Senin, 19 November 2012

Surat Al Baqarah Ayat 16

Surat Al Baqarah Ayat 16
أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلالَةَ بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ
Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.
(QS.2:16)
أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلالَةَ بِالْهُدَى
Isim Isyarat ulaaika adalah Mubtada’, dan kalimat alladziinasytaro-wudldlolaalata adalah Khobarnya, dimana kata al-ladziina adalah Isim Mausul, dan fi’il Madhi isytarou adalah Silahnya, dan kata adl-dlolaalata adalah Maf’ulnya, dan Jar Majrur bil-huudaa adalah Muta’alliq dengan fi’il Madhi isytarou.
فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ
Kata fa adalah huruf Athaf yang artinya maka, dan kata maa adalah Maa Nafiyah/yang meniadakan, dan kata robihat adalah fi’il Madhi, dimana ta yang bersukun diakhirnya menunjuk kepada makna perempuan, dan Mudhof Mudhof Ilaihi tijaarotuhum adalah Fa’il dari fi’il Madhi robihat.
وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ
Kata huruf Wawu mengathafkan kalimat sesudahnya kepada kalimat sebelumnya yakni kalimat maa robihat tijaaarotuhum, dan kata maa adalah Maa Nafiyah/yang meniadakan, dan fi’il Madhi kaanuu adalah terdiri dari kaana dan Isimnya yang Khobarnya adalah kata muhtadiin

Surat Al Baqarah Ayat 15

Surat Al Baqarah Ayat 15
اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ
Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.(QS.2:15)
اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ
Kata Alloohu adalah Mubtada’, dan fi’il Mudhari yastahzi’u adalah Khobarnya, dan Jar Majrur bihim dalam posisi Nashob menjadi Maf’ul dari fi’il Mudhari yastahzi’u, susunan kalimat yang seperti ini dinamakan Jumlah Ismiyah yakni susunan kalimat yang terdiri dari Mubtada’ dan Khobar.
وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ
Huruf Athaf Wawu mengathafkan kalimat sesudahnya kepada kalimat sebelumnya, dan kata yamuddu adalah fi’il Mudhari yang didalamnya ada Fa’ilnya dan kata hum adalah Maf’ulnya, dan kata fiithughyaanihim adalah Muta’aliq/berhubungan dengan kata yamuddu, dan fi’il Mudhari ya’mahuuna adalah Haal dari Dhomir hum.

Surat Al-Baqarah ayat 14

Surat Al-Baqarah ayat 14
وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ
Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami telah beriman.” Dan bila mereka kembali kepada syaitan-setan mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok”.(QS.2:14)
وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا
Kata Wa adalah Wawu Isti’naf/permulaan, dan kata idzaa adalah Dzorof Zaman/Isim yang menunjuk kepada makna waktu yang akan datang, dan kata laaqu adalah fi’il Madhi, dan dua kata al-ladziina aamanuu itu adalah menjadi Maf’ulnya fi’il Madhi laaqu.
قَالُوا آمَنَّا
Fi’il Madhi Qooluu adalah Jawab Syarat, dimana syaratnya adalah kata idzaa dan kalimat sesudahnya yakni kalimat idzaa laqul-ladziina aamanu, dan kata aamannaa adalah fi’il Madhi yang menjadi Qoul/yang diucapkan oleh fi’il Madhi Qooluu.
وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ
Kata Wa adalah Wawu Athaf dan kata idzaa itu adalah Dzorof Zaman/Isim yang menunjuk kepada makna waktu yang akan datang, dan kata Kholau adalah fi’il Madhi, dan Jar Majrur ilaa syayaathiinihim adalah Muta’alliq/berhubungan dengannya.
قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ
Fi’il Madhi Qoolu adalah Jawab Syarat, dimana syaratnya adalah kata idzaa dan kalimat sesudahnya yakni idzaa kholau ilaa syayaathiinihim, dan kata innaa ma’akum yang terdiri dari Isimnya inna dan Khobarnya itu adalah Maqul Qoul/yang diucapkan oleh fi’il Madhi Qooluu.
إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ
Kata innamaa nahnu mustahzi’uuna adalah masih Maqul Qoul/yang diucapkan oleh Qooluu, dimana kata innamaa itu asalnya adalah inna dan maa dengan arti sesungguhnya kami, dan Dhomir nahnu adalah Mubtada’, dan kata mustahzi’uun adalah Khobarnya.

Surat Al Baqarah Ayat 13

Surat Al Baqarah Ayat 13
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ أَلا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَكِنْ لا يَعْلَمُونَ
Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman”, mereka menjawab: “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?” Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu.(QS.2:13)
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ
Kata Wa adalah Wawu athaf Isti’naf/permulaan, dan kata idzaa adalah Dhorof Zaman/Isim yang menunjuk kepada makna waktu yang akan datang, dan kata Qiila adalah Fi’il Madhi Majhul/pasif, dan Jar Majrur lahum adalah Muta’alliq dengan Fi’il Madhi Qiila.
آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ
Kata aaminuu adalah fi’il Amer, dan kata maa yang dijarkan oleh huruf Jar ka adalah Maa Masdariyah, yang mana dia beserta Fi’il yang ada di sesudahnya pantas diganti dengan Masdar iimaan, dan kata aamanannaasu itu terdiri dari Fi’il Madhi dan Fa’ilnya.
قَالُوا أَنُؤْمِنُ
Fi’il Madhi Qooluu adalah Jawab Syarat, dimana syaratnya adalah kata idzaa dan kalimat sesudahnya, dan alif yang berharokat fathah adalah huruf Istifham, dan kata nu’minu adalah Fi’il Mudhari yang didalamnya ada Dhomir nahnu/kami yang menjadi Fa’ilnya.
كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ
Kata Maa yang dijarkan oleh huruf Jar ka adalah Maa Masdariyah, yang mana dia beserta fi’il yang ada di sesudahnya pantas diganti dengan Masdarnya fi’il yakni iimaan, dan kata aamana adalah fi’il madhi yang belum ada Fa’ilnya, dan kata jamak as-sufahaa’u yang ada di sesudahnya itu adalah Fa’ilnya fi’il Madhi aamana.
أَلا إِنَّهُمْ
Dua kata alaa adalah huruf Istifham, dan kata alaa itu bisa juga menjadi huruf Tanbih/perhatian yang artinya ingatlah, dan kata huruf inna itu mempunyai Isim dan Khobar, yang mana Dhomir hum yang ada di sesudahnya itu menjadi isimnya inna.
هُمُ السُّفَهَاءُ
Dua kata humus-sufahaa’u yang terdiri dari Mubtada’ dan Khobar itu menjadi Khobarnya inna, dan disamping itu Dhomir hum yang menjadi Mubtada’ itu bisa sebagai Dhomir Fashl/pemisah, lantas kata jamak as-sufahaa’u yang kata tunggalnya safiihun itu menjadi Khobarnya inna.
وَلَكِنْ لا يَعْلَمُونَ
Huruf Athaf wawu mengathafkan kalimat sesudahnya kepada kalimat sebelumnya yakni kalimat innahum humussufahaa’u, dan kata laakin adalah huruf Istidrok/susulan, dimana dia asalnya adalah laakinna, dan kata laa adalah Laa Nafiyah, dan kata ya’lamuuna adalah fi’il Mudhari

Surat Al Baqarah Ayat 12

Surat Al Baqarah Ayat 12
أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لا يَشْعُرُونَ
Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar(QS.2:12)
أَلا إِنَّهُمْ
kata ‘alaa adalah huruf istifham, dan dhomir hum menjadi isimnya inna.
هُمُ الْمُفْسِدُونَ
Dua kata humul-mufsiduuna yang terdiri dari Mubtada’ dan Khobar ini menjadi Khobarnya inna, dan disamping itu Dhomir hum yang menjadi Mubtada’ itu bisa sebagai Dhomir pemisah, lantas almufsiduuna menjadi Khobarnya inna.
وَلَكِنْ لا يَشْعُرُونَ
Huruf Athaf Wawu mengathafkan kalimat sesudahnya kepada kalimat sebelumnya, dan kata laakin adalah huruf Istidrok/susulan, dan kata laa adalah Laa Nafiyah, dan kata yasy’uruuna adalah Fi’il Mudhari yang didalamnya ada Dhomir hum yang menjadi Fa’ilnya.

Surat Al Baqarah Ayat 11

Surat Al Baqarah Ayat 11
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ
Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.”(QS.2:11)
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ
Kata huru Wawu adalah Wawu Isti’naf/permulaan, dan kata idzaa itu adalah Dhorof Zaman/Isim yang menunjuk kepada makna waktu yang akan datang, dan kata Qiila adalah Fi’il Madhi Majhul/pasif, dan Dhomir hum di jarkan oleh huruf jar la.
لا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ
Dua kata laa tufsiduu adalah Fi’il Nahi, dan Jar Majrur Fi’il ardli itu muta’alliq/berhubungan dengan Fi’il Nahi tersebut, dan di dalam Fi’il Mudhari tufsiduu yang dijazemkan oleh Laa Nahi itu ada Dhomir antum/kamu yang menjadi Fa’ilnya.
قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ
Fi’il Madhi Qooluu adalah Jawab Syarat, yang syaratnya adalah kata idzaa dan kalimat sesudahnya, dan innamaa nahnu mushlihuuna adalah Maqul Qoul/yang diucapkan oleh Qooluu, dan Dhomir nahnu adalah Mubtada’ dan mushlihuuna adalah Khobarnya

Surat Al Baqarah Ayat 10

Surat Al Baqarah Ayat 10
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.(QS.2:10)
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ
Kata Quluubihim yang terdiri dari mudhof dan Mudhof Ilaih itu dijarkan oleh huruf Jar fii, dia sebagai Khobar Muqoddam/didahulukan, dan kata marodlun menjadi Mubtada’ Muakhkhor/diakhirkan.
فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا
Kata fa adalah huruf Fa’ Athaf yang artinya lalu, dan kata zaada humul-loohu tediri dari fi’il Madhi, Maf’ul Pertamanya, dan Fa’ilnya, dan kata marodlon menjadi Maf’ul keduanya.
وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Kata huruf wawu adalah huruf athaf, dan Jar Majur lahum adalah Khobar Moqoddam, dan kata ‘adzaabun aliimun yang terdiri dari isim yang disifati dan sifatnya itu adalah Mubtada’ Muakhkhor/diakhirkan.
بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
Kata huruf Jar bi dinami Ba’ Sababiyah yang artinya disebabkan, dan Isim Mausul maa dijarkan olehnya, dan kata kaanuu itu adalah kaana dan Isimnya, yang khobarnya adalah fi’il Mudhari yakdzibuun

Surat Al Baqarah Ayat 9

Surat Al Baqarah Ayat 9
يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.(QS.2:9)
يُخَادِعُونَ اللَّهَ
Kata yukhoodi’uuna adalah fi’il Mudhari yang didalamnya ada Dhomir hum/mereka yang menjadi Fa’ilnya, dan kata Allooha adalah Maf’ulnya, dari kata yukhoodi’uuna itu mengikuti wazan/timbangan yufaa’iluuna.
وَالَّذِينَ آمَنُوا
Kata huruf wawu adalah Wawu Athaf, dan kata al-ladziina aamanuu yang terdiri dari Isim Mausul dan Silahnya itu diathafkan oleh Wawu Athaf tersebut kepada kata Allooha yang menjadi Maf’ul.
وَمَا يَخْدَعُونَ
Kata huruf wawu adalah Wawu Haal yang artinya padahal, dan kata maa adalah Maa Nafiyah, dan kata yakhda’uuna adalah fi’il Mudhari yang didalamnya ada dhomir hum yang menjadi Fa’ilnya.
إِلا أَنْفُسَهُمْ
Kata huruf illaa adalah Adatu Hasrin/alat untuk meringkas, dan kata anfusahum yang terdiri dari Mudhof Ilaih itu adalah menjadi Maf’ul dari fi’il Mudhari yakhda’uuna.
وَمَا يَشْعُرُونَ
Kata huruf wawu adalah huruf Athaf, dan kata maa sesudahnya adalah Maa Nafiyah, dan kata yasy’uruun adalah fi’il Mudhari yang di dalamnya ada Dhomir hum yang menjadi Fa’ilnya.

Surat Al Baqarah Ayat 8

Surat Al Baqarah Ayat 8
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ
Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.(QS.2:8)
وَمِنَ النَّاسِ
Kata huruf wawu adalah wawu Isti’naf/permulaan, dan kata an-naasi dijarkan olehnya, yang Jar Majrur ini bisa menjadi Khobar Muqoddam/didahulukan dan bisa menjadi Mubtada’.
مَنْ يَقُولُ
Kata man adalah Isim Mausul, dan kata yaquulu adalah fi’il Mudhari yang menjadi Silahnya man, yang keduanya bisa menjadi Mubtada’ Muakhkhor/diakhirkan dan bisa menjadi Khobar dan Mubtada’.
آمَنَّا بِاللَّهِ
Kata aamannaa adalah fi’il Madhi dan Fa’ilnya, dan kata billah menjadi Maf’ul keduanya. Kaata aamannaa itu Maf’ul pertamanya.
وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ
Kata huruf wawu adalah Wawu Athaf, dan kata bilyaumil-aakhiri diathafkan olehnya kepada kata billah, kata al-yaumil-aakhiri yang dijarkan oleh kata huruf bi itu terdiri dari kata sifat dan yang disifati, sama-sama pakai alif dan lam dan sama baris akhirnya.
وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ
Kata huruf wawu adalah Wawu Haal yang artinya padahal, dan kata maa adalah Maa Nafiyah dan kata hum adalah Isimnya, dan kata bimu’miniin adalah Khobarnya

Surat Al Baqarah Ayat 7

Surat Al Baqarah Ayat 7
خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.(QS.2:7)
خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ
Kata Allooh menjadi Fa’il dari fi’il Madhi Khotama, dan Mudhof Mudhof Ilaih quluubihim dijarkan oleh huruf Jar ‘alaa, yang Jar Majrur tersebut adalah Muta’alliq/berhubungan dengan fi’il khotama.
وَعَلَى سَمْعِهِمْ
Mudhof Mudhof Ilaih sam’ihim yang dijarkan oleh huruf Jar ‘alaa itu diathafkan oleh huruf Athaf wawu kepada quluubihim, yang Jar Majrur tersebut juga Muta’alliq dengan fi’il Khotama.
وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ
Kata ‘alaa abshooriihim yang terdiri dari Jar Majrur itu menjadi Khobar Muqoddam/didahulukan, yang mana kata jamak abshoori itu kata tunggalnya adalah bashorun, dan kata ghisyaawatun adalah Mubtada’ Muakhkhor/diakhirkan.
وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Kata lahum yang terdiri dari Jar Majrur itu menjadi Khobar Muqoddam/didahulukan, dan kata ‘adzaabun ‘adhiimun yang terdiri dari sifat dan yang disifati itu menjadi Mubtada’ Muakhkhor/diakhirkan

Surat Al Baqarah Ayat 6

Surat Al Baqarah Ayat 6
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لا يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman.(QS.2:6)
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا
Kata huruf inna itu mempunyai Isim dan Khobar, dan Isim Mausul al-ladziina dan fi’il madhi kafaruu yang menjadi Silahnya al-ladziina itu adalah menjadi Isimnya inna.
سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ
Kata sawaa’un adalah khobarnya inna dan Jar Majrur ‘alaihim adalah Muta’alliq dengan kata sawaa’un, dhomir him-nya kembali kepada al-ladziina kafaruu.
ءَأَنْذَرْتَهُمْ
Kata huruf a/hamzah berfathah adalah huruf Masdariyah dan Dhomir hum menjadi Maf’ul dari fi’il Madhi andzarta.
أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ
Fi’il Mudhari tundzir dijazemkan oleh huruf Jazel lam, dan Dhomir hum adalah Maf’ulnya, dan tiga kata tersebut diathafkan kepada kalimat sebelumnya oleh huruf Athaf am.
لا يُؤْمِنُونَ
Kata huruf laa adalah huruf Nafiyah yang artinya tidak/tiadalah, dan fi’il Mudhari yu’minuuna dengan kata Laa Nafiyah menjadi Khobar kedua dari kata huruf inna.

Surat Al Baqarah Ayat 5

Surat Al Baqarah Ayat 5
أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.(QS.2:5)
أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ
Isim Isyarat ulaa’ika adalah Mubtada’, dan Jar Majrur ‘alaa hudan adalah Khobar nya ulaa’ika, dan Jar Majrur min robbihim adalah Muta’alliq/berhubungan dengan kata hudan atau bisa juga menjadi sifatnya hudan.
وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Isim Isyarat ulaa’ika sesudah Wawu Athaf itu menjadi Mubtada’, dan Dhomir hum menjadi Dhomir Fasl/pemisah, dan kata al-muflihuuna menjadi Khobarnya ulaa’ika
فِعْل النَّهْي
FI’IL NAHY (Kata Kerja Larangan)
Fi’il Nahy atau “kata kerja larangan” adalah bentuk negatif dari Fi’il Amar. Untuk membentuk Fi’il Nahy, kita tinggal menambahkan harf لاَ (=jangan) dan memasukkan huruf تَ di awal Fi’il Amar. Perhatikan polanya di bawah ini:
Fa’il Fi’il Amar Fi’il Nahy Terjamah
أَنْتَ اِفْعَلْ
لاَ تَفْعَلْ

= jangan (engkau -lk) kerjakan
أَنْتِ اِفْعَلِيْ لاَ تَفْعَلِيْ = jangan (engkau -pr) kerjakan
أَنْتُمَا اِفْعَلاَ لاَ تَفْعَلاَ = jangan (kamu berdua) kerjakan
أَنْتُمْ اِفْعَلُوْا لاَ تَفْعَلُوْا = jangan (kalian -lk) kerjakan
أَنْتُنَّ اِفْعَلْنَ لاَ تَفْعَلْنَ = jangan (kalian -pr) kerjakan
Contoh dalam kalimat:
Dari fi’il خَافَ (= takut) dan fi’il حَزِنَ (= sedih) menjadi Fi’il Nahy:
لاَ تَخَفْ وَلاَ تَحْزَنْ
= jangan (engkau -lk) takut dan jangan sedih
لاَ تَخَافِيْ وَلاَ تَحْزَنِيْ = jangan (engkau -pr) takut dan jangan sedih
لاَ تَخَافَا وَلاَ تَحْزَنَا = jangan (kamu berdua) takut dan jangan sedih
لاَ تَخَافُوْا وَلاَ تَحْزَنُوْا = jangan (kalian -lk) takut dan jangan sedih
لاَ تَخَفْنَ وَلاَ تَحْزَنَّ = jangan (kalian -pr) takut dan jangan sedih

Surat Al Baqarah Ayat 4

Surat Al Baqarah Ayat 4
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.(QS.2:4)
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ
Huruf Athaf wawu mengathafkan kalimat sesudahnya kepada kalimat mimmaa rozaqnaahum yunfiquuna, dan disitu kata al-ladziina disebut Isim Mausul dan fi’il Mudhari yu’minuuna adalah Silahnya al-ladziina, dan di dalam fi’il Mudhari yu’minuuna itu ada Fa’il yakni hum/mereka yang kembali kepada al-ladziina.
بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ
Kata bimaa dan fi’il Madhi Majhul/pasif unzila itu dalam posisi Nasob menjadi Maf’ul kedua dari fi’il Mudhari yu’minuuna, dan Jar Majrur ilaika adalah Muta’aliq dengan fi’il unzila.
وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ
Huruf Athaf Wawu mengathafkan kalimat sesudahnya kepada kalimat maa unzila yang ada disebelumnya, dan kata unzila adalah fi’il Madhi Majhul Pasif, yang mana Jar Majrur min qoblika adalah muta’alliq dengan fi’il unzila.
وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
Huruf Athaf wawu mengathafkan kalimat sesudahnya kepada kalimat al-ladziina yu’minuuna….., dan kata bil-aakhiroti dalam posisi Nasob adalah menjadi Maf’ul kedua yang didahulukan dari fi’il Mudhari yuuqinuuna.
PENJELASAN TAFSIR:
Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.(QS. 2:4)
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
Keempat: Beriman kepada kitab-kitab yang telah diturunkan-Nya, yaitu beriman kepada Alquran dan kepada kitab-kitab yaitu Taurat, Zabur, Injil dan sahifah-sahifah yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Beriman kepada Kitab-kitab dan sahifah-sahifah tersebut berarti beriman pula kepada para rasul yang telah diutus Allah kepada umat-umat yang dahulu dengan tidak membedakan antara seseorang pun dengan yang lain dari rasul-rasul Allah itu.
Beriman kepada Kitab-kitab Allah merupakan salah satu sifat dari orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang beriman, waris-waris para nabi. waris ajaran-ajaran Allah baik orang-orang dahulu, maupun orang-orang sekarang sampai akhir zaman. Sifat ini akan menimbulkan rasa dalam diri seseorang muslim bahwa mereka adalah umat yang satu, agama mereka adalah satu yaitu agama Islam. Tuhan yang mereka sembah ialah Tuhan Yang Maha Esa, Pengasih lagi Penyayang kepada hamba-hamba-Nya. Sifat ini akan menghilangkan dalam diri seseorang muslim, semua sifat menyombongkan diri, rasa golongan, rasa kedaerahan dan perasaan kebangsaan yang berlebih lebihan.

Surat Al Baqarah Ayat 3

Surat Al Baqarah Ayat 3
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka,(QS.2:3)
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ
Empat kata ini menjadi khobar dari Mubtada’ hum yang dibuang dan bisa juga menjadi Bayan/keterangan dari kata al-muttaqiin, dan disitu kata al-ladziina disebut Isim Mausul dan fi’il mudhari yu’minuuna adalah Silahnya al-ladziina, dan Jar Majrur bil ghoibi disitu dalam posisi Nasob adalah menjadi Maf’ul kedua dari fi’il yu’minuuna.
وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ
Kata yuqiimuunash-sholaata diathafkan oleh huruf athaf wawu kepada kata al-ladziina yu’minuuna bil-ghoibi, dan kata yuqiimuuna adalah fi’il Mudhari yang didalamnya ada Fa’ilnya yakni hum/mereka yang kembali kepada Isim Mausul al-ladziina yang ada di sebelumnya, dan kata ash-sholaata menjadi Maf’ul dari fi’il yuqiimuuna.
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Huruf Athaf wawu mengathafkan kalimat sesudahnya kepada kalimat yuqiimuunash-sholata, dan kata huruf min yang ada pada mimmaa adalah min dengan arti sebagian, dan kata rozaqnaa adalah fi’il madhi, dan dhomir hum adalah Maf’ulnya dan kata yunfiquuna adalah fi’il mudhari.
PENJELASAN TAFSIR:
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.(QS. 2:3)
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Pertama : Beriman kepada yang gaib. Termasuk di dalamnya beriman kepada Allah dengan sesungguhnya, menundukkan diri serta menyerahkannya sesuai dengan yang diharuskan oleh iman itu. Tanda keimanan seseorang, ialah melaksanakan semua yang diperintahkan oleh imannya itu.
Yang gaib, ialah sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh pancaindra. Pengetahuan tentang yang gaib itu semata-mata berdasar kepada petunjuk-petunjuk Allah swt. Karena kita telah beriman kepada Allah, maka kita beriman pula kepada firman-firman dan petunjuk-petunjuk-Nya Termasuk yang gaib ialah : Allah, Malaikat, hari kiamat, surga, neraka, mahsyar dan sebagainya.
Pangkal iman kepada yang gaib ialah iman kepada Allah swt. Iman kepada Allah adalah dasar dari pembentukan watak dan sifat-sifat seseorang manusia agar ia menjadi manusia yang sebenarnya, sesuai dengan maksud Allah menciptakan manusia.
Allah swt. berfirman:
صِبْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ
Artinya:
Sibghah Allah. Siapakah yang lebih baik sibgahnya dari Allah ? Kepada-Nyalah kami menyembah. (Q.S Al Baqarah: 138)
Iman membentuk manusia menjadi makhluk individu dan makhluk yang jadi anggota masyarakatnya, suka memberi, menolong, berkorban, berjihad dan sebagainya.
Allah swt. berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang sebenarnya beriman hanyalah orang orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar. (Q.S Al Hujurat: 15)
Dalam mencari arti iman itu hendaklah mempelajari sejarah hidup Nabi Muhammad saw, merenungkan ciptaan Allah, menggunakan akal pikiran dan mempelajari ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Iman dapat bertambah dan dapat pula berkurang. Iman akan rusak bila amal seseorang rusak dan akan bertambah bila nilai dan jumlah amal ditingkatkan
Kedua: Mendirikan salat ialah, mengerjakan dan menunaikan salat dengan menyempurnakan rukun-rukun dan syarat-syaratnya, terus-menerus mengerjakannya sesuai dengan yang diperintahkan Allah, baik lahir maupun batin. Yang dimaksud dengan lahir ialah mengerjakan salat sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan sunah Rasul dan yang dimaksud dengan “batin” ialah mengerjakan salat dengan hati, dengan segala ketundukan dan kepatuhan kepada Allah karena merasakan keagungan dan kekuasaan Allah yang menguasai dan menciptakan seluruh alam ini sebagai yang dikehendaki oleh agama.
Yang dimaksud “Iqamatussalah” ialah mengerjakan salat dengan sempurna; sempurna rukun-rukun, syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang lain yang ditentukan oleh agama.
Arti asal dari perkataan “salat” ialah “doa”, kemudian dipakai sebagai istilah yang berarti “salat” sebagai ibadat yang telah terkenal di dalam agama Islam karena salat itu banyak mengandung doa.
Ketiga: Menafkahkan sebahagian rezeki yang telah dianugerahkan Allah. “Rezeki” ialah segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya. “Menafkahkan sebahagian rezeki” ialah memberikan sebahagian rezeki atau harta yang telah direzekikan Allah kepada orang-orang yang telah ditentukan oleh agama.
Harta yang akan dinafkahkan itu ialah sebahagiannya, tidak seluruh harta. Dalam ayat ini tidak disebutkan berapa banyak yang dimaksud dengan sebahagian itu, apakah seperdua, sepertiga, seperempat dan sebagainya.
Dalam pada itu Allah melarang berlaku kikir dan melarang berlaku boros:
Firman Allah swt:
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
Artinya:
Janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu, sebaliknya janganlah kamu terlalu mengulurkannya, agar kamu tidak menjadi tercela dan menyesal. (Q.S Al Isra’: 29)
Dan Allah menyuruh agar jangan berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta dan jangan pula kikir. Firman-Nya:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
Artinya:
Orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan, tidak (pula) kikir tapi adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian . (Q.S Al Furqan: 67)
Pada firman Allah yang lain dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan sebahagian harta itu ialah:
وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ
Artinya:
….mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, “Yang lebih baik dari keperluan”. (Q.S Al Baqarah: 219)
Allah telah menjelaskan cara-cara membelanjakan harta itu dan cara-cara menggunakannya. Dan dijelaskan lagi oleh hadis-hadis Rasulullah saw:
عن النبى صلى الله عليه وسلم قال: وابدأ بمن تعول، خير الصدقة عن ظهر الغنى
Artinya:
Nabi saw. telah bersabda, “Mulailah dari orang-orang yang dekat denganmu, sedekah yang paling baik ialah sedekah dari orang kaya” (H.R Bukhari dan Muslim)

Surat Al Baqarah Ayat 2

Surat Al Baqarah Ayat 2
ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,(QS.2:2)
ذَلِكَ الْكِتَابُ
Isim Isyarat dzaalika adalah Mubtada’, dan kata al-kitaabu menjadi khobarnya dzaalika, dan Isim Isyarat dzaalika itu untuk menunjuk kepada kata benda yang mudzakar/laki-laki, dan setiap Isim Isyarat pasti kata benda, dan setiap kata yang bisa dimasuki oleh huruf tambahan alif dan laam seperti kata al-kitaabu juga pasti kata benda/isim.
لا رَيْبَ فِيهِ
Kata laa adalah Laa Nafiyah/meniadakan, dan kata laa itu termasuk kata huruf dan dia itu mempunyai Isim dan Khobar, dimana Isimnya adalah kata roiba, dan Khobarnya laa disitu adalah Jar Majrur fiihi yang ada sesudah roiba, dan kata roiba disitu dinasobkan dengan tanda nasob pakai harokat fathah karena laa-nya adalah Laa Linafyiljinsi/laa yang meniadakan sesuatu jenis.
هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Kata hudan menjadi sifat tambahan dari kata al-kitaabu sebelumnya, dan sifat tambahan itu disebut Haal, jadi kata hudan itu menjadi Haal dari kata al-kitaabu, dan Jar Majrur lil-muttaqiina adalah Muta’alliq/berhubungan dengan kata hudan, dan kata al-muttaqiina itu tanda Jar nya pakai huruf ya’ sebelum nun yang berharokat fathah.
PENJELASAN TAFSIR:
Kitab (Al quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,(QS. 2:2)
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Ayat di atas menerangkan bahwa Alquran ini tidak ada keraguan padanya karena ia wahyu Allah swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw Nabi yang terakhir dengan perantaraan Jibril a.s.
Hal ini tegaskan oleh Allah swt. dalam firman-Nya:
الم تَنْزِيلُ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya:
Alif lam mim. Turunnya Alquran yang tidak ada keraguan padanya (adalah) dari Tuhan semesta alam. (Q.S As Sajadah: 1 dan 2)
Yang dimaksud “Al Kitab” di sini ialah Alquran . Disebut “Al Kitab.” sebagai isyarat bahwa Alquran harus ditulis, karena itu Nabi Muhammad saw. memerintahkan para sahabat menulis ayat-ayat Alquran
Alquran ini bimbingan bagi orang-orang bertakwa, sehingga ia berbahagia hidup di dunia dan di akhirat nanti.
Orang-orang yang bertakwa ialah orang-orang yang memelihara dan menjaga dirinya dari azab Allah dengan selalu melaksanakan perintah-perintah Allah swt. dan menghentikan larangan-larangan-Nya.

Surat Al Baqarah Ayat 1

Surat Al Baqarah Ayat 1
الم
Alif Laam Miim. (QS.2:1)
Huruf alif, laam, dan miim dalam posisi Rofa’ menjadi khobar dari Isim Isyarat haadzihii yang dibuang, dan rangkaian huruf alif laam miim itu terdiri dari tiga huruf yang tidak ada barisnya/harokatnya, oleh karena itu dibacanya sesuai dengan tulisan huruf itu yakni alif dibaca alif, laam dibaca laam, dan miim dibaca miim.
PENJELASAN TAFSIR:
Alif laam miim.(QS. 2:1)
Alif, lam, mim, termasuk huruf-huruf abjad yang terletak pada permulaan beberapa surah Alquran. Ada dua hal yang perlu dibicarakan tentang huruf-huruf abjad yang disebutkan pada permulaan beberapa surah dari Alquranul Karim itu, yaitu apa yang dimaksud dengan huruf ini, dan apa hikmahnya menyebutkan huruf-huruf ini?
Tentang soal pertama, maka para mufassir berlainan pendapat, yaitu:
1.Ada yang menyerahkan saja kepada Allah, dengan arti mereka tidak mau menafsirkan huruf-huruf itu. Mereka berkata, “Allah sajalah yang mengetahui maksudnya.” Mereka menggolongkan huruf-huruf itu ke dalam golongan ayat-ayat mutasyabihat.
2.Ada yang menafsirkannya. Mufassirin yang menafsirkannya ini berlain-lain pula pendapat mereka, yaitu:
a.Ada yang berpendapat bahwa huruf-huruf itu adalah isyarat (keringkasan dari kata-kata), umpamanya Alif Lam Mim. Maka “Alif” adalah keringkasan dari “Allah”, “Lam” keringkasan dari “Jibril”, dan “Mim” keringkasan dari Muhammad, yang berarti bahwa Alquran itu datangnya dari Allah, disampaikan oleh Jibril kepada Muhammad. Pada Alif Lam Ra; “Alif” keringkasan dari “Ana”, “Lam” keringkasan dari “Allah” dan “Ra” keringkasan dari “Ar-Rahman”, yang berarti: Saya Allah Yang Maha Pemurah.
b.Ada yang berpendapat bahwa huruf-huruf itu adalah nama dari surah yang dimulai dengan huruf-huruf itu.
c.Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan huruf-huruf abjad ini adalah huruf-huruf abjad itu sendiri. Maka yang dimaksud dengan “Alif” adalah “Alif”, yang dimaksud dengan “Lam” adalah “Lam”, yang dimaksud dengan “Mim” adalah “Mim”, dan begitu seterusnya.
d.Huruf-huruf abjad itu untuk menarik perhatian.
Menurut para mufassir ini, huruf-huruf abjad itu disebut Allah pada permulaan beberapa surah dari Alquranul Karim, hikmahnya adalah untuk “menantang”. Tantangan itu bunyinya kira-kira begini: Alquran itu diturunkan dalam bahasa Arab, yaitu bahasa kamu sendiri, yang tersusun dari huruf-huruf abjad, seperti Alif Lam Mim Ra, Ka Ha Ya Ain Shad, Qaf, Tha Sin dan lain-lainnya. Maka kalau kamu sekalian tidak percaya bahwa Alquran ini datangnya dari Allah dan kamu mendakwakan datangnya dari Muhammad, yakni dibuat oleh Muhammad sendiri, maka cobalah kamu buat ayat-ayat yang seperti ayat Alquran ini. Kalau Muhammad dapat membuatnya tentu kamu juga dapat membuatnya.”
Maka ada “penantang”, yaitu Allah, dan ada “yang ditantang”, yaitu bahasa Arab, dan ada “alat penantang”, yaitu Alquran. Sekalipun mereka adalah orang-orang yang fasih berbahasa Arab, dan mengetahui pula seluk-beluk bahasa Arab itu menurut naluri mereka, karena di antara mereka itu adalah pujangga-pujangga, penyair-penyair dan ahli-ahli pidato, namun demikian mereka tidak bisa menjawab tantangan Alquran itu dengan membuat ayat-ayat seperti Alquran. Ada juga di antara mereka yang memberanikan diri untuk menjawab tantangan Alquran itu, dengan mencoba membuat kalimat-kalimat seperti ayat-ayat Alquran itu, tetapi sebelum mereka ditertawakan oleh orang-orang Arab itu, lebih dahulu mereka telah ditertawakan oleh diri mereka sendiri.
Para mufassir dari golongan ini, yakni yang berpendapat bahwa huruf-huruf abjad itu disebut oleh Allah pada permulaan beberapa surah dari Alquran untuk menantang bangsa Arab itu, mereka sampai kepada pendapat itu adalah dengan “istiqra” artinya menyelidiki masing-masing surah yang dimulai dengan huruf-huruf abjad itu. Dengan penyelidikan itu mereka mendapat fakta-fakta sebagai berikut:
1.Surah-surah yang dimulai dengan huruf-huruf abjad ini adalah surah-surah Makiyah (diturunkan di Mekah), selain dari dua buah surah saja yang Madaniyah (diturunkan di Madinah), yaitu surah Al-Baqarah yang dimulai dengan Alif Lam Mim dan surah Ali Imran yang dimulai dengan Alif Lam Mim juga. Sedang penduduk Mekah itulah yang tidak percaya bahwa Alquran itu adalah dari Tuhan, dan mereka mendakwakan bahwa Alquran itu buatan Muhammad semata-mata.
2.Sesudah menyebutkan huruf-huruf abjad itu ditegaskan bahwa Alquran itu diturunkan dari Allah, atau diwahyukan oleh-Nya. Penegasan itu disebutkan oleh Allah secara langsung atau tidak langsung. Hanya ada 9 surah yang dimulai dengan huruf-huruf abjad itu yang tidak disebutkan sesudahnya penegasan bahwa Alquran itu diturunkan dari Allah.
3.Huruf-huruf abjad yang disebutkan itu adalah huruf-huruf abjad yang banyak terpakai dalam bahasa Arab.
Dari ketiga fakta yang didapat dari penyelidikan itu, mereka menyimpulkan bahwa huruf-huruf abjad itu didatangkan oleh Allah pada permulaan beberapa surah dari Alquranul Karim itu adalah untuk “menantang” bangsa Arab agar membuat ayat-ayat seperti ayat-ayat Alquran itu, bila mereka tidak percaya bahwa Alquran itu, datangnya dari Allah dan mendakwakan bahwa Alquran itu buatan Muhammad semata-mata sebagai yang disebutkan di atas. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa para mufassir yang mengatakan bahwa huruf-huruf abjad ini didatangkan Allah untuk “tahaddi” (menantang) adalah memakai tariqah (metode) ilmiah, yaitu “menyelidiki dari contoh-contoh, lalu menyimpulkan daripadanya yang umum”. Tariqah ini disebut “Ath-Thariqat Al-Istiqra’iyah” (metode induksi).
Ada mufassir yang berpendapat bahwa huruf-huruf abjad ini didatangkan oleh Allah pada permulaan beberapa surah-surah Alquranul Karim untuk menarik perhatian. Memulai pembicaraan dengan huruf-huruf abjad adalah suatu cara yang belum dikenal oleh bangsa Arab di waktu itu, karena itu maka hal ini menarik perhatian mereka.
Tinjauan terhadap pendapat-pendapat ini:
1.Pendapat yang pertama yaitu menyerahkan saja kepada Allah karena Allah sajalah yang mengetahui, tidak diterima oleh kebanyakan mufassirin ahli-ahli tahqiq (yang menyelidiki secara mendalam). (Lihat Tafsir Al-Qasimi j.2, hal. 32)
Alasan-alasan mereka ialah:
a.Allah sendiri telah berfirman dalam Alquran:
بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ
Artinya:
Dengan bahasa Arab yang jelas.
(Q.S. Asy Syu’ara’: 195)
Maksudnya Alquran itu dibawa oleh Jibril kepada Muhammad dalam bahasa Arab yang jelas. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa ayat-ayat dalam Alquran itu adalah “jelas”, tak ada yang tidak jelas, yang tak dapat dipahami atau dipikirkan, yang hanya Allah saja yang mengetahuinya.
b.Di dalam Alquran ada ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Alquran itu menjadi petunjuk bagi manusia. Di antaranya firman Allah:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Artinya:
Kitab Alquran ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa.
(Q.S. Al-Baqarah: 2)
Firman-Nya lagi:
وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ
Artinya:
….dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.
(Q.S. Al-Baqarah: 97)
Firman-Nya lagi:
هَذَا بَيَانٌ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ لِلْمُتَّقِينَ
Artinya:
(Alquran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.
(Q.S. Ali Imran: 138)
Dan banyak lagi ayat-ayat yang menerangkan bahwa Alquran itu adalah petunjuk bagi manusia. Sesuatu yang fungsinya menjadi “petunjuk” tentu harus jelas dan dapat dipahami. Hal-hal yang tidak jelas tentu tidak dijadikan petunjuk.
c. Dalam ayat yang lain Allah berfirman pula:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
Artinya:
Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Alquran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?
(Q.S. Al-Qamar: 17, 22, 32, dan 40)
2.
a.Pendapat yang menafsirkan bahwa huruf-huruf abjad itu adalah keringkasan dari suatu kalimat. Pendapat ini juga banyak para mufassir yang tidak dapat menerimanya.
Keberatan mereka ialah: tidak ada kaidah-kaidah atau patokan-patokan yang tertentu untuk ini, sebab itu para mufassir yang berpendapat demikian berlain-lainan pendapatnya dalam menentukan kalimat-kalimat itu. Maka di samping pendapat mereka bahwa Alif Lam Mim artinya ialah: Allah, Jibril, Muhammad, ada pula yang mengartikan “Allah, Latifun, Maujud” (Allah Maha Halus lagi Ada). (Dr. Mahmud Syaltut, Tafsir al Qur’anul Karim, hal. 73)
b.Pendapat yang menafsirkan bahwa huruf-huruf abjad yang terdapat pada permulaan beberapa surah ini adalah nama surah, juga banyak pula para mufassir yang tidak dapat menerimanya. Alasan mereka ialah: bahwa surah-surah yang dimulai dengan huruf-huruf itu kebanyakannya adalah mempunyai nama yang lain, dan nama yang lain itulah yang terpakai. Umpamanya surah Al-Baqarah, Ali Imran, Maryam dan lain-lain. Maka kalau betul huruf-huruf itu adalah nama surah, tentu nama-nama itulah yang akan dipakai oleh para sahabat Rasulullah dan kaum muslimin sejak dari dahulu sampai sekarang.
Hanya ada empat buah surah yang sampai sekarang tetap dinamai dengan huruf-huruf abjad yang terdapat pada permulaan surah-surah itu, yaitu: Surah Thaha, surah Yasin, surah Shad dan surah Qaf. (Dr. Mahmud Syaltut, Tafsir al Qur’anul Karim, hal. 73)
c.Pendapat yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan huruf-huruf abjad itu sendiri, dan abjad-abjad ini didatangkan oleh Allah ialah untuk “menantang” (tahaddi). Inilah yang dipegang oleh sebahagian mufassirin ahli tahqiq. (Di antaranya: Az Zamakhsyari, Al Baidawi, Ibnu Taimiah, dan Hafizh Al Mizzi, lihat Rasyid Rida, Tafsir Al Manar jilid 8, hal. 303 dan Dr Shubhi As Salih, Mabahis Ulumi Qur’an, hal 235. Menurut An Nasafi: pendapat bahwa huruf abjad ini adalah untuk menantang patut diterima. Lihat Tafsir An Nasafi, hal. 9)
d.Pendapat yang menafsirkan bahwa huruf-huruf abjad ini adalah untuk “menarik perhatian” (tanbih) pendapat ini juga diterima oleh ahli tahqiq. (Tafsir Al Manar jilid 8 hal. 209-303)
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa “yang dimaksud dengan huruf-huruf abjad yang disebutkan oleh Allah pada permulaan beberapa surat dari Alquran hikmahnya adalah untuk “menantang” bangsa Arab serta menghadapkan perhatian manusia kepada ayat-ayat yang akan dibacakan oleh Nabi Muhammad saw.”

فِعْل مَعْلُوْم – فِعْل مَجْهُوْل FI’IL MA’LUM (Kata Kerja Aktif) – FI’IL MAJHUL (Kata Kerja Pasif)


فِعْل مَعْلُوْم – فِعْل مَجْهُوْل
FI’IL MA’LUM (Kata Kerja Aktif) – FI’IL MAJHUL (Kata Kerja Pasif)
Dalam tata bahasa Indonesia, dikenal istilah Kata Kerja Aktif dan Kata Kerja Pasif. Perhatikan contoh berikut ini:
Abubakar membuka pintu. –> kata “membuka” disebut Kata Kerja Aktif.
Pintu dibuka oleh Abubakar. –> kata “dibuka” disebut Kata Kerja Pasif.
Dalam tata bahasa Arab, dikenal pula istilah Fi’il Ma’lum dan Fi’il Majhul yang fungsinya mirip dengan Kata Kerja Aktif dan Kata Kerja Pasif.
Perhatikan contoh kalimat di bawah ini:
ضَرَبَ عُمَرُ ضُرِبَ عُمَرُ
(= Umar memukul) (= Umar dipukul)
Fi’il ضَرَبَ (=memukul) adalah Fi’il Ma’lum (Kata Kerja Aktif). Fa’il atau Pelakunya adalah Umar bersifat aktif (melakukan pekerjaan yakni memukul).
Fi’il ضُرِبَ (=dipukul) adalah Fi’il Majhul (Kata Kerja Pasif). Fa’il atau Pelakunya tidak diketahui (tidak disebutkan). Untuk itu, dalam Fi’il Majhul, dikenal istilah Naib al-Fa’il ( نَائِبُ الْفَاعِل ) atau Pengganti Fa’il (Pelaku). Dalam contoh di atas, Umar adalah Naib al-Fa’il (pengganti Pelaku).
Fi’il Majhul dibentuk dari Fi’il Ma’lum dengan perubahan sebagai berikut:
a) Huruf pertamanya menjadi berbaris Dhammah
b) Huruf sebelum huruf terakhirnya menjadi berbaris Kasrah untuk Fi’il Madhy dan menjadi berbaris Fathah untuk Fi’il Mudhari’.
Fi’il Madhy Fi’il Mudhari’
Fi’il Ma’lum Fi’il Majhul Fi’il Ma’lum Fi’il Majhul
فَعَلَ فُعِلَ يَفْعَلُ يُفْعَلُ
Contoh-contoh dalam kalimat:
Fi’il Madhy أَمَرَ (=memerintah) menjadi Fi’il Majhul أُمِرَ (=diperintah):
أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللهَ

= aku diperintah agar menyembah Allah
أُمِرْنَا أَنْ نَعْبُدَ اللهَ = kami diperintah agar menyembah Allah
أُمِرْتَ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ = engkau (lk) diperintah agar menyembah Allah
أُمِرْتِ أَنْ تَعْبُدِي اللهَ
= engkau (pr) diperintah agar menyembah Allah
أُمِرْتُمَا أَنْ تَعْبُدَا اللهَ

= kamu berdua diperintah agar menyembah Allah
أُمِرْتُمْ أَنْ تَعْبُدُوا اللهَ

= kalian (lk) diperintah agar menyembah Allah
أُمِرْتُنَّ أَنْ تَعْبُدْنَ اللهَ = kalian (pr) diperintah agar menyembah Allah
أُمِرَ أَنْ يَعْبُدَ اللهَ = dia (lk) diperintah agar menyembah Allah
أُمِرَتْ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ = dia (pr) diperintah agar menyembah Allah
أُمِرَا أَنْ يَعْبُدَا اللهَ = mereka (2 lk) diperintah agar menyembah Allah
أُمِرَتَا أَنْ تَعْبُدَا اللهَ = mereka (2 pr) diperintah agar menyembah Allah
أُمِرُوْا أَنْ يَعْبُدُوا اللهَ = mereka (lk) diperintah agar menyembah Allah
أُمِرْنَ أَنْ يَعْبُدْنَ اللهَ = mereka (pr) diperintah agar menyembah Allah
Fi’il Mudhari’ يَعْرِفُ (=mengenal) menjadi Fi’il Majhul يُعْرَفُ (=dikenal):
أُعْرَفُ بِكَلاَمِيْ

= aku dikenal dari bicaraku
نُعْرَفُ بِكَلاَمِنَا = kami dikenal dari bicara kami
تُعْرَفُ بِكَلاَمِكَ = engkau (lk) dikenal dari bicaramu
تُعْرَفِيْنَ بِكَلاَمِكِ
= engkau (pr) dikenal dari bicaramu
تُعْرَفَانِ بِكَلاَمِكُمَا

= kamu berdua dikenal dari bicara kamu berdua
تُعْرَفُوْنَ بِكَلاَمِكُمْ

= kalian (lk) dikenal dari bicara kalian
تُعْرَفْنَ بِكَلاَمِكُنَّ
= kalian (pr) dikenal dari bicara kalian
يُعْرَفُ بِكَلاَمِهِ = dia (lk) dikenal dari bicaranya
تُعْرَفُ بِكَلاَمِهَا = dia (pr) dikenal dari bicaranya
يُعْرَفَانِ بِكَلاَمِهِمَا = mereka (2 lk) dikenal dari bicara mereka
يُعْرَفُوْنَ بِكَلاَمِهِمْ = mereka (lk) dikenal dari bicara mereka
يُعْرَفْنَ بِكَلاَمِهِنَّ = mereka (pr) dikenal dari bicara mereka

فِعْل النَّهْي FI’IL NAHY (Kata Kerja Larangan)

فِعْل النَّهْي
FI’IL NAHY (Kata Kerja Larangan)
Fi’il Nahy atau “kata kerja larangan” adalah bentuk negatif dari Fi’il Amar. Untuk membentuk Fi’il Nahy, kita tinggal menambahkan harf لاَ (=jangan) dan memasukkan huruf تَ di awal Fi’il Amar. Perhatikan polanya di bawah ini:
Fa’il Fi’il Amar Fi’il Nahy Terjamah
أَنْتَ اِفْعَلْ
لاَ تَفْعَلْ

= jangan (engkau -lk) kerjakan
أَنْتِ اِفْعَلِيْ لاَ تَفْعَلِيْ = jangan (engkau -pr) kerjakan
أَنْتُمَا اِفْعَلاَ لاَ تَفْعَلاَ = jangan (kamu berdua) kerjakan
أَنْتُمْ اِفْعَلُوْا لاَ تَفْعَلُوْا = jangan (kalian -lk) kerjakan
أَنْتُنَّ اِفْعَلْنَ لاَ تَفْعَلْنَ = jangan (kalian -pr) kerjakan
Contoh dalam kalimat:
Dari fi’il خَافَ (= takut) dan fi’il حَزِنَ (= sedih) menjadi Fi’il Nahy:
لاَ تَخَفْ وَلاَ تَحْزَنْ
= jangan (engkau -lk) takut dan jangan sedih
لاَ تَخَافِيْ وَلاَ تَحْزَنِيْ = jangan (engkau -pr) takut dan jangan sedih
لاَ تَخَافَا وَلاَ تَحْزَنَا = jangan (kamu berdua) takut dan jangan sedih
لاَ تَخَافُوْا وَلاَ تَحْزَنُوْا = jangan (kalian -lk) takut dan jangan sedih
لاَ تَخَفْنَ وَلاَ تَحْزَنَّ = jangan (kalian -pr) takut dan jangan sedih

فِعْل اْلأمْر FI’IL AMAR (Kata Kerja Perintah)

فِعْل اْلأمْر
FI’IL AMAR (Kata Kerja Perintah)
Fi’il Amar atau Kata Kerja Perintah adalah fi’il yang berisi pekerjaan yang dikehendaki oleh Mutakallim (pembicara) sebagai orang yang memerintah agar dilakukan oleh Mukhathab (lawan bicara) sebagai orang yang diperintah.
Perlu diingat bahwa yang menjadi Fa’il (Pelaku) dari Fi’il Amar (Kata Kerja Perintah) adalah Dhamir Mukhathab (lawan bicara) atau “orang kedua” sebagai orang yang diperintah untuk melakukan pekerjaan tersebut. Dhamir Mukhathab terdiri dari: أَنْتُنَّ – أَنْتُمْ – أَنْتُمَا – أَنْتِ – أَنْتَ .
Fa’il
Fi’il Amar Tarjamah
أَنْتَ اِفْعَلْ
= (engkau -lk) kerjakanlah!
أَنْتِ اِفْعَلِيْ = (engkau -pr) kerjakanlah!
أَنْتُمَا اِفْعَلاَ = (kamu berdua) kerjakanlah!
أَنْتُمْ اِفْعَلُوْا = (kalian -lk) kerjakanlah!
أَنْتُنَّ اِفْعَلْنَ = (kalian -pr) kerjakanlah!
Contoh dalam kalimat: dari fi’il عَمِلَ (= beramal, bekerja) menjadi Fi’il Amar:
اِعْمَلْ لآِخِرَتِكَ = bekerjalah untuk akhiratmu (lk)
اِعْمَلِيْ لآِخِرَتِكِ
= bekerjalah untuk akhiratmu (pr)
اِعْمَلاَ لآِخِرَتِكُمَا
= bekerjalah untuk akhirat kamu berdua
اِعْمَلُوْا لآِخِرَتِكُمْ
= bekerjalah untuk akhirat kalian (lk)
اِعْمَلْنَ لآِخِرَتِكُنَّ
= bekerjalah untuk akhirat kalian (pr)
Dari fi’il أَقَامَ (=mendirikan) menjadi Fi’il Amar:
أَقِمْ صَلاَتَكَ
= dirikanlah shalatmu (lk)
أَقِمِيْ صَلاَتَكِ = dirikanlah shalatmu (pr)
أَقِمَا صَلاَتَكُمَا = dirikanlah shalat kamu berdua
أَقِيْمُوْا صَلاَتَكُمْ = dirikanlah shalat kalian (lk)
أَقِمْنَ صَلاَتَكُنَّ = dirikanlah shalat kalian (pr)
Dari fi’il كَبَّرَ (=membesarkan) menjadi Fi’il Amar:
كَبِّرْ رَبَّكَ
= besarkanlah (agungkanlah) Tuhan kamu (lk)
كَبِّرِيْ رَبَّكِ = besarkanlah (agungkanlah) Tuhan kamu (pr)
كَبِّرَا رَبَّكُمَا = besarkanlah (agungkanlah) Tuhan kamu berdua
كَبِّرُوْا رَبَّكُمْ = besarkanlah (agungkanlah) Tuhan kalian (lk)
كَبِّرْنَ رَبَّكُنَّ = besarkanlah (agungkanlah) Tuhan kalian (pr)
Sebagai catatan, bila huruf akhir yang sukun dari sebuah Fi’il bertemu dengan awalan Alif-Lam dari sebuah Isim Ma’rifah, maka baris sukun dari huruf akhir fi’il tersebut berubah menjadi baris kasrah. Contoh:
الصَّلاَةَ + أَقِمْ = أَقِمِ الصَّلاَةَ
(=shalat) (=dirikanlah) (=dirikanlah shalat)

Fa'il

Definisi Fa'il
Fa'il (subjek) adalah isim marfu' yang terletak setelah fi'il ma'lum (kata kerja aktif) dan merupakan pelaku dari suatu pekerjaan.

Penerangan
Fai'l itu hampir sama dengan subjek (di dalam bahasa Indonesia), hanya saja fa'il harus terletak setelah fi'il (kata kerja). Jadi kalau kita mau buat kalimat "Ahmad duduk", dalam bahasa arab kata kerjanya diawal sebelum fa'il (subjek), ُجلسَ أحمد (jalasa Ahmadu). Fa'il terdapat pada jumlah fi'liyyah (kalimat yang diawali dengan fi'il), sementara pada jumlah ismiyyah (kalimat yang diawali dengan isim), seperti أحمدُ جلس (Ahmadu jalasa), maka kata أحمدُ bukan dikatakan fa'il, tapi mubtada', karena kata أحمدُ merupakan isim yang terletak di depan kalimat, sementara fa'il harus terletak setelah fi'il.

Contoh-contoh Fa'il di dalam Al Qur'an
إذ قال يوسف (idz qoola yuusufu) = "ketika Yusuf berkata .. " (QS Yusuf 2)
إذ جاءك المنافقون (idz jaa-akal munaafiquun) = "Ketika Orang-orang munafik itu datang kepadamu" (QS Al Munafiquun : 1)
و قضي ربك ألا تعبدوا إلا إياه (wa qodoo robbuka alla ta'buduu illa iyyahu) = "Dan robbmu menetapkan bahwa janganlah kalian menyembah selain Dia" (QS Al Isro' : 23)
Dan sangat banyak sekali contoh-contohnya.

Kaedah-kaedah Fa'il

Jika fa'ilnya muannats, maka fi'ilnya ditambah ta' ta'nits (kadang hukumnya wajib, kadang boleh-boleh saja)

Misal: حضرت المدرسة (hadorot al-mudarrisatu) = pengajar wanita itu telah hadir


Jika fa'ilnya mufrod, atau mustanna, atau jama', maka fi'il selalu dalam keadaan mufrod

Misal :

حضر المدرس (hadhoro al-mudarrisu) = Pengajar (lk2) itu telah hadir


حضر المدرسان ( hadhoro al-mudarrisaani) = Dua orang pengajar (lk2) itu telah hadir


حضر المدرسون ( hadhoro al-mudarrisuuna) = Pengajar-pengajar (lk2) itu telah hadir


حضرت المدرسة ( hadhorot al-mudarrisatu) = Pengajar (pr) itu telah hadir


حضرت المدرستان ( hadhorot al-mudarrisataani) = Dua orang pengajar (pr) itu telah hadir


حضرت المدرسات ( hadhorot al-mudarrisaatu) = Pengajar-pengajar (pr) itu telah hadir


Perhatikan, walaupun isimnya (fa'ilnya) berbentuk mutsanna atau jama' sekalipun tapi fi'il tetap dalam keadaan mufrod.

فِعْل FI’IL (Kata Kerja)

فِعْل
FI’IL (Kata Kerja)
Fi’il atau Kata Kerja dibagi atas dua golongan besar menurut waktu terjadinya:
1. FI’IL MADHY ( فِعْل مَاضِي ) atau Kata Kerja Lampau.
2. FI’IL MUDHARI’ ( فِعْل مُضَارِع ) atau Kata Kerja Kini/Nanti.
Baik Fi’il Madhy maupun Fi’il Mudhari’, senantiasa mengalami perubahan bentuk sesuai dengan jenis Dhamir dari Fa’il ( فَاعِل ) atau Pelaku pekerjaan itu.
Untuk Fi’il Madhy, perubahan bentuk tersebut terjadi di akhir kata, sedangkan untuk Fi’il Mudhari’, perubahan bentuknya terjadi di awal kata dan di akhir kata.
Dhamir Fi’il Madhy Fi’il Mudhari’ Tarjamah
أَنَا
فَعَلْتُ
أَفْعَلُ = saya mengerjakan
نَحْنُ فَعَلْنَا نَفْعَلُ = kami mengerjakan
أَنْتَ فَعَلْتَ تَفْعَلُ = engkau (lk) mengerjakan
أَنْتِ فَعَلْتِ تَفْعَلِيْنَ = engkau (pr) mengerjakan
أَنْتُمَا فَعَلْتُمَا تَفْعَلاَنِ = kamu berdua mengerjakan
أَنْتُمْ فَعَلْتُمْ تَفْعَلُوْنَ = kalian (lk) mengerjakan
أَنْتُنَّ فَعَلْتُنَّ تَفْعَلْنَ = kalian (pr) mengerjakan
هُوَ فَعَلَ يَفْعَلُ = dia (lk) mengerjakan
هِيَ فَعَلَتْ تَفْعَلُ = dia (pr) mengerjakan
هُمَا فَعَلاَ يَفْعَلاَنِ = mereka berdua (lk) mengerjakan
هُمَا فَعَلَتَا تَفْعَلاَنِ = mereka berdua (pr) mengerjakan
هُمْ
فَعَلُوْا
يَفْعَلُوْنَ = mereka (lk) mengerjakan
هُنَّ فَعَلْنَ يَفْعَلْنَ = mereka (pr) mengerjakan
Perlu diketahui, bahwa dalam sebuah JUMLAH FI’LIYYAH ( جُمْلَة فِعْلِيَّة ) atau Kalimat Verbal (kalimat sempurna yang mengandung Kata Kerja), letak Fa’il (Pelaku) bisa di depan dan bisa pula di belakang Fi’il (Kata Kerja).
1) Untuk Dhamir Ghaib atau “orang ketiga” ( هُنَّ-هُمْ-هُمَا-هِيَ- هُوَ ).
a. Bila Fa’il mendahului Fi’il maka perubahan bentuk dari Fi’il tersebut harus mengikuti ketentuan Mudzakkar/Muannats dan Mufrad/Mutsanna/Jamak.
Contoh Jumlah Fi’liyyah dengan Fi’il Madhy yang terletak setelah Fa’il:
اَلْمُسْلِمُ دَخَلَ الْمَسْجِدَ
= muslim itu memasuki masjid
اَلْمُسْلِمَةُ دَخَلَتِ الْمَسْجِدَ
= muslimah itu memasuki masjid
اَلْمُسْلِمَانِ دَخَلاَ الْمَسْجِدَ
= dua muslim itu memasuki masjid
اَلْمُسْلِمَتَانِ دَخَلَتَا الْمَسْجِدَ
= dua muslimah itu memasuki masjid
اَلْمُسْلِمُوْنَ دَخَلُوا الْمَسْجِدَ
= kaum muslimin memasuki masjid
اَلْمُسْلِمَاتُ دَخَلْنَ الْمَسْجِدَ
= kaum muslimat memasuki masjid
Contoh Jumlah Fi’liyyah dengan Fi’il Mudhari’ yang terletak setelah Fa’il:
اَلْمُسْلِمُ يَدْخُلُ الْمَسْجِدَ
= muslim itu memasuki masjid
اَلْمُسْلِمَةُ تَدْخُلُ الْمَسْجِدَ
= muslimah itu memasuki masjid
اَلْمُسْلِمَانِ يَدْخُلاَنِ الْمَسْجِدَ
= dua muslim itu memasuki masjid
اَلْمُسْلِمَتَانِ تَدْخُلاَنِ الْمَسْجِدَ
= dua muslimah itu memasuki masjid
اَلْمُسْلِمُوْنَ يَدْخُلُوْنَ الْمَسْجِدَ
= kaum muslimin memasuki masjid
اَلْمُسْلِمَاتُ يَدْخُلْنَ الْمَسْجِدَ
= kaum muslimat memasuki masjid
b. Sedangkan bila Fi’il mendahului Fa’il, maka bentuk Fi’il tersebut selalu Mufrad, (meskipun Fa’il-nya Mutsanna atau Jamak). Tetapi untuk bentuk Mudzakkar dan Muannats tetap dibedakan dengan adanya huruf Ta Ta’nits ( ت تَأْنِيْث ) atau “Ta Penanda Muannats” pada Fi’il yang Fa’il-nya adalah Muannats.
Contoh Jumlah Fi’liyyah dengan Fi’il Madhy yang terletak sebelum Fa’il:
دَخَلَ اَلْمُسْلِمُ الْمَسْجِدَ
= muslim itu memasuki masjid
دَخَلَتِ الْمُسْلِمَةُ الْمَسْجِدَ
= muslimah itu memasuki masjid
دَخَلَ الْمُسْلِمَانِ الْمَسْجِدَ
= dua muslim itu memasuki masjid
دَخَلَتِ الْمُسْلِمَتَانِ الْمَسْجِدَ
= dua muslimah itu memasuki masjid
دَخَلَ الْمُسْلِمُوْنَ الْمَسْجِدَ
= kaum muslimin memasuki masjid
دَخَلَتِ الْمُسْلِمَاتُ الْمَسْجِدَ
= kaum muslimat memasuki masjid
Contoh Jumlah Fi’liyyah dengan Fi’il Mudhari’ yang terletak sebelum Fa’il:
يَدْخُلُ اَلْمُسْلِمُ الْمَسْجِدَ
= muslim itu memasuki masjid
تَدْخُلُ الْمُسْلِمَةُ الْمَسْجِدَ
= muslimah itu memasuki masjid
يَدْخُلُ الْمُسْلِمَانِ الْمَسْجِدَ
= dua muslim itu memasuki masjid
تَدْخُلُ الْمُسْلِمَتَانِ الْمَسْجِدَ
= dua muslimah itu memasuki masjid
يَدْخُلُ الْمُسْلِمُوْنَ الْمَسْجِدَ
= kaum muslimin memasuki masjid
تَدْخُلُ الْمُسْلِمَاتُ الْمَسْجِدَ
= kaum muslimat memasuki masjid
2) Untuk Fa’il lainnya ( أَنْتُنَّ – أَنْتُمْ – أَنْتُمَا – أَنْتَ – أَنْتِ – نَحْنُ – أَنَا )
tetap mengikuti pola perubahan bentuk Fi’il sebagaimana mestinya.
Fi’il Madhy
Fi’il Mudhari’
دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ (أَنَا) أَدْخُلُ الْمَسْجِدَ
saya telah memasuki masjid saya memasuki masjid
دَخَلْنَا الْمَسْجِدَ (نَحْنُ) نَدْخُلُ الْمَسْجِدَ
kami telah memasuki masjid kami memasuki masjid
دَخَلْتَ الْمَسْجِدَ (أَنْتَ) تَدْخُلُ الْمَسْجِدَ
engkau telah memasuki masjid
engkau memasuki masjid
دَخَلْتِ الْمَسْجِدَ (أَنْتِ) تَدْخُلِيْنَ الْمَسْجِدَ
engkau (pr) telah memasuki masjid engkau (pr) memasuki masjid
دَخَلْتُمَا الْمَسْجِدَ (أَنْتُمَا) تَدْخُلاَنِ الْمَسْجِدَ
kamu berdua telah memasuki masjid kamu berdua memasuki masjid
دَخَلْتُمُ الْمَسْجِدَ (أَنْتُمْ) تَدْخُلُوْنَ الْمَسْجِدَ
kalian (lk) telah memasuki masjid kalian (lk) memasuki masjid
دَخَلْتُنَّ الْمَسْجِدَ (أَنْتُنَّ) تَدْخُلْنَ الْمَسْجِدَ
kalian (pr) telah memasuki masjid kalian (pr) memasuki masjid

Senin, 12 November 2012

Makalah wahdat Al-Wujud Ibn Arabi



A.    Pengertian dan tujuan wahdat al-wujud
      Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan sedang al-wujud artinya ada.[1] Dengan demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud.
      Harun nasution lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan bahwa paham wahdat al-wujud nasut yang sudah ada dalam hulul diubah maejadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haqq (tuhan).Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang di sebelah dalam disebut haqq.[2]
      Paham ini selanjutnya membawa keoada timbulnya paham bahwa diantara makhluk dan tuhan sebenarnya satu kesatuan dari wujud tuhan dan yang sebenarnya ada adalah wujud tuhan itu, sedangkan wujud makhluk hanya bayang atau fotocopy dari wujud tuhan. Dengan demikian alam ini  merupakan cermin dari Allah. Pada saat Dia ingin melihat diri-Nya, Ia cukup melihat alam ini.
      Dalam fushush al-hikam sebagai dijelaskan oleh Al-Qashini dan di kutip Harun Nasution, fana wahdul wujud ini antara lain terlihat dalam ungkapan.
Wajah sebenarnya satu tetapi jika engkau perbanyak cermin ia menjadi banyak.[3].
Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki atau wajibul wujud. Sementara itu makhluk sebagai yang di ciptakan-Nya hanya mempunyai wujud yang bergantung kepada wujud yang berada dirinya yaitu Tuhan.
Yang mempunyai wujud sesungguhnya hanyalah Allah. Dengan demikian yang sebenarnya hanya satu wujud yaitu wujud Tuhan.
Hal yang demikian itu lebih lanjut dikatakan Ibn Arabi sebagai berikut.
“sudah menjadi kenyataan bahwa makhluk adalah dijadikan dan bahwa ia berharap kepada khalik yang menjadikannya karena ia hanya mempunyai sifat mungkin dan dengan demikian wujudnya bergantung pada sesuatu yang lain.[4]
      Paham tersebut mengisyaratkan bahwa pada manusia ada unsur lahir dan batin, dan pada tuhan pun ada unsur lahir dan batin. Unsur lahir manusia adalah fisiknya, sedangkan batinnya adalah roh atau jiwa yang hal ini merupakan pancaran, bayangan atau fotocopy Tuhan. Kemudian unsur lahir-lahir pada tuhan adalah sifat-sifat ketuhanannya yang tampak dialam ini dan unsur batinnya adalah dzat Tuhan.Bersatunya unsur lahut yang ada pada manusia dengan unsur nasut yang ada pada Tuhan.
      Selanjutnya dalam Al-Qur’an akan kita jumpai ayat-ayat yang memberikan petunjuk bahwa Tuhan memiliki unsur lahir dan batin sebagaimana dalam faham wahdat al-wujud
Dengan menyempurnakan untukmu niatnya lahir dan batin (Qs, Luqman, 31;20)
      Dalam Al-Qur’an dan terjemahannya terbitan Departemen Agama tahun 1984, hal 90, kata al-awwal pada surat al-hadid ayat 3 diartikan yang telah ada sebelum sesuatu yang ada. Al-akhir artinya yang nyata adanya karena banyak bukti-buktinya dan yang batin adalah yang tidak dapat digambarkan hakikar dzatnya oleh akal. Namun menurut para sufi yang dimaksud zahir adalah sifat-sifat Allah yang tampak, sedang batin adalah dzat-dzatnya. Manusia dianggap mempunyai kedua unsur tersebut karena manusia berasal dari pancaran tuhan. Sehingga antara manusia dengan Tuhan pada hakekatnya satu wujud.[5]
B.     Tokoh wahdatul wujud
      Wahdatul al-wujud adalah wujus yang sejati adalah satu,tokoh yang mengajarkan tentanf wahdatul al-wujud adalah ibn arabi, nama lengkapnya Mohammad bin ali bin ahmad bin Abdullah ath-tha’i al-haitami. Dia lahir di Murcia, Andalusia tengah, Spanyol  tahun 560 H.[6] Di Seville (spanyol) dia mempelajari al-qur’an, hadist serta fikih pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia terkenal yakni ibnu hazm al-zhahiri. Ia pindah ke Tunis di tahun 1145 dan masuk aliran sufi (ibid).
      Ketika ia berusia 30 tahun ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan islam bagian barat. Diantara guru-gurunya adalah Abu madyan al-Ghoust al-Talimsari dan Yasmin musaniyah. Keduanya banyak dipengaruhi ajaran-ajaan ibn arabi. Dikabarkan juga bahwa dia pernah ketemu dengan ibn Rusyd. Filosof murni dan tabib istana dynasty barbar dari Alomohad Dikordora.[7] Ia juga telah dikabarkan mengunjungi Al-mariyyah yang menjadi pusat madrasah ibn Masarrah seorang sufi falsafi yang cukup berpengaruh dan mempunyai banyak masalah di Andalusia, di antara karya monumenalnya yaitu al-futuhat al-makkiyah yg ditulis pada tahun 1201 H. Tatkala ia sedang menunaikan ibadah haji. Karya lainnya yaitu tarjuman al-Asyuwaq yang ditulisnya untuk mengenang kecantikan, ketakwaan, dan kepintaran seorang gadis cantik dari keluarga seorang sufi dari Persia.[8]
      Ibn arabi dikenal sebagai penulis yang produktif. Jumlah buku yang kurangnya menurut perhitungan mencapai lebih dari 200 diantaranya ada yang cuma 10 halaman tetapi ada juga yang beberapa ensiklopedia tentang sufisme seperti kitab futuha al-mekkah dan bukunya yang termasyur adalah tsus al-hikam yang juga tasawuf.
Menurut Hamka, ibn arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan fikir, filsafat, dan tasawuf
      Menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa agak berbelit belit dengan tujuan, untuk menghindari tuduhan fitnah dan ancaman kaum awam sebagaimana dialami Al-hallaj. Wujudnyaair adalah air wujud, pada hakikatnya tidaklah ada pemisah antara manusia dan Tuhan klo dikatakan berlainan.
C.     Ajaran-ajaran tasawuf
      Ajaran sentral ibn arabi adalah tentang wahdatul Al-wujud yang istilahnya bukan berasal dari ibn arabi sendiri melainkan berasal daai ibnu taimiyah tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut. Ibnu taimiyah telah berjasa dalam mempopulerkan wahdatul al-wujud ke dalam masyarakat islam meskipun tujuannya negatif.[9]
      Kaum atheis dan golongan madzhab wahdatul wujud mengemukakan fana wujud selain Allah dalam kitab “Fushushul Hikam” dan orang-orang yang sepadan dengannya mengatakan bahwa wujud khalik adalah wujud makhluk. Dipahami dari ucapan mereka itu bahwa mereka tidak mengakui adanya wujud selain Allah. Ucapan ini hanya lahir dari mulut orang kafir seperti yahudi, nasarani, dan penyembah berhala, orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya Tuhan dan hamba jua dan tidak ada perbedaan antara keduanya, ucapan ini sebenarnya menunjukan kekafiran yang nyata terutama apabila yang dimaksudkan seluruh makhluk meskipun yang dimaksud adalah para wali Allah yang beriman dan bertaqwa, kita tidak bisa langsung memfonis ibnu arabi dan orang-orang sehaluannya adalah kafir, namun bukan berarti kita harus menerima mentah-mentah hasil ijtihad mereka dibidangnya masing-masing khusunya tasawuf ini karena kita yakin bahwa mereka umumnya adalah terdiri dari mutjahid islam di bidangnya. Dari hasil pengkajian ijtihad dan maka ajaran tasawuf seperti ittihad, hulul, wahdtul wujud dan sejenisnya perlu di kaji ulang.[10]
      Menurut ibnu taimiyah wahdatul wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam, dia menilai bahwa ajaran ibn arabi adalah dari aspek tasybihnya (penyerupaan) khalik dengan makhluknya. Ia belum menilai dari aspek tanzihnya (penyucian khalik). Menuru ibn arabi wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khalik pula, tidak ada perbedaan diantaranya dari segi hakikatnya, dan kalaupun di lihat dari sudut pandang panca indra. Wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qodim dengan yang baru atau dengan kata l;ain tidak ada perbedaan antara abid (menyembah) dan ma’bud (yang di sembah).[11]
      Kalau khalik dan makhluk bersatu dalam wujudnya mengapa telihat dua? Menurut ibn arabi tidak memandangnya dari sisi satu, tetapi memandang keduanya bahwa khalik dari sisi satu dan makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang dari sisi yang lain mereka pasti mengetahui  hakikat keduanya yakni dzatnya satu yang tak terbilang dan terpisah.[12]. Wujud Tuhan juga wujud alam dan wujud Tuhan bersatu dengan wujud alam yang dalam istilah barat disebut panteisme, yang di definisikan oleh Henry C.Theissen. panteisme adalah teori yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek modifikasi atau bagian dari satu wujud yang kekal dan ada dengan sendirinya.[13].
      Ibn arabi menyebut wujud, maksudnya adalah wujud yang mutlak yaitu wujud Tuhan, satu-satunya wujud menurut ibn arabi adalah wujud tuhan, tidak ada wujud selain wujudNya. Kesimpulannya kata wujud tidak diberikan kepada selain tuhan. Dalam bentuk lain dapat dijelaskan bahwa makhluk diciptakan oleh tuhan dan wujudnya bergantung pada wujud tuhan.
      Dengan demikian, ibn arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari tiada. Ia mengatakan bahwa nur Muhammad itu qodim dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai kesempurnaan ilmiah dan alamiah yang terealisasikan pada dari pada nabi adam sampai nabi Muhammad dan dari nabi Muhammad pada diri pengikutnya yaitu para wali.
      Dari konsep-konsep wahdatuj al-wujud ibn arabi ini muncul dua konsep yang sekaligus merupakan lanjutan atau cabang  dari konsep dari wahdatul al-wujud itu, yaitu konsep al-hakikat al-muhammadiyah dan konsep wahdat al-adyan (kesamaan agama).
      Dalam menjelaskan konsep wahdatul wujud ibn arabi mengungkapkan bahwa wujud ini satu,namun dia memiliki penampakan yang disebut dengan alam dan ketersembunyiannya yang dikenal dengan asma yang memiliki pemisah yang disebut dengan barzah atau menghimpun dan memisahkan antara batin dan lahir itulah yang di sebut dengan insane kamil.
      Ia juga menjelaskan bahwa tuhan segala tuhan adalah Allah SWT. Sebagai nama yang teragung dan sebagai ta’ayun (pernyataan) yang pertama. Ia merupakan sumber segala nama dan tujuan akhir dari segala tujuan dan arah dari segala keinginan serta mencakup segala tuntutan, kepadaNyalah isyarat yang difirmankan Allah kepada rasulnya, bahwa kepada Tuhanmulah tujuan akhir karena Muhammad adalah mazhar dari pernyataan yang pertama, dan tuhan yang khusus baginya adalah ketuhanan yang agung ini. Ketahuilah bahwa segala nama-nama Allah merupakan gambaran dalam ilmu Allah. Sedangkan hakikat muhammadiyah merupakan gambaran dari nama Allah yang menghimpun segala nama ketuhanan yang darinya muncul limpahan atas segala yang ada dan Allah sebagai tuhannya. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan hakikat muhammadiyah disini bukanlauh nabi Muhammad sebagai manusianya, namun hakikat muhammadiyah adalah asma dan sifat Allah serta akhlaknya. Nabi Muhammad disebut dengan Muhammad karena beliau mampu berakhlak dengan seluruh akhlak ketuhanan tersebut.
D. Analisis wahdatul al-wujud
      Wahdatul al-wujud adalah bahwa wujud yang sejati adalah satu. Bukan berarti alam adalah Allah dan Allah adalah alam. Kenyataannya bahwa dia adalah satu kesatuan wujud ini juga dapat dipahami dari sebuah hadits yang sering dikutip ibn arabi dalam menerangkan masalah wahdat al-wujud yaitu; kanallahu wala syai’a ma’ahu artinya dahulu Allah tiada sesuatu apapun besertanya. Maksud dari pernyatan ini tidak ada sesuatu apapun yang menyertai Allah selamanya dan segalanya pada sisinya adlah tiada. “tiada Tuhan selain Allah” artinya segala sesuatu berupa alam gaib dan nyata adalah bayangan Allah yang pada hakikatnya tiada. Dapat disimpulkan dari penjelasan diatas adalah alam bias dikatakan yang merupakan khayal semata maka alam bukanlah Allah. Namun jika di lihat alam tidak akan muncul dengan sendirinya dan mustahil ada wujud di samping Allah atau di dalamnya atau di luarnya maka alam adalah penampakan Allah. Penampakan itu tiada lain Allah jua adanya.
      Karena yang mempunyai wujud hanyalah Tuhan. Dengan demikian wujud itu hanya satu yakni wujud Tuhan Ia jua memberikan  sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan juga seperti badan yang tidak bernyawa. Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu, dengan kata lain alam ini merupakan penampakan dari asma dan sifat Allah yang terus menerus. Tanpa alam sifat dan asma-Nya itu akan kehilangan maknanya dan senantiasa dalam bentuk dzat yang tinggal dalam kesendiriannya yang tidak dikenal oleh siapapun.
BAB III
KESIMPULAN
      Allah mustlak dengan keterbatasan dan terbatas dengan kemutlakannya dengan kata lain Allah mutlak dari segi dzatnya yang maha suci dari segala sifat dan terbatas dalam kemutlakan dengan nama-nama, sifat-sifat, dan fenomena-fenomena alam. Jadi penampakanNya itu sendiri tidak terbatas karena kalimatnnya tidak pernah habis, inilah yang disebut lautan tak bertepi. Dialah yang maha esa dalam banyak rupa dan rupa yang banyak yang pada hakikatnya wajah-wajah dari dzat yang esa. Dialah penghimpun segalannya yang membedakan segalanya dalam berbagai rupa. Aspek keindahan mewakili tasybih dan aspek keagungan mewakili tanzih, keduanya itu mewujudkan kesempurnaan pada dzatnya namun keseluruhannya itu menunjukkan kemutlakan yang tak terhingga.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Rosihan.2007. Ilmu Tasawuf. Bandung : CV Pustaka Setia.
Abdul Qodir Mahmud. 1996. Falsafat Ash-shuffiyyah fi Al Islam, Dar al-fikr al arab kairo.
Abu Bakar Aceh. 1882. Sejarah Filsafat Islam, Solo
Hawasali Abdullah. 1930. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan tokoh-tokohnya di nusantara, Surabaya: Al-ikhlas
Prof. Dr. H. Nata Abuddin, Ma. 1996. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.


[1] Mahmud Yunus, kamus arab indo (Jakarta: Hidakarya agung, 1990), hal 492 dan 494.
[2] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), cet III, hal 92
[3] Harun Nasution op.ut hal 93.
[4] Harun Nasution, op.ut hal 94-95
[5] H.Abuddin Nata, akhlak tasawuf (Jakarta, Graindo persada, 1996), hal 252
[6] At-taffazani, op, at hal 201
[7] Supandi Djoko Damono, Pustaka Firdaus, 1975 hal 23
[8] ibid
[9] Rosihan Anwar MAg. Ilmu tasawuf ,mukhtar sholehan (Bandung, Pustaka Setia. 2000) hal 145
[10] Moh. Saifullah Al-Aziz, Risalah memahami ilmu Tasawuf  (Surabaya, Terbit Terang,1998) hal 223.
[11] Rosihan Anwar
[12] Muhammad Musthafa, Ilmu,al-hayat,al-ruhiyyah,al-islam,al-haiat,al-musriyyah,al-ammabi,al-kitab. Mesir , 1984, hal 182
[13] Kautsar Azhari Noer, al-arabi nahdat al-wujud dalam perdebatan, Paramadina 1995, hal 162

Senin, 10 September 2012

TASAWUF AKHLAKI



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Budha, muncullah anggapan bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar. Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun  pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari khalayak ramai. Mereka adalah orang yang berhati baik, pemurah dan suka menolong.  
Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, Ruh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Ruh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada filsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Ruh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam Ruhani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, Ruh yang telah kotor itu dibersihkan dahulu melalui ibadah yang banyak serta melewati beberapa ujian-ujian dari mulai membersihkan diri dari segala dosa hingga mencapai rida Ilahi.
Dari agama Budha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat pengalaman ittihad.
Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Budha, filsafat Yunani dan agama Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis.
Hakekat tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebutkan Alquran dan Hadits. "Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil."
Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya.” Ayat ini menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia sendiri.
Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain sebagaimana dijelaskan hadis berikut, “Pada mulanya Aku adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku pun dikenal.”
Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, maka hadis terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.
Demikianlah ayat-ayat Alquran dan Hadits Nabi menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak beribadah ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan Ruhnya dengan Ruh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf.
B. Rumusan Masalah
1..Bagaimanakah Perkembangan Tasawuf ?
2. Apakah Yang dimaksud dengan Tasawuf Akhlaki ?
3. Bagaimana tahap-tahap Pembinaan Akhlak menurut Tasawuf Akhlaki ?
4. Siapakah Tokoh-tokoh Tasawuf Akhlaki dan Ajarannya ?
5. Apa sajakah Rukun Tasawuf ?
C. Tujuan Penulisan
1  Agar mengetahui Perkembangan Ilmu Tasawuf.
2. Mengetahui Pengertian Tasawuf Akhlaki
3. Mengetahui Tahap-tahap Pembinaan Akhlak Menurut Tasawuf Akhlaki
C.Mengetahui tokoh-tokoh tasawuf  Akhlaki dan Ajarannya.
5. Mengetahui Rukun Tasawuf.
D. Manfaat penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah,  kita sebagai manusia harus:
1.   .Dapat menerapkan dan mempraktekan dari prinsip tasawuf sebagai dasar pola hidup yang sederhana dan tidak tamak.B.
2.   Dapat melakukan hubungan yang baik dengan lingkungan, dan kepada tuhannya.
3.   Mendekatkan diri kepada Sang Pencipta Alam Semesta.
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Perkembangan Tasawuf
Secara keilmuan, tasawuf adalah disiplin ilmu yang baru dalam syari’at Islam, demikian menurut Ibnu Khaldun.[1] Adapaun asal-usul tasawuf menurutnya adalah konsentrasi ibadah kepada Allah, meninggalkan kemewahan dan keindahan dunia dan menjauhkan diri dari akhluk. Ketika kehidupan materialistik mulai mencuat dalam peri kehidupan masyarakat muslim pada abad kedua dan ketiga hijriyyah sebagai akibat dari kemajuan ekonomi di dunia Islam, orang-orang yang konsentrasi beribadah dan menjauhkan diri dari hiruk pikuknya kehidupan dunia disebutlah kaum sufi.
Berbeda dengan Ibnu Khaldun, Muhammad Iqbal dalam bukunya “Tajdid al-Fikr ad-Dini al-Islam” berpendapat bahwa tasawuf telah ada semenjak Nabi. Riyadoh Diniyyah telah lama menyertai kehidupan manusia sejak awal-awal Islam bahkan kehidupan ini semakin mengental di dalam sejarah kemanusiaan.
Menurut sebagian fakar, Imam Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang memunculkan istilah taswuf. Menurut yang lain Salman al-Farisi.
Akar-akar tasawuf dalam Islam merupakan penjabaran dari ihsan. Ihsan sendiri merupakan bagian dari trilogi ajaran Islam. Islam adalah satu kesatuan dari iman, islam dan ihsan. Islam adalah penyerahan diri kepada Allah secara zahir, iman adalah I’tikad batin terhadap hal-hal gaib yang ada dalam rukun iman, sedangkan ihsan adalah komitmen terhadap hakikat zahir dan batin.
Islam, iman dan ihsan adalah landasan untuk melakukan suluk dan taqqarub kepada Allah. ‘Iz bin Abdissalam berpendapat bahwa sistematika keberagamaan bagi kaum muslimin, yang pertama adalah Islam[2]. Islam merupakan tingkat pertama beragama bagi kaum awam. Iman adalah tingkatan pertama bagi hati orang khusus kaum mukminin, sedangkan ihsan adalah tingkatan pertama bagi ruh kaum
B. Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahmudah[3]. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ulama’ lama sufi.
Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan -bila mungkin- mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
1. Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi. Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
2. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan
 3. Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh –yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak berkurang, maka, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
B. Tokoh-tokoh Tasawuf  dan Pemikirannya
Tasawuf Akhlaki merupakan tasawuf yang berorientasi pada perbaikan akhlak’ mencari hakikat kebenaran yang mewujudkan menuasia yang dapat ma’rifah kepada Allah, dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf Akhlaki, biasa disebut juga dengan istilah tasawuf sunni. Tasawuf Akhlaki ini dikembangkan oleh ulama salaf as-salih[4].
Dalam diri manusia ada potensi untuk menjadi baik dan potensi untuk menjadi buruk. Potensi untuk menjadi baik adalah al-‘Aql dan al-Qalb. Sementara potensi untuk menjadi buruk adalah an-Nafs. (nafsu) yang dibantu oleh syaithan.
Sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an, surat as-Syams : 7-8 sebagai berikut :
Artinya : “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.
Para sufi yang mengembangkan taswuf akhlaki antara lain : Hasan al-Basri (21 H – 110 H), al-Muhasibi (165 H – 243 H), al-Qusyairi (376 H – 465 H), Syaikh al-Islam Sultan al-Aulia Abdul Qadir al-Jilani (470 – 561 H), Hujjatul Islam Abu Hamid al-Gajali (450 H – 505 H), Ibnu Atoilah as-Sakandari[5] dan lain-lain.
 Sesugguhnya banyak sekali para Ulama’ yang mengikuti jejak Rosulullah SAW. untuk hidup seadanya dan tidak tamak, tapi pemakalah disini akan membahas siapa saja yang terkenal sebagai pakar ilmu tasawuf akhlaki :
1.      .Tokoh-tokoh Tasawuf Ahlaki  dan Ajarannya
      Tasawuf Sunni (akhlaki) yaitu tasawuf yang benar-benar mengikuti Al-qur’an dan Sunnah, terikat, bersumber, tidak keluar dari batasan-batasan keduanya, mengontrol prilaku, lintasan hati serta pengetahuan dengan neraca keduanya. Sebagaimana ungkapan Abu Qosim Junaidi al-Bagdadi: “Mazhab kami ini terikat dengan dasar-dasar Al-qur’an dan Sunnah”, perkataannya lagi: “Barang siapa yang tidak hafal (memahami) Al-qur’an dan tidak menulis (memahami) Hadits maka orang itu tidak bisa dijadikan qudwah dalam perkara (tarbiyah tasawuf) ini, karena ilmu kita ini terikat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.”. Tasawuf ini diperankan oleh kaum sufi yang mu’tadil (moderat) dalam pendapat-pendatnya, mereka mengikat antara tasawuf mereka dan Al-qur’an serta Sunnah dengan bentuk yang jelas. Boleh dinilai bahwa mereka adalah orang-orang yang senantiasa menimbang tasawuf mereka dengan neraca Syari’ah.
Tasawuf ini berawal dari zuhud, kemudian tasawuf dan berakhir pada akhlak. Mereka adalah sebagian sufi abad kedua, atau pertengahan abad kedua, dan setelahnya sampai abad keempat hijriyah. Dan personal seperti Hasan Al-Bashri, Imam Abu Hanifa, al-Junaidi al-Bagdadi, al-Qusyairi, as-Sarri as-Saqeti, al-Harowi, adalah merupakan tokoh-tokoh sufi utama abad ini yang berjalan sesuai dengan tasawuf sunni. Kemudian pada pertengahan abad kelima hijriyah imam Ghozali membentuknya ke dalam format atau konsep yang sempurna, kemudian diikuti oleh pembesar syekh Toriqoh. Akhirnya menjadi salah satu metode tarbiyah ruhiyah Ahli Sunnah wal jamaah. Dan tasawuf tersebut menjadi sebuah ilmu yang menimpali kaidah-kaidah praktis.
Tasawuf ini juga dinamakan tasawuf nazhari (teori), demikian, karena tasawuf Islam terbagi kepada nazhari dan amali (praktek). Dan hal ini tidak berarti bahwa tasawuf nazhori ini kosong dari sisi praktis. Istilah teori ini hanya melambangkan bahwa tasawuf belum menjadi bentuk thoreqoh (tarbiyah kolekltif) secara terorganisir seperti toreqoh yang terjadi sekarang ini.  
a.Junaid Al-Baghdadi[6]
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Kazzaz al-nihawandi. Dia aadalah seorang putera pedagang barang pecah belah dan keponakan Surri al-Saqti serta teman akrab dari Haris al-Muhasibi. Dia meninggal di Baghdad pada tahun 297/910 M. dia termasuk tokoh sufi yang luar biasa, yang teguh dalam menjalankan syari`at agama, sangat mendalam jiwa kesufiannya. Dia adalah seorang yang sangat faqih, sering memberi fatwa sesuia apa yang dianutnya, madzhab abu sauri: serta teman akrab imam Syafi`i.
Dikatakan bahwa para sufi pada masanya, al-junaid adalah seorang sufi yang mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara mendalam, khusus tentang paham tauhid dan fana`. Karena itulah dia digelari Imam Kuam Sufi (Syaikh al-Ta`ifah); sementara al-Qusayiri di dalam kitabnya al-Risaalah al-Qusyairiyyah menyebutnya Tokoh dan Imam kaum Sufi. Asal-usul al-Junaid berasal dari Nihawan. Tetapi dia lahir dan tumbuh dewasa di Irak. Tentang riwayat dan pendidikannya, al-junaid pernah berguru pada pamannya Surri al-Saqti serta pada Haris bin `Asad al-muhasibi.
Kemampuan al-Junaid untuk menyapaikan ajaran agama kepada umat diakui oleh pamannya, sekaligus gurunya, Surri al-Saqti. Hal ini terbukti pada kepercayaan gurunya dalam memberikan amanat kepadanya untuk dapat tampil dimuka umum.
Al-Junaid dikenal dalam sejarah atsawuf sebagai seorang sufi yang banyak membahas tentang tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab biografi para sufi, antara lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-qusyairi: “oang-orang yang mengesakan Allah adalah mereka yang merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna, meyakini bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, dia tidak beranak dan diperanakkan. Di sini memberikan pengertian tauhid yang hakiki. Menurutnya adalah buah dari fana` terhadap semua yang selain Allah. Dalam hal ini dia menegaskan
Al-Junaid juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “allah akan menyebabkan mati dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh Junaid disebut fana`, sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan Qur`ani “segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya (QA. 55:26-27); dan hidup dan hidup dalam sebutannya baqa`. Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya.
Disamping al-Junaid menguraikan paham tauhid dengan karakteristik para sufi, dia juga mengemukakan ajaran-ajaran tasawuf lainnya.
b.Al-Qusyairi An-Naisabury[7]
Dialah Imam Al-Qusyary an-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad kelima hijriah. Tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk. Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al-Qusyairy, nasabnya Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah ibn Muhammad. Ia lahir di Astawa pada Bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau 986 M.
Sedikit sekali informasi penulis dapat yang menerangkan tentang masa kecilnya. Namun yang jelas, dia lahir sebagai yatim. Bapaknya meninggal dunia saat usianya masih kecil. Sepeninggal bapaknya, tanggungjawab pendidikan diserahkan pada Abu al-Qosim al-Yamany. Ketika beranjak dewasa, Al-Qusyairy melangkahkan kaki meninggalkan tanah kelahiran menuju Naisabur, yang saat itu menjadi Ibukota Khurasan. Pada awalnya, kepergiannya ke Naisabur untuk mempelajari matematika. Hal ini dilakukan karena Al-Qusyairy merasa terpanggil menyaksikan penderitaan masyarakatnya, yang dibebani biaya pajak tinggi oleh penguasa saat itu. Dengan mempelajari matematika, ia berharap, dapat menjadi petugas penarik pajak dan meringankan kesulitan masyarakat saat itu.
Naisabur merupakan kota yang menyimpan peluang besar untuk perkembangan berbagai macam disiplin ilmu, karena banyak kaum intelektual yang hidup disana. Di kota inilah, untuk pertama kalinya Al-Qusyairy bertemu bertemu Sheikh Abu ‘Ali Hasan ibn ‘Ali an-Naisabury, yang lebih dikenal dengan panggilan Ad-Daqqaq. Pertemuan itu menyisakan kekaguman Al-Qusyairy pada peryataan-pernyataan Ad-Daqqaq. Perlahan, keinginannya mempelajari matermatika pun hilang. Ia pun memilih jalan tarekat dengan belajar dari Ad-Daqqaq. Berawal dari sinilah, Al-Qusyairy mengenal Tasawuf. Al-Daqqaq merupakan guru pertama Al-Qusyairy dalam bidang Tasawuf. Dari ia pula Al-Qusyairy mempelajari banyak hal, tidak hanya terbatas Tasawuf, tetapi juga ilmu-ilmu keislaman yang lain. Al-Qusyairy mampu memahami dengan baik semua pengetahuan yang diajarkan gurunya. Dari sinilah Ad-Daqqaq menyadari kemampuan intelektual Al-Qusyairy. Mungkin, hal ini menjadi salah satu faktor yang mendorong inisiatif Ad-Daqqaq untuk menikahkan putrinya, Fatimah dengan Al-Qusyairy.
Pernikahan ini berlangsung pada antara tahun 405 – 412 H/1014 – 1021 M. Fatimah merupakan wanita ahli sastra dan tekun beribadah. Dari pernikahan ini, lahirlah enam putera dan satu puteri, yaitu; Abu Said Abdullah, Abu Said Abdul Wahid, Abu Mansyur Abdurrahman, Abu Nashr Abdurrahim, Abu Fath Ubaidillah, Abu Muzaffar Abdul Mun’im dan putri Amatul Karim.
Disamping berguru pada mertuanya, Imam Al-Qusyairy juga berguru pada para ulama lain. Diantaranya, Abu Abdurrahman Muhammad ibn al-Husain (325-412 H/936-1021 M), seorang sufi, penulis dan sejarawan. Al-Qusyairy juga belajar fiqh pada Abu Bakr Muhammad ibn Abu Bakr at-Thusy (385-460 H/995-1067 M, belajar Ilmu Kalam dari Abu Bakr Muhammad ibn al-Husain, seorang ulama ahli Ushul Fiqh. Ia juga belajar Ushuluddin pada Abu Ishaq Ibrahim ibn Muhammad, ulama ahli Fiqh dan Ushul Fiqh. Al-Qusyairy pun belajar Fiqh pada Abu Abbas ibn Syuraih, serta mempelajari Fiqh Mazhab Syafi’i pada Abu Mansyur Abdul Qohir ibn Muhammad al-Ashfarayain.
Al-Qusyairy banyak menelaah karya-karya al-Baqillani, dari sini ia menguasai doktrin Ahlusunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Abu Hasan al-Asy’ary (w.935 M) dan para pengikutnya. Karena itu tidak mengherankan, kalau Kitab Risalatul Qusyairiyah yang merupakan karya monumentalnya dalam bidang Tasawuf -dan sering disebut sebagai salah satu referensi utama Tasawuf yang bercorak Sunni-, Al-Qusyairy cenderung mengembalikan Tasawuf ke dalam landasan Ahlusunnah Wal Jama’ah. Dia juga penentang keras doktrin-doktri aliran Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassamah dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, Al-Qusyairy pernah mendekam dalam penjara selama sebulan lebih, atas perintah Taghrul Bek, karena hasutan seorang menteri yang beraliran Mu’tazilah yaitu Abu Nasr Muhammad ibn Mansyur al-Kunduri
Perburuan terhadap para pemuka aliran Asy’ariyah itu berhenti dengan wafatnya Taghrul Bek pada tahun 1063 M. Penggantinya, Alp Arsalen (1063-1092 M), kemudian mengangkat Nizam al-Mulk sebagai pengganti al-Khunduri. Kritik Terhadap Para Sufi Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Guru Besar Filsafat Islam dan Tasawuf pada Universitas Kairo, yang juga tokoh dan Ketua Perhimpunan Sufi Mesir (Robithah al-Shufihiyah al-Mishriyah) menulis, Imam Al-Qusyairy mengkritik para sufi aliran Syathahi yang mengungkapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan tentang terjadinya Hulul (penyatuan) antara sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat-sifat barunya, dengan Tuhan. Al-Qusyairy juga mengkritik kebiasaan para sufi pada masanya yang selalu mengenakan pakaian layaknya orang miskin. Ia menekankan kesehatan batin dengan perpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal ini lebih disukainya daripada penampilan lahiriah yang memberi kesan zuhud, tapi hatinya tidak demikian. (lihat, Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ilaa al-Tasawwuf al-Islam, cetakan ke-IV. Terbitan Dar al-Tsaqofah li an-Nasyr wa al-Tauzi, Kairo, 1983)
Dari sini dapat dipahami, Al-Qusyairy tidak mengharamkan kesenangan dunia, selama hal itu tidak memalingkan manusia dari mengingat Allah. Beliau tidak sependapat dengan para sufi yang mengharamkan sesuatu yang sebenarnya tidak diharamkan agama. Karena itu Al-Qusyairy menyatakan, penulisan karya monumentalnya Risalatul Qusyairiyah, termotinasi karena dirinya merasa sedih melihat persoalan yang menimpah dunia Tasawwuf. Namun dia tidak bermaksud menjelek-jelekkan seorang pun para sufi ketika itu. Penulisan Risalah hanya sekadar pengobat keluhan atas persoalan yang menimpa dunia Tasawuf kala itu.
Imam Al-Qusyairy merupakan ulama yang ahli dalam banyak disiplin ilmu yang berkembang pada masanya, hal ini terlihat dari karya-karya beliau, seperti yang tercantum pada pembukaan Kitabnya Risalatul Qusyairiyah.
Karya-karya itu adalah; Ahkaamu as-Syariah, kitab yang membahas masalah-masalah Fiqh, Adaabu as-Shufiyyah, tentang Tasawuf, al-Arbauuna fil Hadis, kitab ini berisi 40 buah hadis yang sanadnya tersambung dari gurunya Abi Ali Ad-Daqqaq ke Rasulullah. Karya lainnya adalah; Kitab Istifaadatul Muraadaats, Kitab Bulghatul Maqaashid fii al-Tasawwuf, Kitab at-Tahbir fii Tadzkir, Kitab Tartiibu as-Suluuki fii Tariqillahi Ta’ala yang merupakan kumpulan makalah beliau tentang Tasawwuf, Kitab At-Tauhidu an-Nabawi, Kitab At-Taisir fi ‘Ulumi at-Tafsir atau lebih dikenal dengan al-Tafsir al-Kabir. Ini merupakan buku pertama yang ia tulis, yang penyusunannya selesai pada tahun 410 H/1019 M. Menurut Tajuddin as-Syubkhi dan Jalaluddin as-Suyuthi, tafsir tersebut merupakan kitab tafsir terbaik dan terjelas
Menurut Syuja’al-Hazaly, Imam Al-Qusyairy menutup usia di Naisabur pada pagi Hari Ahad, tanggal 16 Rabiul Awal 465 H/ 1073 M, dalam usia 87 tahun. Dikisahkan bahwa beliau mempunyai seekor kuda yang telah mengabdi padanya selama selama 20 tahun. Pada saat Al-Qusyairy wafat, kuda itu sangat sedih dan tidak mau makan selama dua minggu, hingga akhirnya ikut mati. Setelah Al-Qusyairy wafat, tak ada seorang pun yang berani memasuki perpustakaan pribadinya selama beberapa tahun. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan bagi al-Imam Radiyallah Ta’ala ‘Anhu. Wallahu a’lam bi al-Showab.
c.Al-Harawi[8]
Nama lengkapnya adalah Abu isma`il `Abdullah bin Muhammad al-Ansari. Beliau lahir tahun 396 H. di Heart, kawasan khurasan. Seperti dikatakan Louis Massignon, dia adalah seorang faqih dari madzhab hambali; dan karya-karyanya di bidang tasawuf dipandang amat bermut. Sebagai tokoh sufi pada abad kelima Hijriyah, dia mendasarkan tasawufnya di atas doktrin Ahl al-Sunnah. Bahkan ada yang memandangnya sebagai pengasas gerakan pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan yang anah, seperti al-Bustami dan al-Hallaj.
Di antara karya-karya beliau tentang tasawuf adalah Manazil al-Sa`irin ila Rabb al-`Alamin. Dalam dalam karyanya yang ringkas ini, dia menguraikan tingkatan-tingkatan rohaniyah para sufi, di mana tingakatan para sufi tersebut, menurutnya, mempunyai awal dan akhir, seperti katanya; ”kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipaandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bias tegak kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keihklasan serta keikutannya terhadap al-Sunnah”.
Dalam kedudukannya sebagai seorangpenganut paham sunni, al-harawi melancarkan kritik terhadap para sufi yang terkenal dengan keanehan ucapan-ucapannya, sebagaimana katanya.
Dalam kaitannya dengan masalah ungkapan-ungkapan sufi yang aneh tersebut, al-Harwi berbicara tentang maqam ketenangan (sakinah). Maqam ketenangan timbul dari perasaan ridha yang aneh. Dia mengatakan: “peringkat ketiga (dari peringkat-peringkat ketenangan) adalah ketenagan yang timbul dari perasaan ridhaatas bagian yang diterimanya. Ketenangan tersebut bias mencegah ucapan aneh yang menyesatkan ; dan membuat orang yang mencapainya tegak pada batas tingkatannya. “yang dimaksud dengan ucapan dengan ucapan yang menyesatkan itu adalah seperti ungkapan-ungkapan yang diriwayatkan dari Abu yazid dan lain-lain. Berbeda dengan al-Jinaid, Sahl al-Tusturi dan lainnya; karena mereka ini memiliki ketenangan yang membuat mereka tidak mengucapkan ungkapan-ungkapan yang anah. Karena itu dapat dikatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang aneh tersebut timbul dari ketidak tenangan, sebab, seandainya ketenangan itu telah bersemi di kalbu, maka hal itu akan membuatnya terhindar dari mengucapkan ungkapan-ungkapan yang menyesatkan tersebut.
Kemudian yang dimaksud dengan batas tingkatan adalah tegaknya seorang sufi pada batas tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Tegasnya, di sekali-kali tidak melewati tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Ketenangan tersebut, menurut al-harawi, tidak di turunkan kecuali pada kalbu seorang nabi atau wali.
B. Rukun Tasawuf
Al-Kalabazi dengan mengutip pendapat Abu al-Hasan Muhammad bin Ahmad al-Farisi menerangkan bahwa rukun tasawuf ada sepuluh macam, antara lain :
1. Tajrid at-Tauhid (memurnikan tauhid)
2. Memahami informasi. Maksudnya mendengar tingkah laku bukan hanya mendengar ilmu saja.
3. Baik dalam pergaulan.
4. Mengutamakan kepentingan orang banyak ketimbang kepentingan diri sendiri.
5. Meninggalkan banyak pilihan.
6. Ada kesinambungan antara pemenuhan kepentingan lahir dan batin.
7. Membuka jiwa terhadap intuisi (ilham).
8. Banyak melakukan bepergian untuk menyaksikan keagungan alam ciptaan Tuhan sekaligus mengambil pelajaran.
9. Meninggalkan iktisab untuk menumbuhkan tawakkal.
10. Meninggalkan iddikhar (banyak simpanan) dalam keadaan tertentu kecuali dalam rangka mencari ilmu.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
            Dari segi linguistik tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan, dan selalu bersikap bijaksana. Sikap yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak mulia yang mampu membentuk seseorang ke tingkat yang mulia. Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan Ruhnya dapat bersatu dengan Ruh Tuhan. Al-Ghazali mengatakan bahwa tasawuf itu adalah tuntunan yang dapat menyampaikan manusia mengenal dengan sebenar-benarnya kepada Allah Swt.
            Tasawuf diciptakan sebagai media untuk mencapai maqashid al-Syar’i (tujuan-tujuan syara’). Karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti salat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya, yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. ibadah yang dilakukan itu erat kaitannya dengan akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution bahwa ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam Alquran dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang pada kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak/berpribadi mulia.
            Harun Nasution lebih lanjut mengatakan bahwa Alquran dan hadis mementingkan akhlak. Alquran dan hadis menekankan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong-menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu dan berpikiran lurus. Nilai-nilai ini yang harus dimiliki seorang Muslim yang akan bertasawuf sebagai pembentukan ke arah pribadi yang mulia.
Selain itu, tasawuf juga mempunyai tujuan-tujuan sebagai berikut:
1.Berupaya menyelamatkan diri dari akidah-akidah syirik dan batil
2.Melepaskan diri (takhalli) dari penyakit-penyakit kalbu.
3.Menghiasi diri (tahalli) dengan akhlak Islam yang mulia.
4.Mencapai derajat ihsan dalam ibadah (tajalli).
            Dengan demikian kaum sufi harus selalu melaksanakan pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka pada setiap kali beribadah.
Wallahu A’lam bish-Shawab
B. Saran
Setelah para pembaca selesai membaca makalah ini, pastilah terdapat banyak kesalahan di dalam penulisan makalah di atas, memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari Bapak Dosen demi perbaikan makalah yang selanjutnya serta menuju arah yang lebih baik.
Kemudain diharapkan kepada para pembaca untuk pembuatan makalah selanjutnya, agar bisa menambah referensi yang lebih mendukung, karena dalam pembuatan makalah ini penulis hanya menggunakan beberapa referansi saja, hal ini dikarenakan keterbatasan buku referensi yang penulis dapatkan.
DAFTAR  PUSTAKA
Ali, Sayyid Nur Sayyid, At-Tashawwuf Asy-Syar’i, terj. M. Yaniyullah Jud.Tasawuf Syar’i, Jakarta: Hikmah-Mizan, 2003
Nata M.A, Prof. Dr. H. Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, cet. Kelima
Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedi Islam. cet. Kesepuluh, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002
Siregar, Prof. H. A. Rivay, “Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme” cet. Kedua, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000
Mujib, M.ag., Abdul dan Jusuf Mudzakir M.si, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, cet. II


[1] Siregar, Prof. H. A. Rivay, “Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme” cet. Kedua, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000
[2] Ali, Sayyid Nur Sayyid, At-Tashawwuf Asy-Syar’i, terj. M. Yaniyullah Jud.Tasawuf Syar’i, Jakarta: Hikmah-Mizan, 2003
[3]Nata M.A, Prof. Dr. H. Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, cet. Kelima
[4]  Nata M.A, Prof. Dr. H. Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, cet. Kelima. Hal. 93
[5] Nata M.A, Prof. Dr. H. Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, cet. Kelima. Hal. 81
[6] Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedi Islam. cet. Kesepuluh, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002. Hal. 24
[7] Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedi Islam. cet. Kesepuluh, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002. Hal. 35
[8] Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedi Islam. cet. Kesepuluh, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002. Hal. 26