BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Ilmu Ushul Fiqih
sebenarnya merupakan suatu ilmu yang tidak bisa diabaikan oleh seorang mujtahid
dalam upayanya memberi penjelasan mengenai nash-nash syariat islam, dan dalam
menggali hokum yang tidak memiliki nash. Juga merupakan suatu ilmuyang
diperlukan bagi seorang hakim dalam usaha memahami materi undang-undang secara
sempurna, dan dalam menerapkan undang-undang itu dengan praktik yang dapat
menyatakan keadilan serta sesuai dengan makna materi yang dimaksud oleh pembuat
hokum (syari’). Ia juga suatu ilmu yang juga diperlukan ulama Fiqih dalam
melakukan pembahasan,pengkajian, penganalisaan dan pembandingan antara beberapa
mazhab dan pendapat. Disamping itu, Al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam mengatakan:
“Tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah swt kecuali dengan ilmu ushul ini.
Dari permasalahan-masalahn tersebut, maka makalah ini akan membahas tentang “KAIDAH
– KAIDAH USHUL FIQIH”.
BAB II KAIDAH-KAIDAH
USHUL FIQIH
A. PENGERTIAN USHUL
FIQIH
Pengertian Ushul Fiqh dapat dilihat
sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata Ushul dan kata Fiqh;
dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu Syari'ah.
Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh
tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua
buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh. Kata Ushul adalah bentuk
jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan
dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian Ushul menurut bahasa tersebut,
maka Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh. Sedangkan
menurut istilah, ashl dapat berarti dalil, seperti dalam ungkapan
yang dicontohkan oleh Abu Hamid Hakim :
Artinya:
"Ashl bagi diwajibkan zakat, yaitu Al-Kitab; Allah Ta'ala berfirman: "...dan tunaikanlah zakat!."
"Ashl bagi diwajibkan zakat, yaitu Al-Kitab; Allah Ta'ala berfirman: "...dan tunaikanlah zakat!."
Dan dapat pula berarti kaidah kulliyah yaitu
aturan/ketentuan umum, seperti dalam ungkapan sebagai berikut :
Artinya:
"Kebolehan makan bangkai karena terpaksa adalah penyimpangan dari ashl, yakni dari ketentuan/aturan umum, yaitu setiap bangkai adalah haram; Allah Ta'ala berfirman : "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai...".
"Kebolehan makan bangkai karena terpaksa adalah penyimpangan dari ashl, yakni dari ketentuan/aturan umum, yaitu setiap bangkai adalah haram; Allah Ta'ala berfirman : "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai...".
Dengan melihat pengertian ashl menurut istilah di
atas, dapat diketahui bahwa Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua kata, berarti
dalil-dalil bagi fiqh dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi fiqh.
Fiqh itu sendiri menurut bahasa, berarti paham atau tahu.
Sedangkan menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid al-Jurjaniy,
pengertian fiqh yaitu :
Artinya:
"Ilmu tentang hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."
"Ilmu tentang hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."
Atau seperti dikatakan oleh Abdul Wahab Khallaf, yang
artinya: "Kumpulan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari
dalil-dalilnya yang terperinci".
Yang dimaksud dengan dalil-dalilnya yang terperinci, ialah
bahwa satu persatu dalil menunjuk kepada suatu hukum tertentu, seperti firman
Allah menunjukkan kepada kewajiban shalat.
Artinya:
".....dirikanlah shalat...."(An-Nisaa': 77)
".....dirikanlah shalat...."(An-Nisaa': 77)
Atau seperti sabda Rasulullah SAW :
Artinya:
"Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar (benda yang memabukkan)." (HR Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah).
"Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar (benda yang memabukkan)." (HR Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah).
Hadits tersebut menunjukkan kepada keharaman jual beli
khamar.
Dengan penjelasan pengertian fiqh di atas, maka pengertian Ushul
Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu dalil-dalil bagi hukum
syara' mengenai perbuatan dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi
pengambilan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang
terperinci.
Tidak lepas dari kandungan pengertian Ushul Fiqh sebagai
rangkaian dari dua buah kata tersebut, para ulama ahli Ushul Fiqh memberi
pengertian sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syari'ah. Misalnya Abdul
Wahhab Khallaf memberi pengertian Ilmu Ushul Fiqh dengan :
Artinya:
"Ilmu tentang kaidah-kaidah (aturan-atura/ketentuan-ketentuan) dan pembahasan-pemhahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."
"Ilmu tentang kaidah-kaidah (aturan-atura/ketentuan-ketentuan) dan pembahasan-pemhahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."
Maksud dari kaidah-kaidah itu dapat dijadikan sarana untuk
memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan, yakni bahwa kaidah-kaidah
tersebut merupakan cara-cara atau jalan-jalan yang harus ditempuh untuk
memperoleh hukum-hukum syara'; sebagaimana yang terdapat dalam rumusan
pengertian Ilmu Ushul Fiqh yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah
sebagai berikut :
Artinya :
"Ilmu tentang kaidah-kaidah yang
menggariskan jalan-jalan utuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan
dan dalil-dalilnya yang terperinci."
Dengan lebih mendetail, dikatakan oleh Muhammad Abu
Zahrah bahwa Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu yang menjelaskan jalan-jalan
yang ditempuh oleh imam-imam mujtahid dalam mengambil hukum dari dalil-dalil
yang berupa nash-nash syara' dan dalil-dalil yang didasarkan kepadanya, dengan
memberi 'illat (alasan-alasan) yang dijadikan dasar ditetapkannya hukum serta
kemaslahatan-kemaslahatan yang dimaksud oleh syara'. Oleh karena itu Ilmu
Ushul Fiqh juga dikatakan :
Artinya:
"Kumpulan kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada faqih (ahli hukum Islam) cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara'."
"Kumpulan kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada faqih (ahli hukum Islam) cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara'."
Ushul fiqh
adalah bagian penting dalam tradisi keilmuan Islam, khususnya dalam bidang
hukum. Ushul fiqh terkait erat dengan fiqh, yang oleh orang Barat
disebut dengan the queen of islamic sciences (ratunya ilmu-ilmu
keislaman). Ushul fiqh dan fiqh adalah dua sisi mata uang yang
tidak dapat terpisahkan.
Hubungan keduanya seperti layaknya hubungan produk dengan
sarana mengolahnya. Sebuah produk tentu memiliki sarana untuk mengolahnya.
Suatu produk tentu diolah dari bahan-bahan dengan cara (resep) tertentu. Fiqh adalah
sebuah produk. Ia diolah dari bahan wahyu, yaitu Alquran, dan sunnah
Rasulullah. Adapun cara agar Alquran dan sunnah itu dapat dinikmati sebagai fiqh
adalah dengan dengan ushul fiqh. Jadi, ushul fiqh adalah
membicarakan bagaimana (how) Alquran dan sunnah dipahami. Hasil
pemahaman itulah yang disebut dengan fiqh. Meskipun ushul fiqh
sangat penting, tetapi seringkali pelajaran ushul fiqh kurang
mendapatkan perhatian yang semestinya. Orang lebih senang mencari hasil
jadinya, yaitu hukum-hukum fiqh. Ushul fiqh kemudian hanya
dipelajari sambil lalu tanpa pemahaman arti penting kegunaannya, padahal
melalui ushul fiqh akan diketahui sebab-sebab perbedaan pendapat para
ulama dalam memahami Alquran dan sunnah serta bagaimana hukum Islam
diformulasikan. Dengan cara tersebut, ushul fiqh mengantarkan umat Islam
untuk lebih memahami ajaran agamanya secara bijaksana dan ilmiah.
Ketika umat Islam tidak mengenal ushul fiqh dalam
membaca ayat-ayat Alquran dan hadits, khususnya mengenai perbuatan mukallaf
(manusia yang terkena beban hukum), ia bisa saja bertindak tidak bijaksana
karena kesalahan menyimpulkan kehendak Alquran dan hadits. Tidak mengherankan
apabila ulama mensyaratkan salah satu ketentuan berijtihad adalah menguasai ushul
fiqh.
1. Pengertian ushul
Ushul fiqh
terdiri atas dua kata: ushul dan fiqh. Ushul adalah kata
jamak dari ashl (أصل)
artinya landasan untuk membangun (pondasi). Ashl bisa juga diartikan
dengan pokok, seperti pokok atau batang pohon. Kata ushul biasanya
dilawankan dengan kata furu’, yaitu kata jamak dari far‘ (فرع) yang berarti sesuatu yang dibangun di
atas yang lain. Kata furu’ juga bisa dipahami sebagai cabang pohon yang
menempel dan bergantung kepada batangnya. Kalau digambarkan, hubungan antara ushul
dan furu’ adalah seperti cabang dengan batang pohon atau seperti pondasi
dengan bangunannya. Jadi, furu’ hanya akan ada atau berdiri apabila ada ushul.
Pengertian ushul di atas bersifat kongkrit, artinya masih dikaitkan
dengan benda-benda kongkrit atau kasat mata. Sementara itu, ushul fiqh
adalah obyek yang bersifat abstrak, atau tidak kasat mata. Ushul fiqh
merupakan obyek kajian yang hanya bisa ditangkap oleh akal, bukan oleh
indera. Jadi, pengertian ushul di atas harus diubah menjadi pengertian
yang abstrak. Untuk mengubah pengertian kongkrit menjadi abstrak tersebut
diperlukan proses metaforis, yaitu menggunakan yang kongkrit untuk memahamkan
yang abstrak. Proses tersebut dapat terjadi sebagaimana berikut ini:
-
Menurut bahasa kongkrit ushul : pondasi atau batang
-
Menurut bahasa abstrak ushul : kaidah atau dalil
Jadi, kata ushul dalam pengertian ushul fiqh
yang abstrak berarti kaidah atau dalil umum, yang fungsinya sama dengan pondasi
atau batang ketika dihubungkan dengan fiqh.
2. Pengertian Fiqh
Fiqh sering masyarakat dipahami hukum Islam. Pemahaman demikian tidak
salah, tetapi penjabaran lebih lanjut karena tidak semua hukum Islam adalah fiqh.
Fiqh hanya menunjuk hukum Islam yang diperoleh melalui proses ijtihad,
sedangkan hukum Islam yang diperoleh dari petunjuk yang sangat jelas dan pasti
(qath‘i) dari Alquran atau hadits biasa disebut syariat. Untuk memahami
lebih lanjut mengenai fiqh, berikut ini akan dijabarkan pengertian fiqh
menurut arti bahasa sampai pada pengertian istilah.
Kata fiqh secara bahasa memiliki pengertian al-fahm
(الفهم)
atau faham. Dengan demikian, fiqh menurut pengertian bahasa menyangkut
pemahaman yang diperoleh melalui proses berfikir yang mendalam, bukan sekedar
tahu atau mengerti. Tidak semua proses berpikir adalah memahami karena memahami
adalah tingkatan tertinggi dalam berpikir. Jadi, fiqh adalah hasil
berpikir yang mendalam.
Menurut pengertian yang dipahami umat Islam saat ini, fiqh
adalah:
العِلْمُ بِِاِلْاَحْكَامِ الشَرْعِيِّةِ
العَمَلِيَّةِ الَّتِي طَرِيْقُهَا الأِجْتِهَادِ مِنَ اْلكِتَابِ وَ السُّنُّةِ
“Mengetahhui hukum-hukum syar’i yang
bersifat amaliyah (praktik) yang sarananya adalah ijtihada dari Alquran dan
sunnah”
Atau sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Baidhawi:
العِلْمُ
بِِاِلْاَحْكَامِ الشَرْعِيِّةِ العَمَلِيَّةِ المُكْتَسَبِ مِنْ أَدِلَّتِهَا
التًّفْصِيْلِيَّةِ
“Mengetahui hukum-hukum syar’i yang
bersifat amaliyah yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang rinci” .
Berdasarkan dua pengertian di atas, tampak bahwa fiqh
memiliki beberapa ciri khas:
1.
Pengetahuan mengenai
hukum-hukum syar‘i, bukan hukum aqli (hukum akal) atau hukum ‘addi
(hukum adat). Hukum syar‘i adalah hukum yang sumbernya Alquran dan
sunnah. Sementara itu, hukum ‘aqli bersumber dari akal dan hukum ‘addi
bersumber dari adat.
2.
Bersifat amaliyah
atau menyangkut perbuatan lahiriyah, bukan bersifat perasaan, hati, atau
pikiran. Jadi, yang diatur oleh fiqh adalah amalan lahiriyah. Sebagai
perkecualian, ada satu bahasan dalam fiqh yang bersifat hati, tentang niat.
3.
Diperoleh melalui ijtihad,
yaitu dari upaya ahli hukum (mujtahid) melakukan kerja ilmiah untuk
menggali hukum dari ayat-ayat Alquran dan sunnah. Karena berasal dari ijtihad,
fiqh bersifat dzanni (prasangka yang didukung bukti). Hal itulah yang
membedakan antara fiqh dengan syariat, yaitu hukum-hukum yang diperoleh dari
dalil-dalil qath‘i, seperti wajibnya shalat, zakat, puasa, dan haji.
Adapun ketentuan mengenai iftitah, qunut, dan rincian shalat
bersifat dzanni.
4.
Berasal dari
dalil-dalil rinci dari Alquran dan sunnah. Dalil-dalil rinci adalah dalil-dalil
yang membahas perkasus mengenai suatu persoalan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fiqh adalah
mengetahui hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyah melalui ijtihad dari
dalil-dalil rinci Alquran dan sunnah. Fiqh bersifat dzanni (prasangka
yang didasari bukti dan argumentasi). Istilah lain yang terkait dengan fiqh
adalah istilah syariah atau syariat. Istilah syariat memiliki beragam
pengertian:
- Ajaran yang dibawa oleh nabi
Muhammmad SAW (syariah dalam pengertian luas)
- Hukum Islam
yang diperoleh dari dalil qath‘i atau tegas (syariah dalam pengertian
sempit)
-
Hukum yang bersumber dari Alquran dan sunnah, baik bersifat qath‘i
maupun dzanni.
Dalam pembahasan mengenai hubungan fiqh dan syariah,
pengertian syariah yang kedua yang biasanya dipergunakan.
3. Pengertian ushul fiqh
Setelah jelas bahwa pengertian ushul adalah dalil
umum atau kaidah dan fiqh adalah mengetahui hukum syar.i amaliyah
melalui ijtihad dari dalil-dalil rinci Alquran dan sunnah barulah kita
bisa menyusun pengertian ushul fiqh. Secara singkat pengertian ushul
fiqh sebagaimana diberikan oleh Imam Ibnu Hajib al-Maliki adalah:
العِلْمُ
بِِِالْقَوَاعِدِ الَّتِي يَتَوَصَّلُ بِهَا اِلَى اِسْتِنِْبَاطِ الْأَحْكَامِ
الشََّرْعِيِّةِ الفَرْعِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التًّفْصِيْلِيَّةِ
“Mengetahui kaidah-kadiah yang membawa
kepada pengambilan hukum syar‘’ yang cabang dari dalil-dali rinci.
Berdasarkan kaidah di atas dapat disimpulkan bahwa ushul
fiqh adalah “Pengetahuan mengenai kaidah-kaidah atau dalil umum untuk melakukan
istimbath (penggalian hukum).” Jadi sasarannya adalah membahas dan
membuat kaidah, bukan membahas rincian hukum atau menyimpulkan hukum dari
dalil-dalil Alquran dan hadits. Pembahasan mengenai rincian hukum dan pemahaman
dalil-dalil rinci Alquran hadits adalah tugas fiqh. Ushul fiqh
hanya membahas kaidah-kaidah umumnya saja sehingga tugas ushuliyyin
hanyalah membuat dan meneliti kaidah ushul.
Contoh:
Ulama ushuliyyin (ahli ushul fiqh) menyatakan
sebuah kaidah ushul:
اَلْأَصْلُ فِيْ اْلأَمْرِ لِلْوُجُوْبِ
“Perintah pada dasarnya berarti wajib”
Atau:
اِذَا تَجَرَّدَ صِيْغَةُ الْأَمْرِ
اقْتَضَتْ الوُجُوْبَ
“Jika susunan kalimat perintah itu
murni (tanpa hal-hal yang membuatnya memiliki pengertian lain atau melunakkan
pengertiannya) maka perintah itu menuntut kewajiban”.
Ketika para ahli fiqh (fukaha) mengkaji surat al-Isra’ ayat
78:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ
إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ
مَشْهُودًا (الإسراء 78)
“Dirikanlah shalat ketika matahari
tergelincir sampai terbenamnya mega merah dan (dirikan) shalat saat munculnya
fajar. Sesungguhnya fajar itu dapat terlihat.”
Terlihat bahwa perintah tersebut tidak disertai hal-hal yang
membuatnya berarti lain selain perintah shalat pada waktu-waktu tertentu.
Berdasarkan akidah ushul di atas, perintah tersebut bermakna wajib.
Karena itu, ahli fikih memutuskan bahwa perintah shalat pada waktu tertentu
bermaksa wajib. Itu berarti ahli fiqh menggunakan kaidah-kaidah yang
dikaji dan dirumuskan ahli ushul untuk melakukan penggalian hukum dari
Alquran. Boleh jadi ahli ushul fiqh itu juga sebenarnya juga merangkap
ahli fiqh, seperti Imam al-Ghazali, Imam Abu Ishaq al-Syrazi, Imam al-Juwayni,
Imam Ibnu Qudamah, dan Imam Tajuddin al-Subki.
B. OBJEK KAJIAN
USHUL FIQIH DAN FIQIH
Setiap ilmu pasti memiliki kejelasan obyek kajiannya. Ushul fiqh pun
demikian. Obyek kajian ushul fiqh adalah dalil-dalil umum atau
kaidah-kaidah. Apabila dirinci, obyek kajian utama ushul fiqh ada empat:
1.
Tentang pengertian
dan pembagian hukum, yang meliputi pembuat hukum (syari‘), beban hukum (mahkum
bih), dan penanggung beban hukum (mahkum ‘alaih).
2.
Tentang sumber-sumber
hukum atau dalil-dalil hukum
3.
Kaidah-kaidah
memahami sumber hukum, termasuk ketika terjadi pertentangan tuntutan sumber
hukum.
4.
Ketentuan orang yang
mampu melakukan penggalian hukum (mujtahid).
a. Cakupan Ushul Fiqh
Setiap disiplin ilmu pasti memiliki bahasan tertentu yang
membedakannya dengan disiplin ilmu lain, demikian pula ushul fiqh, ia memiliki
bahasan tertentu yang dapat kita ringkas menjadi 5 (lima) bagian utama:
1.
Kajian tentang
adillah syar’iyyah (sumber-sumber hukum Islam) yang asasi (Al-Qur’an dan
Sunnah) maupun turunan (Ijma’, Qiyas, Maslahat Mursalah, dan lain-lain).
2.
Hukum-hukum syar’i
dan jenis-jenisnya, siapa saja yang mendapat beban kewajiban beribadah kepada
Allah dan apa syarat-syaratnya, apa karakter beban tersebut sehingga ia layak
menjadi beban yang membuktikan keadilan dan rahmat Allah.
3.
Kajian bahasa Arab
yang membahas bagaimana seorang mujtahid memahami lafaz kata, teks, makna
tersurat, atau makna tersirat dari ayat Al-Qur’an atau Hadits Rasulullah saw,
bahwa sebuah ayat atau hadits dapat kita pahami maksudnya dengan benar jika
kita memahami hubungannya dengan ayat atau hadits lain.
4.
Metode yang benar
dalam menyikapi dalil-dalil yang tampak seolah-olah saling bertentangan, dan
bagaimana solusinya.
5.
Ijtihad, syarat-syarat
dan sifat-sifat mujtahid.
Hubungan ilmu Ushul
Fiqih dengan Fiqih adalah seperti hubungan ilmu Mantiq/logika dengan filsafat,
bahwa manthiq merupakan kaedah berpikir yang memelihara akal, agar tidak
terjadi kekacauan dalam berpikir. Selain itu, fungsi Ushul Fiqih adalah
membedakan antara istinbath yang benar dengan yang salah. Sebagaimana ilmu Nahu
berfungsi untuk membedakan antara susunan bahasa yang benar dengan susunan
bahasa yang salah. Demikian pula dengan ilmu Ushul Fiqih, merupakan kaedah yang
memelihara fuqoha/ahli fiqih agar tidak terjadi kesalahan di dalam menggali dan
menetapkan hukum.
b. Perbedaan Kaidah Ushul (al-qawaid al-ushuliyyah)
dan kaidah fiqh (al-qawa‘id al-fiqhiyyah)
Ada dua bentuk kaidah yang populer di kalangan masyarakat Islam, yaitu kaidah
ushul dan kaidah fiqh. Keduanya diajarkan di pesantren-pesantren maupun
sekolah-sekolah Islam yang mendalami hukum Islam. Keduanya memiliki fungsi
penting dalam memutuskan persoalan hukum. Karena keduanya sama-sama berisikan
kaidah, hal itu membuka pintu kerancuan di kalangsan sebagian pengkaji ushul
fiqh apakah kaidah fiqh sama dengan kaidah ushul.
Tidak diragukan lagi, ada beberapa aspek kaidah fiqh yang hampir mirip kaidah ushul
fiqh. Kaidah اَلْحُكْمُ
يَدُوْرُ مَعَ الْعِلَّةِ وُجُوْدًا وَ عَدَمًا (ada atau tiadanya hukum berjalan
bersama alasan hukumnya). Kaidah tersebut bisa menjadi kaidah ushul
atau kaidah fiqh, namun ciri-ciri kaidah ushulnya lebih jelas. Kaidah اِعْمَالُ الدَّلِيْلِ أَفْضَلُ مِنْ
اِهْمَالِهَا (mempergunakan dalil lebih baik dari
mengabaikannya) adalah kaidah yang sering masuk pembahasan kaidah fiqh,
tetapi secara prinsip dasar mirip kaidah ushul.
Akan tetapi ada beberapa kriteria yang bisa dijadikan
pegangan untuk membedakan antara kaidah ushul dengan kaidah fiqh:
1. Kaidah
ushul digunakan untuk melakukan pengambilan hukum (istimbath)
dari sumber-sumber hukum. Sementara itu, kaidah fiqh digunakan untuk melakukan
pemecahan masalah hukum praktis yang muncul dalam penerapan hasil istimbath
deari dalil-dalil Alquran. Contohnya adalah bahwa menurut kaidah ushul
“larangan tanpa ada petunjuk yang melunakkannya berarti haram.” Larangan daging
babi dalam Alquran berdasarkan penggunaan kaidah ushul tersebut oleh
ahli fiqh disimpulkan bahwa daging babi haram.
2. Kaidah
ushul diperoleh secara deduktif, sedangkan kaidah fiqh secara
induktif. Penyusunan kaidah ushul, utamanya di kalangan ushul fiqh mutakallimin,
dilakukan tanpa melihat realitas terlebih dahulu. Kaidah dibuat dulu, baru
kemudian diterapkan. Sementara itu, kaidah fiqh diperoleh secara induktif,
yaitu berasal dari penyelidikan pemecahan kasus-kasus fiqh, baru kemudian
disimpulkan kaidahnya. Karena itu, kaidah ushul umumnya bersifat kulli
(berlaku kepada seluruh persoalan detail), sementara kaidah fiqh umumnya
bersifat aghlabi (berlaku kepada sebagian besar kasus, dengam berbagai
perkecualian).
3. Pembahasan
ilmu fiqh berkisar tentang hukum-hukum syar’i yang langsung berkaitan dengan
amaliyah seorang hamba seperti ibadahnya, muamalahnya,…, apakah hukumnya wajib,
sunnah, makruh, haram, ataukah mubah berdasarkan dalil-dalil yang rinci.
4. Sedangkan
ushul fiqh berkisar tentang penjelasan metode seorang mujtahid dalam
menyimpulkan hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil yang bersifat global, apa
karakteristik dan konsekuensi dari setiap dalil, mana dalil yang benar dan kuat
dan mana dalil yang lemah, siapa orang yang mampu berijtihad, dan apa
syarat-syaratnya.
5. Perumpamaan
ushul fiqh dibandingkan dengan fiqh seperti posisi ilmu nahwu terhadap
kemampuan bicara dan menulis dalam bahasa Arab, ilmu nahwu adalah kaidah yang
menjaga lisan dan tulisan seseorang dari kesalahan berbahasa, sebagaimana ilmu
ushul fiqh menjaga seorang ulama/mujtahid dari kesalahan dalam menyimpulkan
sebuah hukum fiqh.
c. Sumber-sumber Penyusunan Ushul Fiqh
Ushul fiqh bukanlah ilmu yang berdiri sendiri dan muncul tiba-tiba dari ruang
kosong. Ushul fiqh disusun dengan perangkat keilmuan yang lain. Imam Ibnu Hajib
berpendapat bahwa sumber utama penyusunan ushul fiqh adalah bahasa
(Arab), ilmu kalam, dan hukum-hukum (fiqh). Ilmu kalam menjadi bagian
penting dalam ushul fiqh, khususnya ushul fiqh aliran mutakallimin
(Syafi’iyyah). Ilmu kalam menjadi dasar pengenalan tentang siapa pemilik
otoritas hukum, hukum sebelum ada wahyu, dan kaitan keimanan dengan pembebanan hukum.
Ilmu kalam menjadi landasan untuk membangun sebuah sistem hukum yang
berlandaskan nilai ketuhanan dan keimanan.
Ilmu bahasa merupakan bagian terpenting dalam ushul fiqh. Para ulama
ushul memberikan porsi besar bagi ulasan mengenai teori bahasa hingga pemaknaan
kata dan kalimat. Kitab al-Mahsul karya Imam Fakhruddin al-Razi,
misalnya, memberikan ulasan mengenai persoalan kebahasaan lebih dari separuh
tulisannya. Imam al-Syafi‘i dalam kitabnya al-Risalah menegaskan bahwa
Alquran dan hadits berbahasa Arab. Karena itu, ia menyarankan agar Alquran dan
hadits dipahami menurut cara orang Arab memahaminya.
Ilmu fiqh diperlukan karena pembahasan mengenai
kaidah-kaidah memerlukan contoh-contoh untuk membumikan kaidah-kaidah tersebut.
Tanpa contoh praktis, akan sulit untuk melihat pengaruh perbedaan kaidah
terhadap kesimpulan hukum. Tanpa contoh penerapan, kaidah-kaidah akan sulit
dipahami.
Selain tigas sumber di atas ada beberapa sumber lain yang
menjadi bahan penyusunan ushul fiqh, yaitu ilmu Alquran, ilmu hadits,
dan logika. Ilmu Quran digunakan untuk menjabarkan Alquran, sebagai sumber
hukum pertama, dan sekaligus bagaimana memahami ayat-ayatnya. Teori nasakh
(penggantian hukum) adalah contoh ilmu Alquran yang juga bekerja dalam ushul
fiqh.
Ilmu hadits menjadi penting karena hadits adalah sumber kedua hukum Islam. Agar
dapat digunakan sebagai sumber istimbath (pengambilan hukum) hadits
harus jelas dulu kesahihannya karena hadits dlaif, apalagi yang maudlu
(palsu) tidak bisa digunakan sebagai hujjah (argumentasi). Kriteria
kesahihan hadits yang menjadi bidang ilmu hadits dipergunakan juga dalam ushul
fiqh untuk memastikan apakah sebuah hadits bisa dijadikan pijakan
penyimpulan hukum atau tidak. Dalam ushul fiqh, pembahasan mengenai
perbuatan Rasulullah dan persetujuan (taqrir) Rasulullah
terhadap amalan sahabat mendapatkan porsi bahasan.
Logika Yunani (mantiq) pun menjadi bahan dalam penyusunan ushul fiqh,
utamanya di kalangan muta’akhkhirin. Imam al-Ghazali dipandang sebagai
pelopor utama dimasukkannya bahasan logika dalam ushul fiqh, meskipun
sebenarnya Imam Ibnu Hazm, melalui kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam
sedikit banyak menggunakan aspek logika Yunani. Namun di tangan Imam
al-Ghazali, dalam kitabnya al-Musthasfa, pengantar logika dimasukkan
secara jelas. Usaha Imam al-Ghazali tersebut diikuti oleh Imam Ibnu Qudamah
al-Hanbali dalam kitab Raudlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir, dan Imam
Ibnu Hajib al-Maliki dalam kitab Muntaha al-Wushul (al-Sul) wa
al-Amal fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal.
Meskipun masuk dalam beberapa kitab ushul, logika
Yunani tidak serta merta memiki pengaruh besar dalam istimbath hukum.
Pola istimbath hukum selama ini tetap mengacu kepada pola kebahasaan dan
pertimbangan kemaslahatan.
C. MANFAAT
MEMPELAJARI USHUL FIQIH
Ghayah (tujuan) dan tsamarah (buah) ilmu ushul adalah agar
dapat melakukan istinbath hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil syar’i secara
langsung.
Di samping itu ada manfaat lain dari ilmu ushul, di
antaranya:
1.
Mengetahui apa dan
bagaimana manhaj (metode) yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam
beristinbath.
2.
Mengetahui
sebab-sebab ikhtilaf di antara para ulama.
3.
Menumbuhkan rasa
hormat dan adab terhadap para ulama.
4.
Membentuk dan
mengembangkan kemampuan berpikir logis dan kemampuan di bidang fiqh secara
benar.
D. Hukum
Mempelajari Ushul Fiqh
Al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam mengatakan: “Tidak ada cara
untuk mengetahui hukum Allah swt kecuali dengan ilmu ushul ini. Karena seorang
mukallaf adalah awam atau bukan awam (’alim). Jika ia awam maka wajib baginya
untuk bertanya:
Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu
tidak mengetahui. (Al-Anbiya: 7).
Dan pertanyaan itu pasti bermuara kepada ulama, karena tidak
boleh terjadi siklus. Jika mukallaf seorang ‘alim, maka ia tidak bisa
mengetahui hukum Allah kecuali dengan jalan tertentu yang dibenarkan, sebab
tidak boleh memutuskan hukum dengan hawa nafsu, dan jalan itu adalah ushul
fiqh. Tetapi mengetahui dalil setiap hukum tidak diwajibkan atas semua orang,
karena telah dibuka pintu untuk meminta fatwa. Hal ini menunjukkan bahwa
menguasai ilmu ushul bukanlah fardhu ‘ain, tetapi fardhu kifayah, wallahu
a’lam.”
E. SEJARAH
PERKEMBANGAN USHULFIQIH
Di masa Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan
kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan
dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai
Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw.
Para sahabat ra menyaksikan dan berinteraksi langsung dengan
turunnya Al-Qur’an dan mengetahui dengan baik sunnah Rasulullah saw, di samping
itu mereka adalah para ahli bahasa dan pemilik kecerdasan berpikir serta
kebersihan fitrah yang luar biasa, sehingga sepeninggal Rasulullah saw mereka
pun tidak memerlukan perangkat teori (kaidah) untuk dapat berijtihad, meskipun
kaidah-kaidah secara tidak tertulis telah ada dalam dada-dada mereka yang dapat
mereka gunakan di saat memerlukannya.
Setelah meluasnya futuhat islamiyah, umat Islam Arab banyak
berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain yang berbeda bahasa dan latar belakang
peradabannya, hal ini menyebabkan melemahnya kemampuan berbahasa Arab di
kalangan sebagian umat, terutama di Irak . Di sisi lain kebutuhan akan ijtihad
begitu mendesak, karena banyaknya masalah-masalah baru yang belum pernah
terjadi dan memerlukan kejelasan hukum fiqhnya.
Dalam situasi ini, muncullah dua madrasah besar yang
mencerminkan metode mereka dalam berijtihad:
1. Madrasah
ahlir-ra’yi di Irak dengan pusatnya di Bashrah dan Kufah.
2. Madarasah
ahlil-hadits di Hijaz dan berpusat di Mekkah dan Madinah.
Perbedaan dua madrasah ini terletak pada banyaknya
penggunaan hadits atau qiyas dalam berijtihad. Madrasah ahlir-ra’yi lebih
banyak menggunakan qiyas (analogi) dalam berijtihad, hal ini disebabkan oleh:
3. Sedikitnya
jumlah hadits yang sampai ke ulama Irak dan ketatnya seleksi hadits yang mereka
lakukan, hal ini karena banyaknya hadits-hadits palsu yang beredar di kalangan
mereka sehingga mereka tidak mudah menerima riwayat seseorang kecuali melalui
proses seleksi yang ketat. Di sisi lain masalah baru yang mereka hadapi dan
memerlukan ijtihad begitu banyak, maka mau tidak mau mereka mengandalkan qiyas
(analogi) dalam menetapkan hukum. Masalah-masalah baru ini muncul akibat
peradaban dan kehidupan masyarakat Irak yang sangat kompleks.
4. Mereka
mencontoh guru mereka Abdullah bin Mas’ud ra yang banyak menggunakan qiyas
dalam berijtihad menghadapi berbagai masalah.
Sedangkan madrasah ahli hadits lebih berhati-hati dalam
berfatwa dengan qiyas, karena situasi yang mereka hadapi berbeda, situasi itu
adalah:
5. Banyaknya
hadits yang berada di tangan mereka dan sedikitnya kasus-kasus baru yang
memerlukan ijtihad.
6. Contoh
yang mereka dapati dari guru mereka, seperti Abdullah bin Umar ra, dan Abdullah
bin ‘Amr bin ‘Ash, yang sangat berhati-hati menggunakan logika dalam berfatwa.
Perbedaan kedua madrasah ini melahirkan perdebatan sengit,
sehingga membuat para ulama merasa perlu untuk membuat kaidah-kaidah tertulis
yang dibukukan sebagai undang-undang bersama dalam menyatukan dua madrasah ini.
Di antara ulama yang mempunyai perhatian terhadap hal ini adalah Al-Imam Abdur
Rahman bin Mahdi rahimahullah (135-198 H). Beliau meminta kepada Al Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah (150-204 H) untuk menulis sebuah buku tentang
prinsip-prinsip ijtihad yang dapat digunakan sebagai pedoman. Maka lahirlah
kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi’i sebagai kitab pertama dalam ushul fiqh.
Hal ini tidak berarti bahwa sebelum lahirnya kitab
Ar-Risalah prinsip prinsip ushul fiqh tidak ada sama sekali, tetapi ia sudah
ada sejak masa sahabat ra dan ulama-ulama sebelum Syafi’i, akan tetapi
kaidah-kaidah itu belum disusun dalam sebuah buku atau disiplin ilmu tersendiri
dan masih berserakan pada kitab-kitab fiqh para ‘ulama. Imam Syafi’i lah orang
pertama yang menulis buku ushul fiqh, sehingga Ar Risalah menjadi rujukan bagi
para ulama sesudahnya untuk mengembangkan dan menyempurnakan ilmu ini.
Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ra memang pantas
untuk memperoleh kemuliaan ini, karena beliau memiliki pengetahuan tentang
madrasah ahlil-hadits dan madrasah ahlir-ra’yi. Beliau lahir di Ghaza, pada
usia 2 tahun bersama ibunya pergi ke Mekkah untuk belajar dan menghafal
Al-Qur’an serta ilmu fiqh dari ulama Mekkah. Sejak kecil beliau sudah mendapat
pendidikan bahasa dari perkampungan Huzail, salah satu kabilah yang terkenal
dengan kefasihan berbahasa. Pada usia 15 tahun beliau sudah diizinkan oleh
Muslim bin Khalid Az-Zanjiy - salah seorang ulama Mekkah - untuk memberi fatwa.
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru kepada Imam
penduduk Madinah, Imam Malik bin Anas ra (95-179 H) dalam selang waktu 9 tahun
- meskipun tidak berturut-turut - beserta ulama-ulama lainnya, sehingga beliau
memiliki pengetahuan yang cukup dalam ilmu hadits dan fiqh Madinah. Lalu beliau
pergi ke Irak dan belajar metode fiqh Irak kepada Muhammad bin Hasan
Asy-Syaibani ra (wafat th 187 H), murid Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit
ra (80-150 H).
Dari latar belakangnya, kita melihat bahwa Imam Syafi’i
memiliki pengetahuan tentang kedua madrasah yang berbeda pendapat, maka beliau
memang orang yang tepat untuk menjadi orang pertama yang menulis buku dalam
ilmu ushul. Selain Ar-Risalah, Imam Syafi’i juga memiliki karya lain dalam ilmu
ushul, seperti: kitab Jima’ul-ilmi, Ibthalul-istihsan, dan Ikhtilaful-hadits.
Dapat kita simpulkan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan
munculnya penulisan ilmu ushul fiqh:
·
Adanya perdebatan
sengit antara madrasah Irak dan madrasah Hijaz.
·
Mulai melemahnya
kemampuan bahasa Arab di sebagian umat Islam akibat interaksi dengan bangsa
lain terutama Persia.
·
Munculnya banyak
persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan memerlukan kejelasan hukum,
sehingga kebutuhan akan ijtihad kian mendesak.
Setelah Ar-Risalah, muncullah berbagai karya para ulama
dalam ilmu ushul fiqh, di antaranya:
1. Khabar
Al-Wahid, Itsbat Al-Qiyas, dan Ijtihad Ar-Ra’y, ketiganya karya Isa bin Aban
bin Shadaqah Al-Hanafi (wafat th 221 H).
2. An-Nasikh
Wal-Mansukh karya Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H).
3. Al-Ijma’,
Ibthal At-Taqlid, Ibthal Al-Qiyas, dan buku lain karya Dawud bin Ali Az-Zhahiri
(200-270 H).
4. Al-Mu’tamad
karya Abul-Husain Muhammad bin Ali Al-Bashri Al-mu’taziliy Asy-Syafi’i (wafat
th 436H).
5. Al-Burhan
karya Abul Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini/Imamul-haramain (410-478
H).
6. Al-Mustashfa
karya Imam Al-Ghazali Muhammad bin Muhammad (wafat 505 H).
7. Al-Mahshul
karya Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razy (wafat 606 H).
8. Al-Ihkam
fi Ushulil-Ahkam karya Saifuddin Ali bin Abi Ali Al-Amidi (wafat 631 H).
9. Ushul
Al-Karkhi karya Ubaidullah bin Al-Husain Al-Karkhi (wafat 340 H).
10. Ushul Al-jashash karya Abu
Bakar Al-Jashash (wafat 370 H).
11. Ushul as-Sarakhsi karya
Muhammad bin Ahmad As-Sarakhsi (wafat 490 H).
12. Kanz Al-Wushul Ila ma’rifat
Al-Ushul karya Ali bin Muhammad Al-Bazdawi (wafat 482 H).
13. Badi’un-Nizham karya
Muzhaffaruddin Ahmad bin Ali As-Sa’ati Al-hanafi (wafat 694 H).
14. At-Tahrir karya Kamaluddin
Muhammad bin Abdul Wahid yang dikenal dengan Ibnul Hammam (wafat 861 H).
15. Jam’ul-jawami’ karya Abdul
Wahab bin Ali As Subki (wafat 771 H).
16. Al-Muwafaqat karya Abu Ishaq
Ibrahim bin Musa Al-gharnathi yang dikenal dengan nama Asy-Syathibi (wafat 790
H).
17. Irsyadul-fuhul Ila Tahqiq
‘Ilm Al-Ushul karya Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani (wafat 1255 H).
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan
kata Fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua
buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh. Kata Ushul adalah bentuk
jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar
bagi yang lain. Berdasarkan pengertian Ushul menurut bahasa tersebut, maka
Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh. Hubungan Ushul Fiqih
dengan Fiqih
Obyek kajian utama ushul fiqh ada empat:
·
Tentang pengertian dan pembagian hukum, yang meliputi pembuat hukum (syari‘),
beban hukum (mahkum bih), dan penanggung beban hukum (mahkum ‘alaih).
·
Tentang sumber-sumber hukum atau dalil-dalil hukum
·
Kaidah-kaidah memahami sumber hukum, termasuk ketika terjadi pertentangan
tuntutan sumber hukum.
·
Ketentuan orang yang mampu melakukan penggalian hukum (mujtahid).
Ghayah (tujuan) dan tsamarah (buah) ilmu ushul adalah agar
dapat melakukan istinbath hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil syar’i secara
langsung.
Salah satu faktor yang menyebabkan munculnya penulisan ilmu
ushul fiqh yaitu munculnya banyak persoalan yang belum pernah terjadi
sebelumnya dan memerlukan kejelasan hukum, sehingga kebutuhan akan ijtihad kian
mendesak.
B. SARAN
Setelah memahami makalah ini, maka sebaiknya kita
mempelajari sumber-sumber hukum Islam, dalil-dalil yang shahih yang menunjukkan
kepada kita hukum Allah swt, apa syarat-syarat ijtihad, dan bagaimana metode
berijtihad yang benar sesuai batasan-batasan syariat. Kemidian
mengapllikasikannya dalam kehidupan kita sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Wahhab Abdul.Cet I, Shafar 1421 H/ April 2003 M. Ilmu
Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani.
http://rizkisaputro.wordpress.com
Sahal Hasan Ahmad. 4/1/2007/14
Zulhijjah 1427 H.Ushul Fiqih._______
Zain An Najah Ahmad.____ Urgensitas Ushul Fiqh Dalam Konteks
Kontemporer.______
www.dakwatuna.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar