Senin, 10 September 2012

Jalaluddin Rumi

A. Sekilas tentang Jalaluddin Rumi
a. Jejarah singkat Jalaluddin Rumi
Jalaluddin Rumi adalah seorang tokoh besar sufi, dia lahir di Balkh, sekarang Afganistan, pada tahun 604 H/ 1207 M. Ayahnya, Baha’ Walad, adalah seorang dai terkenal, ahli fiqih sekaligus seorang sufi, yang menempuh jalan rohani sebagaimana Ahmad Ghazzali, saudara Muhammad Ghazzali yang juga seorang sufi terkenal. . (William C. Chittick: 2000, hal: 1)

            Menurut tardisi nenek moyangny, Rumi tergolong masih begitu muda ketika mulai mempelajari ilmu-ilmu eksoterik. Dia mempelajari berbagai bidang keilmua, meliputi taat Bahasa Arab, ilmu persajakan, Al-Quran, fiqih, ushul fiqih, tafsir, sejarah, ilmu tentang doktrin-doktrin atau asas-asas keagamaan, teologi, logika, filsafat, matematika, dan astronomi. Pada saat ayahnya meninggal dunia pada tahun 628 H/1231 M, dia telah menguasahi semua bidangng keilmuan tersebut. Namanya ketika itu sudah dapat dijumpai dalam deretan nama-nama ahli hokum islam yang dijadikan rujukan dari madzhab Hanafi. Karena keilmuannya tersebut, tidak mengherankan jika pada usia 24 tahun, dia telah diminta untuk menggantikan tugas-tugas ayahnya sebagai dai sekaligus ahli hokum islam. . (William C. Chittick: 2000, hal: 2)
            Ketika Rumi mengambil alih kedudukan ayahnya, dia tampak sudah mengguasahi displin-disiplin rohani dan ilmu-ilmu esoteric sufisme. Sejak itu dia seakan sulit menghindarkan diri dari sufisme, bahkan senantiasa terdorong ke arahnya. Namun secara formal dia baru menjalani hidup sebagai seorang sufi ketika Burhan la-Din Tirmidzi, murid kesayangan ayahnya dating ke kota Konya pada tahun 629 H/1232 M, hingga kewafatnnya pada tahun 638 H/1240 M. dibawah bimbingannyalah Rumi menjalani disiplin-disiplin rohani. . (William C. Chittick: 2000, hal: 2)
            Setelah kematian Tirmidzi,Rumi terus menjalankan tugasnya, mengajak dan membimbing orang-orang Konya. Dia menjadi begitu terkenal dan paling dihormati di kalangan ahli hokum (fiqaha’). Meskipun demikian, dia tetap menjalani kehidupan rohani sebagai seorang sufi. Bahkan pada masa itu, sebagaimana disebutkan  oleh S. H. Nasr, Rumi telah menjadi seorang guru sufi sejati. Dia telah melampaui maqam-maqam sufi dan sampai pada pendakian rohaninya, menyadari (kehadiran) dan melihat tuhan secara langsung, sebagaimana yang seringkali dia ungkapkan melalui syairnya.kendati dalam kehidupan sehari-harinya, dia tetap menjalani kehidupan sebagaimana sebelumnya, sebagai seorang ahli hukum yang dihormati. Kadang-kadang dia juga menyinggung masalah “keajaiban-keajaiban rohani,” walaupun tidak pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa dia pernah mengalaminya. Hal itu berubah manakalah seseorang yang berpenampilan aneh, Syams al-Din dari Tabriz, datang ke konya pada tahun 642 H/1244 M. . (William C. Chittick: 2000, hal: 3)
            b. Ajaran-ajaran Jalaluddin Rumi
            Karya-karya Rumi mampu menyajikan gambaran kaleidoskopis tentang tuhan, manusia dan alam serta keterkaitan antara ketiganya. Meski memiliki kompleksitas persoalan masing-masing, dalam gambaran Rumi ketiga realitas tersebut merupakan kesatuan harmoni yang “terreduksi” kedalam satu ungkapan yang sekalipun tampaknya tidak mungkin menggambarkannya dalam gambaran yang sistematis secara keseluruhan menyatakan realitas tunggal:”Tiada tuhan selain Tuhan”. . (William C. Chittick: 2000, hal: 9)
            Rumi tidak perna berusaha menulis sebuah buku ataupun memberikan penjelasan-penjelasan secara rinci mengenai ajaran-ajarannya. Sebagaian besar ulasannya bahkan mengarah pada corak yang tidak sistematis dan anekdotis. Pertantyaan yang muncul adalah, mengapa Rumi tidak perna menyebut-nyebut persoalan metafisika dan misteri-misteri sublim, padahal para sufi besar seperti Rumi, pada waktu itu, sebagian besar menuliskan ajaran  sufisme melalui risalah-risalah mereka yang disusun secara sistematis. Sebaliknya, Rumi tidak seperti mereka, dia tidak perna menuliskan maupun menjelaskan masing-masing tahapan serta maqam-maqam yang dilampaui oleh para sufi dalam pendakian mereka menuju Tuhan. Namun, Rumi senantiasa menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya berkaitan dengan persoalan tersebut, melalui suatu cara yang secara jelas menunjuk pada pengalaman-pengalamannya sendiri. . (William C. Chittick: 2000, hal: 9-10)
            Dalam sebagian besar tulisan Rumi, secara jelas ditunjukkan bahwa ia tidak semata-mata hendak memberikan penjelasan tetapi arahan. Syair-syair yang ia gubah, khutbah-khutbah yang ia sampaikan tidak sekadar dimaksudkan untuk memberi pemahaman berkaitan dengan ajaran-ajaran islam tidak juga hanya bermaksud menjelaskan sufisme itu tetapi sesunggunya dia ingin menggugah kesadaran manusia bahwa sebagai mahluk manusia telah terikat pada kodrat  keterciptaannya untuk selalu mengarahkan seluruh hidupnya pada tuhan dan sepenuhnya hanya menghambahkan diri pada-Nya. . (William C. Chittick: 2000, hal: 10)
            Sebenarnya, apa yang dapat kita pahami dari Rumi, juga dapat kita temukan pada tokoh-tokoh lain dalam sejarah pemikiran islam. Dia menggambarkan dasar tauhid  sebagai pijakan dalam menerangkan hakikat keterciptaan manusia, dengan menunjuk pada setiap ide-ide kita, aktivitas-aktivitas kita dan eksistensi kita. Namun pemahaman yang sederhana ini, tampaknya tidak dapat menyatakan pada kita, mengapa Rumi selalu menarik perhatian orang-orang pada masanya, bahkan hingga sekarang. . (William C. Chittick: 2000, hal: 10)
            Ajaran-ajaran Rumi selalu mengacu pada Al-quran, sunnah nabi, dan ajaran-ajaran kaum sufi terdahulu, sebagaimana Dante, yang selalu mengacu pada Bibel, kristus, dan doktrin gereja. Pesan-pesan Rumi bersifat universal. Dan dia sangan liberal dalam menggunakan tamsilan-tamsilan yang diambil dari sumber-sumber yang tidak terasa asing bagi setiap orang. . (William C. Chittick: 2000, hal: 11)
            c. Karya-kaya Jalaluddin Rumi
            Jalaladdul Rumi adalah seorang sufi besar, seperti yang dikatakan didepan, sebagaian besar karya-karyanya mengarah pada corak yang tidak sistematis dan anekdotis, yakni berbentuk syair, kumpulan-kumpulan hikmah dan surat-suratnya. Diantara buku hasil karyanya adalah Diwan-I Syams-I Tabrizi dan Masnawi. Berikut ini adalah contoh-contoh hasil karya Jalaluddin Rumi yang diambil dari beberapa buku hasil karangannya yang sudah di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia:
Suatu ketika rasional terhalan, sebuah
semburan akan terhapus segala fakta
dunia dan tempat ini.
(Diwan-I Syams-I Tabriz)
Suatu saat gandum harganya senilaiDengan emas
 namun pada saat lain Harganya senilai dengan kotoran.
Meskipun nilainya berbeda,
 sesungguhnya bentuk gandum itu sama
( Fihi ma Fihi)
. (Ahmad kusuma .D: 2001, hal: 16)
PEDAGANG DAN BURUNG BEO
            Seorang pedagang memiliki burung beo yang pintar sekali. Burung itu fasih berbicara, pesis seperti manusia, sehingga bias menjaga took majikannya, bahkan bias berjualan.
Paad suatu hari, si majikan harus ketempat lain. Dan dia menitipkan tokonya pada burung itu.
            Hari itu, burung beo tersebut barangkali lagi sial. Ia menjatuhkan beberapa botol minyak bunga mawar. Tidak lama kemudian sang pedagang kembali dan melihat kerugiannya, dia tidak bias menahan diri. Ia menampar kepala burung.begitu keras tampara si pedagang, sehingga burung itu kehilangan bulu jambulnya yang indah. Buli kepalanya rontok. Si Beo menjadi sedih sekali, dan mulai hari itu berhenti bicara.
            Si pedagang menyesali perbuatannya. Tetapi apa boleh buat? Dimarahi, dirayu, diapakan pun si Beo tidak mau bicara. Pikir pedagang,”dia sudah kehilangan suaranya karena shock!” padahal tidak demikian. Dia hanya mogok bicara sebagai perotes terhadap perlakuan majikannya.
            Pada suatu hari si Beo melihat seorang pengembara sufi,seorang darvish yang berkepala polos. Ya, licin, tanpa rambut alias botak. Dia langsung menegurnya, “Hai sahabat, rupanya kamu pun menumpahkan beberapa botol minyak mawar.”
            Mereka yang mendengar teguran si Beo tertawa geli, “jangan menyamakan dirimu dengan seorang darvish. Lain dia, lain kamu, walaupun sama-sama botak”.
                                                                                                           
(Masnawi)
. (Ananda Krishna: 1999, hal: 26)
B. Pengertian Sufi
            Sebelum kita memahami apa itu Sufi, sebaiknya kita memahami terlebih dahulu tentang Tasawuf. Jika kita membuka buku-buku tasawuf, maka akan ditemukan puluhan bahkan ratusan defenisi tasawuf. Defenisi-defenisi itu, ada yang dirumuskan dengan beranjak dari penggalaman pada tahap permulaan dari kehidupan kesufian, ada yang dibuat berdasarkan kegiatan dan kesungguhan dalam menjalankan kehidupan kesufian dan adapula yang berdasarkan rasa tertentu ketika berada di hadirat Allah. Tanpa bermaksud menggurangi keluasan dan kedalaman makna dari defenisi-defenisi yang banyak dan beragam itu, defenisi yang dikemukakan oleh Muhammad Amin Kurdi berikut tersasa mewakili,karena kandungannya yang relatif konperhensif. Beliau menegaskan bahwa “Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya diketahui hal ihwal kebaikan jiwa, cara membersikannya dari yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan (suluk), dan perjalanan menuju Allah”. (M. Jamil: 2004, hal: iii)
Sedangakn sufi adalah seseorang yang mendalami tentang ajaran Tasawuf, yang penekanannya adalah “bagaimana mensucikan hati”.  Untuk kearah itu maka seseorang yang mempelajari Tasawuf (Sufi) berpendapat bahwa dirinya haruslah dilatih, guna memperoleh tanjakan-tanjakan bathin menuju kearah maqam Tawakal (penyerahan diri secara total kepada Allah).
Secara harfiah terdapat beberapa penafsiran tentang arti istilah sufi. Di antara penafsiran itu antara lain menyebutkan bahwa kata sufi bermula dari kata safa (suci hati dan perbuatan), saff (barisan terdepan di hadapan Tuhan), suffah (menyamai sifat para sahabat yang menghuni serambi masjid nabawi di masa kenabian), saufanah (sejenis buah/buahan yang tumbuh di padang pasir), safwah (yang terpilih atau terbaik), dan bani sufah (kabilah badui yang tinggal dekat Ka’bah di masa jahiliyah). Menurut Imam Qushaeri, keenam pendapat tersebut di atas jauh dari analogi bahasa kata sufi. Sedangkan yang lebih sesuai adalah berasal dari kata suf (bulu domba). Hal ini dinisbahkan kepada kebiasaan para sufi klasik yang memakai pakaian dari bulu domba kasar sebagai simbol kerendahan hati. Dalam kaidah ilmu sharaf, tasawwafa berarti memakai baju wol, sejajar dengan taqammasa yang berarti memakai kemeja. (WWW.Kidungpeziarah.WordPress.com)
Sedangkan menurut beberapa ulama yang lain kata sufi dinisbahkan dari Ahl al-Shuffah. Yaitu sebuah komunitas yang memiliki krateristik yang menyibukkan diri dengan kegiatan ibadah dengan tidak membuang waktu dengan sia-sia. Mereka meninggalkan kehidupan dunia dan memilih pola hidup zuhud. Ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut barasal dari kata shafa yang berarti suci. Dengan demikian mereka memiliki cara hkusus dalam aktifitas dan ibadah mereka yaitu atas dasar kesucian hati dan untuk pembersihan jiwa dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. (M. Jamil: 2004, hal: 2-3)
C. Sufi Menurut Jalaluddin Rumi
            Dalam pandangan Rumi, manusi tidak diciptakan untuk memuaskan sisi materi dari wujudnya; namun sisi materi justru merupakan wahana yang dengannya dia akan mendekati perbatasan Keabadian. Rumi percaya bahwa disamping lima indera materi kita, ada lima indera abadi yang dengannya dunia gaib dan abadi mungkin dipahami. Kita harus mereduksi sedikit demi sedikit ketergantungan kita pada indera materi kita dan mencoba untuk menghapus hasrat materi kita. Kemudian, indera abadi kita akan mulai bekerja dan memampuhkan kita untuk memahami apa yang tidak bias diajarkan melalui prigram pendidikan dan melalui perlengkapan canggih dan mahal di sekolah dan universitas moderen. (Leonard Lewisohn: 1999, hal: 475-476)
            Transisi dari kehidupan materi dan nafsu menuju pemahaman spiritual akan tereksistensi gaib, bagi kebanyakan orang, tampak tidak bias dipercaya atau setidaknya mustahil, dan memang sebagaian besar orang tidak diharapkan untuk menaikan diri meraka menuju penggalaman transformatif ini. Tetapi dalam pandangan Rumi, kenaikan ini dapat dicapai oleh siapa saja yang layak memperoleh pertolongan Tuhan dan dukungan-Nya. Pertolongan Ilahi akan memampukan manusia untukmengubah indera lahirnya menjadi indra batin atau hawass-I batin. Untuk perubahan serupa, ekspresi Rumi dalam guzara syudan-I hawass, atau “berlalunya indera melintas selubung kebodohan.” . (Leonard Lewisohn: 1999, hal: 476)
            Ekspresi lain untuk perubahan ini adalah taqlib-i rabb atau taqlib-I khuda, “perubahan sepiritual yang dilakukan Tuhan”, yang dengannya Rumi merujuk pada hadits Nabi sesuai dengan “hati manusia yang berada dianrata dua jemari Tuhan sebagai sebantuk hati tunggal, dan dia memalingkan hati itu sesuka dia”. (Leonard Lewisohn: 1999, hal: 476)
Untuk menjelaskan perbedaan antara seorang manusia yang layak memperoleh pertolongan dan dukungan dari Tuhan dan seorang manusia yang tidak memiliki kapasitas semacam itu, Rumi mempunyai banyak kiasan dan parabel dalam Masnawi. Salah satunya adalah kisah tentanmg seekor unggas lokal yang mengangkat beberapa anak itik, yang dierami di balik sayapnya. Anak ituk ini keluar dari cangkangnya dan kemudian berjalan menuju tepi sungai dengan ibu angkat mereka. Di sungai, mereka segera mulai berenang, tetapi unggas lokal berjalan berputar dan tidak berani turun ke air. Di akhir parabel ini, Rumu berkata:
“Tinggalkanlah perawat di atas tanah kering;
Engkau mengarungi lautan realitas spiritual seperti itik.”  
(Leonard Lewisohn: 1999, hal: 476-477)
            Mereka yang mampu berenang dilaut realitas, bukanlah para budak dari hasrat materi mereka atau hawa-yi nafis. Kebutuhan dan hasrat materi mereka telah dimanfaatkan demi kehidupan material mereka, dan sebagaimana Rumi berkata, “Mereka percaya bahwa makanan asli manusia adalah Cahaya Tuhan”. Makan semacam itu munkin tidak dimakan melalui mulut dan kerongkongan materi kita. Pendakian sepiritual memberi mereka memperoleh makan dan minum immaterial, dan makanan itu tidaklain adalah kesadaran sepiritual tentang Eksistensi Mutlak (hasti-yi mutlaq). (Leonard Lewisohn: 1999, hal: 477)

Kesimpulan
Rumi telah menyajikan seluk beluk psikologi sufi, sekalipun tidak secara sistematis, sebagaimana yang dapat dijumpai dalam teks-teks klasik. Sehingga, seseorang yang ingin mempelajari karya-karyanya Runi, harus menggunakn kerangka pemahamannya sendiri agar ajaran-ajaran Rumi dapat dipahami.
Dari semua hasil karya Jalaluddin Rumi kebanyakan berbentuk syair-syair, hikmah dan surat-suratnya yang tidak mudah untuk diterjemahkan. Tulisan-tulisannya bersifat teknis, sangat padat, seringkali eliptis, dan komentar seringkali tanpak membutuhkan klarifikasi lebuh banyak daripada puisi.
Walaupun demikian ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan singkat diatas yaitu:
  • Jalaluddin Rumi adalah seorang tokoh besar Sufi yang dengan karya-karyanya dapat menggemparkann dunua pada masanya dan sampai saat ini. Pemikiran-pemikirannya sufi sangat mendalam walau disajikan dalam bentuk yang berbeda dari tokoh-tokoh sufi pada masanya, tapi itu tidak menggurangi makna  yang terkandung didalam setiap karya-karyanya. Bahkan itu membuat karya-karya Jalaluddin Rumi bahan renungan dan kajian selama bertahun-tahun diseluruh dunia, tidak hanya didunia Islam tapi juga didunia Barat.
  • Menurut pandangan Jalaluddin Rumi, manusia tidak diciptakan untuk memuaskan sisi materi, tetapi sisi materi ini justru digunakan untuk jalan atau perantara kita untuk mendekatkan diri kepada Tuhan (Allah)
 Daftar Pustaka
Chittick, C. William. 2000. Jalan Cinta Sang Sufi: Aharan-ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi. Penerbit Kalam; Yogyakarta.
Jamil, Muhammad. 2004. Cakrawala Tasawuf. Gaung Persada Press; Ciputat.
Krishna, Ananda. 2001.MASNAWI Bersama Jalaluddin Rumi Menggapai Langit Biru Tak Berbingkai. PT. Gramedia Pustaka Utama; Jakarta.
Lewisohn, Leonard. 1999. Warisan Sufi. Pustaka Sufi; Yogyakarta
D. Kusuma, Ashad. 2002. Kisah Keajaiban Cinta. Kreasi Wacana; Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar