Oleh
: Asy Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah
Mukadimah
Islam
adalah agama yang universal. Agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Tidak
ada satu persoalan pun dalam kehidupan ini, melainkan telah dijelaskan. Dan
tidak ada satu masalah pun, melainkan telah disentuh oleh nilai Islam, kendati
masalah tersebut nampak ringan dan sepele. Itulah Islam, agama yang menebar
rahmat bagi semesta alam.
Dalam
hal pernikahan, Islam telah berbicara banyak. Dari sejak mencari kriteria calon
pendamping hidup, hingga bagaimana cara berinteraksi dengannya tatkala resmi
menjadi penyejuk hati. Islam memberikan tuntunan, begitu pula Islam mengarahkan
bagaimana panduan menyelenggarakan sebuah pesta pernikahan yang suka ria, namun
tetap memperoleh berkah dan tidak menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, demikian pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap
ada daya tarik tersendiri. Maka Islam mengajarkannya.
Namun
buku ini sebatas membahas tentang manfaat menikah, hal-hal yang berkenaan
tentang khitbah (meminang), akad nikah, rukun-rukun, dan syarat-syarat serta
pembahasan tentang pesta perkawinan atau walimatul ‘ursy. Semoga kita
bisa mengambil manfaat dari pembahasan tersebut.
Manfaat
Menikah
Nikah
memiliki manfaat yang sangat besar, sebagai berikut :
1.
Tetap terpeliharanya jalur keturunan manusia, memperbanyak jumlah kaum
muslimin
dan menjadikan orang kafir gentar dengan adanya generasi penerus yang berjihad
di jalan Allah dan membela agamanya.
2.
Menjaga kehormatan dan kemaluan dari perbuatan zina yang diharamkan lagi
merusak tatanan masyarakat.
3.
Terealisasinya kepemimpinan suami atas istri dalam hal memberikan nafkah dan
penjagaan kepadanya. Allah berfirman:
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An
Nisa’ : 34)
4.
Memperoleh ketenangan dan kelembutan hati bagi suami dan istri serta
ketenteraman jiwa mereka.
“Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Ar-Ruum : 21).
5.
Membentengi masyarakat dari prilaku yang keji yang dapat menghancurkan moral
serta menghilangkan kehormatan.
6.
Terpeliharanya nasab dan jalinan kekerabatan antara yang satu dengan yang
lainnya serta terbentuknya keluarga yang mulia lagi penuh kasih sayang, ikatan
yang kuat dan tolong-menolong dalam kebenaran.
7.
Mengangkat derajat manusia dari kehidupan bak binatang menjadi kehidupan
manusiawi yang mulia.
Dan
masih banyak manfaat besar lainnya dengan adanya pernikahan yang syar’i, mulia
dan bersih yang tegak berlandaskan Al Qur’an dan As Sunnah.
Menikah
adalah ikatan syar’i yang menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan,
sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Berwasiatlah
tentang kebaikan kepada para wanita, sesungguhnya mereka bagaikan tawanan di
sisi kalian. Kalian telah menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah
(akad nikah, pent)”.
Akad
nikah adalah ikatan yang kuat antara suami dan istri. Allah berfirman:
“Dan
mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.(An
Nisa’ : 21) yaitu akad (perjanjian) yang mengharuskan bagi pasangan suami istri
untuk melaksanakan janjinya.
Allah
berfirman:
“Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”. (Al-Maidah : 1)
Khitbah
(Meminang)
Rasulullah
bersabda:
“Apabila
seorang diantara kalian mengkhitbah (meminang) seorang wanita, maka jika dia
bisa melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah” (HR.
Ahmad dan Abu Dawud)
Dalam
hadits lain:
“Lihatlah
dia, sebab itu lebih patut untuk melanggengkan diantara kalian berdua” (HR.
AtTirmidzi, 1087)
Hadits
tersebut menunjukkan bolehnya melihat apa yang lazimnya nampak pada wanita yang
dipinang tanpa sepengetahuannya dan tanpa berkhalwat (berduaan) dengannya.
Para
ulama berkata: “Dibolehkan bagi orang yang hendak meminang seorang wanita yang
kemungkinan besar pinangannya diterima, untuk melihat apa yang lazimnya nampak
dengan tidak berkholwat (berduaan) jika aman dari fitnah”.
Dalam
hadits Jabir, dia berkata: “Aku (berkeinginan) melamar seorang gadis lalu aku
bersembunyi untuk melihatnya sehingga aku bisa melihat darinya apa yang
mendorongku untuk menikahinya, lalu aku menikahinya” (HR. Abu Dawud, no. 2082).
Hadits
ini menunjukkan bahwa Jabir tidak berduaan dengan wanita tersebut dan si wanita
tidak mengetahui kalau dia dilihat oleh Jabir. Dan tidaklah
terlihat dari wanita tersebut kecuali yang biasa terlihat dari tubuhnya. Hal ini rukhsoh (keringanan) khusus bagi orang yang kemungkinan besar pinangannya diterima. Jika kesulitan untuk melihatnya, bisa mengutus wanita yang dipercaya untuk melihat wanita yang dipinang kemudian menceritakan kondisi wanita yang akan dipinang.
terlihat dari wanita tersebut kecuali yang biasa terlihat dari tubuhnya. Hal ini rukhsoh (keringanan) khusus bagi orang yang kemungkinan besar pinangannya diterima. Jika kesulitan untuk melihatnya, bisa mengutus wanita yang dipercaya untuk melihat wanita yang dipinang kemudian menceritakan kondisi wanita yang akan dipinang.
Berdasarkan
apa yang diriwayatkan bahwa Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ummu
Sulaim untuk melihat seorang wanita (HR. Ahmad).
Barangsiapa
yang diminta untuk menjelaskan kondisi peminang atau yang dipinang, wajib
baginya untuk menyebutkan apa yang ada padanya dari kekurangan atau hal
lainnya, dan itu bukan termasuk ghibah.
Dan
diharamkan meminang dengan ungkapan yang jelas (tashrih) kepada wanita yang
sedang dalam masa ‘iddah (masa tunggu, yang tidak bisa diruju’ oleh suami atau
ditinggal mati suaminya, pent). Seperti ungkapan: “Saya ingin menikahi Anda”.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan
tidak ada dosa bagi kamu meminang wanitawanita itu dengan sindiran” (QS. 2:
235)
Dan
dibolehkan sindiran dalam meminang wanita yang sedang dalam masa
‘iddah.
Misalnya dengan ungkapan: “Sungguh aku sangat tertarik dengan
wanita
yang seperti anda” atau “Dirimu selalu ada dalam jiwaku”.
Ayat
tersebut menunjukkan haramnya tashrih, seperti ungkapan: “Saya ingin menikahi
anda” karena tashrih tidak ada kemungkinan lain kecuali nikah. Maka tidak boleh
memberi harapan penuh sebelum habis masa
‘iddahnya.
‘iddahnya.
Diharamkan
meminang wanita pinangan saudara muslim lainnya. Barangsiapa yang meminang
seorang wanita dan diterima pinangannya, maka diharamkan bagi orang lain untuk
meminang wanita tersebut
sampai dia diijinkan atau telah ditinggalkan. Berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah seorang laki-laki meminang wanita
yang telah dipinang saudaranya hingga dia menikah atau telah meninggalkannya” (HR. Bukhari dan Nasa’i).
sampai dia diijinkan atau telah ditinggalkan. Berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah seorang laki-laki meminang wanita
yang telah dipinang saudaranya hingga dia menikah atau telah meninggalkannya” (HR. Bukhari dan Nasa’i).
Dalam
riwayat Muslim: “Tidak halal seorang mukmin meminang wanita yang telah dipinang
saudaranya hingga dia meninggalkannya”. Dalam hadits Ibnu Umar: “Janganlah
kalian meminang wanita yang telah dipinang saudaranya” (Muttafaqun ‘alaih). Dalam
riwayat Bukhari: “Janganlah seorang laki-laki meminang di atas pinangan
laki-laki lain hingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau dengan
seijinnya”.
Hadits-hadits
tersebut menunjukkan atas haramnya pinangan seorang muslim di atas pinangan
saudaranya, karena hal itu menyakiti peminang yang pertama dan menyebabkan
permusuhan diantara manusia dan melanggar hak-hak mereka. Jika peminang pertama
sudah ditolak atau peminang kedua diijinkan atau dia sudah meninggalkan wanita
tersebut, maka boleh bagi peminang kedua untuk meminang wanita tersebut. Sesuai
dengan sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Hingga dia diijinkan atau
telah ditinggalkan”. Dan ini termasuk kehormatan seorang muslim dan haram untuk
merusak kehormatannya.
Sebagian
orang tidak peduli dengan hal ini, dia maju untuk meminang seorang wanita
padahal dia mengetahui sudah ada yang mendahului meminangnya dan telah diterima
oleh wanita tersebut. Kemudian dia melanggar hak saudaranya dan merusak
pinangan saudaranya yang telah diterima. Hal ini adalah perbuatan yang sangat
diharamkan dan pantas bagi orang yang maju untuk mengkhitbah wanita yang telah
didahului oleh saudaranya ini untuk tidak diterima dan dihukum, juga mendapat
dosa yang
sangat besar. Maka wajib bagi seorang muslim untuk memperhatikan masalah ini dan menjaga hak saudaranya sesama muslim. Sesungguhnya sangat besar hak seorang muslim atas saudara muslim lainnya. Janganlah meminang wanita yang sudah dipinang saudaranya dan jangan membeli barang yang dalam tawaran saudaranya dan jangan menyakiti saudaranya dengan segala bentuk hal yang menyakitkan.
sangat besar. Maka wajib bagi seorang muslim untuk memperhatikan masalah ini dan menjaga hak saudaranya sesama muslim. Sesungguhnya sangat besar hak seorang muslim atas saudara muslim lainnya. Janganlah meminang wanita yang sudah dipinang saudaranya dan jangan membeli barang yang dalam tawaran saudaranya dan jangan menyakiti saudaranya dengan segala bentuk hal yang menyakitkan.
Akad
Nikah, Rukun dan Syarat-Syaratnya
Disunnahkan
ketika hendak akad nikah, memulai dengan khutbah sebelumnya yang disebut
khutbah Ibnu Mas’ud (khutbatul hajjah, pent) yang disampaikan oleh calon
mempelai pria atau orang lain diantara para hadirin. Dan lafadznya sebagai
berikut :
“Sesungguhnya
segala puji bagi Allah. Kami memujiNya, memohon pertolongan dan ampunan-Nya,
serta kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan keburukan amal
usaha kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang
dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada
yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak yang berhak diibadahi
melainkan Allah semata, tiada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad
adalah hamba dan utusan-Nya”. (HR. Imam yang lima dan Tirmidzi menghasankan
hadits ini).
Setelah
itu membaca tiga ayat Al-Qur’an berikut ini:
“Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya
taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan
beragama Islam”. (Ali ‘Imran: 102).
“Hai
sekalian manusia bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari
diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan daripada
keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS. An Nisaa’: 1)
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah
perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan
mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan
Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”. (QS.
Al-Ahzab: 70-71).
Adapun
rukun-rukun akad nikah ada 3, yaitu:
1.
Adanya 2 calon pengantin yang terbebas dari penghalang-penghalang sahnya nikah,
misalnya: wanita tersebut bukan termasuk orang yang diharamkan untuk dinikahi
(mahram) baik karena senasab, sepersusuan atau karena sedang dalam masa ‘iddah,
atau sebab lain. Juga tidak boleh jika calon mempelai laki-lakinya kafir
sedangkan mempelai wanita seorang muslimah. Dan sebabsebab lain dari
penghalang-penghalang syar’i.
2.
Adanya ijab yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikannya
dengan mengatakan kepada calon mempelai pria: “Saya nikahkan kamu dengan
Fulanah”.
3.
Adanya qobul yaitu lafadz yang diucapkan oleh calon mempelai pria atau orang
yang telah diberi ijin untuk mewakilinya dengan mengucapkan : “Saya terima
nikahnya”.
Syaikhul
islam Ibnu Taymiah dan muridnya, Ibnul Qoyyim, menguatkan pendapat bahwa nikah
itu sah dengan segala lafadz yang menunjukkan arti nikah, tidak terbatas hanya
dengan lafadz Ankahtuka atau Jawwaztuka.
Orang
yang membatasi lafadz nikah dengan Ankahtuka atau Jawwaztuka karena dua lafadz
ini terdapat dalam Al Qur’an. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Maka
tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya),
Kami kawinkan kamu dengan dia” (QS. Al-Ahzab: 37)
Dan
firman-Nya yang lain:
“Dan
janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu” (QS.
An-Nisa’:22)
Akan
tetapi kejadian yang disebutkan dalam ayat tersebut tidak berarti pembatasan
dengan lafadz tersebut (tazwij atau nikah). Wallahu a’lam. Dan akad nikah bagi
orang yang bisu bisa dengan tulisan atau isyarat yang dapat difahami. Apabila
terjadi ijab dan qobul, maka sah-lah akad nikah tersebut walaupun diucapkan
dengan senda gurau tanpa bermaksud menikah (Jika terpenuhi syarat dan tidak ada
penghalang sah-nya akad, pent). Karena Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Ada
3 hal yang apabila dilakukan dengan main-main maka jadinya sungguhan dan jika
dilakukan dengan sungguh-sungguh maka jadinya pun sungguhan. Yaitu: talak,
nikah dan ruju’” (HR. Tirmidzi, no. 1184).
Adapun
syarat-syarat sahnya nikah ada 4, yaitu:
1.
Menyebutkan secara jelas (ta’yin) masing-masing kedua mempelai dan tidak cukup
hanya mengatakan: “Saya nikahkan kamu dengan anak saya” apabila mempunyai lebih
dari satu anak perempuan. Atau dengan mengatakan: “ Saya nikahkan anak
perempuan saya dengan anak lakilaki anda” padahal ada lebih dari satu anak
lakilakinya. Ta’yin bisa dilakukan dengan menunjuk langsung kepada calon
mempelai, atau menyebutkan namanya, atau sifatnya yang dengan sifat itu bisa
dibedakan dengan yang lainnya.
2.
Kerelaan kedua calon mempelai. Maka tidak sah jika salah satu dari keduanya
dipaksa untuk menikah, sebagaimana hadits Abu Hurairah:
“Janda
tidak boleh dinikahkan sehingga dia diminta perintahnya, dan gadis tidak
dinikahkan sehingga diminta ijinnya.” Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah,
bagaimana ijinnya?”. Beliau menjawab: “Bila ia diam”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Kecuali
jika mempelai wanita masih kecil yang belum baligh maka walinya boleh
menikahkan dia tanpa seijinnya.
3.
Yang menikahkan mempelai wanita adalah walinya. Berdasarkan sabda Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak sah pernikahan kecuali
dengan
adanya wali” (HR. Imam yang lima kecuali Nasa’i).
Apabila
seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa wali maka nikahnya tidak sah.
Di antara hikmahnya, karena hal itu merupakan penyebab terjadinya perzinahan
dan wanita biasanya dangkal dalam berfikir untuk memilih sesuatu yang paling
maslahat bagi dirinya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an tentang masalah
pernikahan, ditujukan kepada para wali:
“Dan
kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu” (QS. An-Nuur: 32)
“Maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka” (QS. Al-Baqoroh: 232)
dan
ayat-ayat yang lainnya.
Wali
bagi wanita adalah: bapaknya, kemudian yang diserahi tugas oleh bapaknya,
kemudian ayah dari bapak terus ke atas, kemudian anaknya yang laki-laki
kemudian cucu laki-laki dari anak lakilakinya terus ke bawah, lalu saudara
laki-laki sekandung, kemudian saudara laki-laki sebapak, kemudian keponakan
laki-laki dari saudara laki-laki sekandung kemudian sebapak, lalu pamannya yang
sekandung dengan bapaknya, kemudian pamannya yang sebapak dengan bapaknya,
kemudian anaknya paman, lalu kerabat-kerabat yang dekat keturunan nasabnya
seperti ahli waris, kemudian orang yang memerdekakannya (jika dulu ia seorang
budak, pent), kemudian baru hakim sebagai walinya.
4.
Adanya saksi dalam akad nikah, sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Jabir:
“Tidak
sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil (baik
agamanya, pent).” (HR. Al-Baihaqi dari Imran dan dari Aisyah, shahih, lihat
Shahih Al-Jamius Shaghir oleh Syaikh Al-Albani no. 7557).
Maka
tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil.
Imam
Tirmidzi berkata: “Itulah yang difahami oleh para sahabat Nabi dan para
Tabi’in, dan para ulama setelah mereka. Mereka berkata: “Tidak sah menikah
tanpa ada saksi”. Dan tidak ada perselisihan dalam masalah ini diantara mereka.
Kecuali dari kalangan ahlu ilmi uta’akhirin
(belakangan)”.
Walimatul
‘Urs (Pesta Perkawinan)
Walimah
asalnya berarti sempurnanya sesuatu dan berkumpulnya sesuatu. Dikatakan ﻞﺟﺮﻟﺍ_ ﱂﻭﺃ_ (Awlamar Rajulu) jika terkumpul padanya akhlak dan
kecerdasannya. Kemudian makna ini dipakai untuk penamaan acara makan-makan
dalam resepsi pernikahan disebabkan berkumpulnya mempelai lakilaki dan perempuan
dalam ikatan perkawinan. Dan tidak dinamakan walimah untuk selain resepsi
pernikahan dari segi bahasa dan istilah fuqoha (para ulama). Padahal ada banyak
jenis acara makan-makan yang dibuat dengan sebab-sebab tertentu, tetapi
masing-masing memiliki penamaan tersendiri.
Hukum
walimatul ‘urs adalah sunnah menurut jumhur ulama. Sebagian ulama mewajibkan
walimah karena adanya perintah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam dan
wajibnya memenuhi undangan walimah. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf radiyallahu ‘anhu ketika dia mengkhabarkan bahwa
dia telah menikah
“Adakanlah
walimah walaupun hanya dengan menyembelih seekor kambing” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Disamping
hal itu, walimah yang seperti di atas tidak lepas dari kejelekan dan
kesombongan serta berkumpulnya orang-orang yang biasanya tidak lepas dari
kemungkaran. Terkadang walimah ini dilakukan di hotel-hotel yang menyebabkan
para wanita tidak menghiraukan lagi pakaian yang menutup aurat, hilangnya rasa
malu, bercampurnya wanita dengan laki-laki yang bisa jadi hal ini sebagai
penyebab turunnya azab yang besar dari Allah.
Terkadang
juga diselingi dalam pesta tersebut musik dan nyanyian yang menyenangkan para
seniman, juga fotografer untuk memotret para wanita dan kedua mempelai,
disamping menghabiskan harta yang banyak tanpa faedah bahkan dengan cara yang
rusak dan menyebabkan kerusakan. Maka bertaqwalah kepada Allah wahai
orang-orang yang seperti ini dan takutlah terhadap azab Allah.
Allah
berfirman:
“Dan
berapa banyaknya (penduduk) negeri yang telah Kami binasakan, yang sudah
bersenang-senang dalam kehidupannya” (QS. Al-Qoshosh: 58)
“Makan
dan minumlah, dan janganlah berlebihlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orangorang yang berlebih-lebihan” (Al-A’rof: 31)
“Makan
dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di
muka bumi dengan berbuat kerusakan” (Al-Baqoroh: 60)
Dan
ayat-ayat yang berkaitan dengan ini sangat banyak dan jelas.
Wajib
bagi yang diundang untuk menghadiri walimatul ‘urs apabila terpenuhi
syarat-syarat berikut ini:
1.
Walimah tersebut adalah walimah yang pertamajika walimahnya dilakukan
berulangkali. Dan tidak wajib datang untuk walimah yang selanjutnya,
berdasarkan sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Walimah
pertama adalah hak (sesuai dengan syari’at, pent), walimah kedua adalah baik,
dan walimah yang ketiga adalah riya’ dan sum’ah” (HR. Abu Dawud dan yang
lainnya).
Syaikh
Taqiyuddin berkata: “Diharamkan makan dan menyembelih yang melebihi batas pada
hari berikutnya meskipun sudah menjadi kebiasaan masyarakat atau untuk
membahagiakan keluarganya, dan pelakunya harus diberi hukuman”
2.
Yang mengundang adalah seorang muslim
3.
Yang mengundang bukan termasuk ahli maksiat yang terang-terangan melakukan
kemaksiatannya, yang mereka itu wajib dijauhi.
4.
Undangannya tertuju kepadanya secara khusus, bukan undangan umum.
5.
Tidak ada kemungkaran dalam walimah tersebut seperti adanya khamr (minuman
keras), musik, nyanyian dan biduan, seperti yang banyak terjadi dalam acara
walimah sekarang.
Apabila
terpenuhi syarat-syarat tersebut, maka wajib memenuhi undangan walimah,
sebagaimana sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Sejelek-jelek
makanan adalah hidangan walimah yang orang-orang miskin tidak diundang tetapi
orangorang yang kaya diundang. (Meskipun emikian)
barangsiapa yang tidak memenuhi undangan walimah berarti dia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Muslim).
barangsiapa yang tidak memenuhi undangan walimah berarti dia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Muslim).
Dan
disunnahkan untuk mengumumkan pernikahan dan menampakkannya sebagaimana sabda
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Umumkanlah
acara pernikahan”. Dan dalam riwayat lain: “Tampakkanlah acara pernikahan” (HR.
Ibnu Majah)
Disunnahkan
pula menabuh rebana sebagaimana sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Pembeda
antara nyanyian serta musik yang halal dan yang haram adalah nyanyian dan
rebana dalam acara pernikahan” (HR. Nasa’i, Ahmad dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi
menghasankannya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar