Senin, 10 September 2012

TASAWUF AKHLAKI



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Budha, muncullah anggapan bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar. Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun  pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari khalayak ramai. Mereka adalah orang yang berhati baik, pemurah dan suka menolong.  
Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, Ruh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Ruh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada filsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Ruh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam Ruhani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, Ruh yang telah kotor itu dibersihkan dahulu melalui ibadah yang banyak serta melewati beberapa ujian-ujian dari mulai membersihkan diri dari segala dosa hingga mencapai rida Ilahi.
Dari agama Budha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat pengalaman ittihad.
Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Budha, filsafat Yunani dan agama Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis.
Hakekat tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebutkan Alquran dan Hadits. "Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil."
Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya.” Ayat ini menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia sendiri.
Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain sebagaimana dijelaskan hadis berikut, “Pada mulanya Aku adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku pun dikenal.”
Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, maka hadis terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.
Demikianlah ayat-ayat Alquran dan Hadits Nabi menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak beribadah ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan Ruhnya dengan Ruh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf.
B. Rumusan Masalah
1..Bagaimanakah Perkembangan Tasawuf ?
2. Apakah Yang dimaksud dengan Tasawuf Akhlaki ?
3. Bagaimana tahap-tahap Pembinaan Akhlak menurut Tasawuf Akhlaki ?
4. Siapakah Tokoh-tokoh Tasawuf Akhlaki dan Ajarannya ?
5. Apa sajakah Rukun Tasawuf ?
C. Tujuan Penulisan
1  Agar mengetahui Perkembangan Ilmu Tasawuf.
2. Mengetahui Pengertian Tasawuf Akhlaki
3. Mengetahui Tahap-tahap Pembinaan Akhlak Menurut Tasawuf Akhlaki
C.Mengetahui tokoh-tokoh tasawuf  Akhlaki dan Ajarannya.
5. Mengetahui Rukun Tasawuf.
D. Manfaat penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah,  kita sebagai manusia harus:
1.   .Dapat menerapkan dan mempraktekan dari prinsip tasawuf sebagai dasar pola hidup yang sederhana dan tidak tamak.B.
2.   Dapat melakukan hubungan yang baik dengan lingkungan, dan kepada tuhannya.
3.   Mendekatkan diri kepada Sang Pencipta Alam Semesta.
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Perkembangan Tasawuf
Secara keilmuan, tasawuf adalah disiplin ilmu yang baru dalam syari’at Islam, demikian menurut Ibnu Khaldun.[1] Adapaun asal-usul tasawuf menurutnya adalah konsentrasi ibadah kepada Allah, meninggalkan kemewahan dan keindahan dunia dan menjauhkan diri dari akhluk. Ketika kehidupan materialistik mulai mencuat dalam peri kehidupan masyarakat muslim pada abad kedua dan ketiga hijriyyah sebagai akibat dari kemajuan ekonomi di dunia Islam, orang-orang yang konsentrasi beribadah dan menjauhkan diri dari hiruk pikuknya kehidupan dunia disebutlah kaum sufi.
Berbeda dengan Ibnu Khaldun, Muhammad Iqbal dalam bukunya “Tajdid al-Fikr ad-Dini al-Islam” berpendapat bahwa tasawuf telah ada semenjak Nabi. Riyadoh Diniyyah telah lama menyertai kehidupan manusia sejak awal-awal Islam bahkan kehidupan ini semakin mengental di dalam sejarah kemanusiaan.
Menurut sebagian fakar, Imam Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang memunculkan istilah taswuf. Menurut yang lain Salman al-Farisi.
Akar-akar tasawuf dalam Islam merupakan penjabaran dari ihsan. Ihsan sendiri merupakan bagian dari trilogi ajaran Islam. Islam adalah satu kesatuan dari iman, islam dan ihsan. Islam adalah penyerahan diri kepada Allah secara zahir, iman adalah I’tikad batin terhadap hal-hal gaib yang ada dalam rukun iman, sedangkan ihsan adalah komitmen terhadap hakikat zahir dan batin.
Islam, iman dan ihsan adalah landasan untuk melakukan suluk dan taqqarub kepada Allah. ‘Iz bin Abdissalam berpendapat bahwa sistematika keberagamaan bagi kaum muslimin, yang pertama adalah Islam[2]. Islam merupakan tingkat pertama beragama bagi kaum awam. Iman adalah tingkatan pertama bagi hati orang khusus kaum mukminin, sedangkan ihsan adalah tingkatan pertama bagi ruh kaum
B. Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahmudah[3]. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ulama’ lama sufi.
Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan -bila mungkin- mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
1. Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi. Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
2. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan
 3. Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh –yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak berkurang, maka, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
B. Tokoh-tokoh Tasawuf  dan Pemikirannya
Tasawuf Akhlaki merupakan tasawuf yang berorientasi pada perbaikan akhlak’ mencari hakikat kebenaran yang mewujudkan menuasia yang dapat ma’rifah kepada Allah, dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf Akhlaki, biasa disebut juga dengan istilah tasawuf sunni. Tasawuf Akhlaki ini dikembangkan oleh ulama salaf as-salih[4].
Dalam diri manusia ada potensi untuk menjadi baik dan potensi untuk menjadi buruk. Potensi untuk menjadi baik adalah al-‘Aql dan al-Qalb. Sementara potensi untuk menjadi buruk adalah an-Nafs. (nafsu) yang dibantu oleh syaithan.
Sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an, surat as-Syams : 7-8 sebagai berikut :
Artinya : “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.
Para sufi yang mengembangkan taswuf akhlaki antara lain : Hasan al-Basri (21 H – 110 H), al-Muhasibi (165 H – 243 H), al-Qusyairi (376 H – 465 H), Syaikh al-Islam Sultan al-Aulia Abdul Qadir al-Jilani (470 – 561 H), Hujjatul Islam Abu Hamid al-Gajali (450 H – 505 H), Ibnu Atoilah as-Sakandari[5] dan lain-lain.
 Sesugguhnya banyak sekali para Ulama’ yang mengikuti jejak Rosulullah SAW. untuk hidup seadanya dan tidak tamak, tapi pemakalah disini akan membahas siapa saja yang terkenal sebagai pakar ilmu tasawuf akhlaki :
1.      .Tokoh-tokoh Tasawuf Ahlaki  dan Ajarannya
      Tasawuf Sunni (akhlaki) yaitu tasawuf yang benar-benar mengikuti Al-qur’an dan Sunnah, terikat, bersumber, tidak keluar dari batasan-batasan keduanya, mengontrol prilaku, lintasan hati serta pengetahuan dengan neraca keduanya. Sebagaimana ungkapan Abu Qosim Junaidi al-Bagdadi: “Mazhab kami ini terikat dengan dasar-dasar Al-qur’an dan Sunnah”, perkataannya lagi: “Barang siapa yang tidak hafal (memahami) Al-qur’an dan tidak menulis (memahami) Hadits maka orang itu tidak bisa dijadikan qudwah dalam perkara (tarbiyah tasawuf) ini, karena ilmu kita ini terikat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.”. Tasawuf ini diperankan oleh kaum sufi yang mu’tadil (moderat) dalam pendapat-pendatnya, mereka mengikat antara tasawuf mereka dan Al-qur’an serta Sunnah dengan bentuk yang jelas. Boleh dinilai bahwa mereka adalah orang-orang yang senantiasa menimbang tasawuf mereka dengan neraca Syari’ah.
Tasawuf ini berawal dari zuhud, kemudian tasawuf dan berakhir pada akhlak. Mereka adalah sebagian sufi abad kedua, atau pertengahan abad kedua, dan setelahnya sampai abad keempat hijriyah. Dan personal seperti Hasan Al-Bashri, Imam Abu Hanifa, al-Junaidi al-Bagdadi, al-Qusyairi, as-Sarri as-Saqeti, al-Harowi, adalah merupakan tokoh-tokoh sufi utama abad ini yang berjalan sesuai dengan tasawuf sunni. Kemudian pada pertengahan abad kelima hijriyah imam Ghozali membentuknya ke dalam format atau konsep yang sempurna, kemudian diikuti oleh pembesar syekh Toriqoh. Akhirnya menjadi salah satu metode tarbiyah ruhiyah Ahli Sunnah wal jamaah. Dan tasawuf tersebut menjadi sebuah ilmu yang menimpali kaidah-kaidah praktis.
Tasawuf ini juga dinamakan tasawuf nazhari (teori), demikian, karena tasawuf Islam terbagi kepada nazhari dan amali (praktek). Dan hal ini tidak berarti bahwa tasawuf nazhori ini kosong dari sisi praktis. Istilah teori ini hanya melambangkan bahwa tasawuf belum menjadi bentuk thoreqoh (tarbiyah kolekltif) secara terorganisir seperti toreqoh yang terjadi sekarang ini.  
a.Junaid Al-Baghdadi[6]
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Kazzaz al-nihawandi. Dia aadalah seorang putera pedagang barang pecah belah dan keponakan Surri al-Saqti serta teman akrab dari Haris al-Muhasibi. Dia meninggal di Baghdad pada tahun 297/910 M. dia termasuk tokoh sufi yang luar biasa, yang teguh dalam menjalankan syari`at agama, sangat mendalam jiwa kesufiannya. Dia adalah seorang yang sangat faqih, sering memberi fatwa sesuia apa yang dianutnya, madzhab abu sauri: serta teman akrab imam Syafi`i.
Dikatakan bahwa para sufi pada masanya, al-junaid adalah seorang sufi yang mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara mendalam, khusus tentang paham tauhid dan fana`. Karena itulah dia digelari Imam Kuam Sufi (Syaikh al-Ta`ifah); sementara al-Qusayiri di dalam kitabnya al-Risaalah al-Qusyairiyyah menyebutnya Tokoh dan Imam kaum Sufi. Asal-usul al-Junaid berasal dari Nihawan. Tetapi dia lahir dan tumbuh dewasa di Irak. Tentang riwayat dan pendidikannya, al-junaid pernah berguru pada pamannya Surri al-Saqti serta pada Haris bin `Asad al-muhasibi.
Kemampuan al-Junaid untuk menyapaikan ajaran agama kepada umat diakui oleh pamannya, sekaligus gurunya, Surri al-Saqti. Hal ini terbukti pada kepercayaan gurunya dalam memberikan amanat kepadanya untuk dapat tampil dimuka umum.
Al-Junaid dikenal dalam sejarah atsawuf sebagai seorang sufi yang banyak membahas tentang tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab biografi para sufi, antara lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-qusyairi: “oang-orang yang mengesakan Allah adalah mereka yang merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna, meyakini bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, dia tidak beranak dan diperanakkan. Di sini memberikan pengertian tauhid yang hakiki. Menurutnya adalah buah dari fana` terhadap semua yang selain Allah. Dalam hal ini dia menegaskan
Al-Junaid juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “allah akan menyebabkan mati dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh Junaid disebut fana`, sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan Qur`ani “segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya (QA. 55:26-27); dan hidup dan hidup dalam sebutannya baqa`. Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya.
Disamping al-Junaid menguraikan paham tauhid dengan karakteristik para sufi, dia juga mengemukakan ajaran-ajaran tasawuf lainnya.
b.Al-Qusyairi An-Naisabury[7]
Dialah Imam Al-Qusyary an-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad kelima hijriah. Tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk. Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al-Qusyairy, nasabnya Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah ibn Muhammad. Ia lahir di Astawa pada Bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau 986 M.
Sedikit sekali informasi penulis dapat yang menerangkan tentang masa kecilnya. Namun yang jelas, dia lahir sebagai yatim. Bapaknya meninggal dunia saat usianya masih kecil. Sepeninggal bapaknya, tanggungjawab pendidikan diserahkan pada Abu al-Qosim al-Yamany. Ketika beranjak dewasa, Al-Qusyairy melangkahkan kaki meninggalkan tanah kelahiran menuju Naisabur, yang saat itu menjadi Ibukota Khurasan. Pada awalnya, kepergiannya ke Naisabur untuk mempelajari matematika. Hal ini dilakukan karena Al-Qusyairy merasa terpanggil menyaksikan penderitaan masyarakatnya, yang dibebani biaya pajak tinggi oleh penguasa saat itu. Dengan mempelajari matematika, ia berharap, dapat menjadi petugas penarik pajak dan meringankan kesulitan masyarakat saat itu.
Naisabur merupakan kota yang menyimpan peluang besar untuk perkembangan berbagai macam disiplin ilmu, karena banyak kaum intelektual yang hidup disana. Di kota inilah, untuk pertama kalinya Al-Qusyairy bertemu bertemu Sheikh Abu ‘Ali Hasan ibn ‘Ali an-Naisabury, yang lebih dikenal dengan panggilan Ad-Daqqaq. Pertemuan itu menyisakan kekaguman Al-Qusyairy pada peryataan-pernyataan Ad-Daqqaq. Perlahan, keinginannya mempelajari matermatika pun hilang. Ia pun memilih jalan tarekat dengan belajar dari Ad-Daqqaq. Berawal dari sinilah, Al-Qusyairy mengenal Tasawuf. Al-Daqqaq merupakan guru pertama Al-Qusyairy dalam bidang Tasawuf. Dari ia pula Al-Qusyairy mempelajari banyak hal, tidak hanya terbatas Tasawuf, tetapi juga ilmu-ilmu keislaman yang lain. Al-Qusyairy mampu memahami dengan baik semua pengetahuan yang diajarkan gurunya. Dari sinilah Ad-Daqqaq menyadari kemampuan intelektual Al-Qusyairy. Mungkin, hal ini menjadi salah satu faktor yang mendorong inisiatif Ad-Daqqaq untuk menikahkan putrinya, Fatimah dengan Al-Qusyairy.
Pernikahan ini berlangsung pada antara tahun 405 – 412 H/1014 – 1021 M. Fatimah merupakan wanita ahli sastra dan tekun beribadah. Dari pernikahan ini, lahirlah enam putera dan satu puteri, yaitu; Abu Said Abdullah, Abu Said Abdul Wahid, Abu Mansyur Abdurrahman, Abu Nashr Abdurrahim, Abu Fath Ubaidillah, Abu Muzaffar Abdul Mun’im dan putri Amatul Karim.
Disamping berguru pada mertuanya, Imam Al-Qusyairy juga berguru pada para ulama lain. Diantaranya, Abu Abdurrahman Muhammad ibn al-Husain (325-412 H/936-1021 M), seorang sufi, penulis dan sejarawan. Al-Qusyairy juga belajar fiqh pada Abu Bakr Muhammad ibn Abu Bakr at-Thusy (385-460 H/995-1067 M, belajar Ilmu Kalam dari Abu Bakr Muhammad ibn al-Husain, seorang ulama ahli Ushul Fiqh. Ia juga belajar Ushuluddin pada Abu Ishaq Ibrahim ibn Muhammad, ulama ahli Fiqh dan Ushul Fiqh. Al-Qusyairy pun belajar Fiqh pada Abu Abbas ibn Syuraih, serta mempelajari Fiqh Mazhab Syafi’i pada Abu Mansyur Abdul Qohir ibn Muhammad al-Ashfarayain.
Al-Qusyairy banyak menelaah karya-karya al-Baqillani, dari sini ia menguasai doktrin Ahlusunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Abu Hasan al-Asy’ary (w.935 M) dan para pengikutnya. Karena itu tidak mengherankan, kalau Kitab Risalatul Qusyairiyah yang merupakan karya monumentalnya dalam bidang Tasawuf -dan sering disebut sebagai salah satu referensi utama Tasawuf yang bercorak Sunni-, Al-Qusyairy cenderung mengembalikan Tasawuf ke dalam landasan Ahlusunnah Wal Jama’ah. Dia juga penentang keras doktrin-doktri aliran Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassamah dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, Al-Qusyairy pernah mendekam dalam penjara selama sebulan lebih, atas perintah Taghrul Bek, karena hasutan seorang menteri yang beraliran Mu’tazilah yaitu Abu Nasr Muhammad ibn Mansyur al-Kunduri
Perburuan terhadap para pemuka aliran Asy’ariyah itu berhenti dengan wafatnya Taghrul Bek pada tahun 1063 M. Penggantinya, Alp Arsalen (1063-1092 M), kemudian mengangkat Nizam al-Mulk sebagai pengganti al-Khunduri. Kritik Terhadap Para Sufi Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Guru Besar Filsafat Islam dan Tasawuf pada Universitas Kairo, yang juga tokoh dan Ketua Perhimpunan Sufi Mesir (Robithah al-Shufihiyah al-Mishriyah) menulis, Imam Al-Qusyairy mengkritik para sufi aliran Syathahi yang mengungkapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan tentang terjadinya Hulul (penyatuan) antara sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat-sifat barunya, dengan Tuhan. Al-Qusyairy juga mengkritik kebiasaan para sufi pada masanya yang selalu mengenakan pakaian layaknya orang miskin. Ia menekankan kesehatan batin dengan perpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal ini lebih disukainya daripada penampilan lahiriah yang memberi kesan zuhud, tapi hatinya tidak demikian. (lihat, Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ilaa al-Tasawwuf al-Islam, cetakan ke-IV. Terbitan Dar al-Tsaqofah li an-Nasyr wa al-Tauzi, Kairo, 1983)
Dari sini dapat dipahami, Al-Qusyairy tidak mengharamkan kesenangan dunia, selama hal itu tidak memalingkan manusia dari mengingat Allah. Beliau tidak sependapat dengan para sufi yang mengharamkan sesuatu yang sebenarnya tidak diharamkan agama. Karena itu Al-Qusyairy menyatakan, penulisan karya monumentalnya Risalatul Qusyairiyah, termotinasi karena dirinya merasa sedih melihat persoalan yang menimpah dunia Tasawwuf. Namun dia tidak bermaksud menjelek-jelekkan seorang pun para sufi ketika itu. Penulisan Risalah hanya sekadar pengobat keluhan atas persoalan yang menimpa dunia Tasawuf kala itu.
Imam Al-Qusyairy merupakan ulama yang ahli dalam banyak disiplin ilmu yang berkembang pada masanya, hal ini terlihat dari karya-karya beliau, seperti yang tercantum pada pembukaan Kitabnya Risalatul Qusyairiyah.
Karya-karya itu adalah; Ahkaamu as-Syariah, kitab yang membahas masalah-masalah Fiqh, Adaabu as-Shufiyyah, tentang Tasawuf, al-Arbauuna fil Hadis, kitab ini berisi 40 buah hadis yang sanadnya tersambung dari gurunya Abi Ali Ad-Daqqaq ke Rasulullah. Karya lainnya adalah; Kitab Istifaadatul Muraadaats, Kitab Bulghatul Maqaashid fii al-Tasawwuf, Kitab at-Tahbir fii Tadzkir, Kitab Tartiibu as-Suluuki fii Tariqillahi Ta’ala yang merupakan kumpulan makalah beliau tentang Tasawwuf, Kitab At-Tauhidu an-Nabawi, Kitab At-Taisir fi ‘Ulumi at-Tafsir atau lebih dikenal dengan al-Tafsir al-Kabir. Ini merupakan buku pertama yang ia tulis, yang penyusunannya selesai pada tahun 410 H/1019 M. Menurut Tajuddin as-Syubkhi dan Jalaluddin as-Suyuthi, tafsir tersebut merupakan kitab tafsir terbaik dan terjelas
Menurut Syuja’al-Hazaly, Imam Al-Qusyairy menutup usia di Naisabur pada pagi Hari Ahad, tanggal 16 Rabiul Awal 465 H/ 1073 M, dalam usia 87 tahun. Dikisahkan bahwa beliau mempunyai seekor kuda yang telah mengabdi padanya selama selama 20 tahun. Pada saat Al-Qusyairy wafat, kuda itu sangat sedih dan tidak mau makan selama dua minggu, hingga akhirnya ikut mati. Setelah Al-Qusyairy wafat, tak ada seorang pun yang berani memasuki perpustakaan pribadinya selama beberapa tahun. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan bagi al-Imam Radiyallah Ta’ala ‘Anhu. Wallahu a’lam bi al-Showab.
c.Al-Harawi[8]
Nama lengkapnya adalah Abu isma`il `Abdullah bin Muhammad al-Ansari. Beliau lahir tahun 396 H. di Heart, kawasan khurasan. Seperti dikatakan Louis Massignon, dia adalah seorang faqih dari madzhab hambali; dan karya-karyanya di bidang tasawuf dipandang amat bermut. Sebagai tokoh sufi pada abad kelima Hijriyah, dia mendasarkan tasawufnya di atas doktrin Ahl al-Sunnah. Bahkan ada yang memandangnya sebagai pengasas gerakan pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan yang anah, seperti al-Bustami dan al-Hallaj.
Di antara karya-karya beliau tentang tasawuf adalah Manazil al-Sa`irin ila Rabb al-`Alamin. Dalam dalam karyanya yang ringkas ini, dia menguraikan tingkatan-tingkatan rohaniyah para sufi, di mana tingakatan para sufi tersebut, menurutnya, mempunyai awal dan akhir, seperti katanya; ”kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipaandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bias tegak kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keihklasan serta keikutannya terhadap al-Sunnah”.
Dalam kedudukannya sebagai seorangpenganut paham sunni, al-harawi melancarkan kritik terhadap para sufi yang terkenal dengan keanehan ucapan-ucapannya, sebagaimana katanya.
Dalam kaitannya dengan masalah ungkapan-ungkapan sufi yang aneh tersebut, al-Harwi berbicara tentang maqam ketenangan (sakinah). Maqam ketenangan timbul dari perasaan ridha yang aneh. Dia mengatakan: “peringkat ketiga (dari peringkat-peringkat ketenangan) adalah ketenagan yang timbul dari perasaan ridhaatas bagian yang diterimanya. Ketenangan tersebut bias mencegah ucapan aneh yang menyesatkan ; dan membuat orang yang mencapainya tegak pada batas tingkatannya. “yang dimaksud dengan ucapan dengan ucapan yang menyesatkan itu adalah seperti ungkapan-ungkapan yang diriwayatkan dari Abu yazid dan lain-lain. Berbeda dengan al-Jinaid, Sahl al-Tusturi dan lainnya; karena mereka ini memiliki ketenangan yang membuat mereka tidak mengucapkan ungkapan-ungkapan yang anah. Karena itu dapat dikatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang aneh tersebut timbul dari ketidak tenangan, sebab, seandainya ketenangan itu telah bersemi di kalbu, maka hal itu akan membuatnya terhindar dari mengucapkan ungkapan-ungkapan yang menyesatkan tersebut.
Kemudian yang dimaksud dengan batas tingkatan adalah tegaknya seorang sufi pada batas tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Tegasnya, di sekali-kali tidak melewati tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Ketenangan tersebut, menurut al-harawi, tidak di turunkan kecuali pada kalbu seorang nabi atau wali.
B. Rukun Tasawuf
Al-Kalabazi dengan mengutip pendapat Abu al-Hasan Muhammad bin Ahmad al-Farisi menerangkan bahwa rukun tasawuf ada sepuluh macam, antara lain :
1. Tajrid at-Tauhid (memurnikan tauhid)
2. Memahami informasi. Maksudnya mendengar tingkah laku bukan hanya mendengar ilmu saja.
3. Baik dalam pergaulan.
4. Mengutamakan kepentingan orang banyak ketimbang kepentingan diri sendiri.
5. Meninggalkan banyak pilihan.
6. Ada kesinambungan antara pemenuhan kepentingan lahir dan batin.
7. Membuka jiwa terhadap intuisi (ilham).
8. Banyak melakukan bepergian untuk menyaksikan keagungan alam ciptaan Tuhan sekaligus mengambil pelajaran.
9. Meninggalkan iktisab untuk menumbuhkan tawakkal.
10. Meninggalkan iddikhar (banyak simpanan) dalam keadaan tertentu kecuali dalam rangka mencari ilmu.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
            Dari segi linguistik tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan, dan selalu bersikap bijaksana. Sikap yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak mulia yang mampu membentuk seseorang ke tingkat yang mulia. Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan Ruhnya dapat bersatu dengan Ruh Tuhan. Al-Ghazali mengatakan bahwa tasawuf itu adalah tuntunan yang dapat menyampaikan manusia mengenal dengan sebenar-benarnya kepada Allah Swt.
            Tasawuf diciptakan sebagai media untuk mencapai maqashid al-Syar’i (tujuan-tujuan syara’). Karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti salat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya, yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. ibadah yang dilakukan itu erat kaitannya dengan akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution bahwa ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam Alquran dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang pada kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak/berpribadi mulia.
            Harun Nasution lebih lanjut mengatakan bahwa Alquran dan hadis mementingkan akhlak. Alquran dan hadis menekankan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong-menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu dan berpikiran lurus. Nilai-nilai ini yang harus dimiliki seorang Muslim yang akan bertasawuf sebagai pembentukan ke arah pribadi yang mulia.
Selain itu, tasawuf juga mempunyai tujuan-tujuan sebagai berikut:
1.Berupaya menyelamatkan diri dari akidah-akidah syirik dan batil
2.Melepaskan diri (takhalli) dari penyakit-penyakit kalbu.
3.Menghiasi diri (tahalli) dengan akhlak Islam yang mulia.
4.Mencapai derajat ihsan dalam ibadah (tajalli).
            Dengan demikian kaum sufi harus selalu melaksanakan pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka pada setiap kali beribadah.
Wallahu A’lam bish-Shawab
B. Saran
Setelah para pembaca selesai membaca makalah ini, pastilah terdapat banyak kesalahan di dalam penulisan makalah di atas, memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari Bapak Dosen demi perbaikan makalah yang selanjutnya serta menuju arah yang lebih baik.
Kemudain diharapkan kepada para pembaca untuk pembuatan makalah selanjutnya, agar bisa menambah referensi yang lebih mendukung, karena dalam pembuatan makalah ini penulis hanya menggunakan beberapa referansi saja, hal ini dikarenakan keterbatasan buku referensi yang penulis dapatkan.
DAFTAR  PUSTAKA
Ali, Sayyid Nur Sayyid, At-Tashawwuf Asy-Syar’i, terj. M. Yaniyullah Jud.Tasawuf Syar’i, Jakarta: Hikmah-Mizan, 2003
Nata M.A, Prof. Dr. H. Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, cet. Kelima
Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedi Islam. cet. Kesepuluh, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002
Siregar, Prof. H. A. Rivay, “Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme” cet. Kedua, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000
Mujib, M.ag., Abdul dan Jusuf Mudzakir M.si, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, cet. II


[1] Siregar, Prof. H. A. Rivay, “Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme” cet. Kedua, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000
[2] Ali, Sayyid Nur Sayyid, At-Tashawwuf Asy-Syar’i, terj. M. Yaniyullah Jud.Tasawuf Syar’i, Jakarta: Hikmah-Mizan, 2003
[3]Nata M.A, Prof. Dr. H. Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, cet. Kelima
[4]  Nata M.A, Prof. Dr. H. Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, cet. Kelima. Hal. 93
[5] Nata M.A, Prof. Dr. H. Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, cet. Kelima. Hal. 81
[6] Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedi Islam. cet. Kesepuluh, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002. Hal. 24
[7] Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedi Islam. cet. Kesepuluh, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002. Hal. 35
[8] Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedi Islam. cet. Kesepuluh, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002. Hal. 26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar