqarah: 228.
228. Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
Lafal
umum dalam ayat tersebut yaitu al-muthallaqat (wanita-wanita yang
ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud
adalah makna umumnya itu atau sebagian cakupanya. Dalam hal ini, menurut
jumhur ulama, yang berlaku adalah bahwa sebelum terbukti ada
pen-takhsis-annya, ayat itu harus diterapkan pada semua satuan
cakupannya secara umum.
2. Takhsis al-‘aam.
Takhsis
al-’aam menurut istilah ulama ahli ushul adalah menjelaskan bahwa yang
dimaksud al’aam menurut syari’ pada mulanya adalah sebagian satuannyam
tidak seluruhnya. Atau menjelaskan bahwa hukum yang terkait dengan
al’aam pada awal penetapan hukum syara’ adalah sebagian satuannya.
Takhsis juga diartikan, mengeluarkan sebagian satuan-satuan yang masuk
dalam lafal ‘aam.
Maka hadis Nabi saw,
لا قطع فى أقل من ربع دينار
Tidak ada hukum potong tangan bagi pencuri yang kurang dari seperempat dinar.
Adalah mentakhsis al’aam yang terdapat dalam firman Allah,
38. Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan
dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Hadis di atas adalah, menjelaskan bahwa hukum potong tangan tidak disyari’atkan untuk semua pencuri laki-laki dan perempuan.
Dengan
malihat keterangan di atas,dapat diambil kesimpulan bahwa dalil ‘aam
tetap berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada sesudah dikeluarkan
satuan tertentu yang ditunjukkan oleh mukhassis.[13] Kaidah untuk itu adalah العام بعد التخصيص حجه فى الباقي, “lafal ‘aam setelah ditakhsiskan masih menjadi hujjah (pegangan) bagi satuan-satuan yang terkandung di dalamnya.”
Dalam bahasan Ushul Fiqh, mukhassis terbagi menjadi dua, yakni pertama, mukhassis
muttashil, yaitu dalil yang keberadaannya bersamaan dengan ‘aam. Kedua,
mukhassis munfashil, yang merupakan kebalikan dari mikhassis muttashil.
e. Khas.
Seperti
dikemukakan Adib Saleh, lafal khas adalah lafal yang mengandung satu
pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Para
ulama sepakat bahwa lafal khas dalam nash syara’ menunjuk pada
pengertiannya yang khas secara Qath’i (pasti) dan hukum yang
dikandungnya bersifat pasti pula selama tidak ada indikasi yang
menunjukkan pengertian lain.
Contoh lafal khas adalah ayat 89 surat al-Maidah
89.
Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang
miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,
atau memberi Pakaian kepada mereka
Kata ‘asyarah dalam ayat tersebut diciptakan hanya untuk bilangan sepuluh, tidak lebih dan tidak pula kurang. Arti
sepuluh itu sendiri sudah pasti tidak ada kemungkinan pengertian lain.
Begitulah dipahani setiap lafal khas dalam al-Qur’an selama tidak ada
dalil yang memalingkannya.
- KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut,
1. ‘Amr
adalah Suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak
yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah
kedudukannya.
2. Nahi
adalah Larangan melakukan suatu perbuatam dari pihak yang lebih tinggi
kedudukannya kepada yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang
menunjukkan atas hal itu.
3. Takhyir
dapat diartika, bahwa syari’ (Allah dan Rosul-Nya) memberi pilihab pada
hamba-Nya antara melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Dan
hukum takhyir adalah halal atau mubah.
4. Lafal
al-’aam adalah lafal yang menunjukkan pengertian umum yang mencakup
satuan-satuan (afrad) yang ada dalam lafal itu tanpa pembatasan jumlah.
5. Takhsis juga diartikan, mengeluarkan sebagian satuan-satuan yang masuk dalam lafal ‘aam.
6. Lafal ‘aam setelah ditakhsiskan masih menjadi hujjah (pegangan) bagi satuan-satuan yang terkandung di dalamnya.
7. Khas adalah lafal yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas.
- PENUTUP
Alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah, yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini sesuai waktu yang telah ditentukan. Harapan kami semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kami sendiri dan para pembaca sekalian. Kami
mohon maaf atas segala kekurangan-kekurangan dalam penulisan materi yang
disuguhkan dalam makalah ini. Kririk dan saran yang membangun
senantiasa kami harapkan guna instropeksi dalam penyempurnaan penulisan
makalah ini. Terakhir kami sampaikan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Satria dan M. zein, Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2005
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh.
http://gontor2007.blogspot.com/2010/04/am-dan-khos-beserta-permasalahannya.html
[1] Satria Effendi. Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005). hlm. 178-179.
[4] Quraisy Syihab, Ushul Fiqh II, hlm. 33.
[5] Ibid, hlm. 33
[6] Ibid, hlm. 40
[7] Ibid, hlm. 40
[8] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Faiz el Muttaqin, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003). hlm. 289.
[9] Op.cit, hlm. 193.
[10] Ibid, hlm. 195.
[11] http://gontor2007.blogspot.com/2010/04/am-dan-khos-beserta-permasalahannya.html
[12] Op.cit, hlm. 199.
[13] Mukhassis adalah dalil yang menjadi dasar pegangan untuk mengeluarkan sebagian satuan-satuan yang masuk dalam lafal ’aam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar