Proses Kelahiran Tariqat Tijaniyah
Tariqat tijaniyah didirikan oleh Ahmad bin Muhammad
Al-Tijani (1150-1230 H) yang lahir di Desa ‘Ain Madi, Aljazair Selatan dan
meninggal di fez, Maroko, dalam usia 80 tahun. Syaikh Ahmad Tijani diyakini
oleh kaum tijaniyah sebagai wali agung yang memiliki derajat tertinggi, dan
memiliki banyak keramat, karena didukung oleh faktor genealogis, tradisi keluarga,
dan proses penempaan dirinya.[4]
Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Salim bin al-‘Idl bin
Salim bin Ahmad bin ‘Ali-bin Ishaq bin Zain al-‘Abidin bin Ahmad bin Abi Talib,
dari garis siti fatimah al-zahra’ binti
Muhammad Rasulullah SAW.
Ahmad Tijani lahir dan dibesarkan dalm lingkungan
tradisi keluarga yang taat beragama. A. Fauzan Fathullah membagi riwayat hidup
Syaikh Ahmad Tijani kedalam beberapa periode:
a.
Periode kanak-kanak (sejak lahir
(1150 M)-usia 7 tahun)
b.
Periode menuntut Ilmu (usia 7-
belasan tahun)
c.
Periode sufi (usia 21-31 tahun)
d.
Periode iyadhah dan mujahadah
(usia 31-46 tahun)
e.
Periode al-fath al akbar
(tahun 1196 H)
f.
Periode pengangkatan sebagi wali al-hatm (tahun 1214 H)
Pada bulan Muharram 1214 H mencapai al-quthbaniyah
al-uzm, dan pada tanggal 18 Safar 1214 H mencapai wali al- katm wa
al-maktum. Ketika memasuki usia dewasa, ia tenggelam dalam dunia sufi,
sehingga dapat mencapai derajat wali tertinggi.
Kelahiran Tariqat Tijaniyah sangat terkait dengan
kedudukan syaikh ‘Ahmad Tijani sebagai wali al- qutb al-a’ zham. Derajat
kewalian Ahmad Tijani sebagai al-quthb – al-a ‘zham dan wali al-khatm
wa-maktum diyakini oleh kaum tijaniyah dicapai melalui proses panjang.
Sebelum diangkat sebagai wali besar, sebagai mana telah dikatakan sejak usia 7
tahun telah hafal Al-Qur’an kemudian sampai usia 20 tahun beliau mendalami
berbagai cabang ilmu seperti: Ilmu Usul, Ilmu Furu’, dan Ilmu Adab. Kemudian mulai usia 21 tahun sampai 31 tahun syaikh
Ahmad Tijani mulai mengamalkan Ilmu-ilmu kesufiannya dan kewalian. Sejak usia
46 tahun ia menenggelamkan diri dalam amalan-amalan para wali. Ia mengunjungi
para wali besar di berbagai Negara seperti Tunis,
Mesir, Makkah, Madinah, Maroko, Fez,
dan Abi samghun.
Kunjungan Syaikh
Ahmad Tijani kepada wali-wali besar dalam upaya silaturrahmi dan mencari
ilmu—ilmu kewalian secara lebih luas. Pada saat itu pula para wali besar,
sebagaimana telah dikatakan melihat dan mengakui bahwa Syaikh Ahmad Tijani
adalah wali besar bahkan lebih besar derajatnya dari yang lain. Kesaksian para
wali besar atas derajat kewalian Syaikh Ahmad Tijani yang tinggi diakui dan
disaksikan dihadapan Syaikh Ahmad Tijani. Didalam dunia tasawuf diakuai bahwa
seorang wali bisa melihat wali dan derajat kewalian hanya bisa diketahui oleh
sesama wali, yang hakikatnya berasal dari Allah, anugrah dari Allah, tidak
dapat diketahui kecuali atas kehendak Allah. Seorang wali, dengan ilmu
ma’rifah-nya dan atas anugrah Allah, bisa mengetahui derajat sesama wali.
Proses panjang ilmu-ilmu kewalian, melalui perjalanan
panjang, kunjungan Syaikh Ahmad Tijani kepada pembesar wali, dengan
kesaksiannya berakhir di padang Sahara, daerah tempat wali besar Abu Samghun. Pada tahun
1196 H. beliau pergi ke Sahara tempat Abu Samghun
berada. Ditempat inilah (pada tahun 1196 H) Syaikh Ahmad Tijani mencapai
anugrah dari Allah, Yaitu (Pembukaan Besar). Pada saat itu Syaikh Ahmad Tijani
mengaku, berjumpa dengan Rasulullah SAW, dalam keadaan sadar lahir batin dan
bukan dalam keadaan mimpi. Saat demikian menjadi momentum yang penting dan
menentukan bagi syaikh Ahmad Tijani mendapat talqin (pengajaran) tentang
wirid-wirid dari Rasulullah Saw, berupa Istighfar 100 kali, dan Shalawat 100
kali. Empat tahun kemudian (pada tahun 1200 H) wirid itu disempurnakan lagi
oleh Rasulullah Saw, dengan hailallah (La Ilaha Illa Allah) 100 kali.
Wirid-wirid yang diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW, melalui al-fath,
perjumpaan secara yagzhah ini memberikan kepada Syaikh Ahmad Tijani otoritas
Shahib al-Thariqah.
Sebagaimana telah dijelaskan, pada saat talqin,
Rasulullah SAW, juga menjelaskan ketinggian derajat dan kedudukan wirid yang
diajarkan kepada Syaikh Ahmad Tijani. Karena kedudukan dan derajat ajaran
wiridnya yang sangat tinggi, Rasulullah SAW memerintahkan kepada Syaikh Ahmad
Tijani agar hanya berkonsentrasi pada pengamalan wirid itu, serta meninggalkan
wirid-wirid yang lain, dan juga meninggalkan para wali yang lain. Hal ini
menunjukkan jaminan Rasulullah SAW atas keunggulan wirid tersebut terhadap wirid wirid yang lain, dan jaminan
Rasulullah SAW, menjadi pembimbing, penanggung jawab, dan sekaligus perantara dihadapan
Allah. menurut Ali Harazim, segala sesuatu yang diperintahkan atau diturunkan Allah
SWT melalui perantara Rasulullah SAW. Perintah meninggalkan tariqat dan wali
yang lain disebabkan oleh kedudukan Syaikh Ahmad Tijani yang tinggi,
sebagaimana telah dijelaskan. Atas jaminan- jaminan demikian, mulailah Syaikh
Ahmad Tijani mengajarkan Tariqatnya kepada setiap umat Islam yang berminat.
Tariqat Tijaniyah memiliki aturan-aturan yang harus
ditegakkan oleh setiap pengamal tariqat tersebut. Aturan-aturan yang harus di
terapkan Tariqat Tijaniyah terdiri dari syarat-syarat dan tata krama (sopan
santun) terhadap guru, sesama ikhwan, dan terhadap dirinya sendiri.
Syarat-syarat dalam Tariqat Tijaniyah terbagi dua
bentuk yaitu:
a.
Syarat kamaliyah
- berhubungan dengan wirid
b.
syarat lazimah
- berhubungan dengan pribadi murid
- berhubungan dengan wirid
Sedangakan tata krama (sopan santun) yang harus
ditegakkan oleh murid Tijaniyah terdiri dari tiga bagian:
a.
tata krama terhadap diri sendiri
b.
tata krama terhadap syaikh
c.
tata karma terhadap ikhwan
Syaikh Ahmad Tijani mengaku sebagai khatim al-auliya
(penutup para wali), pengikat antara nabi Muhammad dan semua wali, baik yang telah
lalu maupun yang akan datang, dan jaminan bagi para pengikutnya dengan derajat
spiritual yang lebih tinggi serta dijanjikan masuk surga tanpa harus
menyerahkan harta benda mereka pada syaikh, sepanjang mereka mentaati ajaran
islam sesuai kemampuan, menarik para pedagang kaya dan pejabat senior di
Aljazair berbondong masuk Tariqat Tijaniyah.
Tariqat Tijaniyah perkembangannya cukup mencolok
sehingga dinilai dapat menyaingi otoritas Utsmaniyyah, sehingga Syaikh Ahmad
Tijani dan para pengikutnya dipaksa meninggalkan Aljazair. Syaikh Ahmad Tijani
kemudian pindah ke Fez
pada 1798, dan hidup disana hingga wafat. Ketika bangkit gerakan Wahhabiyah
yang memusuhi kaum sufidan tariqat yang menjahui dunia dan melestarikan
tradisi-tradisi penghormatan kuburan syaikh-syaikh tariqat, Tariqat Tijaniyah
justru lebih berkembang. Perkembangan tariqat ini semakin pesat terutama telah
mendapat dukungan-dukungan dari penguasa Maroko, Maulay Sulaiman, yang
berkepentingan mendekati Syaikh Ahmad Tijani untuk menghadapi persaingan dengan
zawiyah-zawiyah para syarif yang dinilai dapat merongrong kekuasaanya.
Persekutuan Tariqat Tijaniyah dengan pemerintah Maroko
berlangsung hingga 1912 dengan munculnya deklarasi protektorat menjelang akhir
abad ke-19, setiap kota di Maroko mendapat kesempatan mendirikan zawiyah
tijaniyah . perkembangan Tariqat Tijaniyah di Maroko jauh lebih pesat
dibandingkan dinegara-negara lain seperti Tunisia, dan Aljazair sendiri, tempat
pertama kali lahir tariqat ini berkembang pula dinegara Afrika lainnya seperti
Senegal, Mauritania, Guinea, Nigeria, dan Gambia, bahkan sampai keluar Afrika,
termasuk Saudi Arabia dan Indonesia.
Sistem Dasar
Pembentukan Tariqat Tijaniyah
Menurut Syaikh al-Sya’rani, sebagaimana dikutip oleh
Ali Harazim, ajaran tariqat kaum sufi berlandaskan kepada al-Qur’an dan
al-Sunnah, serta berasal dari metode suluk yang dipraktikan oleh Rasulullah SAW.
Dari landasan ini, unsur sanad (silsilah) yaitu urutan-urutan guru secara
berkesinambungan sampai kepada Rasulullah SAW, sangat penting dalam tariqat.
Idealnya, setiap guru dalam sanad bertemu langsung dengan guru di atas dan
seterusnya sampai sumber utama Rasulullah SAW. Namun dalam kenyataannya tidak
semua talqin tariqat menggunakan sanad demikian sebab ada talqin yang disampaikan
langsung antara syaikh Tariqat dengan Rasulullah SAW Setelah Rasulullah SAW meninggal
dunia, sistem demikian biasa dinamakan sistem “Barzakhi”.
Bimbingan Rasulullah SAW kepada para wali dalam keadaan
jaga mengantarkan pada satu pemahaman bahwa amalan wirid para wali termasuk didalamnya
amalan tariqat muncul sebagai buah mujahadahnya dan hal ini merupakan anugerah
Allah SWT Oleh karena itu menurut KH. Badruzzaman banyak tariqat para wali
dasar pembentukannya melalui talqin barzakhi. Untuk itu ia menyebutnya sebagai tariqat
Barzakhiyah artinya amalan yang diterima dari Nabi Muhammad SAW setelah beliau
meninggal dunia. Selanjutnya dikatakan bahwa semua amalan tariqat besar yang
berkembang di dunia Islam terbentuk melalui talqin barzakhi kecuali tariqat
Qadiriyah, karena sanad tariqat ini bersambung kepada Rasulullah SAW, melalui
Sayyidina Ali.
Tariqat Tijaniyah termasuk tariqat yang dasar
pembentukannya menggunakan sistem barzakhi. Makna barzakhi dalam Tariqat
Tijaniyah, sebagaimana tergambarkan dalam proses pembentukannya, bahwa
ajaran-ajaran itu tidak diperoleh melalui pengajaran dari guru-guru sebelumnya,
tetapi diperoleh langsung oleh Syaikh Ahmad Tijani dari Rasulullah SAW, dalam
perjumpaan secara yaqzhah. Pejumpaan dengan melihat Rasulullah SAW, walaupun
telah berada di alam barzakh, yang dialami oleh Syaikh Ahmad Tijani, adalah peristiwa
yang menurut tradisi tariqat, merupakan hal yang biasa dan bisa terjadi
terutama dialami oleh wali-wali besar.
Bertemu dengan Rasulullah dalam keadaan jaga merupakan
bagian dari kekaramatan wali. Dan karamah seperti inilah yang senantiasa
diharapkan dan dicita-citakan oleh para wali Allah SWT. Sebab berjumpa dengan
Rasulullah SAW, dan melihatnya dengan yaqzhah (dalam keadaan jaga) tidak dalam
keadaan tidur atau mimpi menunjukan jaminan maqam kewalian seseorang dari
Rasulullah SAW, sebagaimana akan dilihat nanti. Melihat dasar pembentukan
Tariqat Tijaniyah sebagai mana disebutkan di atas, bagi orang yang percaya
bahwa hal tersebut memang terjadi, berarti mereka sudah meyakini bahwa Syaikh
Ahmad Tijani memperoleh kedudukan yang tinggi, dan berarti pula Tariqat
Tijaniyah adalah tariqat yang mempunyai sanad sampai kepada Nabi Muhammad saw.
Oleh karena itu amalan Tariqat Tijaniyah adalah amalan Nabi Muhammad SAW.
Masuknya
Tariqat Tijaniyah ke Indonesia
Semenjak
awal kehadirannya ke Indonesia,
Thariqat Tijaniyah ini mendapat tantangan dari para ahli tariqat yang lain
(non-Tijaniyah) yang cukup keras sehingga menimbulkan pertentangan diantara
para ahli tariqat di Indonesia.
Pertentangan dilakukan dengan berbagai cara. Pertentangan itu timbul karena
adanya anggapan dari para penentang bahwa di dalam Tariqat Tijaniyah terdapat
kejanggalan-kejanggalan. Pada tahun 1928 –1931 pertentangan terjadi dalam
bentuk pamflet-pamflet yang berisikan tuduhan-tuduhan para penentang. Dan
mereka mendapatkan rujukan ulama dari Madinah, Sayyid Abdullah Dahlan.[5]
Masuknya Tariqat Tijaniyah ke Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi
ada dua macam fenomena yang menunjukkan gerakan awal Tariqat Tijaniyah, yaitu
kehadiran syaikh ‘Ali bin Abd allah al-Thayyib, dan adanya pengajaran Tariqat
Tijaniyah di pesantren Buntet, Cirebon.
Kehadiran syaikh ‘Ali ibn ‘Abd allah al Thayyib tidak diketahui secara pasti
tahunnya.
G.F. Pijper menyebutkan bahwa syaikh ‘Ali ibn Abdullah
al-tayyib datang pertama kali keIndonesia saat menyebarkan Tariqat Tijaniyah
ini, di Tasikmalaya. Namun disebutkan pula oleh Pijper bahwa syaikh ‘Ali ibn ‘Abdullah
al-tayyib telah mendatangi berbagai daerah dipulau jawa sebelum ke Tasikmalaya.[6]
Syaikh ‘Ali ibn
Abdullah al-tayyib datang ke Tasikmalaya bertujuan menyebarkan Tariqat
Tijaniyah. Beliau menyeberkan kitab-kitab Tijaniyah dan mendatangi rumah-rumah
orang yang dianggap mengerti. Pada saat di
Tasikmalaya, ia juga
menulis kitab munyat al-Murid, yang
berisikan Tariqat dari guru-gurunya, pesan-pesan serta restu untuk menyebarkan
ajaran ini kepada murid-murid secara luas.
Berdasarkan kehadiran syaikh ‘Ali ibn ‘Abdullah
al-tayyib ke pulau jawa, maka Tariqat Tijaniyah di perkirakan datang ke Indonesia
pada awal abad ke-20 M (antara 1918 dan 1921 M), akan tetapi menurut Pijper,
sebelum tahun 1928 Tariqat Tijaniyah belum mempunyai pengikut di pulau Jawa.
Pijper menjelaskan, Cirebon
merupakan tempat pertama di ketahui adanya gerakan Tijaniyah.
Pada bulan maret 1928 pemerintah (kolonial) mendapat
laporan bahwa ada gerakan keagamaan yang dibawa oleh guru agama (kiai) yang
membawa ajaran Tariqat baru yaitu Tijaniyah. Sebelum tahun 1928 tarekat ini
belum diketahui berkembang gerakan ini di khawatirkan akan merekrut anggota
yang cukup besar karena sebelum tariqat ini belum pernah populer di mata
pemerintah. Namun demikian meskipun baru diketahui oleh pemerintah pada tahun
1928, sebenarnya pengajaran Tariqat Tijaniyah ini telah dimulai sejak atau
beberapa tahun sebelumnya.
Perkembangan Tariqat Tijaniyah di Cirebon mulanya
berpusat di pesantren Buntet di Desa Mertapada Kulon. Pesantren ini di pimpin
oleh lima
bersaudara, diantaranya adalah K.H. A bbas sebagai saudara tertua yang menjabat
sebagai ketua yayasan dan sesepuh pesantren dan K.H. Anas, adik kandungnya.
Kedua orang bersaudara ini kelak yang merintis dan
mengembangkan pertama kali Tariqat Tijaniyah. K.H. Anas pergi ke tanah suci untuk
mengambil talqin Tariqat Tijaniyah
dan bermukim di sana selama tiga tahun, dan
setelah itu kembali lagi ke Cirebon serta yang
memperkenalkan tariqat ini pertama kali di Cirebon. Dalam mengajarkan Tariqat Tijaniyah
kepada murid-muridnya, K.H. Anas menggunakan sistem pengaderan melalui
kiai-kiai di pesantren Buntet. Untuk menjaga kesinambungan Tariqat Tijaniyah kelak,
K.H. Anas membaiat K.H. Hawi dan K.H. Fahim, dan K.H. Rasyid dari pesantren
pesawahan, sindang laut Cirebon; dan K. akyas membaiat K. syifa’.
Dari pesantren Buntet, kemudian Tariqat Tijaniyah
menyebar secara luas kedaerah-daerah dipulau jawa melalui murid-murid pesantren
Buntet ini. Selain berasal dari Cirebon,
seperti Tasikmalaya, Brebes, dan Ciamis. Sejak tahun 1928 diluar Cirebon telah dikenal
pusat-pusat penyebaran Tariqat Tijaniyah, yaitu Brebes, Pekalongan, Tasikmalaya,
dan Ciamis. Beberapa tahun kemudian Tariqat ini tersebar luas kedaerah-daerah
lain di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Syarat
Masuk Tariqat Tijaniyah
Untuk masuk dalam tariqat Tijaniyah seseorang harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[7]
- Calon Ikhwan Tijani tidak mempunyai wirid tariqah.
- Mendapatkan talqin wirid Tariqah Tijaniyah dari orang yang mendapatkan izin yang sah untuk memberi wirid tariqah Tijaniyah.
Keterangan:
-
Apabila calon Ikhwan Tijani telah
masuk Tariqah lainnya, maka harus dilepaskan. Karena Tariqah Tijaniyah tidak
boleh dirangkap dengan Tariqah lainnya.
-
Wirid dari selain Syaikh Akhmad
At-Tijani yang tidak termasuk ikatan Tariqah, seperti hizib-hizib, Shalawat dan
sebagainya, boleh diwiridkan oleh Ikhwan Tijani selama tidak mengurangi
kemantapannya terhadap Tariqah tijaniyah.
Larangan
terhadap PemelukTariqah Tijaniyah
Adapun hal-hal yang tidak boleh dilakukakan oleh
seorang pengikut Tariqah Tijaniyah
adalah sebagai berikut:[8]
- Tidak boleh mencaci, membenci,dan memusuhi Syaikh Ahmad At-Tijani.
- Tidak boleh ziarah kepada wali yang bukan Tijani, khusus mengenai rabithoh saja.
- Tidak boleh memberi wirid Tariqah Tijaniyah tanpa ada izin yang sah.
- Tidak boleh meremehkan wirid Tariqah Tijaniyah .
- Tidak boleh memutuskan hubungan dengan makhluk tanpa izin syara’, terutama dengan Ikhwan Tijani
- Tidak boleh merasa aman dari makrillah
Keterangan:
-
Ziarah kepada wali yng bukan
Tijani yang tidak boleh adalah ziarah karena istimdad, tawassul dan do’a.
sedang ziarah untuk silaturrahmi untuk mengaji/menuntuk ilmu atau ziarah
semata-mata karena Allah ta’ala, maka boleh. Bagi Ikhwan Tijani yang belum tahu
ziarah yang boleh dan ziarah yang tidak boleh, hendaknya jangan melaksanakan
ziarah,karena bias membatalkan keterikatannya
dengan Tariqah Tijaniyah.
-
Yang dimaksud meremehkan wirid
ialah musim-musiman dalam melaksanakan wirid Tariqah, mengundurkan waktunya
tanpa adanya udzur.
-
Makrillah adalah siksa/adzab Allah
yang tampaknya seperti rahmatNya.
Kesimpulan
Dalam pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa Tariqat
Tijaniyah di dirikan oleh Syaikh Ahmad Tijani yang diyakini oleh kaum tijaniyah
sebagai wali agung yang memiliki derajat yang tinggi. Lahirnya Tariqat
Tijaniyah disebabkan oleh terkaitnya kedudukan Syaikh Ahmad Tijani Sebagai al-
qutb al-a’ zham. Dengan adanya derajat kewalian Ahmad Tijani sebagai al-quthb
– al-a ‘zham dan wali al-khatm wa-maktum diyakini oleh kaum
tijaniyah dicapai melalui proses panjang, Sebelum diangkat sebagai wali besar.
Pada saat berkunjung pada wali besar dalam upaya untuk
silaturrahmi dan mencari ilmu kewalian secara lebih luas, ketika itu pula wali
besar mengakui bahwa Syaikh Ahmad Tijani merupakan wali besar bahkan lebih
besar dari yang lain. karena di dalam dunia tasawuf diakuai bahwa seorang wali
bisa melihat wali dan derajat kewalian hanya bisa diketahui oleh sesama wali,
yang hakikatnya berasal dari Allah.
Saat Syaikh Ahmad Tijani mengaku, berjumpa dengan
Rasulullah SAW, dalam keadaan sadar lahir batin dan bukan dalam keadaan mimpi,
beliau mendapatkan talqin (pengajaran) tentang wirid-wirid, dari Rasulullah
Saw, berupa Istighfar 100 kali, dan Shalawat 100 kali. Empat tahun kemudian
(pada tahun 1200 H) wirid itu disempurnakan lagi oleh Rasulullah Saw, dengan
hailallah (La Ilaha Illa Allah) 100 kali. Wirid-wirid yang diajarkan langsung
oleh Rasulullah SAW, melalui al-fath, perjumpaan secara yagzhah ini memberikan
kepada Syaikh Ahmad Tijani otoritas Shahib al-Thariqah.
DAFTAR
PUSTAKA
Jaiz, Hartono Ahmad. Tarekat Tasawuf
Tahlilan dan Maulidan. Solo: Wacana Ilmu Press, 2007
Mustofa, H
A. Akhlak Tasawuf. Bandung:
CV Pustaka Setia, 2007
Mulyati,
Sri. Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Fajar Inter
Pratama Offset, 2006
Luthfi,
Muhammad dan Thoha M Chabib. Mengenal Thariqah. Semarang: CV Aneka Ilmu, 2005
Badruzzaman, Ikyan. 2008. Polemik Tentang Tariqat
Tijaniyah di Indonesia. Garut, 14 Januari 2009
[1] Hartono Ahmad Jaiz, tarekat Tasawuf
Tahlilan dan Maulidan (Solo: Wacana Ilmu Press, 2007), 23
[2] H.A. Mustofa, Akhlak tasawuf (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2007), 280-281
[3] H.A. Mustofa, Akhlak tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), 281-282
[4] Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami
Tariqat-Tariqat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Fajar Interpratama
Offset, 2006), 217-218
[5] Ikyan
Badruzzaman, 2008, Polemik Tentang Tariqat Tijaniyah di Indonesia,
Garut, 14 Januari 2009
[6] Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami
Tariqat-Tariqat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Fajar Interpratama
Offset, 2006), 223-224
[7] Muhammad
Luthfi dan M Chabib Thoha, Mengenal Thariqah (Semarang: CV Aneka Ilmu, 2005), 55-56
[8] Muhammad
Luthfi dan M Chabib Thoha, Mengenal Thariqah (Semarang: CV Aneka Ilmu, 2005), 56-57
Tidak ada komentar:
Posting Komentar