BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf
timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen,
filsafat Yunani dan agama Hindu dan Budha, muncullah anggapan bahwa aliran
tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar. Ada yang mengatakan bahwa
pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk
beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat
mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang
hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di
malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu
berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari
khalayak ramai. Mereka adalah orang yang berhati baik, pemurah dan suka
menolong.
Pengaruh
filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam
filsafatnya, Ruh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian
turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Ruh yang
pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke
tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan
memusatkan perhatian pada filsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa
pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Ruh yang masuk ke dalam janin di
kandungan ibu berasal dari alam Ruhani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi
oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu
dengan Tuhan Yang Maha Suci, Ruh yang telah kotor itu dibersihkan dahulu
melalui ibadah yang banyak serta melewati beberapa ujian-ujian dari mulai
membersihkan diri dari segala dosa hingga mencapai rida Ilahi.
Dari
agama Budha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai
dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri.
Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam.
Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya
Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam
tasawuf terdapat pengalaman ittihad.
Kita
perlu mencatat, agama Hindu dan Budha, filsafat Yunani dan agama Kristen datang
lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang
terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan
bukti-bukti historis.
Hakekat
tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang
dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebutkan Alquran
dan Hadits. "Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat
dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil."
Ayat
berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia,
"Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya
kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada
di lehernya.” Ayat ini menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia,
tetapi di dalam diri manusia sendiri.
Disini,
sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan
Tuhan. Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain
sebagaimana dijelaskan hadis berikut, “Pada mulanya Aku adalah harta yang
tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui
mereka Aku pun dikenal.”
Disini
terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang
bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, maka
hadis terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud makhluk
dengan Tuhan.
Demikianlah
ayat-ayat Alquran dan Hadits Nabi menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada
manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak
memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan kedekatan
Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak beribadah ia akan merasakan kedekatan
Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan
Ruhnya dengan Ruh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf.
B. Rumusan Masalah
1..Bagaimanakah Perkembangan
Tasawuf ?
2. Apakah Yang
dimaksud dengan Tasawuf Akhlaki ?
3. Bagaimana
tahap-tahap Pembinaan Akhlak menurut Tasawuf Akhlaki ?
4. Siapakah
Tokoh-tokoh Tasawuf Akhlaki dan Ajarannya ?
5. Apa sajakah Rukun
Tasawuf ?
C. Tujuan Penulisan
1 Agar mengetahui Perkembangan Ilmu Tasawuf.
2. Mengetahui
Pengertian Tasawuf Akhlaki
3. Mengetahui
Tahap-tahap Pembinaan Akhlak Menurut Tasawuf Akhlaki
C.Mengetahui
tokoh-tokoh tasawuf Akhlaki dan
Ajarannya.
5. Mengetahui Rukun
Tasawuf.
D. Manfaat penulisan
Adapun
manfaat dari penulisan makalah ini adalah, kita sebagai manusia harus:
1.
.Dapat menerapkan dan mempraktekan dari
prinsip tasawuf sebagai dasar pola hidup yang sederhana dan tidak tamak.B.
2.
Dapat melakukan hubungan yang baik dengan
lingkungan, dan kepada tuhannya.
3.
Mendekatkan diri kepada Sang Pencipta
Alam Semesta.
BAB II
PEMBAHASAN
Secara keilmuan, tasawuf adalah disiplin ilmu yang baru dalam
syari’at Islam, demikian menurut Ibnu Khaldun.[1]
Adapaun asal-usul tasawuf menurutnya adalah konsentrasi ibadah kepada Allah,
meninggalkan kemewahan dan keindahan dunia dan menjauhkan diri dari akhluk.
Ketika kehidupan materialistik mulai mencuat dalam peri kehidupan masyarakat
muslim pada abad kedua dan ketiga hijriyyah sebagai akibat dari kemajuan
ekonomi di dunia Islam, orang-orang yang konsentrasi beribadah dan menjauhkan
diri dari hiruk pikuknya kehidupan dunia disebutlah kaum sufi.
Berbeda dengan Ibnu Khaldun, Muhammad Iqbal dalam bukunya “Tajdid
al-Fikr ad-Dini al-Islam” berpendapat bahwa tasawuf telah ada semenjak
Nabi. Riyadoh Diniyyah telah lama menyertai kehidupan manusia sejak awal-awal
Islam bahkan kehidupan ini semakin mengental di dalam sejarah kemanusiaan.
Menurut sebagian fakar, Imam Ali bin Abi Thalib adalah orang
pertama yang memunculkan istilah taswuf. Menurut yang lain Salman al-Farisi.
Akar-akar tasawuf dalam Islam merupakan penjabaran dari
ihsan. Ihsan sendiri merupakan bagian dari trilogi ajaran Islam. Islam adalah
satu kesatuan dari iman, islam dan ihsan. Islam adalah penyerahan diri kepada
Allah secara zahir, iman adalah I’tikad batin terhadap hal-hal gaib yang ada
dalam rukun iman, sedangkan ihsan adalah komitmen terhadap hakikat zahir dan
batin.
Islam, iman dan ihsan adalah landasan
untuk melakukan suluk dan taqqarub kepada Allah. ‘Iz bin Abdissalam berpendapat
bahwa sistematika keberagamaan bagi kaum muslimin, yang pertama adalah Islam[2].
Islam merupakan tingkat pertama beragama bagi kaum awam. Iman adalah tingkatan
pertama bagi hati orang khusus kaum mukminin, sedangkan ihsan adalah tingkatan
pertama bagi ruh kaum
B. Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf
akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau
budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah
dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmunah dan
mewujudkan akhlaq mahmudah[3].
Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ulama’ lama sufi.
Dalam
pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang
tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena
itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan
melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah
mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan -bila
mungkin- mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi
mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
1. Takhalli
Takhalli
merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi. Takhalli
adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu
dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain
adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
2. Tahalli
Tahalli
adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan
sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi
setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan
ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam).
Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti
sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti
keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan
3. Tajalli
Untuk
pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka
rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli
bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan
organ-organ tubuh –yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan
sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak berkurang, maka,
maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan
dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya
akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
B. Tokoh-tokoh Tasawuf dan Pemikirannya
Tasawuf Akhlaki merupakan tasawuf yang berorientasi pada
perbaikan akhlak’ mencari hakikat kebenaran yang mewujudkan menuasia yang dapat
ma’rifah kepada Allah, dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan.
Tasawuf Akhlaki, biasa disebut juga dengan istilah tasawuf sunni. Tasawuf
Akhlaki ini dikembangkan oleh ulama salaf as-salih[4].
Dalam diri manusia ada potensi untuk menjadi baik dan potensi
untuk menjadi buruk. Potensi untuk menjadi baik adalah al-‘Aql dan al-Qalb.
Sementara potensi untuk menjadi buruk adalah an-Nafs. (nafsu) yang
dibantu oleh syaithan.
Sebagaimana
digambarkan dalam al-Qur’an, surat as-Syams : 7-8 sebagai berikut :
Artinya
: “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.
Para
sufi yang mengembangkan taswuf akhlaki antara lain : Hasan al-Basri (21 H – 110
H), al-Muhasibi (165 H – 243 H), al-Qusyairi (376 H – 465 H), Syaikh al-Islam
Sultan al-Aulia Abdul Qadir al-Jilani (470 – 561 H), Hujjatul Islam Abu Hamid
al-Gajali (450 H – 505 H), Ibnu Atoilah as-Sakandari[5]
dan lain-lain.
Sesugguhnya banyak
sekali para Ulama’ yang mengikuti jejak Rosulullah SAW. untuk hidup seadanya
dan tidak tamak, tapi pemakalah disini akan membahas siapa saja yang terkenal
sebagai pakar ilmu tasawuf akhlaki :
1. .Tokoh-tokoh
Tasawuf Ahlaki dan Ajarannya
Tasawuf Sunni (akhlaki) yaitu tasawuf
yang benar-benar mengikuti Al-qur’an dan Sunnah, terikat, bersumber, tidak
keluar dari batasan-batasan keduanya, mengontrol prilaku, lintasan hati serta
pengetahuan dengan neraca keduanya. Sebagaimana ungkapan Abu Qosim Junaidi
al-Bagdadi: “Mazhab kami ini terikat dengan dasar-dasar Al-qur’an dan Sunnah”,
perkataannya lagi: “Barang siapa yang tidak hafal (memahami) Al-qur’an dan
tidak menulis (memahami) Hadits maka orang itu tidak bisa dijadikan qudwah
dalam perkara (tarbiyah tasawuf) ini, karena ilmu kita ini terikat dengan
Al-Qur’an dan Sunnah.”. Tasawuf ini diperankan oleh kaum sufi yang mu’tadil
(moderat) dalam pendapat-pendatnya, mereka mengikat antara tasawuf mereka dan
Al-qur’an serta Sunnah dengan bentuk yang jelas. Boleh dinilai bahwa mereka
adalah orang-orang yang senantiasa menimbang tasawuf mereka dengan neraca
Syari’ah.
Tasawuf
ini berawal dari zuhud, kemudian tasawuf dan berakhir pada akhlak. Mereka
adalah sebagian sufi abad kedua, atau pertengahan abad kedua, dan setelahnya
sampai abad keempat hijriyah. Dan personal seperti Hasan Al-Bashri, Imam Abu
Hanifa, al-Junaidi al-Bagdadi, al-Qusyairi, as-Sarri as-Saqeti, al-Harowi,
adalah merupakan tokoh-tokoh sufi utama abad ini yang berjalan sesuai dengan
tasawuf sunni. Kemudian pada pertengahan abad kelima hijriyah imam Ghozali
membentuknya ke dalam format atau konsep yang sempurna, kemudian diikuti oleh
pembesar syekh Toriqoh. Akhirnya menjadi salah satu metode tarbiyah ruhiyah
Ahli Sunnah wal jamaah. Dan tasawuf tersebut menjadi sebuah ilmu yang menimpali
kaidah-kaidah praktis.
Tasawuf
ini juga dinamakan tasawuf nazhari (teori), demikian, karena tasawuf Islam
terbagi kepada nazhari dan amali (praktek). Dan hal ini tidak berarti bahwa
tasawuf nazhori ini kosong dari sisi praktis. Istilah teori ini hanya
melambangkan bahwa tasawuf belum menjadi bentuk thoreqoh (tarbiyah kolekltif)
secara terorganisir seperti toreqoh yang terjadi sekarang ini.
a.Junaid Al-Baghdadi[6]
Nama
lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Kazzaz al-nihawandi.
Dia aadalah seorang putera pedagang barang pecah belah dan keponakan Surri
al-Saqti serta teman akrab dari Haris al-Muhasibi. Dia meninggal di Baghdad
pada tahun 297/910 M. dia termasuk tokoh sufi yang luar biasa, yang teguh dalam
menjalankan syari`at agama, sangat mendalam jiwa kesufiannya. Dia adalah
seorang yang sangat faqih, sering memberi fatwa sesuia apa yang dianutnya,
madzhab abu sauri: serta teman akrab imam Syafi`i.
Dikatakan
bahwa para sufi pada masanya, al-junaid adalah seorang sufi yang mempunyai
wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara mendalam, khusus
tentang paham tauhid dan fana`. Karena itulah dia digelari Imam Kuam Sufi
(Syaikh al-Ta`ifah); sementara al-Qusayiri di dalam kitabnya al-Risaalah
al-Qusyairiyyah menyebutnya Tokoh dan Imam kaum Sufi. Asal-usul al-Junaid
berasal dari Nihawan. Tetapi dia lahir dan tumbuh dewasa di Irak. Tentang
riwayat dan pendidikannya, al-junaid pernah berguru pada pamannya Surri
al-Saqti serta pada Haris bin `Asad al-muhasibi.
Kemampuan
al-Junaid untuk menyapaikan ajaran agama kepada umat diakui oleh pamannya,
sekaligus gurunya, Surri al-Saqti. Hal ini terbukti pada kepercayaan gurunya
dalam memberikan amanat kepadanya untuk dapat tampil dimuka umum.
Al-Junaid
dikenal dalam sejarah atsawuf sebagai seorang sufi yang banyak membahas tentang
tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan dalam
kitab-kitab biografi para sufi, antara lain sebagaimana diriwayatkan oleh
al-qusyairi: “oang-orang yang mengesakan Allah adalah mereka yang
merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna, meyakini bahwa Dia adalah Yang
Maha Esa, dia tidak beranak dan diperanakkan. Di sini memberikan pengertian
tauhid yang hakiki. Menurutnya adalah buah dari fana` terhadap semua yang
selain Allah. Dalam hal ini dia menegaskan
Al-Junaid
juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “allah akan menyebabkan mati dari dirimu
sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh Junaid disebut fana`,
sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan Qur`ani “segala sesuatu akan
binasa kecuali wajah-Nya (QA. 55:26-27); dan hidup dan hidup dalam sebutannya
baqa`. Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan
kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya.
Disamping al-Junaid
menguraikan paham tauhid dengan karakteristik para sufi, dia juga mengemukakan
ajaran-ajaran tasawuf lainnya.
b.Al-Qusyairi
An-Naisabury[7]
Dialah
Imam Al-Qusyary an-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad kelima hijriah.
Tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk. Nama lengkapnya adalah Abdul Karim
al-Qusyairy, nasabnya Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah ibn
Muhammad. Ia lahir di Astawa pada Bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau 986 M.
Sedikit
sekali informasi penulis dapat yang menerangkan tentang masa kecilnya. Namun
yang jelas, dia lahir sebagai yatim. Bapaknya meninggal dunia saat usianya
masih kecil. Sepeninggal bapaknya, tanggungjawab pendidikan diserahkan pada Abu
al-Qosim al-Yamany. Ketika beranjak dewasa, Al-Qusyairy melangkahkan kaki
meninggalkan tanah kelahiran menuju Naisabur, yang saat itu menjadi Ibukota
Khurasan. Pada awalnya, kepergiannya ke Naisabur untuk mempelajari matematika.
Hal ini dilakukan karena Al-Qusyairy merasa terpanggil menyaksikan penderitaan
masyarakatnya, yang dibebani biaya pajak tinggi oleh penguasa saat itu. Dengan
mempelajari matematika, ia berharap, dapat menjadi petugas penarik pajak dan
meringankan kesulitan masyarakat saat itu.
Naisabur
merupakan kota yang menyimpan peluang besar untuk perkembangan berbagai macam
disiplin ilmu, karena banyak kaum intelektual yang hidup disana. Di kota
inilah, untuk pertama kalinya Al-Qusyairy bertemu bertemu Sheikh Abu ‘Ali Hasan
ibn ‘Ali an-Naisabury, yang lebih dikenal dengan panggilan Ad-Daqqaq. Pertemuan
itu menyisakan kekaguman Al-Qusyairy pada peryataan-pernyataan Ad-Daqqaq.
Perlahan, keinginannya mempelajari matermatika pun hilang. Ia pun memilih jalan
tarekat dengan belajar dari Ad-Daqqaq. Berawal dari sinilah, Al-Qusyairy
mengenal Tasawuf. Al-Daqqaq merupakan guru pertama Al-Qusyairy dalam bidang
Tasawuf. Dari ia pula Al-Qusyairy mempelajari banyak hal, tidak hanya terbatas
Tasawuf, tetapi juga ilmu-ilmu keislaman yang lain. Al-Qusyairy mampu memahami
dengan baik semua pengetahuan yang diajarkan gurunya. Dari sinilah Ad-Daqqaq
menyadari kemampuan intelektual Al-Qusyairy. Mungkin, hal ini menjadi salah
satu faktor yang mendorong inisiatif Ad-Daqqaq untuk menikahkan putrinya,
Fatimah dengan Al-Qusyairy.
Pernikahan
ini berlangsung pada antara tahun 405 – 412 H/1014 – 1021 M. Fatimah merupakan
wanita ahli sastra dan tekun beribadah. Dari pernikahan ini, lahirlah enam
putera dan satu puteri, yaitu; Abu Said Abdullah, Abu Said Abdul Wahid, Abu
Mansyur Abdurrahman, Abu Nashr Abdurrahim, Abu Fath Ubaidillah, Abu Muzaffar
Abdul Mun’im dan putri Amatul Karim.
Disamping
berguru pada mertuanya, Imam Al-Qusyairy juga berguru pada para ulama lain.
Diantaranya, Abu Abdurrahman Muhammad ibn al-Husain (325-412 H/936-1021 M),
seorang sufi, penulis dan sejarawan. Al-Qusyairy juga belajar fiqh pada Abu
Bakr Muhammad ibn Abu Bakr at-Thusy (385-460 H/995-1067 M, belajar Ilmu Kalam
dari Abu Bakr Muhammad ibn al-Husain, seorang ulama ahli Ushul Fiqh. Ia juga
belajar Ushuluddin pada Abu Ishaq Ibrahim ibn Muhammad, ulama ahli Fiqh dan
Ushul Fiqh. Al-Qusyairy pun belajar Fiqh pada Abu Abbas ibn Syuraih, serta
mempelajari Fiqh Mazhab Syafi’i pada Abu Mansyur Abdul Qohir ibn Muhammad
al-Ashfarayain.
Al-Qusyairy
banyak menelaah karya-karya al-Baqillani, dari sini ia menguasai doktrin
Ahlusunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Abu Hasan al-Asy’ary (w.935 M) dan
para pengikutnya. Karena itu tidak mengherankan, kalau Kitab Risalatul
Qusyairiyah yang merupakan karya monumentalnya dalam bidang Tasawuf -dan sering
disebut sebagai salah satu referensi utama Tasawuf yang bercorak Sunni-,
Al-Qusyairy cenderung mengembalikan Tasawuf ke dalam landasan Ahlusunnah Wal
Jama’ah. Dia juga penentang keras doktrin-doktri aliran Mu’tazilah, Karamiyah,
Mujassamah dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, Al-Qusyairy pernah mendekam
dalam penjara selama sebulan lebih, atas perintah Taghrul Bek, karena hasutan
seorang menteri yang beraliran Mu’tazilah yaitu Abu Nasr Muhammad ibn Mansyur
al-Kunduri
Perburuan
terhadap para pemuka aliran Asy’ariyah itu berhenti dengan wafatnya Taghrul Bek
pada tahun 1063 M. Penggantinya, Alp Arsalen (1063-1092 M), kemudian mengangkat
Nizam al-Mulk sebagai pengganti al-Khunduri. Kritik Terhadap Para Sufi Dr. Abu
al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Guru Besar Filsafat Islam dan Tasawuf pada
Universitas Kairo, yang juga tokoh dan Ketua Perhimpunan Sufi Mesir (Robithah
al-Shufihiyah al-Mishriyah) menulis, Imam Al-Qusyairy mengkritik para sufi
aliran Syathahi yang mengungkapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan tentang
terjadinya Hulul (penyatuan) antara sifat-sifat kemanusiaan, khususnya
sifat-sifat barunya, dengan Tuhan. Al-Qusyairy juga mengkritik kebiasaan para
sufi pada masanya yang selalu mengenakan pakaian layaknya orang miskin. Ia
menekankan kesehatan batin dengan perpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Hal ini lebih disukainya daripada penampilan lahiriah yang memberi kesan zuhud,
tapi hatinya tidak demikian. (lihat, Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani,
Madkhal ilaa al-Tasawwuf al-Islam, cetakan ke-IV. Terbitan Dar al-Tsaqofah li
an-Nasyr wa al-Tauzi, Kairo, 1983)
Dari
sini dapat dipahami, Al-Qusyairy tidak mengharamkan kesenangan dunia, selama
hal itu tidak memalingkan manusia dari mengingat Allah. Beliau tidak sependapat
dengan para sufi yang mengharamkan sesuatu yang sebenarnya tidak diharamkan
agama. Karena itu Al-Qusyairy menyatakan, penulisan karya monumentalnya
Risalatul Qusyairiyah, termotinasi karena dirinya merasa sedih melihat
persoalan yang menimpah dunia Tasawwuf. Namun dia tidak bermaksud
menjelek-jelekkan seorang pun para sufi ketika itu. Penulisan Risalah hanya
sekadar pengobat keluhan atas persoalan yang menimpa dunia Tasawuf kala itu.
Imam
Al-Qusyairy merupakan ulama yang ahli dalam banyak disiplin ilmu yang
berkembang pada masanya, hal ini terlihat dari karya-karya beliau, seperti yang
tercantum pada pembukaan Kitabnya Risalatul Qusyairiyah.
Karya-karya
itu adalah; Ahkaamu as-Syariah, kitab yang membahas masalah-masalah Fiqh,
Adaabu as-Shufiyyah, tentang Tasawuf, al-Arbauuna fil Hadis, kitab ini berisi
40 buah hadis yang sanadnya tersambung dari gurunya Abi Ali Ad-Daqqaq ke
Rasulullah. Karya lainnya adalah; Kitab Istifaadatul Muraadaats, Kitab
Bulghatul Maqaashid fii al-Tasawwuf, Kitab at-Tahbir fii Tadzkir, Kitab
Tartiibu as-Suluuki fii Tariqillahi Ta’ala yang merupakan kumpulan makalah
beliau tentang Tasawwuf, Kitab At-Tauhidu an-Nabawi, Kitab At-Taisir fi ‘Ulumi
at-Tafsir atau lebih dikenal dengan al-Tafsir al-Kabir. Ini merupakan buku
pertama yang ia tulis, yang penyusunannya selesai pada tahun 410 H/1019 M.
Menurut Tajuddin as-Syubkhi dan Jalaluddin as-Suyuthi, tafsir tersebut merupakan
kitab tafsir terbaik dan terjelas
Menurut
Syuja’al-Hazaly, Imam Al-Qusyairy menutup usia di Naisabur pada pagi Hari Ahad,
tanggal 16 Rabiul Awal 465 H/ 1073 M, dalam usia 87 tahun. Dikisahkan bahwa
beliau mempunyai seekor kuda yang telah mengabdi padanya selama selama 20
tahun. Pada saat Al-Qusyairy wafat, kuda itu sangat sedih dan tidak mau makan
selama dua minggu, hingga akhirnya ikut mati. Setelah Al-Qusyairy wafat, tak
ada seorang pun yang berani memasuki perpustakaan pribadinya selama beberapa
tahun. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan bagi al-Imam Radiyallah
Ta’ala ‘Anhu. Wallahu a’lam bi al-Showab.
c.Al-Harawi[8]
Nama
lengkapnya adalah Abu isma`il `Abdullah bin Muhammad al-Ansari. Beliau lahir
tahun 396 H. di Heart, kawasan khurasan. Seperti dikatakan Louis Massignon, dia
adalah seorang faqih dari madzhab hambali; dan karya-karyanya di bidang tasawuf
dipandang amat bermut. Sebagai tokoh sufi pada abad kelima Hijriyah, dia
mendasarkan tasawufnya di atas doktrin Ahl al-Sunnah. Bahkan ada yang memandangnya
sebagai pengasas gerakan pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang
terkenal dengan ungkapan-ungkapan yang anah, seperti al-Bustami dan al-Hallaj.
Di
antara karya-karya beliau tentang tasawuf adalah Manazil al-Sa`irin ila Rabb
al-`Alamin. Dalam dalam karyanya yang ringkas ini, dia menguraikan
tingkatan-tingkatan rohaniyah para sufi, di mana tingakatan para sufi tersebut,
menurutnya, mempunyai awal dan akhir, seperti katanya; ”kebanyakan ulama
kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipaandang benar kecuali
dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bias tegak
kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan
menegakkannya di atas keihklasan serta keikutannya terhadap al-Sunnah”.
Dalam
kedudukannya sebagai seorangpenganut paham sunni, al-harawi melancarkan kritik
terhadap para sufi yang terkenal dengan keanehan ucapan-ucapannya, sebagaimana
katanya.
Dalam
kaitannya dengan masalah ungkapan-ungkapan sufi yang aneh tersebut, al-Harwi
berbicara tentang maqam ketenangan (sakinah). Maqam ketenangan timbul dari
perasaan ridha yang aneh. Dia mengatakan: “peringkat ketiga (dari
peringkat-peringkat ketenangan) adalah ketenagan yang timbul dari perasaan
ridhaatas bagian yang diterimanya. Ketenangan tersebut bias mencegah ucapan
aneh yang menyesatkan ; dan membuat orang yang mencapainya tegak pada batas
tingkatannya. “yang dimaksud dengan ucapan dengan ucapan yang menyesatkan itu
adalah seperti ungkapan-ungkapan yang diriwayatkan dari Abu yazid dan lain-lain.
Berbeda dengan al-Jinaid, Sahl al-Tusturi dan lainnya; karena mereka ini
memiliki ketenangan yang membuat mereka tidak mengucapkan ungkapan-ungkapan
yang anah. Karena itu dapat dikatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang aneh
tersebut timbul dari ketidak tenangan, sebab, seandainya ketenangan itu telah
bersemi di kalbu, maka hal itu akan membuatnya terhindar dari mengucapkan
ungkapan-ungkapan yang menyesatkan tersebut.
Kemudian
yang dimaksud dengan batas tingkatan adalah tegaknya seorang sufi pada batas
tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Tegasnya, di sekali-kali tidak
melewati tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Ketenangan tersebut,
menurut al-harawi, tidak di turunkan kecuali pada kalbu seorang nabi atau wali.
B. Rukun Tasawuf
Al-Kalabazi dengan mengutip pendapat Abu al-Hasan
Muhammad bin Ahmad al-Farisi menerangkan bahwa rukun tasawuf ada sepuluh macam,
antara lain :
1. Tajrid at-Tauhid (memurnikan tauhid)2. Memahami informasi. Maksudnya mendengar tingkah laku bukan hanya mendengar ilmu saja.
3. Baik dalam pergaulan.
4. Mengutamakan kepentingan orang banyak ketimbang kepentingan diri sendiri.
5. Meninggalkan banyak pilihan.
6. Ada kesinambungan antara pemenuhan kepentingan lahir dan batin.
7. Membuka jiwa terhadap intuisi (ilham).
8. Banyak melakukan bepergian untuk menyaksikan keagungan alam ciptaan Tuhan sekaligus mengambil pelajaran.
9. Meninggalkan iktisab untuk menumbuhkan tawakkal.
10. Meninggalkan iddikhar (banyak simpanan) dalam keadaan tertentu kecuali dalam rangka mencari ilmu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari segi linguistik tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara
kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan, dan
selalu bersikap bijaksana. Sikap yang demikian itu pada hakikatnya adalah
akhlak mulia yang mampu membentuk seseorang ke tingkat yang mulia. Tujuan
tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat
melihat-Nya dengan mata hati bahkan Ruhnya dapat bersatu dengan Ruh Tuhan. Al-Ghazali
mengatakan bahwa tasawuf itu adalah tuntunan yang dapat menyampaikan manusia
mengenal dengan sebenar-benarnya kepada Allah Swt.
Tasawuf diciptakan sebagai media untuk mencapai maqashid al-Syar’i
(tujuan-tujuan syara’). Karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan
serangkaian ibadah seperti salat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya, yang
dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. ibadah yang dilakukan itu
erat kaitannya dengan akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution bahwa ibadah
dalam Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam
Alquran dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Allah
dan menjauhi larangan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi
munkar, mengajak orang pada kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak
baik. Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak/berpribadi
mulia.
Harun Nasution lebih lanjut mengatakan bahwa Alquran dan hadis mementingkan
akhlak. Alquran dan hadis menekankan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan,
persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong-menolong, murah hati, suka
memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih
hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu dan
berpikiran lurus. Nilai-nilai ini yang harus dimiliki seorang Muslim yang akan
bertasawuf sebagai pembentukan ke arah pribadi yang mulia.
Selain itu, tasawuf
juga mempunyai tujuan-tujuan sebagai berikut:
1.Berupaya
menyelamatkan diri dari akidah-akidah syirik dan batil
2.Melepaskan diri
(takhalli) dari penyakit-penyakit kalbu.
3.Menghiasi diri
(tahalli) dengan akhlak Islam yang mulia.
4.Mencapai derajat
ihsan dalam ibadah (tajalli).
Dengan demikian kaum sufi harus selalu melaksanakan pembinaan akhlak mulia
dalam diri mereka pada setiap kali beribadah.
Wallahu A’lam
bish-Shawab
B. Saran
Setelah
para pembaca selesai membaca makalah ini, pastilah terdapat banyak kesalahan di
dalam penulisan makalah di atas, memang makalah ini masih jauh dari sempurna,
maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari Bapak Dosen demi perbaikan
makalah yang selanjutnya serta menuju arah yang lebih baik.
Kemudain
diharapkan kepada para pembaca untuk pembuatan makalah selanjutnya, agar bisa
menambah referensi yang lebih mendukung, karena dalam pembuatan makalah ini
penulis hanya menggunakan beberapa referansi saja, hal ini dikarenakan
keterbatasan buku referensi yang penulis dapatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali,
Sayyid Nur Sayyid, At-Tashawwuf Asy-Syar’i, terj. M. Yaniyullah Jud.Tasawuf
Syar’i, Jakarta: Hikmah-Mizan, 2003
Nata
M.A, Prof. Dr. H. Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2003, cet. Kelima
Tim
Redaksi Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedi Islam. cet. Kesepuluh, Jakarta:
PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002
Siregar,
Prof. H. A. Rivay, “Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme” cet. Kedua,
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000
Mujib,
M.ag., Abdul dan Jusuf Mudzakir M.si, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2002, cet. II
[1]
Siregar,
Prof. H. A. Rivay, “Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme” cet. Kedua,
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000
[2]
Ali,
Sayyid Nur Sayyid, At-Tashawwuf Asy-Syar’i, terj. M. Yaniyullah Jud.Tasawuf
Syar’i, Jakarta: Hikmah-Mizan, 2003
[3]Nata M.A, Prof. Dr. H. Abudin, Akhlak
Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, cet. Kelima
[4] Nata M.A, Prof. Dr. H. Abudin, Akhlak
Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, cet. Kelima. Hal. 93
[5] Nata M.A, Prof. Dr. H. Abudin, Akhlak
Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, cet. Kelima. Hal. 81
[6] Tim Redaksi Departemen Pendidikan
Nasional. Ensiklopedi Islam. cet. Kesepuluh, Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve, 2002. Hal. 24
[7] Tim Redaksi Departemen Pendidikan
Nasional. Ensiklopedi Islam. cet. Kesepuluh, Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve, 2002. Hal. 35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar