A.
Pengertian dan Sejarah Tarekat
Syattariyah
Tarekat menurut pandangan para ulama’ Muthasawwifin, yaitu jalan atau
petunjuk dalam meleksanakan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh
Rosullullah SAW dan yang dicontohkan oleh beliau dan para sahabatnya serta para
tabi’in, Tabi’it tabi’in dan terus bersambung sampai kepada para guru-guru,
ulama’, Kyai-kyai secara bersambung hingga pada masa sekarang ini.[1]
Tarekat adalah suatu cara atau pendakian yang ditempuh oleh para tasawuf
atau kaum mutashawwifin untuk mencapai tujuan. Dalam ilmu tasawuf dikatakan
bahwa syari’at itu merupakan peraturan, tarekat itu merupakan pelaksanaan,
sedangkan hakekat merupakan keadaan dan ma’rifat merupakan tujuan yang
terakhir. Tentang pelaksanaan dan cara untuk mencapai tujuan antara satu dengan
lainnya.[2]
Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India
pada abad ke 15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan
berjasa mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar. Awalnya tarekat ini lebih
dikenal di Iran
dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki
Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah.
Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-Isyqi, yang dianggap
sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarekat
Syattariyah tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari persatuan sufi mana
pun. Tarekat ini dianggap sebagai suatu tarekat tersendiri yang memiliki
karakteristik-karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan praktik.
Hanya sedikit
yang dapat diketahui mengenai Abdullah asy-Syattar. Ia adalah keturunan
Syihabuddin Suhrawardi. Kemungkinan besar ia dilahirkan di salah satu tempaat
di sekitar Bukhara.
Di sini pula ia ditahbiskan secara resmi menjadi anggota Tarekat Isyqiyah oleh
gurunya, Muhammad Arif.
Nisbah asy-Syattar yang berasal dari kata syatara,
artinya membelah dua, dan nampaknya yang dibelah dalam hal ini adalah kalimah
tauhid yang dihayati di dalam dzikir nafi itsbat, la ilaha (nafi) dan illallah
(itsbah), juga nampaknya merupakan pengukuhan dari gurunya atas derajat
spiritual yang dicapainya yang kemudian membuatnya berhak mendapat pelimpahan
hak dan wewenang sebagai Washitah (Mursyid). Istilah Syattar sendiri, menurut
Najmuddin Kubra, adalah tingkat pencapaian spiritual tertinggi setelah Akhyar
dan Abrar. Ketiga istilah ini, dalam hierarki yang sama, kemudian juga dipakai
di dalam Tarekat Syattariyah ini. Syattar dalam tarekat ini adalah para sufi
yang telah mampu meniadakan zat, sifat, dan af'al diri (wujud jiwa raga).[3]
Namun karena popularitas Tarekat Isyqiyah ini tidak
berkembang di tanah kelahirannya, dan bahkan malah semakin memudar akibat
perkembangan Tarekat Naksyabandiyah, Abdullah asy-Syattar dikirim ke India
oleh gurunya tersebut. Semula ia tinggal di Jawnpur, kemudian pindah ke Mondu,
sebuah kota muslim di daerah Malwa (Multan). Di India inilah,
ia memperoleh popularitas dan berhasil mengembangkan tarekatnya tersebut.
Tidak diketahui apakah perubahan nama dari Tarekat
Isyqiyah yang dianutnya semula ke Tarekat Syattariyah atas inisiatifnya sendiri
yang ingin mendirikan tarekat baru sejak awal kedatangannya di India
ataukah atas inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai akhir hayatnya (1428).[4]
Sepeninggal Abdullah asy-Syattar, Tarekat Syattariyah
disebarluaskan oleh murid-muridnya, terutama Muhammad A'la, sang Bengali, yang
dikenal sebagai Qazan Syattari. Dan muridnya yang paling berperan dalam
mengembangkan dan menjadikan Tarekat Syattariyah sebagai tarekat yang berdiri
sendiri adalah Muhammad Ghaus dari Gwalior
(w.1562),
Keturunan keempat dari sang pendiri. Muhammad Ghaus
mendirikan Ghaustiyyah, cabang Syattariyah, yang mempergunakan praktik-praktik
yoga. Salah seorang penerusnya Syah Wajihuddin (w.1609), wali besar yang sangat
dihormati di Gujarat, adalah seorang penulis
buku yang produktif dan pendiri madrasah yang berusia lama. Sampai akhir abad
ke-16, tarekat ini telah memiliki pengaruh yang luas di India. Dari wilayah ini Tarekat
Syatttariyah terus menyebar ke Mekkah, Madinah, dan bahkan sampai ke Indonesia.
Tradisi tarekat yang bernafas India ini dibawa ke Tanah Suci oleh
seorang tokoh sufi terkemuka, Sibghatullah bin Ruhullah (1606), salah seorang
murid Wajihuddin, dan mendirikan zawiyah di Madinah. Syekh ini tidak saja
mengajarkan Tarekat Syattariah, tetapi juga sejumlah tarekat lainnya, sebutlah
misalnya Tarekat Naqsyabandiyah. Kemudian Tarekat ini disebarluaskan dan
dipopulerkan ke dunia berbahasa Arab lainnya oleh murid utamanya, Ahmad
Syimnawi (w.1619). Begitu juga oleh salah seorang khalifahnya, yang kemudian
tampil memegang pucuk pimpinan tarekat tersebut, seorang guru asal Palestina,
Ahmad al-Qusyasyi (w.1661).[5] Setelah Ahmad al-Qusyasyi meninggal, Ibrahim al Kurani (w.
1689), asal Turki, tampil menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi dan
penganjur Tarekat Syattariyah yang cukup terkenal di wilayah Madinah.
Dua orang yang disebut terakhir di atas, Ahmad
al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani, adalah guru dari Abdul Rauf Singkel yang
kemudian berhasil mengembangkan Tarekat Syattariyah di Indonesia. Namun sebelum
Abdul Rauf. Telah ada seorang tokoh sufi yang dinyatakan bertanggung jawab
terhadap ajaran Syattariyah yang berkembang di Nusantara lewat bukunya Tuhfat
al-Mursalat ila ar Ruh an-Nabi, sebuah karya yang relatif pendek tentang wahdat
al-wujud. Ia adalah Muhammad bin Fadlullah al-Bunhanpuri (w. 1620), juga salah
seorang murid Wajihuddin. Bukunya, Tuhfat al-Mursalat, yang menguraikan
metafisika martabat tujuh ini lebih populer di Nusantara ketimbang karya Ibnu
Arabi sendiri.
Martin van Bruinessen menduga bahwa kemungkinan
karena berbagai gagasan menarik dari kitab ini yang menyatu dengan Tarekat
Syattariyah, sehingga kemudian murid-murid asal Indonesia yang berguru kepada
al-Qusyasyi dan Al-Kurani lebih menyukai tarekat ini ketimbang tarekat-tarekat
lainnya yang diajarkan oleh kedua guru tersebut. Buku ini kemudian dikutip juga
oleh Syamsuddin Sumatrani (w. 1630) dalam ulasannya tentang martabat tujuh,
meskipun tidak ada petunjuk atau sumber yang menjelaskan mengenai apakah
Syamsuddin menganut tarekat ini. Namun yang jelas, tidak lama setelah
kematiannya, Tarekat Syattariyah sangat populer di kalangan orang-orang Indonesia
yang kembali dari Tanah Arab.[6]
Abdul Rauf sendiri yang kemudian turut mewarnai
sejarah mistik Islam di Indonesia pada abad ke-17 ini, menggunakan kesempatan
untuk menuntut ilmu, terutama tasawuf ketika melaksanakan haji pada tahun 1643.
Ia menetap di Arab Saudi selama 19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh
agama dan ahli tarekat ternama. Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia kembali ke
Aceh dan mengembangkan tarekatnya. Kemasyhurannya dengan cepat merambah ke luar
wilayah Aceh, melalui murid-muridnya yang menyebarkan tarekat yang dibawanya.
Antara lain, misalnya, di Sumatera Barat dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhanuddin
dari Pesantren Ulakan; di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya, oleh
Abdul Muhyi. Dari Jawa Barat, tarekat ini kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Di Sulewasi Selatan disebarkan oleh salah seorang tokoh Tarekat
Syattariyah yang cukup terkenal dan juga murid langsung dari Ibrahim al-Kurani,
Yusuf Tajul Khalwati (1629-1699).[7]
Martin menyebutkan bahwa sejumlah cabang tarekat ini
kita temukan di Jawa dan Sumatera, yang satu dengan lainnya tidak saling
berhubungan. Tarekat ini, lanjut Martin, relatif dapat dengan gampang berpadu
dengan berbagai tradisi setempat; ia menjadi tarekat yang paling
"mempribumi" di antara berbagai tarekat yang ada. Pada sisi lain,
melalui Syattariyah-lah berbagai gagasan metafisis sufi dan berbagai klasifikasi
simbolik yang didasarkan atas ajaran martabat tujuh menjadi bagian dari
kepercayaan popular orangJawa.[8]
B.
Ajaran
Tarekat Syattariyah
Perkembangan mistik
tarekat ini ditujukan untuk mengembangkan suatu pandangan yang membangkitkan
kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana'.
Penganut Tarekat Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak
gerak napas makhluk. Akan tetapi, jalan yang paling utama menurut tarekat ini
adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar. Seorang salik
sebelum sampai pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu harus mencapai
kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang
terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu ada sepuluh aturan
yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini, yaitu taubat, zuhud,
tawakkal, qana'ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah.
Sebagaimana halnya tarekat-tarekat lain, Tarekat
Syattariyah menonjolkan aspek dzikir di dalam ajarannya.[9] Tiga kelompok yang disebut di atas, masing-masing memiliki
metode berdzikir dan bermeditasi untuk mencapai intuisi ketuhanan, penghayatan,
dan kedekatan kepada Allah SWT. Kaum Akhyar melakukannya dengan menjalani
shalat dan puasa, membaca al-Qur'an, melaksanakan haji, dan berjihad. Kaum
Abrar menyibukkan diri dengan latihan-latihan kehidupan asketisme atau zuhud
yang keras, latihan ketahanan menderita, menghindari kejahatan, dan berusaha
selalu mensucikan hati. Sedang kaum Syattar memperolehnya dengan bimbingan
langsung dari arwah para wali. Menurut para tokohnya, dzikir kaum Syattar
inilah jalan yang tercepat untuk sampai kepada Allah SWT.
C.
Dzikir
Tarekat Syattariyah
Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam dzikir muqaddimah,
sebagai pelataran atau tangga untuk masuk ke dalam Tarekat Syattariyah, yang
disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia. Ketujuh macam dzikir ini
diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai ke Allah dapat
selamat dengan mengendarai tujuh nafsu itu. Ketujuh macam dzikir itu sebagai
berikut[10]:
1. Dzikir thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.
2. Dzikir nafi itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan suara nafi-nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya, illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah.
3. Dzikir itsbat faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.
4. Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.
5. Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi.
6. Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi.
7. Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa.
1. Dzikir thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.
2. Dzikir nafi itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan suara nafi-nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya, illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah.
3. Dzikir itsbat faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.
4. Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.
5. Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi.
6. Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi.
7. Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa.
Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT
di dalam Surat
al-Mukminun ayat 17: "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu
semua tujuh buah jalan, dan Kami sama sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan
Kami (terhadap adanya tujuh buah jalan tersebut)".
Adapun ketujuh macam nafsu yang harus ditunggangi tersebut,
sebagai berikut:[11]
1. Nafsu Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifat-sifat berikut:
Senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan gelap, tidak mengetahui Tuhannya.
2. Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu ini: enggan, acuh, pamer, 'ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban.
3. Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan. Sifat-sifatnya: dermawan, sederhana, qana'ah, belas kasih, lemah lembut, tawadlu, tobat, sabar, dan tahan menghadapi segala kesulitan.
4. Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah susu kiri. Sifat-sifatnya: senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah, syukur, ridla, dan takut kepada Allah SWT.
5. Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara', riyadlah, dan menepati janji.
6. Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya: berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk.
7. Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: Ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin.
1. Nafsu Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifat-sifat berikut:
Senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan gelap, tidak mengetahui Tuhannya.
2. Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu ini: enggan, acuh, pamer, 'ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban.
3. Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan. Sifat-sifatnya: dermawan, sederhana, qana'ah, belas kasih, lemah lembut, tawadlu, tobat, sabar, dan tahan menghadapi segala kesulitan.
4. Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah susu kiri. Sifat-sifatnya: senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah, syukur, ridla, dan takut kepada Allah SWT.
5. Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara', riyadlah, dan menepati janji.
6. Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya: berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk.
7. Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: Ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin.
Khusus dzikir dengan nama-nama Allah
(al-asma' al-husna), tarekat ini membagi dzikir jenis ini ke dalam tiga
kelompok. Yakni, a) menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan
keagungan-Nya, seperti al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan lain-lain; b)
menyebut nama Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya seperti,
al-Malik, al-Quddus, al-'Alim, dan lain-lain; dan c) menyebut nama-nama Allah
SWT yang merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut, seperti al-Mu'min,
al-Muhaimin, dan lain-lain. Ketiga jenis dzikir tersebut harus dilakukan secara
berurutan, sesuai urutan yang disebutkan di atas. Dzikir ini dilakukan secara
terus menerus dan berulang-ulang, sampai hati menjadi bersih dan semakin teguh
dalam berdzikir. Jika hati telah mencapai tahap seperti itu, ia akan dapat
merasakan realitas segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun ruhani.
Satu hal yang harus diingat, sebagaimana
juga di dalam tarekat-tarekat lainnya, adalah bahwa dzikir hanya dapat dikuasai
melalui bimbingan seorang pembimbing spiritual, guru atau syekh. Pembimbing
spiritual ini adalah seseorang yang telah mencapai pandangan yang membangkitkan
semua realitas, tidak bersikap sombong, dan tidak membukakan rahasia-rahasia
pandangan batinnya kepada orang-orang yang tidak dapat dipercaya.
Di dalam tarekat ini, guru atau yang biasa
diistilahkan dengan wasithah dianggap berhak dan sah apabila terangkum dalam
mata rantai silsilah tarekat ini yang tidak putus dari Nabi Muhammad SAW lewat
Ali bin Abi Thalib ra, hingga kini dan seterusnya sampai kiamat nanti; kuat
memimpin mujahadah Puji Wali Kutub; dan memiliki empat martabat yakni mursyidun
(memberi petunjuk), murbiyyun (mendidik), nashihun (memberi nasehat), dan
kamilun (sempurna dan menyempurnakan).
Secara terperinci,
persyaratan-persyaratan penting untuk dapat menjalani dzikir di dalam Tarekat
Syattariyah adalah sebagai berikut: makanan yang dimakan haruslah berasal dari
jalan yang halal; selalu berkata benar; rendah hati; sedikit makan dan sedikit
bicara; setia terhadap guru atau syekhnya; kosentrasi hanya kepada Allah SWT;
selalu berpuasa; memisahkan diri dari kehidupan ramai; berdiam diri di suatu
ruangan yang gelap tetapi bersih; menundukkan ego dengan penuh kerelaan kepada
disiplin dan penyiksaan diri; makan dan minum dari pemberian pelayan; menjaga
mata, telinga, dan hidung dari melihat, mendengar, dan mencium segala sesuatu
yang haram; membersihkan hati dari rasa dendam, cemburu, dan bangga diri;
mematuhi aturan-aturan yang terlarang bagi orang yang sedang melakukan ibadah
haji, seperti berhias dan memakai pakaian berjahit.[12]
D.
Sanad
atau Silsilah Tarekat Syattariyah
Sebagaimana tarekat pada umumnya, tarekat ini
memiliki sanad atau silsilah para wasithahnya yang bersambungan sampai kepada
Rasulullah SAW. Para pengikut tarekat ini
meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW, atas petunjuk Allah SWT, menunjuk Ali bin Abi
Thalib untuk mewakilinya dalam melanjutkan fungsinya sebagai Ahl adz-dzikr,
tugas dan fungsi kerasulannya. Kemudian Ali menyerahkan risalahnya sebagai Ahl
adz-dzikir kepada putranya, Hasan bin Ali, dan demikian seterusnya sampai
sekarang. Pelimpahan hak dan wewenang ini tidak selalu didasarkan atas garis
keturunan, tetapi lebih didasarkan pada keyakinan atas dasar kehendak Allah SWT
yang isyaratnya biasanya diterima oleh sang wasithah jauh sebelum melakukan
pelimpahan, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Muhammad SAW sebelum melimpahkan
kepada Ali bin Abi Thalib.
Berikut sanad Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh para mursyid atau wasithahnya di Indonesia:[13]
Berikut sanad Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh para mursyid atau wasithahnya di Indonesia:[13]
- Nabi Muhammad SAW
- kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib,
- kepada Sayyidina Hasan bin Ali asy-Syahid,
- kepada Imam Zainal Abidin,
- kepada Imam Muhammad Baqir,
- kepada Imam Ja'far Syidiq,
- kepada Abu Yazid al-Busthami,
- kepada Syekh Muhammad Maghrib,
- kepada Syekh Arabi al-Asyiqi,
- kepada Qutb Maulana Rumi ath-Thusi,
- kepada Qutb Abu Hasan al-Hirqani,
- kepada Syekh Hud Qaliyyu Marawan Nahar,
- kepada Syekh Muhammad Asyiq,
- kepada Syekh Muhammad Arif,
- kepada Syekh Abdullah asy-Syattar,
- kepada Syekh Hidayatullah Saramat,
- kepada Syekh al-Haj al-Hudhuri,
- kepada Syekh Muhammad Ghauts,
- kepada Syekh Wajihudin,
- kepada Syekh Sibghatullah bin Ruhullah,
- kepada Syekh Ibnu Mawahib Abdullah Ahmad bin Ali,
- kepada Syekh Muhammad Ibnu Muhammad,
- kepada Syekh Abdul Rauf Singkel,
- kepada Syekh Abdul Muhyi (Safarwadi, Tasikmalaya),
- kepada Kiai Mas Bagus (Kiai Abdullah) di Safarwadi,
- kepada Kiai Mas Bagus Nida' (Kiai Mas Bagus Muhyiddin) di Safarwadi,
- kepada Kiai Muhammad Sulaiman (Bagelan, Jateng),
- kepada Kiai Mas Bagus Nur Iman (Bagelan),
- kepada Kiai Mas Bagus Hasan Kun Nawi (Bagelan)
- kepada Kiai Mas Bagus Ahmadi (Kalangbret, Tulungagung),
- kepada Raden Margono (Kincang, Maospati),
- kepada Kiai Ageng Aliman (Pacitan),
- kepada Kiai Ageng Ahmadiya (Pacitan),
- kepada Kiai Haji Abdurrahman (Tegalreja, Magetan),
- kepada Raden Ngabehi Wigyowinoto Palang Kayo Caruban,
- kepada Nyai Ageng Hardjo Besari,
- kepada Kiai Hasan Ulama (Takeran, Magetan),
- kepada Kiai Imam Mursyid Muttaqin (Takeran),
- kepada Kiai Muhammad Kusnun Malibari (Tanjunganom, Nganjuk) dan
- kepada KH Muhammad Munawar Affandi (Nganjuk).
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
- Tarekat menurut pandangan para ulama’ Muthasawwifin, yaitu jalan atau petunjuk dalam meleksanakan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rosullullah SAW dan yang dicontohkan oleh beliau dan para sahabatnya serta para tabi’in, Tabi’it tabi’in dan terus bersambung sampai kepada para guru-guru, ulama’, Kyai-kyai secara bersambung hingga pada masa sekarang ini.
B.
Tarekat Syattariyah adalah aliran
tarekat yang pertama kali muncul di India pada abad ke 15. Tarekat ini
dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya,
Abdullah asy-Syattar. Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan
Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki
Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah.
C.
Penganut
Tarekat Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak gerak napas
makhluk. Akan tetapi, jalan yang paling utama menurut tarekat ini adalah jalan
yang ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar. Seorang salik sebelum sampai
pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada
tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang terbaik) serta
menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu ada sepuluh aturan yang harus
dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini, yaitu taubat, zuhud, tawakkal,
qana'ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah.
B. Kritik
dan Saran
Dizaman modern
ini manusia kurang sekalimemperhatikan hal-hal yang menyangkut akhirat, manusia
lupa siapa yang menciptakan dirinya, dunia beserta isinya, manusia terlena akan
kecanggihan teknologi sebenarnya belum terlambat untuk bertaubat dan banyak
jalan untuk melaksanakannya salah satunya beribadah dengan tekun serta bisa
juga debgab masuk tarekat karena di dalam tarekat akan diajarkan jalan untuk
beribadah serta dekat dengan Allah dan di antara tarekat-tarekat yang ada salah
satunya adalah tarekat Syattariyah yang sejak zaman Nabi sudah ada, padaera
sekarang ini tarekat Syattariyah ini masih cocok untuk diterapkan dan dianut karana tarekat ini
adalah salah satu tarekat yang muktabarah.
DAFTAR PUSATKA
- Mulyati, Sri. Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006
- Saifulloh al-Aziz Senali, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Terbit Terang
- http://www.sufinews.com/ file:///H:/Tasawuf/tarekat-syattariyah.html, zezz
- file:///H:/Tasawuf/mengenali-sattariyah.html, Cinta Itu Suci
[1]
Saifulloh al-Aziz Senali. “Risalah Memahami Ilmu Tasawuf”
[2] Sri Mulyati ”Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia”
[3] Sri Mulyati ”Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia”
[4] Sufin ,tasawuf Tarekat satariiyah ,
http://www.sufinews.com/
file:///H:/Tasawuf/tarekat-syattariyah.html
diakses pada tgl 24-12-08 jam 13.00
[5]Sufin,2002 ,tarekat satariah http://www.sufinews.com/
file:///H:/Tasawuf/tarekat-syattariyah.html diakses pada tgl-22-12-08 jam 21.00
[7] Sufin,2002 ,tarekat satariah http://www.sufinews.com/
file:///H:/Tasawuf/tarekat-syattariyah.html diakses pada tgl-22-12-08 jam 21.00
[8] Sufin,2002 ,tarekat satariah http://www.sufinews.com/
file:///H:/Tasawuf/tarekat-syattariyah.html diakses pada tgl-22-12-08 jam 21.00
[9] Sri
Mulyati ”Mengenal dan Memahami
Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia”
[11] Sufin,2002 ,tarekat satariah http://www.sufinews.com/
file:///H:/Tasawuf/tarekat-syattariyah.html diakses pada tgl-22-12-08 jam 21.00
[12] Sri
Mulyati ”Mengenal dan Memahami
Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia”
[13] Sufin,2002 ,tarekat satariah http://www.sufinews.com/
file:///H:/Tasawuf/tarekat-syattariyah.html diakses pada tgl-22-12-08 jam 21.00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar