Sahabat Cerpi pada kesempatan kali ini CeramahPidato.Com akan berbagi artikel mengenai Ceramah atau Pidato Ramadhan atau Puasa Tahun 2015 / 1436 Hijriah. Adapun judul ceramah ramadhan pada kesempatan kini adalah Membangun kerukunan & Toleransi dalam masyarak Indonesia yang Plural, langsung saja disimak:
Pluraslisme dalam segala hal di dunia ini, bahkan didalam semesta ini adalah realitas obyektif yang tidak dapat diingkari, ditolak, apalagi dinafika. Dalam pandangan Islam pluralisme atau kemajemukan adalah bagian dari sunnatullah (takdir Tuhan) yang tidak pernah dan tidak akan berubah, misalnya, Allah swt berfirman di dalam QS. Al-Ahzab (33): 62, berbunyi:
Yang artinya:
Dalam pluralitas ini terkandung hikmah yang amat banyak, luas lagi dalam. Tugas manusia, makhluk berakal yang diberikan wewenang menjadi khalifa Tuhan di bumi adalah memikirkan, di balik keragaman tersebut. Salah satu tujuan dari aktifitas tersebut adalah meneguhkan keyakinan bahwa di nalik keragaman itu terdapat Kemaha-Tunggalan yang justeru merupakan asal muasal dan sumber dari keragaman itu sendiri. Bahkan, keragaman itu justeru merupakan bagian dari tanda-tanda Kemaha Kuasaan-Nya (QS. Al-Rum (30): 22):
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّلْعَالِمِينَ
Yang artinya:
Hanya dia-lah yang tunggal, Maha Unik dan Maha Suci dengan ketunggalan-Nya (QS. Al-Syura (42): 11). Selain dia semua mengandung keragaman sehingga di dunia ini tidak ada satu wujud atau realitas pun yang betul-betul esa dan unik.
Bentuk keragaman yang terlihat sangat jelas dan terkait langsung dengan manusia di muka bumi ini adalah keragaman dalam pikiran, budaya, bahasa, ras, etnis, suku, bangsa, warna kulit, adat istiadat, agama, kecenderungan politik, dan sebagainya. Keragaman-keragan tersebut merupakan bagian dari dinamika manusia sekaligus faktor-faktor yang mengandung ambivalensi pada dirinya. Di satu sisi, keragaman itu bisa menimbulkan konflik, permusuhan, bahkan disintegrasi, tetapi disisi yang lai keragaman tersebut justeru bisa membawa kepada harmoni, persaudaraan, dan intergrasi.
Dalam kontes keindonesiaan keragaman itu jelas terlihat sangat gamblang. Indonesi dikenal sebagai negara yang memiliki Wilayah yang sangat luas; terdiri atas belasan ribu pulau; dihuni oleh ratusan juta penduduk dengan latar belakang ratusan suku, ratusan bahasa, perbedaan warna kulit, keragaman adat istiadat, agama, kepercayaan, serta tak kalah pentingnya kecenderungan politik yang benar-benar sangat berwarna-warni. Keragaman itu diakui merupakan khazanah kekayaan Indonesia yang tiada tara dan tentunya harus dipelihara dan dilestarikan. Setiap upaya untuk mengeliminasi keragaman itu dan memaksakan keseragaman (kecuali dalam hal-hal tertentu) pastilah menimbulkan permasalahan besar. Upaya seperti itu di samping menentang sunnatullah (takdir), juga bertentangan dengan fitrah manusia dan tidak sejalan dengan prinsip yang berlaku universal, yaitu bahwa persatuan dan kesatuan harus dibangun dalam keragaman (unity in diversity, E pluribus Umum, Bhineka Tunggal Ika).
Dalam Alquran ditegaskan bahwa Tuhan tidak akan pernah menggunakan kemakuasaan-Nya yang mutlak untuk memaksakan agar semua manusia di muka bumi ini beriman (QS. Yunus (10):99):
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَن فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
Yang Artinya:
Hal ini menunjukkan bahwa kebebasan untuk memiluh jalan kehidupan merupakan hak asasi yang diberikan oleh Tuhan kepada hamba-hamba-Nya dengan konsekuensi bahkan masing-masing manusia akan mempertanggungjawabkan sendiri pilihannya di hadapan Tuhan.
Dilihat dari sudut agama, hanya sedikit negara di dunia ini yang memberlakukan secara formal keseragaman agama. Contoh kongkritnya adalah Saudi Arabia (khususnya di dua kota suci Makkah dan Madinah) dengan Islamnya dan Vatikan dengan Katoliknya. Kota-kota ekslusif agama ini bisa dipahami dari segi sosio-politik historinya di samping karena alasan-alasan doktrinal-teologisnya. Sedangkan di negara-negara Islam lainnya seperti Mesir, Syria, Iran, Yordania, dan sebagainya tetap ditemukan adanya kelompok-kelompok minoritas agama tertentu khususnya Yahudi dan Nashrani yang memang dijamin perlindungannya oleh Islam.
Di Indonesia, keragaman dalam agama, suku, bahasa, dan budaya sejak dulu memperoleh pengakuan formal dari segenap bangsa Indonesi. Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia selalu kemajemukan; masyarakatnya hidup dalam kedamaian, kesamaan dan kebersamaan yang sejati (tidak semua); saling menghargai, menghormati, dan mengasihi; saling menolong dan mengayomi; hidup dalam tolerasi yang tinggi dan mengeyahkan bias-bias promordialisme yang merusak persatuan dan kesatuan. Inilah yang terpratri dalam istilah Bhineka Tunggal Ika, semboyang negara yang di hadapi di luar kepala oleh hampir seluruh anak bangsa meskupun ditengarai bahkan tidak semua dari mereka yang menhapalkan tahu persis arti harfiahnya apalagi makna yang tersirat di dalamnya. Mereka yang tahu makna pun belum tentu dapat mangimplementasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir di negara kita berupa konflik sosial dengan latar belakang SARA yang membawa korban harta, jiwa dan tragedi kemanusiaan yang parah membuktikan tesis tersebut. Memang masalah konflik sosial ini cukup kompleks untuk dianalisis namun satu hal yang pasti adalah bahwa masyarakat kita memang masih sangat rendah pengetahuan, penghayataan, dan terutama, kasadarannya tentang betapa pentingnya memelihara dan mempertahankan kemajemukan sebagai bagian dari dinamika manusia yang distur secara sengaja dan berhikmah oleh Tuhan.
Oleh karena itu, masalah yang dihadapi dalam upaya membengun masyarakat indonesia yang benar-benar bersatu dan kuat dalam kemajemukan suku, agama, budaya, antar golongan, dan sebagainya di samping faktor kognisi juga terkait dengan afeksi dan psikomotorik yang membentuk pola tindak dan perilaku yang berwawasan luas dan berkesadaran tinggi dari masyarakat baik secara individual maupun secara kelompok.
Ajaran yang membentuk kesadaran dan perilaku untuk hidup bersatu di tengah kemajemukan sebenarnya dimiliki oleh setiap budaya dan agama yang hidup di tanah air. Meskipun ada hal-hal yang eksklusif, atau tepatnya unik, dalam tiap budaya dan agama namun pada dasarnya budaya dan agama yang hidup di Indonesi mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, kegotong-royongan, tepo seliro, saling menhargai, saling membantu, saling mengingatkan dan sebagainya. Sifat-sifat ini pada dasarnya merupakan perwujudan sekaligus merupakan pengakuan akan adanya kemajamukan dan keragaman. Kalu pun terlihat ada sikap eksklusif dari setiap kelompok suku, budaya dan agama maka hal tersebut harus dipandang secara arif oleh karena sifat eksklusifikasi sampai pada batas-batas tertentu juga merupakan bagian dari dinamika kehidupan itu sendiri. Sepanjang eksklusifikasi tersebut itu tidak berarti menyepelekan atau tidak menghargai orang lain yang pada giliranya menimbulkan perpecahan, maka sifat dan sikap itu tetap sah-saja. Dengan kata lain, manusia pada dasarnya tidak dapat sepenuhnya membebaskan diri dari kecenderungan untuk bersifat dan bersikapeksklusif, karena eksklusiftas justeru tidak dapat dipisahkan dari ingklusifitsa sebagaimana halnya heterogenitas tidak dipisahkan dengan homogenitas, kejamakan tidak dapat dipisahkan dari ketunggalan. Ketika seseorang ingin tampil eksklusif (sekali lagi sampai bats-batas tertentu) sesungguhnya hal itu merupakan pengejawantahan dari kecenderungan untuk tampil beda dengan orang dan kelompok lain.
Dalam agama misalnya, ada hal-hal di mana umat harus tampil eksklusif dan harus betul-betul beda dengan umat lainnya. Adanya suatu kemustahilan bahkan kekacauan-balauan bila semua pemeluk agama yang berbeda harus diiringi untuk menyeragamkan keyakinan, ritual, dan doktrin-doktrin agama yang mereka anut. Sikap seperti itu bukan saja amburadul tetapi justeru menjerumuskan umat kepada kebingunan dan kesesatan. Bahkan di kalangan antara pemeluk intern satu agama, eksklusifitas dan tampil beda tersebut harus di hormati sepanjang tidak bertentangan prinsip-prinsipdasar yang semestinya (wajib) menjadi kesepakatan satu agama. Semua itu kembali lagi kepada dinamika internal dan eksternal dari agama-agama dan para pemeluknya.
Terjadinya perselisihan di kalangan pemeluk agama atau kelompok suku dan budaya yang bisa meningkat menjadi pertentangan dan saling bermusuhan bahkan bentrok fisik yang pada gilirannya menimbulkan tragedi berdarah seperti di singgung di atas, penyebab utamanya, bukanlah karena sentimen suku, agama atau pun budaya an sich, perseteruan seperti itu biasanya barawal dari, dan lebih disebabkan oleh, ‘’faktor-faktor lain’’ yang tidak ada kaitan langsung dengan agama, suku, dan budaya. Yang tampak menonjol adalah faktor sosial ekonomi. Persaingan dan perebutan lahan kehidupan serta ketimpangan sosial antara satu kelompok dengan kelompok lainnya menyebabkan terjadinya akumulasi kebencian yang pada saat-saat tertentu meledak menjadi persekutuan terbuka dengan menjadi sentimen agama, suku, dan budaya sebagai alasannya. Di sini, agama maupun fenomena suku dan budaya yang bernuansa kekuasaan maupun yang bertendensi ekonomi.
Kalu kita kembali surut ke belakang menengok perjalanan panjang dari agama-agama di dunia ini, maka kita akan melihat bahwa agama memang seringkali digunakan sebagai alat untuk memperoleh akses kekuasaan dan akses-akses sosial ekonomi lainnya. Yang ironis adalah bahwa kadang-kadang agama diperatas-namakan untuk perbuatan-perbuatan yang justeru bertentangan dengan prinsip-prinsip kesucian, kedamain, dan kasih sayang yang sesungguhnya menjadi inti ajaran semua agama. Berapa banyak perang yang pecah, berapa banyak darah yang tumpah, berapa besar harta yang terbuang, dan tak terbilang lagi nyawa yang melayang dimasa lampau, masa kini, dan mungkin juga masa depan, justeru dengan memperatasnamakan kesucian agama. Dan lebih ironis lagi karena justeru dalam tubuh umat seagama sendirian pun tejadi konflik tajam yang seringkali mncabik-cabik persaudaraan dan persatuan, bahkan menciptakan kotak-kotak dan mubu-kubu yang sangat tajam dari satu agama. (contoh kongkrit dalam Islam adalah perang jamal dan perang Siifin justeru terjadi di antara sesama sahabat Nabi dalam rentang waktu yang relatif masih sangat dekat dengan kehidupan Nabi Muhammad Saw. Perseteruan abadi antara kaum Sunni dan kaum Syi’ah; berpecah dikalangan kaum Nashrani yang melahirkan ‘’agama’’ baru yaitu Katolik dan Protestan, dan sebagainya).
Pengalaman sejarah seperti itu mestinya menjadi pelajaran berharga bagi umat beragama, khususnya para tokoh dan pimpinannya untuk bersikap lebih arifdan lebih hati-hati dalam mengelola umat masing-masing. Betapa pun sangat disadari bahwa agama yang berbasis pada keyakinan yang timbul dari emosi manusia yang terdalam (qalb) sangat sensitif dan amat mudah dieksploitasi. Oleh karena itu seharusnya para pemeluk agama berupaya untuk seoptimal mungkin terjadinya hal-hal sensitif yang bisa memicu konflik.
Seperti yang disinggung di awal tulisan ini bahwa agama memiliki ambivalensi pada dirinya, khususnya dilihat dari sudut interakti para pemeluknya. Pada satu sisi agama bisa menjadi kekuataan integratif, konstruktif, membawa damai dan harmoni. Sebaliknya, di sisi yang lain agama justeru bisa beralih pesan sebagai kekuataan disintegrstif denitif, dan menimbulkan konflik antara pemeluknya secara terlebih secara eksternal.
Dilihat dari sudut ajarannya yang sarat dengan nilai-nilai luhur, kesucian, perdamaian, kasih sayang, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan serta nilai-nilai kemahklukan lainnya yang universal, maka agama dapat menjadi kekuataan intergratif dan konstruktif. Dari sisi ini seharusnya dan sudah sepantasnya para pemeluk agama hidup dalam kerukunan dan kasih sayang, saling menghormati, sling mengasihi, saling menolong tanpa harus mempersoalkan perbedaan doktrin dan kayakinan masing-masing. Sekiranya sisi agama yang satu ini dapat terimplementasi dan teraplikasi dalam realitas kehidupan umat beragama maka sungguh hidup manusia akan sangat indah dan mengalami kabahagiaan serta kedamaian yang tiada tara. Namun harapan tersebut ternyata lebih sering berbeda dan faktor pemicu bagi terjadinya disntegrasi dalam konflik mulai dari yang berskala kecil dan ringan sampai kepada konflik yang berdarah-darah.
Faktor-faktor yang menyebabkan agama rawan dengan konflik dan perpecahan antara lain: pertama, absolutisme dalam agama yang membawa penolakan terhadap keyakinan dan agama orang lain yang pada gilirannya melahirkan fanatisme ekstrim sehingga menutup ointu untuk dialog. Bahkan absolutisme dalam keyakinan tertentu sering kali melahirkan sektsrianisme dan eksklusifisme ekstrim yang dua-duanya sangat eksplosif dan potensia melahirkan konflik. Kedua, watak ekspansionisme dalam agama yaitu doktrin keharusan untuk menyiarkan dan menyebarkan agama kepada orang lain yang mendapatkan legitimasi dari kitab suci. Setiap agama, kecuali agama tertentu, mewajibkan pemeluknya, baik perorangan maupun kelembagaan, mengemban tugas suci ini.interaksi untik beragama dalam mengaktualisasikan tugas dan misi suci ini merupakan pangkal dari berbagai konflik keagamaan. Ketika, watak penetrasi agama terhadap budaya non agama yang melahirkan konflik agama dengan dimensi kultural secara timbal balik. Kaum beragaman biasanya sangat bersemangat, sesuai tugas sucinya, untuk meng-agama-kan kehidupan masyarakat dalam seluruh dimensinya sementara sebagian masyarakat menilai bahwa wilaya agama terbatas pada hal-hal yang bersifat sakral dan ritual murni keduniaan dan bersifat profan. Tidak jarang bahwa kepentingan-kepentingan tertentu ikut bermain dalam upaya ‘’pengagamaan’’ sistem kehidupan masyarakat. Untuk yang terakhir ini agama sering kali dicap sebagai alat atau kendaraan bagi kepentingan-kepentingan tertentu seperti politik, sosial, ekonomi, budaya dan sebagainya. (kasus pornografi yang sering kali ramai dimedia massa merupakan contoh konflik antara dunia di satu pihak dengan dunia ‘’seni’’ dan ‘’budaya’’ di pihak lain).
Adanya watak ambivalensi seperti dikemukakan di atas seharusnya dipahami, disadari, dan dihayati oleh para pemeluk agama sehingga mereka berupaya untuk meredam dan atau mengeliminasi potensi-potensi disintegratif yang terdapat dalam agama dan mengedepankan dimensi-dimensinya yang membawa kepada integrasi dan kedamaian.
Dilihat dari sudut pandang agama, situasi bangsa memang terlihat rawan akan berpecahan. Sebab sudah terlanjur diangkat ke permukaan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, khususnya tujuan kekuasaan. Berbagai pengambilan keputusan yang terkait dengan masalah pengelolaan bangsa dan negara ini biasanya tidak bisa luput dari pertimbangan-pertimbangan yang bernuansa agama. Bahkan tidak jarang persoalaan agama dijadikan sebagai komoditas politik oleh kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan. Issu-issu seperti ini pun biasanya sangat laris untuk dijual oleh media karena memiliki nilai ‘’berita’’ yang tinggi. Hal-hal seperti ini merupakan contoh kongkret betapa agama sudah turut bermain dalam pecaturan politik praktis bangsa. Tentu saja di alam kebebasan seperi sekarang ini, sikap seperti itu sah-sah saja dan tidak ada satu otoritas pun ynag berhak untuk melarang atau menolaknya. Paling tidak orang boleh setuju dan boleh tidak setuju sehingga perdebatan panjang menjadi tak terhindarkan. Setiap orang bebasuntuk memberi interpretasi terhadap ajaran agamanya (tentu saja dengan persyaratan-persyaratan tentu yang biasanya diatur dalam intern agama). Yang penting tidak ada klaim-klaim untuk memonopoli kebenaran hanya pada pendapat pribadi atau kelompok sendiri. Sebab tes-tes agama yang absolut itu bisa sudah diberi interprestasi maka nilainya tidak lagi absolut melainkan nisbi (zhanny).
Terjadinya berbagai kemelut dikalangan umat beragama baik internal maupun lintas agama antara lain karena sikap eksklusifitas ekstrim yang tidak mau tahu keberadaan kelompok lain behkan menganggap bahwa kebenaran satu-satunya hanya ada pada diri dan kelompoknya saja. Sikap seperti ini masih dominan menguasai para pemeluk agama sehingga menjadi salah satu faktor penting yang menghambat terjadinya kerukunan yang sejati. Padahal, sikap ingklusifitas dalam beragama bisa saja dikembangkang tampa harus mengorbankan keyakinan masing-masing. Pada salahnya kalau seseorang, misalnya, mengatakan bahwa agama dan keyakinan saya paling benar tetapi saya tetap menghormati dan menghargai agama dan keyakinan anda sebagai suatu kebenaran menurut yang anda yakini. Sikap seperti ini sama sekali tidak merugikan siapa-siapa dan tidak berarti mencampur adukkan kebenaran. Sebab, kebenarang yang sejati sebenarnya bisa bertemu pada level esensi, sedangkan pada level permukaan (syari’ah) memang tidak mungkin dan tidak harus diusahakan untuk mencapai titik temu.
Para pemeluk agama juga bisa mencapai titik temu (kesepahaman) dalam aspek-aspek moral dan spiritual, sedangkan pada aspek teologis dan ritual tentu saja tidak mungkin dicapai titik temu. Pada dua aspek terakhir ini berlaku prinsip laku dinukum wa liya din (bagi kamu agama kamu dan bagi saya agama saya) tanpa harus saling menyalahkan dan melecehkan inilah salah satu bentuk toleransi dak kerukunan hidup beragama yang patut diaplikasikan pada semua level masyarakat meskupun disadari bahwa tidaklah mudah untuk mengimplementasikan pada level awam yang merupakan bagian terbesar dari setiap umat beragama. Namun dengan kerja keras dan i’tikad baik dari para tokoh dan pemimpin umat hal itu pada saatnya bisa dicapai.
Masalah lain hingga kini tetap potensial mengandung konflik adalah hubungan antara kelompok Muslim yang mayoritas dengan non-Muslim yang minoritas. Kelompok Muslim yang dalam kenyataannya memang sangat mayoritas menuntut adanya perlakuan secara proporsional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sepanjang sejarah bangsa ini mereka merasa belum pernah mendapatkan perlakuan ‘’tidak adil’’ bahkan ‘’dizhalimi’’. Kuat pembangunan dan hasil negara yang berlimpah-limpah lebih banyak dinikmati kelompok minoritas. Mereka merasakan adanya hambatan-hambatan untuk masuk dalam akses kekuasaan, akses ekonomi dan sebagainya sebaliknya kelompok minoritas menganggap bahwa apa yang mereka peroleh selama ini adalah wajar-wajar saja sebagai hasil dari kerja keras, keuletan, dan keterampilan yang mereka miliki. Bahkan mereka pun merasa diperlakukan secara tidak adil, diskrimminatif, dan selalu terancam oleh kelompok mayoritas sehingga harus berusaha untuk melakukan upaya-upaya preventif.
Jika masalah tersebut di ungkit dan diperdebatkan kembali secara terbuka barangkali tidak akan pernah dicapai titik temu sebab masing-masing kelompok akan bertahan pada prinsip dan argumen-argumen sendiri. Apa lagi di era keterbukaan sekarang ini dimana tidak ada otoritas yang sungguh-sungguh dipercaya untuk mencari jalan keluar yang dapat diterima oleh kedua pihak. Oleh karena itu jalan terbaik adalah melakukan dialok-dialok terbatas dalam suasana sejuk, seperti forum sekarang ini, yang dilandasi i’tikad baik masing-masing pihak disertai rasa tanggung jawab besar akan keselamatan bangsa kedepan sehingga semua pihak akan lebih mengedepankan dan mengutamakan kepentingan bangsa dari pada kepentingan kelompok dan golongan. Sudah saatnya semua pihak melakukan pendinginan suasana dan melupakan masa lampau. Sebaliknya perhatian dan lebih dicurahkan ke depan untuk satu Indonesia yang kokoh kuat, bersatu dalam kemajemukan, penuh toleransi dan saling menghargai, di mana semu aorang dan semua kelompok memperoleh perlindungan hukum yang sama, keadilan yang sama, dan tentu saja kesempatan yang sama untuk berjuang membangun masa depan …prinsip ‘’tidak ada diktator mayoritas dan tidak ada tirani minoritas’’ harus tetap dijunjung tinggi dan ditaati secara sungguh-sungguh oleh semua pihak.
Hanya dengan sikap seperti yang dikemukakan di atas harapan akan terjadinya rekonsiliasi nasional dan integrasi bengsa lewat jalur agama dan budaya dapat terwujud. Sebaliknya bila masing-masing kelompok tetap bersifat eksklusif, mementingkan diri sendiri dan tidak mau tahu apalagi peduli terhadap kepentingan bangsa dan negara maka Indonesia baru yang didambahkan hanyalah sebuah mimpi indah yang tidak pernah terwujud dalam kenyataan.
Dilihat dari perspektif Islam, sesungguhnya ajaran mengenai kerukunan antara umat yang plural bukanlah hal yang baru. Agama yang dibawah oleh Muhammad saw. Ini sudah memberi pedoman yang sangat komsetsionel tentang bagaiman berantaraksi dengan sesama Muslim; yang sesama manusia yang berlainan etnis dan agama; bahkan dengan sesama makhluk sekali pun. Pluralitas, seperti disinggung diawal tulisan ini, di samping diakui secara tegas dan oleh Islam sebagai bagian dari sunnatullah yang tidak bisa didistorsi. Juga harus diterima dan dihormati sebagai anugarah besar dari Tuhan. Dunia yang plural adalah dunia yang indah. Masyarakat yang plural untuk berlomba dan bersaing untuk meraih kedudukan yang lebih baik (ber-fastabiq al-khairat). Persaingan-persaingan seperti inilah yang sebenarnya merupakan pangkal dari munculnya berbagai konflik atau kalau manusia tidak memiliki kasadaran yang dalam mengenai nikmat kehidupan secara bebas dan damai dan juga berhak atas penghormatan, pengakuan, kesempatan bekerja dan berekspresi, kebebasan untuk berkumpul dan berserikat, kebebasan untuk menganut agama dan keyakinan, dan sebagainya.
Hal-hal yang dimaksud diatas secara populer biasa disebut sebagai HAM (hak-hak asasi manusia yang telah diatur oleh PBB dalam deklarasi semesta Tentang Hak-hak Asasi Manusia Universal deklaration of The Human Right) yang disepakati oleh seluruh negara yang bergabung dalam organisasi dunia paling bergensi itu. Bahkan secara khusus, hak asasi menyangkut agama diatur tersendiri dalam suatu deklarasi yang disebut Deklatation on the Elimination of Religius Intolerance and Discrimination (deklaeasi tentang penghapusan intoleransi dan diskriminasi Berdasarkan Agama). Dalam deklarasi ini, hak-khak asasi mengenai agama diatur dengan cermat, antara lai meliputi: hak menganut agama atau keyakinan menjadi pilihan, hak dan keebebasan untuk mengamalkan agama dan keyakinan; hak beribadah, hak mendirikan dan mempertahankan tempat-tempat ibadah, hak mendirikan lembaga-lembaga sosial keagamaan, hak menulis, menerbitkan, dan menyebarluaskan publikasi-publikasi yang relevan dengan agama, hak mengajarkan agama, dan seterusnya.
Terjadinya gesekan-gesekan antara pemeluk agama yang berbeda ataupun dari satu agama yang sama secara internal, biasanya lebih disebabkan karena ketidakmampuan seseorang atau sekelompok umat beragama menanti dan mengamplikasikan prinsip-prinsip yang disepakati tersebut. Hal ini biasanyan berkait dengan watak ambivalensi agama seperti telah dikemukakan di atas.
Dalam pandangan Islam, kebebasan-kebebasan yang terkait dengan agama telah diatur secara umum. Misalnya kebebasan untuk beriman atau tidak beriman dijamin oleh Alquran (QS.Al-Kahfi (18): 29);
وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ ۖ فَمَن شَاءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا ۚ وَإِن يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ ۚ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقً
Yang artinya:
Tidak ada paksaan dalam agama QS.Al-Baqarah (2): 256;
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Yang artinya:
Bahkan nabi pun sangat dilarang melakukan pemaksaan tersebut (QS.Al-Ahzab (33): 45;
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا
Yang artinya:
Karena otoritas Nabi sebatas pada penyampaian ajaran yang diterima dari Tuhan. Otoritas untuk membuat seseorang beriman hanya milik Tuhan (QS. An-Naml (27): 56).
Yang artinya:
Dalam ayat lain ditegaskan larangan mencaci maki Tuhan-tuhan yang disembah oleh kaum musyrik agar mereka tidak melakukan hal yang sempurna terhadap Tuhan (Allah) yang disembah oleh orang Muslim QS. Al-An’am (6): 108);
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Yang artinya:
Penegasan ini tentu saja mengimplementasikan larangan serupa terhadap agama dan keyakinan yang dianut oleh orang lain. Artinya, tindakan menghina dan mendiskreditkan agama dan kepercayaan orang lain sama dengan menghina dan mendiskreditkan agama dan keyakinan sendiri; tindakan menintas tuhan yang disembah orang lain sama dengan menista Tuhan sendiri.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan Alquran tersebut dapat dipahami bahwa pluralisme agama sudah merupakan rencana Tuhan yang bersifat taken for granted dan tidak ada kekuataan apapun yang dapat mengubahnya kecuali Tuhan sendiri jika dia menghendaki.inilah yang dikatakan oleh Alquran; (QS. Yunus (10): 99).
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَن فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
Yang artinya:
Dalam ayat lain dikatakan; (QS. Al-Maidah (5): 48).
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Yang artinya:
Dalam kenyataannya, kehendak Tuhan itu memang tidak dimanifestasikannya di bumi sebab Dia Maha Mengetahui rahasia-rahasia di balik keragaman tersebut yaitu, antara lain, agar manusia berkompetisi secara fair untuk melakukan kebajikan-kebajikan di muka bumi.
Dalam agama memang di temukan adanya klaim-klaim kebenaran untuk diri sendiri. Hal ini menurut hemat saya wajar-wajar saja sepanjang klaim-klaim itu tidak menjadi alasan untuk menggiring orang lain, dengan cara tidak fair dan tidak etis, untuk mengikuti kebenaran yang dianut. Asas saling menghormati kepercayaan masing-masing harus di junjung tinggi oleh setiap penganut agama sehingga tidak ada lagi upaya-upaya intervensi terhadap wilayah keyakinan orang lain. Biarkanlah setiap orang dan kelompok menikmati kedamaian dengan keyakinannya sendiri karena setiap orang akan memperoleh ganjaran atau pun balasan terhadap apa yang diyakini dan diamalkan dalam kehidupan ini.
Tentu saja misi menyebarkan agama merupakan misi suci yang di emban oleh setiap pemeluk agama. Namun sangat diharapkan bahwa dalam menjalankan misi suci itu seorang misionaris, da’i, mubaligh dan atau penyebar-penyebar agama yang lain tidak melakukan hal-hal tidak terpujiyang justeru akan berbalik akan metode kesucian misi yang diemban. Prinsip seperti ini barlaku untuk interaksi lintas agama maupun internal satu agama. Hanya dengan demikian, kita dapat hidup rukun dan damai di segala ruang dan waktu karena memang bumi ini diwariskan oleh Tuhan untuk seluruh hamba-Nya tampa kecuali, dengan penekanan agar orang-orang shalih bisa berperang lebih aktif dan terdepan dalam menjaga dan melestarikan bumi Allah ini QS. Al-Anbiya’ (21): 105;
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِن بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ
Yang artinya:
Semua pemeluk agama yang berbeda di muka bumi ini mempunyai tanggung jawab yang sama untuk membangun dunia yang damai, dunia yang aman dan tertib, dunia yang sejahtera dan berkeadilan, dunia yang masyarakatnya hidup rukun dan harmonis, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, serta memiliki komitmen yang tinggi untuk memertahankan harkat dan martabat manusia. Kalau Alquran mengajak para pemeluk agama non Islam, khsusnya Ahl al-Kitab, untuk mencari titik temu (kalimat sawa’). QS. Ali-Imran (3): 64;
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ ۚ فَإِن تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Yang artinya:
Maka titik temu yang dimaksud memang hanya bisa dujumpai pada aspek-aspek kemanusiaan, dan spritual. Pada aspek ini, ajaran-ajaran agama bersifat universal sehingga komunitas antar umat beragama bisa menjadi lancar dan ‘’nyambung’’. Sedangkan pada aspek-aspek formal dari agama, khusus bangsa keimanan dan konsep syari’ah, masing-masing agama memiliki ajaran yang tidak mungkin bisa saling dipertemukan. Bahkan upaya untuk mempertemukan aspek-aspek tersebut justeru merupakan pekerjaan sia-sia yang akan membahayakan akidah masing-masing agama. Inilah yang dimaksud dengan pernyataan Alquran: (QS. Al-Kafirun (109): 5). Artinya, dalam hal-hal iman ritual, mari kita menjalankan pendirian dan amalan masing-masing. Kita tidak perlu saling menyalahkan apalagi saling mencela dan memaki. Tetapi dalam hal-hal yang bersifat moral dan kemanusiaan mari kita bergandeng tangan untuk membangun dunia yang lebih adil, lebih sejahtera, tentunya lebih damai dan bahagia.[cp]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar