A. Sekilas
tentang Jalaluddin Rumi
a.
Jejarah singkat Jalaluddin Rumi
Jalaluddin
Rumi adalah seorang tokoh besar sufi, dia lahir di Balkh, sekarang Afganistan,
pada tahun 604 H/ 1207 M. Ayahnya, Baha’ Walad, adalah seorang dai terkenal,
ahli fiqih sekaligus seorang sufi, yang menempuh jalan rohani sebagaimana Ahmad
Ghazzali, saudara Muhammad Ghazzali yang juga seorang sufi terkenal. . (William
C. Chittick: 2000, hal: 1)
Menurut tardisi nenek moyangny, Rumi
tergolong masih begitu muda ketika mulai mempelajari ilmu-ilmu eksoterik. Dia
mempelajari berbagai bidang keilmua, meliputi taat Bahasa Arab, ilmu
persajakan, Al-Quran, fiqih, ushul fiqih, tafsir, sejarah, ilmu tentang
doktrin-doktrin atau asas-asas keagamaan, teologi, logika, filsafat,
matematika, dan astronomi. Pada saat ayahnya meninggal dunia pada tahun 628
H/1231 M, dia telah menguasahi semua bidangng keilmuan tersebut. Namanya ketika
itu sudah dapat dijumpai dalam deretan nama-nama ahli hokum islam yang
dijadikan rujukan dari madzhab Hanafi. Karena keilmuannya tersebut, tidak
mengherankan jika pada usia 24 tahun, dia telah diminta untuk menggantikan
tugas-tugas ayahnya sebagai dai sekaligus ahli hokum islam. . (William C.
Chittick: 2000, hal: 2)
Ketika Rumi mengambil alih kedudukan
ayahnya, dia tampak sudah mengguasahi displin-disiplin rohani dan ilmu-ilmu
esoteric sufisme. Sejak itu dia seakan sulit menghindarkan diri dari sufisme,
bahkan senantiasa terdorong ke arahnya. Namun secara formal dia baru menjalani
hidup sebagai seorang sufi ketika Burhan la-Din Tirmidzi, murid kesayangan
ayahnya dating ke kota Konya pada tahun 629 H/1232 M, hingga
kewafatnnya pada tahun 638 H/1240 M. dibawah bimbingannyalah Rumi menjalani
disiplin-disiplin rohani. . (William C. Chittick: 2000, hal: 2)
Setelah kematian Tirmidzi,Rumi terus
menjalankan tugasnya, mengajak dan membimbing orang-orang Konya. Dia menjadi begitu terkenal dan paling
dihormati di kalangan ahli hokum (fiqaha’). Meskipun demikian, dia tetap
menjalani kehidupan rohani sebagai seorang sufi. Bahkan pada masa itu,
sebagaimana disebutkan oleh S. H. Nasr,
Rumi telah menjadi seorang guru sufi sejati. Dia telah melampaui maqam-maqam
sufi dan sampai pada pendakian rohaninya, menyadari (kehadiran) dan melihat
tuhan secara langsung, sebagaimana yang seringkali dia ungkapkan melalui
syairnya.kendati dalam kehidupan sehari-harinya, dia tetap menjalani kehidupan
sebagaimana sebelumnya, sebagai seorang ahli hukum yang dihormati.
Kadang-kadang dia juga menyinggung masalah “keajaiban-keajaiban rohani,”
walaupun tidak pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa dia pernah mengalaminya. Hal
itu berubah manakalah seseorang yang berpenampilan aneh, Syams al-Din dari Tabriz, datang ke konya
pada tahun 642 H/1244 M. . (William C. Chittick: 2000, hal: 3)
b. Ajaran-ajaran Jalaluddin Rumi
Karya-karya Rumi mampu menyajikan
gambaran kaleidoskopis tentang tuhan, manusia dan alam serta keterkaitan antara
ketiganya. Meski memiliki kompleksitas persoalan masing-masing, dalam gambaran
Rumi ketiga realitas tersebut merupakan kesatuan harmoni yang “terreduksi”
kedalam satu ungkapan yang sekalipun tampaknya tidak mungkin menggambarkannya
dalam gambaran yang sistematis secara keseluruhan menyatakan realitas
tunggal:”Tiada tuhan selain Tuhan”. . (William C. Chittick: 2000, hal: 9)
Rumi tidak perna berusaha menulis
sebuah buku ataupun memberikan penjelasan-penjelasan secara rinci mengenai
ajaran-ajarannya. Sebagaian besar ulasannya bahkan mengarah pada corak yang
tidak sistematis dan anekdotis. Pertantyaan yang muncul adalah, mengapa Rumi
tidak perna menyebut-nyebut persoalan metafisika dan misteri-misteri sublim,
padahal para sufi besar seperti Rumi, pada waktu itu, sebagian besar menuliskan
ajaran sufisme melalui risalah-risalah
mereka yang disusun secara sistematis. Sebaliknya, Rumi tidak seperti mereka,
dia tidak perna menuliskan maupun menjelaskan masing-masing tahapan serta maqam-maqam
yang dilampaui oleh para sufi dalam pendakian mereka menuju Tuhan. Namun, Rumi
senantiasa menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya berkaitan dengan
persoalan tersebut, melalui suatu cara yang secara jelas menunjuk pada
pengalaman-pengalamannya sendiri. . (William C. Chittick: 2000, hal: 9-10)
Dalam sebagian besar tulisan Rumi,
secara jelas ditunjukkan bahwa ia tidak semata-mata hendak memberikan
penjelasan tetapi arahan. Syair-syair yang ia gubah, khutbah-khutbah yang ia
sampaikan tidak sekadar dimaksudkan untuk memberi pemahaman berkaitan dengan
ajaran-ajaran islam tidak juga hanya bermaksud menjelaskan sufisme itu tetapi
sesunggunya dia ingin menggugah kesadaran manusia bahwa sebagai mahluk manusia
telah terikat pada kodrat
keterciptaannya untuk selalu mengarahkan seluruh hidupnya pada tuhan dan
sepenuhnya hanya menghambahkan diri pada-Nya. . (William C. Chittick: 2000,
hal: 10)
Sebenarnya, apa yang dapat kita
pahami dari Rumi, juga dapat kita temukan pada tokoh-tokoh lain dalam sejarah
pemikiran islam. Dia menggambarkan dasar tauhid
sebagai pijakan dalam menerangkan hakikat keterciptaan manusia, dengan
menunjuk pada setiap ide-ide kita, aktivitas-aktivitas kita dan eksistensi
kita. Namun pemahaman yang sederhana ini, tampaknya tidak dapat menyatakan pada
kita, mengapa Rumi selalu menarik perhatian orang-orang pada masanya, bahkan
hingga sekarang. . (William C. Chittick: 2000, hal: 10)
Ajaran-ajaran Rumi selalu mengacu
pada Al-quran, sunnah nabi, dan ajaran-ajaran kaum sufi terdahulu, sebagaimana
Dante, yang selalu mengacu pada Bibel, kristus, dan doktrin gereja. Pesan-pesan
Rumi bersifat universal. Dan dia sangan liberal dalam menggunakan
tamsilan-tamsilan yang diambil dari sumber-sumber yang tidak terasa asing bagi
setiap orang. . (William C. Chittick: 2000, hal: 11)
c. Karya-kaya Jalaluddin Rumi
Jalaladdul Rumi adalah seorang sufi
besar, seperti yang dikatakan didepan, sebagaian besar karya-karyanya mengarah
pada corak yang tidak sistematis dan anekdotis, yakni berbentuk syair,
kumpulan-kumpulan hikmah dan surat-suratnya. Diantara buku hasil karyanya
adalah Diwan-I Syams-I Tabrizi dan Masnawi. Berikut ini adalah
contoh-contoh hasil karya Jalaluddin Rumi yang diambil dari beberapa buku hasil
karangannya yang sudah di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia:
Suatu ketika
rasional terhalan, sebuah
semburan
akan terhapus segala fakta
dunia dan
tempat ini.
(Diwan-I Syams-I Tabriz)
Suatu saat
gandum harganya senilaiDengan emas
namun pada saat lain Harganya senilai dengan
kotoran.
Meskipun
nilainya berbeda,
sesungguhnya bentuk gandum itu sama
( Fihi ma Fihi)
. (Ahmad kusuma
.D: 2001, hal: 16)
PEDAGANG
DAN BURUNG BEO
Seorang pedagang memiliki burung beo
yang pintar sekali. Burung itu fasih berbicara, pesis seperti manusia, sehingga
bias menjaga took majikannya, bahkan bias berjualan.
Paad
suatu hari, si majikan harus ketempat lain. Dan dia menitipkan tokonya pada
burung itu.
Hari itu, burung beo tersebut
barangkali lagi sial. Ia menjatuhkan beberapa botol minyak bunga mawar. Tidak
lama kemudian sang pedagang kembali dan melihat kerugiannya, dia tidak bias
menahan diri. Ia menampar kepala burung.begitu keras tampara si pedagang,
sehingga burung itu kehilangan bulu jambulnya yang indah. Buli kepalanya
rontok. Si Beo menjadi sedih sekali, dan mulai hari itu berhenti bicara.
Si pedagang menyesali perbuatannya.
Tetapi apa boleh buat? Dimarahi, dirayu, diapakan pun si Beo tidak mau bicara.
Pikir pedagang,”dia sudah kehilangan suaranya karena shock!” padahal tidak demikian.
Dia hanya mogok bicara sebagai perotes terhadap perlakuan majikannya.
Pada suatu hari si Beo melihat
seorang pengembara sufi,seorang darvish yang berkepala polos. Ya, licin, tanpa
rambut alias botak. Dia langsung menegurnya, “Hai sahabat, rupanya kamu pun
menumpahkan beberapa botol minyak mawar.”
Mereka yang mendengar teguran si Beo
tertawa geli, “jangan menyamakan dirimu dengan seorang darvish. Lain dia, lain
kamu, walaupun sama-sama botak”.
(Masnawi)
. (Ananda
Krishna: 1999, hal: 26)
B. Pengertian Sufi
Sebelum kita memahami apa itu Sufi,
sebaiknya kita memahami terlebih dahulu tentang Tasawuf. Jika kita membuka
buku-buku tasawuf, maka akan ditemukan puluhan bahkan ratusan defenisi tasawuf.
Defenisi-defenisi itu, ada yang dirumuskan dengan beranjak dari penggalaman
pada tahap permulaan dari kehidupan kesufian, ada yang dibuat berdasarkan
kegiatan dan kesungguhan dalam menjalankan kehidupan kesufian dan adapula yang
berdasarkan rasa tertentu ketika berada di hadirat Allah. Tanpa bermaksud
menggurangi keluasan dan kedalaman makna dari defenisi-defenisi yang banyak dan
beragam itu, defenisi yang dikemukakan oleh Muhammad Amin Kurdi berikut tersasa
mewakili,karena kandungannya yang relatif konperhensif. Beliau menegaskan bahwa
“Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya diketahui hal ihwal kebaikan jiwa,
cara membersikannya dari yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat yang
terpuji, cara melakukan (suluk), dan perjalanan menuju Allah”. (M. Jamil:
2004, hal: iii)
Sedangakn
sufi adalah seseorang yang mendalami tentang ajaran Tasawuf, yang penekanannya
adalah “bagaimana mensucikan hati”.
Untuk kearah itu maka seseorang yang mempelajari Tasawuf (Sufi)
berpendapat bahwa dirinya haruslah dilatih, guna memperoleh tanjakan-tanjakan
bathin menuju kearah maqam Tawakal (penyerahan diri secara total kepada Allah).
Secara
harfiah terdapat beberapa penafsiran tentang arti istilah sufi. Di antara
penafsiran itu antara lain menyebutkan bahwa kata sufi bermula dari kata safa
(suci hati dan perbuatan), saff (barisan terdepan di hadapan Tuhan), suffah
(menyamai sifat para sahabat yang menghuni serambi masjid nabawi di masa
kenabian), saufanah (sejenis buah/buahan yang tumbuh di padang pasir), safwah
(yang terpilih atau terbaik), dan bani sufah (kabilah badui yang tinggal dekat
Ka’bah di masa jahiliyah). Menurut Imam Qushaeri, keenam pendapat tersebut di
atas jauh dari analogi bahasa kata sufi. Sedangkan yang lebih sesuai adalah
berasal dari kata suf (bulu domba). Hal ini dinisbahkan kepada kebiasaan para
sufi klasik yang memakai pakaian dari bulu domba kasar sebagai simbol
kerendahan hati. Dalam kaidah ilmu sharaf, tasawwafa berarti memakai baju wol,
sejajar dengan taqammasa yang berarti memakai kemeja. (WWW.Kidungpeziarah.WordPress.com)
Sedangkan
menurut beberapa ulama yang lain kata sufi dinisbahkan dari Ahl al-Shuffah.
Yaitu sebuah komunitas yang memiliki krateristik yang menyibukkan diri dengan
kegiatan ibadah dengan tidak membuang waktu dengan sia-sia. Mereka meninggalkan
kehidupan dunia dan memilih pola hidup zuhud. Ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut
barasal dari kata shafa yang berarti suci. Dengan demikian mereka
memiliki cara hkusus dalam aktifitas dan ibadah mereka yaitu atas dasar kesucian
hati dan untuk pembersihan jiwa dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
(M. Jamil: 2004, hal: 2-3)
C. Sufi
Menurut Jalaluddin Rumi
Dalam pandangan Rumi, manusi tidak
diciptakan untuk memuaskan sisi materi dari wujudnya; namun sisi materi justru
merupakan wahana yang dengannya dia akan mendekati perbatasan Keabadian. Rumi
percaya bahwa disamping lima indera materi kita,
ada lima indera
abadi yang dengannya dunia gaib dan abadi mungkin dipahami. Kita harus
mereduksi sedikit demi sedikit ketergantungan kita pada indera materi kita dan
mencoba untuk menghapus hasrat materi kita. Kemudian, indera abadi kita akan
mulai bekerja dan memampuhkan kita untuk memahami apa yang tidak bias diajarkan
melalui prigram pendidikan dan melalui perlengkapan canggih dan mahal di
sekolah dan universitas moderen. (Leonard Lewisohn: 1999, hal: 475-476)
Transisi dari kehidupan materi dan
nafsu menuju pemahaman spiritual akan tereksistensi gaib, bagi kebanyakan
orang, tampak tidak bias dipercaya atau setidaknya mustahil, dan memang
sebagaian besar orang tidak diharapkan untuk menaikan diri meraka menuju
penggalaman transformatif ini. Tetapi dalam pandangan Rumi, kenaikan ini dapat
dicapai oleh siapa saja yang layak memperoleh pertolongan Tuhan dan
dukungan-Nya. Pertolongan Ilahi akan memampukan manusia untukmengubah indera
lahirnya menjadi indra batin atau hawass-I batin. Untuk perubahan
serupa, ekspresi Rumi dalam guzara syudan-I hawass, atau “berlalunya
indera melintas selubung kebodohan.” . (Leonard Lewisohn: 1999, hal: 476)
Ekspresi lain untuk perubahan ini
adalah taqlib-i rabb atau taqlib-I khuda, “perubahan sepiritual
yang dilakukan Tuhan”, yang dengannya Rumi merujuk pada hadits Nabi sesuai
dengan “hati manusia yang berada dianrata dua jemari Tuhan sebagai sebantuk hati
tunggal, dan dia memalingkan hati itu sesuka dia”. (Leonard Lewisohn: 1999,
hal: 476)
Untuk
menjelaskan perbedaan antara seorang manusia yang layak memperoleh pertolongan
dan dukungan dari Tuhan dan seorang manusia yang tidak memiliki kapasitas semacam
itu, Rumi mempunyai banyak kiasan dan parabel dalam Masnawi. Salah
satunya adalah kisah tentanmg seekor unggas lokal yang mengangkat beberapa anak
itik, yang dierami di balik sayapnya. Anak ituk ini keluar dari cangkangnya dan
kemudian berjalan menuju tepi sungai dengan ibu angkat mereka. Di sungai,
mereka segera mulai berenang, tetapi unggas lokal berjalan berputar dan tidak
berani turun ke air. Di akhir parabel ini, Rumu berkata:
“Tinggalkanlah
perawat di atas tanah kering;
Engkau
mengarungi lautan realitas spiritual seperti itik.”
(Leonard
Lewisohn: 1999, hal: 476-477)
Mereka yang mampu berenang dilaut
realitas, bukanlah para budak dari hasrat materi mereka atau hawa-yi nafis.
Kebutuhan dan hasrat materi mereka telah dimanfaatkan demi kehidupan material
mereka, dan sebagaimana Rumi berkata, “Mereka percaya bahwa makanan asli
manusia adalah Cahaya Tuhan”. Makan semacam itu munkin tidak dimakan melalui
mulut dan kerongkongan materi kita. Pendakian sepiritual memberi mereka
memperoleh makan dan minum immaterial, dan makanan itu tidaklain adalah
kesadaran sepiritual tentang Eksistensi Mutlak (hasti-yi mutlaq).
(Leonard Lewisohn: 1999, hal: 477)
Kesimpulan
Rumi telah menyajikan seluk beluk psikologi sufi, sekalipun tidak secara
sistematis, sebagaimana yang dapat dijumpai dalam teks-teks klasik. Sehingga,
seseorang yang ingin mempelajari karya-karyanya Runi, harus menggunakn kerangka
pemahamannya sendiri agar ajaran-ajaran Rumi dapat dipahami.
Dari semua hasil karya Jalaluddin Rumi kebanyakan berbentuk syair-syair,
hikmah dan surat-suratnya yang tidak mudah untuk diterjemahkan.
Tulisan-tulisannya bersifat teknis, sangat padat, seringkali eliptis, dan
komentar seringkali tanpak membutuhkan klarifikasi lebuh banyak daripada puisi.
Walaupun demikian ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari
pembahasan singkat diatas yaitu:
- Jalaluddin Rumi adalah seorang tokoh besar Sufi yang dengan karya-karyanya dapat menggemparkann dunua pada masanya dan sampai saat ini. Pemikiran-pemikirannya sufi sangat mendalam walau disajikan dalam bentuk yang berbeda dari tokoh-tokoh sufi pada masanya, tapi itu tidak menggurangi makna yang terkandung didalam setiap karya-karyanya. Bahkan itu membuat karya-karya Jalaluddin Rumi bahan renungan dan kajian selama bertahun-tahun diseluruh dunia, tidak hanya didunia Islam tapi juga didunia Barat.
- Menurut pandangan Jalaluddin Rumi, manusia tidak diciptakan untuk memuaskan sisi materi, tetapi sisi materi ini justru digunakan untuk jalan atau perantara kita untuk mendekatkan diri kepada Tuhan (Allah)
Daftar
Pustaka
Chittick, C. William. 2000. Jalan Cinta Sang Sufi:
Aharan-ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi. Penerbit Kalam; Yogyakarta.
Jamil, Muhammad.
2004. Cakrawala Tasawuf. Gaung Persada Press; Ciputat.
Krishna, Ananda.
2001.MASNAWI Bersama Jalaluddin Rumi Menggapai Langit Biru Tak Berbingkai.
PT. Gramedia Pustaka Utama; Jakarta.
Lewisohn,
Leonard. 1999. Warisan Sufi. Pustaka Sufi; Yogyakarta
D. Kusuma, Ashad.
2002. Kisah Keajaiban Cinta. Kreasi Wacana; Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar