Qiyas
Definisi Qiyas
Qiyas
menurut istilah ahli ushul fiqih adalah menyamakan suatu hukum dari peristiwa
yang tidak memiliki nash hukum dengan peristiwa yang sudah memiliki nash hukum,
sebab sama dalam illat hukummnya.
Apabila
ada nash yang menunjukkan hukum pada suatu peristiwa dan dapat diketahui illat
hukumnya dengan cara-cara yang digunakan untuk mengetahui illat hukum, kemudian
terjadi peristiwa lain yang sama illat hukumnya, maka hukum kedua masalah itu
disamakan sebab memiliki kesamaan dalam hal illat hukum. Karena hukum dapat
ditemukan ketika illat hukum itu sudah ditemukan.
Berikut
ini beberapa contoh qiyas syara’ dan qiyas buatan yang mempertegas definisi di
atas:
a. Minum
khamer adalah suatu peristiwa yang hukumnya telah diteteapkan dengan nash,
yaitu haram. Ditunjukkan dengan firman Allah Swt.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا
الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ
الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٩٠﴾
Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
(QS. Al-maidah: 90), dengan illat memabukkan. Maka semua hasil perasan
(minuman) yang mempunyai illat memabukkan, hukumnya disamakan dengan khamer dan
haram diminum.
b. Pembunuhan
ahli waris terhadap yang mewariskan adalah peristiwa yang hukumnya telah
ditetapkan dengan nash, yaitu terhalangnya si pembunuh untuk mendapatkan hak
waris. Ditunjukkan oleh sabda nabi Saw:
لاير ث القا تل
Seorang
pembunuh tidak mendapat harta warisan (dari yang dibunuh),
dengan illat bahwa pembunuhan itu memajukan sesuatu sebelum waktunya, maka
tujuan itu ditolak dan dihukum dengan tidak mendapat bagian waris.
Pembunuhan-pembunuhan wasiat oleh yang menerima wasiat memiliki illat ini,
sehingga hukumnya disamakan dengan pembunuhan yang mewariskan oleh ahli waris,
dan pembunuh (penerima wasiat) tidak mendapat bagian yang yang diwasiatkan dari
orang yang berwasiat.
c. Jual
beli pada saat adzan hari Jumat adalah peristiwa yang hukumnya ditetapkan
dengan nash, yaitu makruh. Ditunjukkan oleh firman Allah Swt:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ
الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّـهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ
لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿٩﴾
Hai
orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
(QS. Al Jumuah:9) karena ada illat kesibukan yang yang melupakan shalat.
Sewa-menyewa, gadai, atau akad mu’amalah apa saja yang pada saat adzan shalat
Jumat memiliki illat ini, yaitu kesibukan yang melupakan shalat, maka hukum
akad-akad tersebut disamakan dengan jual beli dan makruh dilakukan pada saat
adzan shalat.
Pada
semua contoh di atas, peristiwa yang tidak mempunyai nash dalam hukumnya
disamakan dengan peristiwa yang mempunyai nash dalam hukumnya, karena memiliki
kesamaan dalam illat hukumnya. Menyamakan hokum antara dua kejadian karena
memiliki illat hukum yang sama, menurut istilah ahli ilmu ushul fiqih, disebut qiyas.
Sedangkan ungkapan ulama: menyamakan suatu kejadian dengan kejadian yang lain,
memadukan peristiwa dengan peristiwa lain atau menarik suatu hukum dari
kejadian ke kejadian yang lain adalah istilah yang sama dan pengertian yang
sama.
2. Kekuatan Qiyas sebagai Hujjah
Dalam
pandangan jumhur ulama, qiyas adalah hujjah syara’ atas hukum-hukum sebangsa
perbuatan dan sebagai hujjah syara’ yang keempat. Artinya, apabila hukum suatu
peristiwa (kedua) itu tidak ditemukan adanya nash atau ijma’, sudah pasti
memiliki kesamaan illat dengan peristiwa (pertama) yang ada nash hukumnya, maka
peristiwa kedua diqiyaskan dengan masalah pertama dan dihukumi sama dengan
hukum pada masalah pertama. Hukum itu menjadi ketetapan syara’ yang wajib
diikuti dan diamalkan oleh mukallaf, sedangkan jumhur ulama itu disebut
orang-orang yang menetapkan qiyas.
Dalam
pandangan kelompok Nidzamiyah, Dhahiriyah, dan sebagian golongan syiah, qiyas
bukan hujjah syara’ atas hukum, dan mereka itu disebut orang-orang yang menolak
qiyas.
Alasan
ulama yang menetapkan qiyas
Para ulama yang menetapkan qiyas
sebagai hujjah dengan mengambil dalil dari al Quran, al Sunnah, pendapat dan
perbuatan sahabat, juga illat-illat rasional.
Pertama: Diantara ayat-ayat al
Quran yang digunakan sebagai dalil ada tiga ayat:
1.
Firman Allah Swt.
dalam surat an Nissa’:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّـهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّـهِ وَالرَّسُولِ
إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴿٥٩﴾
Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya. (QS. An Nisa’ :59)
Alasan pengambilan dalil dari ayat ini
karena Allah Swt. telah memerintahkan kepada kaum mukminin untuk mengembalikan
permasalahan yang diperselisihkan dan dipertentangkan di antara mereka kepada
Allah dan Rasul jika mereka tidak mendapatkan hukumnya dalam al Quran, as
Sunnah, maupun ketetapan ulil amri. Sedangkan mengembalikan dan merujukkan
permasalahan kepada Allah dan kepada Rasul mencakup semua cara yang dapat
disebut mengembalikkan atau merujukkan. Akhirnya, tidak dapat dipungkiri bahwa
menyamakan peristiwa yang tidak memiliki nash dengan peristiwa yang memiliki
nash karena kesamaan illat hukumnya adalah termasuk mengembalikan permasalahan
kepada Allah dan rasul-Nya, karena mengikuti hukum yang diitetapkan Allah dan
Rasulullah.
2.
Firman Allah Swt.
dalam surat al Hasyr:
هُوَ الَّذِي
أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِن دِيَارِهِمْ لِأَوَّلِ
الْحَشْرِ ۚ مَا ظَنَنتُمْ أَن يَخْرُجُوا ۖ وَظَنُّوا أَنَّهُم مَّانِعَتُهُمْ حُصُونُهُم مِّنَ اللَّـهِ
فَأَتَاهُمُ اللَّـهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا ۖ وَقَذَفَ فِي
قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ ۚ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُم بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ ﴿٢﴾
Dia-lah yang mengeluarkan
orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat
pengusiran yang pertama
.Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun
yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa)
Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak
mereka sangka-sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka
memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan
orang-orang mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai
orang-orang yang mempunyai wawasan.
(QS. Al Hasyr: 2)
Letak pengambilan dalil adalah pada
firman Allah fa’tabiruu. Alasan pengambilan dalil dari ayat ini
karena setelah Allah Swt. menjelaskan kejadian yang menimpa Yahudi Bani Nadhir
yang kafir dan menjelaskan hukuman yang menimpa mereka dari arah yang tidak
disangka-sangka, maka Allah berfirman, “Ambillah (kejadian itu) untuk
menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” Artinya, bandingkanlah
dirimu dengan mereka, karena kamu adalah manusia seperti mereka; jika kamu
berbuat seperti mereka, maka akan mendapat hukuman yang juga seperti mereka.
Hal ini menunjukkan bahwa Allah, baik
berupa nikmat, siksa, maupun semua hukumnya adalah merupakan kesimpulan dari
suatu pendahuluan dan akibat dari suatu sebab. Artinya, dimana ada sebab tentu
akan menimbulkan akibat. Dan qias berjalan sebagaimana hukum Allah ini,
merupakan suatu akibat dari sebab yang dapat ditemukan di mana saja.
Alasan pengambilan dalil semacam
inilah yang ditunjukkan oleh firman Allah fa’tabiruu (ambillah
untuk pelajaran), Innafii dzaalika la’ibrah (Sesungguhnya dalam
kejadian itu benar-benar member pelajaran), dan firman Allah laqad kaana
fii qashashihim la’ibrah (benar-benar dalam cerita mereka itu terdapat
pelajaran). Baik al I’tibar itu ditafsiri dengan berjalan takni lewat,
atau ditafsiri dengan mengambil nasehat, semuanya bertujuan menetapkan hokum
Allah di antara hukum-hukum Allah kepada makhluk-Nya. Artinya, apa yang berlaku
bagi pembanding maka berlaku pula bagi yang dibandingkan. Ingatlah bahwa bila
ada seorang pegawai dibebastugaskan karena menerima suap, kemudian pimpinan
berkata kepada kepada sesame pegawai, “Sesungguhnya hukuman ini adalah sebagai
pelajaran bagi kalian,” atau “Ambillah kejadian ini sebagai pelajaran bagimu,”
maka ungkapan itu hanya dipahami dengan arti: Kalian adalah sama dengan pegawai
tadi, bila kalian melakukan perbuatan seperti dia, maka kalian pun akan dihukum
sebagaimana dia dihukum.
3.
Firman Allah Swt.
dalam surat Yasin:
قُلْ يُحْيِيهَا
الَّذِي أَنشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ ﴿٧٩﴾
Katakanlah: "Ia akan
dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama.
(QS. Yasin:79) sebagai jawaban kepada orang yang bertanya, “Siapakah yang
dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?”
Alasan pengambilan dalil dari ayat ini
karena Allah Swt. memberikan contoh kepada orang-orang yang mengingkari adanya
kebangkitan dengan qiyas. Yakni, Allah Swt. menyamakan kebangkitan makhluk
setelah kematian dengan penciptaan dan pertumbuhan makhluk pertama kali, agar
dapat diterima oleh para penentang. Artinya bahwa yang mampu menciptakan dan
menumbuhkan makhluk pertama kali tentu mampu untuk mengembalikannya (setelah
kematian), bahkan pasti lebih mudah. Pengambilan dalil dengan cara qiyas
tersebut adalah pengakuan atas kekuatan qiyas sebagai hujjah dan pembenaran
atas pengambilan dalil dengan cara qiyas.
Ayat-ayat yang menunjukkan kekuatan
qiyas sebagai hujjah di atas petunjuknya diperkuat bahwa Allah Swt. di beberapa
ayat yang berkenaan dengan hukum seringkali mengungkapkan suatu hokum
bersama-sama dengan illat hukumnya, seperti firman Allah Swt. mengenai hukum
haid:
قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا
تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ
Katakanlah:
"Haidh itu adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh. (QS
al Baqarah: 222)
Firman
Allah Swt. mengenai diperbolehkannya tayamum:
مَا يُرِيدُ اللَّـهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم
Allah
tidak hendak menyulitkan kamu. (QS. Al Maidah: 6)
Karena dalam ayat-ayat ini mengandung
petunjuk bahwa hukum itu didasarkan pada kemaslahatan dan berhubungan dengan
sebab, juga mengandung petunjuk bahwa hokum itu tergantung pada sebab dan dasar
pijakannya.
Kedua: Di antara sunnah yang
digunakan sebagai dalil ada dua:
1.
Hadis Mu’adz bin
Jabal: “Ketika rasulullah mengutusnya ke negeri Yaman, beliau bertanya,
“Dengan apa engkau memutuskan suatu hukum ketika dihadapkan suatu masalah
kepadamu?” Mu’adz berkata, “aku putuskan dengan kitab Allah (al Quran), bila
tidak kutemukan maka dengan sunnah Rasulullah, bila tidak kutemukan maka aku
berijtihad dengan pendapatku, dan aku tidak akan condong.” Maka Rasulullah Saw.
Menepuk dadanya dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberika
pertolongan kepada utusan Rasulullah atas apa yang ia relakan.”
Alasan pengambilan dalil dengan hadis ini
adalah karena Rasul menyetujui kepada Mu’adz untuk berijtihad dalam memutuskan
hukum yang tidak ditemukan hukum yang tidak ditemukan nashnya dalam al Quran
dan al Sunnah. Adapun ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan
suatu hukum, termasuk diantaranya adalah qiyas, karena qiyas adalah salah satu
bentuk ijtihad dan cara pengambilan hukum. Sedangkan rasulullah Saw. Tidak
menetapkan bahwa ijtihad itu hanya dengan satu cara atau bentuk saja.
2.
Diantara
hadis-hadis sahih disebutkan bahwa seringkali rasulullah Saw. Dalam beberapa
kejadian yang diajukan kepada beliau dan tidak ada wahyu tentang hukum masalah
itu, maka beliau mengambil dalil untuk hukumnya dengan jalan qiyas. Perbuatan
Rasul dalam hal yang bersifat umum ini adalah sebagai penetapan hokum syara’
bagi umatnya, karena tidak ada bukti yang menjelaskan kekhususannya. Sehingga
qiyas dalam masalah yang tidak ada nashnya adalah termasuk sunnah rasul, dan
qiyas (yang dilakukan rasul) adalah tuntutan bagi umat Islam.
Dalam sebuah riwayat dikatakan: “Seorang
budak wanita dari suku Kha’am berkata, “Hai Rasulullah, ayahku terkena
kewajiban haji ketika sudah tua dan lumpuh, tidak mampu untuk melaksanakannya.
Jika aku berhaji untuknya, apakah itu akan bermanfaat untuknya?” Nabi bersabda,
“bagaimana pendapatmu jika ayahmu mempunyai hutang kemudian kamu bayar, apakah
itu dapat bermanfaat untuknya?” Wanita itu berkata, “Ya” nabi bersabda, “Hutang
kepada Allah lebih berhak untuk dibayar.””
Dalam sebuah riwayat dikatakan: Umar
bertanya kepada Rasul tentang ciuman orang berpuasa tanpa mengeluarkan air
mani, maka Rasul bersabda, “Bagaimana pendapatmu jika kamu berkumur dengan air
sedangkan kamu berpuasa?” Umar menjawab, “Tidak apa-apa.” Rasul bersabda “Nah
itulah.” Artinya, mencium seperti itu tidak membatalkan puasa.
Dalam sebuah riwayat dikatakan: Seorang
laki-laki suku Fazarah tidak mengakui anaknya yang hitam ketika dihadapkan oleh
istrinya, maka Rasulullah bersabda, “Apakah kamu punya onta?” ia menjaawab,
“Ya.” Nabi bersabda, “Apakah ada yang berwarna kelabu (merah gelap seperti
debu).” Ia menjawab, “Ya.” Nabi bersabda, “Dari mana.” Ia menjawab, “Mungkin
bercampur keringat.” Nabi bersabda, “Anak iini pun mungkin bercampur keringat.”
Pada juz pertama kitab I’laamul
Muwaqqi’iin banyak sekali contoh mengenai qiyas yang dilakukan rasulullah
Saw.
Ketiga: Adapun perbuatan yang
ucapan para sahabat membuktikan bahwa qiyas adalah hujjah syara’. Mereka
berijtihad mengenai masalah-masalah yang tidak memiliki nash hukum dan
mengqiyaskan hukum yang tidak memiliki nash dengan hukum yang memiliki nash
dengan cara membanding-bandingkan antara yang satu dengan yang lain. Mereka
mengqiyaskan masalah khalifah dengan imam shalat, membai’at Abu Bakar sebagai
khalifah dan menjelaskan dasar-dasar qiyas dengan ungkapan: Rasulullah rela Abu
bakar menjadi imam agama kita, apakah kita tidak rela dia sebagai pemimpin
dunia kita. Mereka mengqiyaskan pengganti Rasul dengan rasul, mereka memerangi
pembangkang zakat dengan dasar bahwa rasul melakukan pengambilan zakat dan doa
Rasul sebagai penenang jiwa orang-orang yang mengeluarkan zakat, sebagaimana
firman Allah Swt.:
خُذْ مِنْ
أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ
سَكَنٌ لَّهُمْ
Ambillah zakat dari
sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka
dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman
jiwa bagi mereka. (QS. At taubah: 103)
Umar
bin Khattab dalam pesannya kepada Abu Musa al Asy’ariy berkata, “…kemudian
pahamlah terhadap apa yang telah aku sampaikan kepadamu dalam menghadapi
permasalahan yang tidak memiliki nash quran atau sunnah, lalu carilah
perbandingan antara masalah-masalah itu. Pahamilah beberapa metode menetapkan
hukum kemudian yakinlah bahwa pendapatmu lebih dicintai Allah dan lebih
mendekati kebenaran.”
Ali
bin Abi Thalib berkata, “Kebenaran dapat diketahui dengan membandingkan suatu
masalah dengan masalah yang lain, menurut orang-orang yang berakal. “Ketika
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah melarang jual beli makanan sebelum
diterimakan, ia berkata, “Aku tidak memperhitungkan segala sesuatu kecuali yang
sebanding.”
Dalam
kitab I’laamul Muwaqqi’iin juz dua, mulai halaman 244, Ibnu qayyim
menukil beberapa fatwa para sahabat Rasulullah Saw. Atas hasil ijtihad mereka
dengan metode qiyas, sedangkan Rasulullah semasa hidupnya, tidak mengingkari
adanya sahabat yang berijtihad. Demikian juga sebagian sahabat tidak
mengingkarai adanya hasil ijtihad dengan pendapat sendiri dan dengan
mengkiaskan di antara masalah-masalah yang hampir memiliki kesamaan. Maka,
mengingkari kekuatan kias sebagai hujjah berarti menyalahkan ijtihad yang telah
dilakukan para sahabat dan menyalahkan apa yang telah ditetapkan dengan
perbuatan dan ucapan mereka.
Keempat:
Adapun illat rasional dalam
menetapakan qiyas ada tiga:
1.
Allah
Swt. tidak menetapkan hukum syara’ kecuali untuk kemaslahatan, dan kemaslahatan
umat adalah tujuan akhir dari penetapan hukum syara’. Bila suatu kejadian yang tidak memiliki nash
ada kesamaan dengan kejadian yang telah memiliki nash dalam hal illat hukumnya,
yang diduga kuat untuk kemaslahatan, maka sikap bijaksana dan rasa keadilan
menuntut untuk menyamakan masalah-masalah itu dalam hukumnya, untuk membuktikan
kemaslahatan dalam menetapkan hukum syara’ yang menjadi tujuan pembuatan hukum.
2.
Nash
al Quran dan al Sunnah sangat terbatas dan ada habisnya. Sedangkan kejadian dan
permasalahan manusia tidak terbatas dan tidak ada habisnya. Maka tidak mungkin
nash yang ada habisnya itu saja yang menjadi sumber hokum syara’ bagi
masalah-masalah yang tidak ada habisnya. Oleh karena itu kias bertindak sebagai
sumber hukum syara’ yang mengiringi kejadian-kejadian baru, membuka peluang
pembentukan hukum dalam masalah baru dan memadukan antara pembuatan hukum
dengan kemaslahatan.
3.
Qiyas
adalah dalil yang didukung oleh naluri yang sehat dan teori yang benar. Seseorang
yang melarang minuman karena beracun, bisa mengkiaskan minuman itu kepada semua
minuman yang beracun. Seseorang yang mengharamkan suatu perbuatan karena
mengandung unsur permusuhan dan penganiayaan kepada orang lain, bisa
mengkiaskan perbuatan itu kepada semua perbuatan yang mengandung unsur
permusuhan dan penganiayaan kepada orang lain. Di antara umat manusia tidak ada
perbedaan pendapat bahwa sesuatu yang dimiliki oleh satu di antara dua benda
yang sama, pasti dimiliki oleh salah satu yang lain; selama tidak ada perbedaan
di antara keduanya.
3. Macam-macam qiyas
1.
Qiyas Aula, yaitu
suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan (mulhaq)
dan mempunyai hukum yang lebih utama dari pada tempat menyamakannya (mulhaq
bih). Misalnya, mengqiyaskan memukul kedua orang tua dengan mengatakan “ah “
kepadanya, yang tersebut dalam firman Allah SWT.
وَقَضَىٰ رَبُّكَ
أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا
يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا
أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا ﴿٢٣﴾
Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS. Al Isro, 23)
Mengatakan “ah” kepada ibu bapak dilarang karena illat-nya ialah menyakitkan hati. Oleh karena itu, memukul kedua ibu bapak tentu lebih dilarang, sebab di samping menyakitkan hati juga menyakitkan jasmaninya. Illat larangan yang terdapat pada mulhaq (yang disamakan) lebih berat dari pada yang terdapat pada mulhaq bih. Dengan demikian, larangan memukul kedua orang tua lebih keras dari pada larangan mengatakan “ah“ kepadanya.
2. Qiyas Musawi, yaitu suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum dan illat hukum yang terdapat pada mulhaq-nya sama dengan illat hukum terdapat pada mulhaq bih. Misalnya, merusak harta benda anak yatim mempunyai illat hukum yang sama dengan memakan harta anak yatim, yakni sama-sama merusak harta. Sedang makan harta anak yatim diharamkan, sebagaimana tercantum dalam firman Allah SWT.
إِنَّ الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ
نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا ﴿١٠﴾
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Maka merusak harta anak yatim adalah haram. Keharamannya karena diqiyaskan pada memakan harta anak yatim. (QS. An Nisa’: 10)
3. Qiyas Dalalah, yaitu suatu qiyas dimana illat yang ada pada mulhaq menunjukkan hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya, seperti mengqiyaskan harta milik anak kecil pada harta seorang dewasa dalam kewajibannya mengeluarkan zakat, dengan illat bahwa seluruhnya adalah harta benda yang mempunyai sifat dapat bertambah. Dalam masalah ini, Abu Hanifah berpendapat lain. Bahwa harta benda anak yang belum dewasa tidak wajib di zakati lantaran diqiyaskan dengan haji. Sebab, menunaikan ibadah haji itu tidak wajib bagi anak yang belum dewasa (mukallaf).
PENUTUP
Menurut
bahasa, qiyas artinya ukuran atau mengukur, mengetahui ukuran
sesuatu, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Dengan demikian, qiyas
diartikan mengukurkan sesuatu atas yamg lain, agar diketahui persamaan antara
keduanya. Sedangkan secara terminologi adalah, menyamakan suatu hukum dari
peristiwa yang tidak memiliki nash hukum dengan peristiwa yang sudah memiliki
nash hukum, sebab sama dalam illat hukumnya.
Dalam pandangan jumhur
ulama, qiyas adalah hujjah syara’ atas hukum-hukum sebangsa perbuatan dan
sebagai hujjah syara’ yang keempat. Artinya, apabila hukum suatu peristiwa
(kedua) itu tidak ditemukan adanya nash atau ijma’, sudah pasti memiliki
kesamaan illat dengan peristiwa (pertama) yang ada nash hukumnya, maka
peristiwa kedua diqiyaskan dengan masalah pertama dan dihukumi sama dengan
hukum pada masalah pertama. Hukum itu menjadi ketetapan syara’ yang wajib
diikuti dan diamalkan oleh mukallaf, sedangkan jumhur ulama itu disebut
orang-orang yang menetapkan qiyas. Adapun pembagian qiyas itu sendiri dibagi
menjadi tiga yaitu qiyas aula, musawi dan dalalah.
DAFTAR PUSTAKA
http://ilusuvislam.blogspot.com/2010/05/qiyas.html.
Diakses pada tanggal 14 November 2010
http://makalah-fifacom.blogspot.com/2010/04/qiyas-22.html.
Diakses pada tanggal 14 November 2010
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiki. Pustaka
Amani: Jakarta. 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar