Sahabat Cerpi pada kesempatan kali ini CeramahPidato.Com akan berbagi artikel mengenai Ceramah Puasa 2015 atau Ceramah Ramadhan 1436 H, judulnya adalah AlQuran Sumber Transformasi Budaya, simaklah.
Alquran tetap untuk diposisikan sebagai sumber transformasi budaya, karena sebagian kitab suci yang diyakini berupa wahyu Tuhan Pemelihara alam semesta, tidak hanya berisi norma-norma yang menjadi pendirian hidup individual dan masyarakat, tetapi juga mengandung sejumlah permisalan mengenai budaya umat trdahulu, baik yang sudah binasa maupun yang masih terpelihara eksistisinya dewasa ini.
Budaya atau kebudayaan, dipahami sebagai tri potensi manusia, berpikir, berkemauan dan berperasaan yang terjelma dalam kumpulan ilmu pengetahuan, kaidah-kaidah sosial dan kesenian. Dalam pengertian ini tergambar adanya proses yang menjadikan manusia-individu dan masyarakat sebagai wadah pembentukan potensi yang dijelmakan dalam bentuk logikla,etika dan estetika. Sedang transformasi diartikan pengubahan bentuk, sifat atau fungsi budaya yang dijelmakan melalui logika, etika dan estetika pada kesadaran, tingkah laku dan sikap manusia.
Dari pengertian leksikal itu dan dari celah-celah dinamika peradaban Islam itu dapat ditarik benang merah sebagai menjadikan Alquran sebagai sumber transformasi budaya.
Manusia sebagai Makhluk Sosial
Manusia sebagai makhluk sosial terikat dengan lingkungannya. Ikatannya adalah kebudayaan yang diperoleh melalui proses belajar. Proses belajar dimungkunkan, karena dalam kebudayaan terhadap sejumlah kaidah, aturan dan kategori, yang dapat diketahui melalui pengalaman dan pengamatan terhadap lingkungan sosial, selanjutnya pencocokan dengan pengetahuan yang sudah diketahui sebelumnya, dan akhirnya pengiterpretasikan dengan kembali mengadakan sistematisasi dan kategorisasi.
Dalam proses analisis dan interprestasi, manusia selalu dihadapkan dengan ‘’model pengetahuan’’ yang telah diketahui terlebih dahulu. Model pengetahuan ini, memiliki variasi yang beraneka ragam, terkait dengan keragaman pengalaman dan pengamatan terhadap lingkungan sosial.kaitan atau hubungan antara model-model pengetahuan membentuk sistem dan pola pikir. Inilah yang merupakan hakekat kebudayaan.
Manusia dapat membedakan kategori-kategori dari setiap model dan setiap sistem dalam pola pikir, secara bersama dan tersebar luas. Misalnya: Masjid,pasar, dan nightclub adalah simbol, ada modelnya dalam pola pikir manusia.
Mesjid sebagai simbol, dapat menjadi refens sistem religi –tempat shalat-, juga sistem teknologi –arsitektur -. Demikian pula pasar dan naightclub kedua adalah simbol untuk sistem ekonomi dan estetika, tersediri atau keduanya-keduanya sekaligus. R
Alquran adalah wahyu Allah swt. Yag diturunkan kepada Muhammad saw. (rasul-Nya), sebagai hudan-petunjuk bagi manusia untuk kebahagiaan hidupnya dunia-akhirat Assunnah juga adalah wahyu (Q.S. An-Najm 53: 1-11:
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَىٰ
مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَىٰ
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَىٰ
ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَىٰ
وَهُوَ بِالْأُفُقِ الْأَعْلَىٰ
ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّىٰ
فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَىٰ
فَأَوْحَىٰ إِلَىٰ عَبْدِهِ مَا أَوْحَىٰ
مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَىٰ
Yang artinya:
Meskipun untuk menyakini kewahyuanya diperluka proses pentarjihan ke-shahihan sanad maupun matan-Nya.
Wahyu diimai dan dipahami sebagai irfaun –pengetahuan – datang dari Allah Rab al-‘Alami, dengan perantaraan, misalnya melalui studi emperik, reflektif dan intesif terhadap mushaf Alquraan dan periwayarta Assunnah, ataupun tanpa perantara, misalnya melalui proses ilmu ladui –studio nonemperik dan non intensif. Dalam transformasi budaya bagi umat Islam, unsur wahyu ii domunal, pada titik berangkatnya, pada tujuan antara dan tujuan akhirnya, pada proses pelaksanaannya, serta pada produksi yang dihasilkanya.
Titik Temu Alquran dan Budaya
Alquran dan budaya dapat saling isi dan terintegrasi, karena kesamaan unsur esensial. Esesni budaya adalah ‘’pengetahuan’’ yang dapat megendap dalm pola dan tata pikir yag berfungsi untuk merespons setiap siti mulus dari lingkungan sosial, melalui simbol-simbolbahasa. Bedanya yang menojol, simbol wahyu, berbahasa Arab, dari Allah swt. Diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Dengan perantara Jibril, ataupun yang tidak; sementara itu simbol budaya, merupakan rumusan manusia dengan beragan bahasa, yang diperoleh lewat pewarisan pengalaman terhadap lingkungan sosialnya.
Meskipun wahyu sumbernya dari Allah ‘Alim al-Gaib wa as-Syahadah; namun itu memahami dan mengamalkan petunjuk yang dikandungnya, manusia mengunakan simbol kebudayaan menurut bahasa yang dipahaminya. Di sini letak titik temu, antara simbol wahyu yang transedental dan simbol budaya yang kategorikal.
Tetapi –bagi umat Islam – kare sumber wahyu transedental, maka diimai mutlak benarnya. Allah berfirman di dalam Q.s. Ali Imran 3: 60, berbunyi:
الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلَا تَكُن مِّنَ الْمُمْتَرِينَ
Yang artinya:
Sedang sumber budaya adalah manusia sendiri yag ada dalam dinamika perubahan dan perkembangan, maka wahyu menjadi rujukan dalam pengembangn kebudayaan. Titik temu ini membawa integrasi wahyu dalam kebudayaan. Proses integrasi terjadi waktu penafsiran ayat-ayat Alquran dan pensyaraha Assunah as-Shahihah, dengan menggunakan metode dan sistimatika disiplin ilmu tertentu, dalam ragka merespon problem hidup dari berbagai aspekya.
Manusia selaku hamba Allah dan sekaligus khalifa-Nya di dunia ini, sebagian mukmin, dan sebagian kafir (Q.S. Al-Taghabun 64: 2:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ فَمِنكُمْ كَافِرٌ وَمِنكُم مُّؤْمِنٌ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Yang artinya:
Namun tidak analogi, bahwa umat Islam melahirkan, budaya Islam, sedang yang fakir melahirkan budaya kafir. Wahyu teritegrasi dalam kebudayaan sejak manusia menghunni bumi ini, sampai kiamat; sedang manusia mukmin da non mukmin terlahir baik selaku individu, maupun sebagai umat pada gilirangnya berhadapan degan ajal dan kematian (Q.S. Al-Am 6: 60).
وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُم بِاللَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُم بِالنَّهَارِ ثُمَّ يَبْعَثُكُمْ فِيهِ لِيُقْضَىٰ أَجَلٌ مُّسَمًّى ۖ ثُمَّ إِلَيْهِ مَرْجِعُكُمْ ثُمَّ يُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Yang artinya:
Disini unik dan komplesitasnya; budaya bertumbuh dan berkembang terus, sebab dunia belum kiamat; dari mitis, ke otologis, sampai kepemikiran fungsional dewasa ini. Sementara umat seperti kaum Add, kaum Tsamud dan semisalnya telah punah dan binasa. Sebagian yang lain tetap terpelihara eksistensi budayanya dari masa pra sejarah, misalnya Bani Israil, Yahudi dan Nasrani; serta sebagian yang lain baru muncul belakangan, misalnya umat Islam. Malah tidak tertutup kemukinan lahirnya generasi baru pada masa yang akan datang.
Alquran dan Transformasi Budaya
Umat Islam –yang disebut sebgai khairah ummah dari rasulullah yang paling akhir, karena merupakan ummatan wasathan dan syuhadaa ‘ala an-nas, memang selalu dituntut untuk mentransformaskan Alquran dan Assunnah agar fungsional dewasa ini. Budaya fungsional, meletakkan perkembangan kebudayaan pada harakat dan martabak dari diri manusia sendiri; tidak berasal dari luarnya. Ini merupakan peluang dan sekaligus tantangan bagi rancangan suatu transformasi budaya, yaitu meletakkan iman sebagai nafas dari kebudayaan.
Strategi ar-Ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah –kembali kepada Alquran dan Assunnah, nampaknya masih merupakan strategi yang ontologis dalam suati transfoemasi. Dituntut rumusan baru yang bersifat fungsional, yaitu dengan menyatukan dimensi ajaran kembali kepada Alquran dan Assunnah dapat menjadi rujukan dalam pola pikir budaya, pada: sistem logika, sistem etika dan sistem estetika.
Alquran sebagai sumber transformasi budaya antara lain doa Nabi Ibrahim as. Memohon agar Makkah dan sekitarnya menjadi negeri yang aman dan damai, seperti yang terekam dalam dua suntingnya ayat dibawah ini:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الْأَصْنَامَ
Yang artinya:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُم بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ قَالَ وَمَن كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَىٰ عَذَابِ النَّارِ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Yang artinya:
Harapan yang dipinta sekali al-baladan aminan, kali lain baladan aminan. Pengguna makrifah pada yang pertama dan nakirah pada yang kedua, meski mengandung perbedaan penafsiran; misalnya yang nakirah mengandung arti Makkah arti Makkah aman dan sejahtera saat Ibrahim dan puteranya mendiami wilayah itu; namun, dari kedua kepingan ayat dapat diperoleh isyarat mengenai asas budaya fungsional baladan aminan itu:
Negeri yang dicintai dan dirindui warganya lantaran disamping menjanjikan kesejahteraan lahir, buah-buahan melimpah tanpa terpengaruh musim, juga menjanjiakn keteteraman batin, penduduknya senantiasa dapat menyatakan kesyukuran kepada Allah swt. Tanpa rasa takut sedikitpun.
Adapun balatun tayyibah wa rabbun gafur, al-Quran menyebutkan pernah menjadi ‘’logo’’ negeri Saba.
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٍ وَشِمَالٍ ۖ كُلُوا مِن رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
Yang artinya:
Negeri itu merupakan pemukuman kebudayaan yang aman dan menyenangkan, diapit dua lembah yang subur dan tertata apik. Dari ayat tersebut dapat tersirat budaya fungsuinel:
Penduduk suatu negeri (pemilik kebudayaan) dapat menikmati rezki dari Allah swt. Jika senantiasa dapat menghaturkan syukur kepada-Nya.
Tapi saat mereka lalai dan ingkar nikmat, ‘’logo’’ itu tercabut dengan sendirinya, negeri mereka porak poranda dilanda banjir bandang, dan kehudupan menjadi sulit dan tak menentu (Q.S. Saba 34: 15-18).
Baik baladan aminan, maupun baldatun tayyibatun, kebudayaanny asimbol quraniyah yang normatif, memerlukan transformasi dari umat Islam sebagai pemegang gelar ummatan wasathan (bangsa yang moderat) dan khairah ummah (bangsa yang unggul) dalam wujud kebudayaan Islam, yang berdampingan dan berinteraksi dengan kebudayaan lain sebagai bagian budaya gelobal dunia.
Demikian, semoga bermanfaat adanya; wallahu a’lam bissawah.[cp]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar