Senin, 10 September 2012

Tariqat tijaniyah

Proses Kelahiran Tariqat Tijaniyah
Tariqat tijaniyah didirikan oleh Ahmad bin Muhammad Al-Tijani (1150-1230 H) yang lahir di Desa ‘Ain Madi, Aljazair Selatan dan meninggal di fez, Maroko, dalam usia 80 tahun. Syaikh Ahmad Tijani diyakini oleh kaum tijaniyah sebagai wali agung yang memiliki derajat tertinggi, dan memiliki banyak keramat, karena didukung oleh faktor genealogis, tradisi keluarga, dan proses penempaan dirinya.[4]
Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Salim bin al-‘Idl bin Salim bin Ahmad bin ‘Ali-bin Ishaq bin Zain al-‘Abidin bin Ahmad bin Abi Talib, dari garis siti fatimah  al-zahra’ binti Muhammad Rasulullah SAW.
Ahmad Tijani lahir dan dibesarkan dalm lingkungan tradisi keluarga yang taat beragama. A. Fauzan Fathullah membagi riwayat hidup Syaikh Ahmad Tijani kedalam beberapa periode:
a.       Periode kanak-kanak (sejak lahir (1150 M)-usia 7 tahun)
b.      Periode menuntut Ilmu (usia 7- belasan tahun)
c.       Periode sufi (usia 21-31 tahun)
d.      Periode iyadhah dan mujahadah (usia 31-46 tahun)
e.       Periode al-fath al akbar (tahun 1196 H)
f.       Periode pengangkatan sebagi  wali al-hatm (tahun 1214 H)
Pada bulan Muharram 1214 H mencapai al-quthbaniyah al-uzm, dan pada tanggal 18 Safar 1214 H mencapai wali al- katm wa al-maktum. Ketika memasuki usia dewasa, ia tenggelam dalam dunia sufi, sehingga dapat mencapai derajat wali tertinggi.
Kelahiran Tariqat Tijaniyah sangat terkait dengan kedudukan syaikh ‘Ahmad Tijani sebagai wali al- qutb al-a’ zham. Derajat kewalian Ahmad Tijani sebagai al-quthb – al-a ‘zham dan wali al-khatm wa-maktum diyakini oleh kaum tijaniyah dicapai melalui proses panjang. Sebelum diangkat sebagai wali besar, sebagai mana telah dikatakan sejak usia 7 tahun telah hafal Al-Qur’an kemudian sampai usia 20 tahun beliau mendalami berbagai cabang ilmu seperti: Ilmu Usul, Ilmu Furu’, dan Ilmu Adab. Kemudian  mulai usia 21 tahun sampai 31 tahun syaikh Ahmad Tijani mulai mengamalkan Ilmu-ilmu kesufiannya dan kewalian. Sejak usia 46 tahun ia menenggelamkan diri dalam amalan-amalan para wali. Ia mengunjungi para wali besar di berbagai Negara seperti Tunis, Mesir, Makkah, Madinah, Maroko, Fez, dan Abi samghun.
Kunjungan  Syaikh Ahmad Tijani kepada wali-wali besar dalam upaya silaturrahmi dan mencari ilmu—ilmu kewalian secara lebih luas. Pada saat itu pula para wali besar, sebagaimana telah dikatakan melihat dan mengakui bahwa Syaikh Ahmad Tijani adalah wali besar bahkan lebih besar derajatnya dari yang lain. Kesaksian para wali besar atas derajat kewalian Syaikh Ahmad Tijani yang tinggi diakui dan disaksikan dihadapan Syaikh Ahmad Tijani. Didalam dunia tasawuf diakuai bahwa seorang wali bisa melihat wali dan derajat kewalian hanya bisa diketahui oleh sesama wali, yang hakikatnya berasal dari Allah, anugrah dari Allah, tidak dapat diketahui kecuali atas kehendak Allah. Seorang wali, dengan ilmu ma’rifah-nya dan atas anugrah Allah, bisa mengetahui derajat sesama wali.
Proses panjang ilmu-ilmu kewalian, melalui perjalanan panjang, kunjungan Syaikh Ahmad Tijani kepada pembesar wali, dengan kesaksiannya berakhir di padang Sahara, daerah tempat wali besar Abu Samghun. Pada tahun 1196 H. beliau pergi ke Sahara tempat Abu Samghun berada. Ditempat inilah (pada tahun 1196 H) Syaikh Ahmad Tijani mencapai anugrah dari Allah, Yaitu (Pembukaan Besar). Pada saat itu Syaikh Ahmad Tijani mengaku, berjumpa dengan Rasulullah SAW, dalam keadaan sadar lahir batin dan bukan dalam keadaan mimpi. Saat demikian menjadi momentum yang penting dan menentukan bagi syaikh Ahmad Tijani mendapat talqin (pengajaran) tentang wirid-wirid dari Rasulullah Saw, berupa Istighfar 100 kali, dan Shalawat 100 kali. Empat tahun kemudian (pada tahun 1200 H) wirid itu disempurnakan lagi oleh Rasulullah Saw, dengan hailallah (La Ilaha Illa Allah) 100 kali. Wirid-wirid yang diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW, melalui al-fath, perjumpaan secara yagzhah ini memberikan kepada Syaikh Ahmad Tijani otoritas Shahib al-Thariqah.
Sebagaimana telah dijelaskan, pada saat talqin, Rasulullah SAW, juga menjelaskan ketinggian derajat dan kedudukan wirid yang diajarkan kepada Syaikh Ahmad Tijani. Karena kedudukan dan derajat ajaran wiridnya yang sangat tinggi, Rasulullah SAW memerintahkan kepada Syaikh Ahmad Tijani agar hanya berkonsentrasi pada pengamalan wirid itu, serta meninggalkan wirid-wirid yang lain, dan juga meninggalkan para wali yang lain. Hal ini menunjukkan jaminan Rasulullah SAW atas keunggulan wirid tersebut  terhadap wirid wirid yang lain, dan jaminan Rasulullah SAW, menjadi pembimbing, penanggung jawab, dan sekaligus perantara dihadapan Allah. menurut Ali Harazim, segala sesuatu yang diperintahkan atau diturunkan Allah SWT melalui perantara Rasulullah SAW. Perintah meninggalkan tariqat dan wali yang lain disebabkan oleh kedudukan Syaikh Ahmad Tijani yang tinggi, sebagaimana telah dijelaskan. Atas jaminan- jaminan demikian, mulailah Syaikh Ahmad Tijani mengajarkan Tariqatnya kepada setiap umat Islam yang berminat.
Tariqat Tijaniyah memiliki aturan-aturan yang harus ditegakkan oleh setiap pengamal tariqat tersebut. Aturan-aturan yang harus di terapkan Tariqat Tijaniyah terdiri dari syarat-syarat dan tata krama (sopan santun) terhadap guru, sesama ikhwan, dan terhadap dirinya sendiri.
Syarat-syarat dalam Tariqat Tijaniyah terbagi dua bentuk yaitu:
a.       Syarat kamaliyah
- berhubungan dengan wirid
b.      syarat lazimah
- berhubungan dengan pribadi murid
- berhubungan dengan wirid
Sedangakan tata krama (sopan santun) yang harus ditegakkan oleh murid Tijaniyah terdiri dari tiga bagian:
a.       tata krama terhadap diri sendiri
b.      tata krama terhadap syaikh
c.       tata karma terhadap ikhwan
Syaikh Ahmad Tijani mengaku sebagai khatim al-auliya (penutup para wali), pengikat antara nabi Muhammad dan semua wali, baik yang telah lalu maupun yang akan datang, dan jaminan bagi para pengikutnya dengan derajat spiritual yang lebih tinggi serta dijanjikan masuk surga tanpa harus menyerahkan harta benda mereka pada syaikh, sepanjang mereka mentaati ajaran islam sesuai kemampuan, menarik para pedagang kaya dan pejabat senior di Aljazair berbondong masuk Tariqat Tijaniyah.
Tariqat Tijaniyah perkembangannya cukup mencolok sehingga dinilai dapat menyaingi otoritas Utsmaniyyah, sehingga Syaikh Ahmad Tijani dan para pengikutnya dipaksa meninggalkan Aljazair. Syaikh Ahmad Tijani kemudian pindah ke Fez pada 1798, dan hidup disana hingga wafat. Ketika bangkit gerakan Wahhabiyah yang memusuhi kaum sufidan tariqat yang menjahui dunia dan melestarikan tradisi-tradisi penghormatan kuburan syaikh-syaikh tariqat, Tariqat Tijaniyah justru lebih berkembang. Perkembangan tariqat ini semakin pesat terutama telah mendapat dukungan-dukungan dari penguasa Maroko, Maulay Sulaiman, yang berkepentingan mendekati Syaikh Ahmad Tijani untuk menghadapi persaingan dengan zawiyah-zawiyah para syarif yang dinilai dapat merongrong kekuasaanya.
Persekutuan Tariqat Tijaniyah dengan pemerintah Maroko berlangsung hingga 1912 dengan munculnya deklarasi protektorat menjelang akhir abad ke-19, setiap kota di Maroko mendapat kesempatan mendirikan zawiyah tijaniyah . perkembangan Tariqat Tijaniyah di Maroko jauh lebih pesat dibandingkan dinegara-negara lain seperti Tunisia, dan Aljazair sendiri, tempat pertama kali lahir tariqat ini berkembang pula dinegara Afrika lainnya seperti Senegal, Mauritania, Guinea, Nigeria, dan Gambia, bahkan sampai keluar Afrika, termasuk Saudi Arabia dan Indonesia.
Sistem Dasar Pembentukan Tariqat Tijaniyah
Menurut Syaikh al-Sya’rani, sebagaimana dikutip oleh Ali Harazim, ajaran tariqat kaum sufi berlandaskan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, serta berasal dari metode suluk yang dipraktikan oleh Rasulullah SAW. Dari landasan ini, unsur sanad (silsilah) yaitu urutan-urutan guru secara berkesinambungan sampai kepada Rasulullah SAW, sangat penting dalam tariqat. Idealnya, setiap guru dalam sanad bertemu langsung dengan guru di atas dan seterusnya sampai sumber utama Rasulullah SAW. Namun dalam kenyataannya tidak semua talqin tariqat menggunakan sanad demikian sebab ada talqin yang disampaikan langsung antara syaikh Tariqat dengan Rasulullah SAW Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, sistem demikian biasa dinamakan sistem “Barzakhi”.
Bimbingan Rasulullah SAW kepada para wali dalam keadaan jaga mengantarkan pada satu pemahaman bahwa amalan wirid para wali termasuk didalamnya amalan tariqat muncul sebagai buah mujahadahnya dan hal ini merupakan anugerah Allah SWT Oleh karena itu menurut KH. Badruzzaman banyak tariqat para wali dasar pembentukannya melalui talqin barzakhi. Untuk itu ia menyebutnya sebagai tariqat Barzakhiyah artinya amalan yang diterima dari Nabi Muhammad SAW setelah beliau meninggal dunia. Selanjutnya dikatakan bahwa semua amalan tariqat besar yang berkembang di dunia Islam terbentuk melalui talqin barzakhi kecuali tariqat Qadiriyah, karena sanad tariqat ini bersambung kepada Rasulullah SAW, melalui Sayyidina Ali.
Tariqat Tijaniyah termasuk tariqat yang dasar pembentukannya menggunakan sistem barzakhi. Makna barzakhi dalam Tariqat Tijaniyah, sebagaimana tergambarkan dalam proses pembentukannya, bahwa ajaran-ajaran itu tidak diperoleh melalui pengajaran dari guru-guru sebelumnya, tetapi diperoleh langsung oleh Syaikh Ahmad Tijani dari Rasulullah SAW, dalam perjumpaan secara yaqzhah. Pejumpaan dengan melihat Rasulullah SAW, walaupun telah berada di alam barzakh, yang dialami oleh Syaikh Ahmad Tijani, adalah peristiwa yang menurut tradisi tariqat, merupakan hal yang biasa dan bisa terjadi terutama dialami oleh wali-wali besar.
Bertemu dengan Rasulullah dalam keadaan jaga merupakan bagian dari kekaramatan wali. Dan karamah seperti inilah yang senantiasa diharapkan dan dicita-citakan oleh para wali Allah SWT. Sebab berjumpa dengan Rasulullah SAW, dan melihatnya dengan yaqzhah (dalam keadaan jaga) tidak dalam keadaan tidur atau mimpi menunjukan jaminan maqam kewalian seseorang dari Rasulullah SAW, sebagaimana akan dilihat nanti. Melihat dasar pembentukan Tariqat Tijaniyah sebagai mana disebutkan di atas, bagi orang yang percaya bahwa hal tersebut memang terjadi, berarti mereka sudah meyakini bahwa Syaikh Ahmad Tijani memperoleh kedudukan yang tinggi, dan berarti pula Tariqat Tijaniyah adalah tariqat yang mempunyai sanad sampai kepada Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu amalan Tariqat Tijaniyah adalah amalan Nabi Muhammad SAW.
Masuknya Tariqat Tijaniyah ke Indonesia
Semenjak awal kehadirannya ke Indonesia, Thariqat Tijaniyah ini mendapat tantangan dari para ahli tariqat yang lain (non-Tijaniyah) yang cukup keras sehingga menimbulkan pertentangan diantara para ahli tariqat di Indonesia. Pertentangan dilakukan dengan berbagai cara. Pertentangan itu timbul karena adanya anggapan dari para penentang bahwa di dalam Tariqat Tijaniyah terdapat kejanggalan-kejanggalan. Pada tahun 1928 –1931 pertentangan terjadi dalam bentuk pamflet-pamflet yang berisikan tuduhan-tuduhan para penentang. Dan mereka mendapatkan rujukan ulama dari Madinah, Sayyid Abdullah Dahlan.[5]
Masuknya Tariqat Tijaniyah ke Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi ada dua macam fenomena yang menunjukkan gerakan awal Tariqat Tijaniyah, yaitu kehadiran syaikh ‘Ali bin Abd allah al-Thayyib, dan adanya pengajaran Tariqat Tijaniyah di pesantren Buntet, Cirebon. Kehadiran syaikh ‘Ali ibn ‘Abd allah al Thayyib tidak diketahui secara pasti tahunnya.
G.F. Pijper menyebutkan bahwa syaikh ‘Ali ibn Abdullah al-tayyib datang pertama kali keIndonesia saat menyebarkan Tariqat Tijaniyah ini, di Tasikmalaya. Namun disebutkan pula oleh Pijper bahwa syaikh ‘Ali ibn ‘Abdullah al-tayyib telah mendatangi berbagai daerah dipulau jawa sebelum ke Tasikmalaya.[6]
Syaikh  ‘Ali ibn Abdullah al-tayyib datang ke Tasikmalaya bertujuan menyebarkan Tariqat Tijaniyah. Beliau menyeberkan kitab-kitab Tijaniyah dan mendatangi rumah-rumah orang yang dianggap mengerti. Pada saat di Tasikmalaya, ia juga menulis kitab munyat al-Murid, yang berisikan Tariqat dari guru-gurunya, pesan-pesan serta restu untuk menyebarkan ajaran ini kepada murid-murid secara luas.
Berdasarkan kehadiran syaikh ‘Ali ibn ‘Abdullah al-tayyib ke pulau jawa, maka Tariqat Tijaniyah di perkirakan datang ke Indonesia pada awal abad ke-20 M (antara 1918 dan 1921 M), akan tetapi menurut Pijper, sebelum tahun 1928 Tariqat Tijaniyah belum mempunyai pengikut di pulau Jawa. Pijper menjelaskan, Cirebon merupakan tempat pertama di ketahui adanya gerakan Tijaniyah.
Pada bulan maret 1928 pemerintah (kolonial) mendapat laporan bahwa ada gerakan keagamaan yang dibawa oleh guru agama (kiai) yang membawa ajaran Tariqat baru yaitu Tijaniyah. Sebelum tahun 1928 tarekat ini belum diketahui berkembang gerakan ini di khawatirkan akan merekrut anggota yang cukup besar karena sebelum tariqat ini belum pernah populer di mata pemerintah. Namun demikian meskipun baru diketahui oleh pemerintah pada tahun 1928, sebenarnya pengajaran Tariqat Tijaniyah ini telah dimulai sejak atau beberapa tahun sebelumnya.
Perkembangan Tariqat Tijaniyah di Cirebon mulanya berpusat di pesantren Buntet di Desa Mertapada Kulon. Pesantren ini di pimpin oleh lima bersaudara, diantaranya adalah K.H. A bbas sebagai saudara tertua yang menjabat sebagai ketua yayasan dan sesepuh pesantren dan K.H. Anas, adik kandungnya.
Kedua orang bersaudara ini kelak yang merintis dan mengembangkan pertama kali Tariqat Tijaniyah. K.H. Anas pergi ke tanah suci untuk mengambil talqin Tariqat Tijaniyah dan bermukim di sana selama tiga tahun, dan setelah itu kembali lagi ke Cirebon serta yang memperkenalkan tariqat ini pertama kali di Cirebon. Dalam mengajarkan Tariqat Tijaniyah kepada murid-muridnya, K.H. Anas menggunakan sistem pengaderan melalui kiai-kiai di pesantren Buntet. Untuk menjaga kesinambungan Tariqat Tijaniyah kelak, K.H. Anas membaiat K.H. Hawi dan K.H. Fahim, dan K.H. Rasyid dari pesantren pesawahan, sindang laut Cirebon; dan K. akyas membaiat K. syifa’.
Dari pesantren Buntet, kemudian Tariqat Tijaniyah menyebar secara luas kedaerah-daerah dipulau jawa melalui murid-murid pesantren Buntet ini. Selain berasal dari Cirebon, seperti Tasikmalaya, Brebes, dan Ciamis. Sejak tahun 1928 diluar Cirebon telah dikenal pusat-pusat penyebaran Tariqat Tijaniyah, yaitu Brebes, Pekalongan, Tasikmalaya, dan Ciamis. Beberapa tahun kemudian Tariqat ini tersebar luas kedaerah-daerah lain di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
 Syarat Masuk Tariqat Tijaniyah
Untuk masuk dalam tariqat Tijaniyah seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[7]
  1. Calon Ikhwan Tijani tidak mempunyai wirid tariqah.
  2. Mendapatkan talqin wirid Tariqah Tijaniyah dari orang yang mendapatkan izin yang sah untuk memberi wirid tariqah Tijaniyah.
Keterangan:
-          Apabila calon Ikhwan Tijani telah masuk Tariqah lainnya, maka harus dilepaskan. Karena Tariqah Tijaniyah tidak boleh dirangkap dengan Tariqah lainnya.
-          Wirid dari selain Syaikh Akhmad At-Tijani yang tidak termasuk ikatan Tariqah, seperti hizib-hizib, Shalawat dan sebagainya, boleh diwiridkan oleh Ikhwan Tijani selama tidak mengurangi kemantapannya terhadap Tariqah tijaniyah.
Larangan terhadap PemelukTariqah Tijaniyah
Adapun hal-hal yang tidak boleh dilakukakan oleh seorang pengikut  Tariqah Tijaniyah adalah sebagai berikut:[8]
  1. Tidak boleh mencaci, membenci,dan memusuhi Syaikh Ahmad At-Tijani.
  2. Tidak boleh ziarah kepada wali yang bukan Tijani, khusus mengenai rabithoh saja.
  3. Tidak boleh memberi wirid Tariqah Tijaniyah tanpa ada izin yang sah.
  4. Tidak boleh meremehkan wirid Tariqah Tijaniyah .
  5. Tidak boleh memutuskan hubungan dengan makhluk tanpa izin syara’, terutama dengan Ikhwan Tijani
  6. Tidak boleh merasa aman dari makrillah
Keterangan:
-          Ziarah kepada wali yng bukan Tijani yang tidak boleh adalah ziarah karena istimdad, tawassul dan do’a. sedang ziarah untuk silaturrahmi untuk mengaji/menuntuk ilmu atau ziarah semata-mata karena Allah ta’ala, maka boleh. Bagi Ikhwan Tijani yang belum tahu ziarah yang boleh dan ziarah yang tidak boleh, hendaknya jangan melaksanakan ziarah,karena bias membatalkan keterikatannya  dengan Tariqah Tijaniyah.
-          Yang dimaksud meremehkan wirid ialah musim-musiman dalam melaksanakan wirid Tariqah, mengundurkan waktunya tanpa adanya udzur.
-          Makrillah adalah siksa/adzab Allah yang tampaknya seperti rahmatNya.

Kesimpulan
Dalam pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa Tariqat Tijaniyah di dirikan oleh Syaikh Ahmad Tijani yang diyakini oleh kaum tijaniyah sebagai wali agung yang memiliki derajat yang tinggi. Lahirnya Tariqat Tijaniyah disebabkan oleh terkaitnya kedudukan Syaikh Ahmad Tijani Sebagai al- qutb al-a’ zham. Dengan adanya derajat kewalian Ahmad Tijani sebagai al-quthb – al-a ‘zham dan wali al-khatm wa-maktum diyakini oleh kaum tijaniyah dicapai melalui proses panjang, Sebelum diangkat sebagai wali besar.
Pada saat berkunjung pada wali besar dalam upaya untuk silaturrahmi dan mencari ilmu kewalian secara lebih luas, ketika itu pula wali besar mengakui bahwa Syaikh Ahmad Tijani merupakan wali besar bahkan lebih besar dari yang lain. karena di dalam dunia tasawuf diakuai bahwa seorang wali bisa melihat wali dan derajat kewalian hanya bisa diketahui oleh sesama wali, yang hakikatnya berasal dari Allah.
Saat Syaikh Ahmad Tijani mengaku, berjumpa dengan Rasulullah SAW, dalam keadaan sadar lahir batin dan bukan dalam keadaan mimpi, beliau mendapatkan talqin (pengajaran) tentang wirid-wirid, dari Rasulullah Saw, berupa Istighfar 100 kali, dan Shalawat 100 kali. Empat tahun kemudian (pada tahun 1200 H) wirid itu disempurnakan lagi oleh Rasulullah Saw, dengan hailallah (La Ilaha Illa Allah) 100 kali. Wirid-wirid yang diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW, melalui al-fath, perjumpaan secara yagzhah ini memberikan kepada Syaikh Ahmad Tijani otoritas Shahib al-Thariqah.

DAFTAR PUSTAKA
      Jaiz, Hartono Ahmad. Tarekat Tasawuf Tahlilan dan Maulidan. Solo: Wacana Ilmu Press, 2007
      Mustofa, H A. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia, 2007
      Mulyati, Sri. Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Fajar Inter Pratama Offset, 2006
      Luthfi, Muhammad dan Thoha M Chabib. Mengenal Thariqah. Semarang: CV Aneka Ilmu, 2005
        Badruzzaman, Ikyan. 2008. Polemik Tentang Tariqat Tijaniyah di Indonesia. Garut, 14 Januari 2009


[1] Hartono Ahmad Jaiz, tarekat Tasawuf Tahlilan dan Maulidan (Solo: Wacana Ilmu Press, 2007), 23
[2] H.A. Mustofa, Akhlak tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), 280-281
[3] H.A. Mustofa, Akhlak tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), 281-282
[4] Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tariqat-Tariqat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2006), 217-218
[5] Ikyan Badruzzaman, 2008, Polemik Tentang Tariqat Tijaniyah di Indonesia, Garut, 14 Januari 2009
[6] Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tariqat-Tariqat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2006), 223-224
[7] Muhammad Luthfi dan M Chabib Thoha, Mengenal Thariqah (Semarang: CV Aneka Ilmu, 2005), 55-56
[8] Muhammad Luthfi dan M Chabib Thoha, Mengenal Thariqah (Semarang: CV Aneka Ilmu, 2005), 56-57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar