biografi syaikh ibnu athoillah
siapakah pengarang kitab Hikam?mari kita baca biografi beliau
Kelahiran dan keluarganya
Pengarang
kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin,
Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Athoillah
al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa
Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah
Kahlan yang berujung pada Bani Yastrib bin Qohton, bangsa Arab yang
terkenal dengan Arab al-Aribah. Kota Iskandariah merupakan kota
kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan
kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun
kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan
menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia
dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.
Ayahnya
termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri Thariqah
al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibnu Athoillah dalam kitabnya
Lathoiful Minan Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap
Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan:
“Demi Allah, kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak
aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena,
tikar dan dinding.
Keluarga
Ibnu Athoillah adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama,
kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya.
Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariah
seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah pada
masa Ibnu Athoillah memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir,
karena Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih,
hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa arab, tentu saja juga memuat banyak
tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya’Sholihin.
Oleh
karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Athoillah tumbuh sebagai
seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya
terus berlanjut sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya
secara terang-terangan tidak menyukainya.
Ibnu
Athoillah menceritakan dalam kitabnya Lathoiful minan Bahwa kakeknya
adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan
serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Athoillah yaitu Abul Abbas
al-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah
(Ibnu Athoillah) datang ke sini, tolong beritahu aku”, dan ketika aku
datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril telah datang kepada Nabi
bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak
percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan
mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan
dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi mengatakan : ” Tidak,, aku
mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak
musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek
yang alim fiqih (kakek Ibnu Athoillah) demi orang yang alim fiqih ini.
Pada
akhirnya Ibn Atho’illah memang lebih terkenal sebagai seorang sufi
besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni
fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku
biografi menyebutkan riwayat hidup Athoillah menjadi tiga masa :
Masa pertama
Masa
ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama
seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim
ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh
pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena
kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Athoillah bercerita:
“Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi,
yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”. Pendapat saya waktu itu bahwa
yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim
adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya.
Masa kedua
Masa
ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu
kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan
gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan
kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama’
tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati.
Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini. Ada cerita
menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn
Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya
dalam hatinya : “apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu
yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama
aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya,
melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya.
Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau
tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa
sejalan dengan tasawuf.
Lalu
aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan
tekun tentang masalah-masalah syara’. Tentang kewajiban, keutamaan dan
sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-Mursi yang kelak
menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala
puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam
hatiku”. Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf
hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi.
Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi
sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan
seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun
demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah
mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.
Dalam
hal ini Ibn Athoilah menceritakan : “Aku menghadap guruku al-Mursi, dan
dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat
aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau
mengatakan : “Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya IbnuNaasyi. Dulu
dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan
sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata :
“Tuanku, apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan
berkhidmat saja pada tuan?”. Aku memandangnya sebentar kemudian aku
katakan : “Tidak demikian itu tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan
yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu
akan sampai padamu juga”.
Setelah
bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku
beliau berkata: Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka
sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan
Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”. Mendengar uraian
panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan
sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan
kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas
pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh
Allah”.
Masa ketiga
Masa
ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari Iskandariah ke Kairo.
Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun
709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan IbnuAthoillah
dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan
kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan
hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang
uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia.
Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan
kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan
suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah perendahan diri
dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT.
Menurut
Ibnu Athoillah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yang
tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang
ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang
untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan
tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya.
Ibnu
Athoillah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H,
menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini
ia emban di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika
pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.
Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Athoillah berceramah di Azhar dengan tema yang
menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan
dengan riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu.
Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol
kebaikan”. Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : “Ibnu Athoillah
adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri
oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati.
Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan
orang orang ahli tariqah”. Termasuk tempat mengajar beliau adalah
Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak
didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam
Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab Tobaqoh
al-syafiiyyah al-Kubro.
Sebagai
seoarang sufi yang alim Ibn Atho’ meninggalkan banyak karangan sebanyak
22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq,
falsafah sampai khitobah.
Karomah Ibn Athoillah
Al-Munawi
dalam kitabnya Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan: SyaikhKamal Ibnu
Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai
pada ayat yang artinya: “Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia…”.
Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibn Athoillahdengan
keras: “Wahai Kamal tidak ada diantara kita yang celaka”. Demi
menyaksikan karomah agung seperti iniIbnu Humam berwasiat supaya
dimakamkan dekat dengan IbnuAthoillah ketika meninggal kelak.
Di
antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu
murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn
Athoillahsedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam
Ibrahim, di Masa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada
teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung
terperanjat ketiak mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”. Kurang
puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing
spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?” lalu si murid
menjawab : “Tuanku saya melihat tuanku di sana “. Dengan tersenyum
al-arif billah ini menerangkan : “Orang besar itu bisa memenuhi dunia.
Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti
menjawabnya.
Ibn Atho’illah wafat
Tahun
709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut
wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke
alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah
al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah
dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring
kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro. —
Pemikiran Ibnu Atha’illah
Berdasarkan
biografi dan karya-karya tulis Ibnu Atha’ilah, sudah jelas, bahwa ia
seorang ahli hukum mazhab mailki, ia juga sebagai seorang guru sufi
tarekat Syadziliyah. Oleh sebab itu sepantasnya ia dijuluki sebagai ahli
Hikmah, yang melahirkan salah satu dari pemikiranya adalah Kitab
al-Hikam.
Untuk
memudahkan mendalami pemikiran Ibnu ‘Atha’illah, perlu memahami
terlebih dahulu perkembangan pemikiran Ibnu ‘Atha’illah, mulai dari
karir hingga wafatnya. Hal ini dilakukan untuk memperjelas dalam
mengklasifikasikan pemikiran Ibnu ‘Atha’illah, yang sedikit banyak
berorientasi pada nilai-nilai Taswuf yang melekat pada dirinya.
Perkembangan
pemikiran Ibnu ‘Atha’illah dapat diketahui dari karya tulisnya
al-Hikam. Kitab al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu ‘Atha’illah
pada khusunya dalam paradigma Tasawuf. Diantara para tokoh sufi yang
lain, seperti al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen Annuri, dan para tokoh
sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu ‘Atha’illah bukan
sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi, tetapi
diseimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadat dan suluk, artinya
diantara syari’at, tharikat dan hakikat ditempuh dengan cara metodis.
Kenyataan ini terbukti dalam karya-karya tulis dan warisan spiritualnya
dan selain ia seoarang ahli hukum yang bermazhab Maliki dan sebagai
penganut teologi Asy’ariyah juga ia memiliki posisi sebagai dalam
tahrekat Sydziliyah.
Corak
Pemikiran Ibnu ‘Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan
para tokoh sufi lainnya ia lebih menekankan nilai Tasawuf pada
Ma’rifat. Selain itu juga bahwa Ibnu ‘Atha’illah merupakan guru ketiga
dari taharikat Syadziliyah, maka ia memilki pandangan tasawuf pada
kahususnya tentang ma’rifat berdasarkan pandangan tarekat Syadziliyah.
Adapun pemikiran-pemikiran tarekat tersebut adalah :
Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah. dan mengenal rahmat Illahi. Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur, dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kedzaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah Swt. dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah. dan mengenal rahmat Illahi. Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur, dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kedzaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah Swt. dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Kedua,
tidak mengabaikan dalam menjalankan syari’at islam. Ia adalah salah
satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir serarah dengan
al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan
al-Sunnah, mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa
(tazkiat an-Nafs), dan pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf
yang dikenal cukup moderat.
Ketiga,
zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud
adalah mengosongkan hati selain dari pada Tuhan. Dunia yang dibenci para
sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan
dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung
habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. Semua itu hanyalah permainan
(al-la’b) dan senda gurau (al-lahw) yang akan melupakan Allah. Dunia
semacam inilah yang dibenci kaum sufi.
Keempat,
tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya
raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya.
Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai
melalaikan-Nya dan jangan samapi menjadi hamba dunia, tiada kesedihan
ketika harta hilang dan tiada kesenangan ketika berlebihan ketika harta
datang. Sejalan dengan itu pula, seorang salik harus memakai baju lusush
yang tidak berharga, yang akhirnya akan menjatuhkan martabatnya.
Kelima,
berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan ummat, berusaha
menjebatani antara kekeringan spiritual yang dialami oleh banyak orang
yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak
dialami para salik. Abu hasan al-Syadzili menawarkan tasawuf positif
yang ideal dalam arti bahwa di samping berupaya mencari ‘langit’, juga
harus beraktivitas dalam realitas sosial di ‘bumi’ ini. Beraktivitas
sosial demi kemaslahatan umat adalah bagian integral dari hasil
kontemplasi.
Keenam,
tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan
diri sesuai dengan ketentuan Allah. Tasawuf memiliki empat aspek
penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah Swt., senantiasa melakukan
perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu
bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh
Ketujuh,
dalam kaitannya dengan ma’riaft al-Syadzili berpendapat bahwa ma’rifat
adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua
jalan
1).
Mawahib atau ‘ain al-ujd (sumber kemurahan Tuhan) yaitu Tuhan
memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang
akan diberi anugrah tersebut.
2).
Makasib atau madzi al-majhud yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh
melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, mulazamah al-dzikir,
mulazamah al-wudlu, puasa sahalat sunnnah dan amal shalih lainnya.
Karena
itu, maka dalam mengupas pemikiran Ibnu ‘Atha’illah ini akan berangkat
dari teori ma’rifat yang digunakan oleh Abi Hasan al-Syadzili serta
tulisan tulisan Ibnu ‘Atha’illah dalam kitab Hikam.
Alasan
digunakannya teori ini, karena Kitab Al-Hikam meletakan Transendental
mengenai eksistensi Tuhan secara empiris, sehingga dari sini kita dapat
memahami pemikiran Ibnu ‘Atha’illah dari penglaman puncak (Fick
eksperience).
Ibnu
‘Atha’illah telah memahami ajaran konsep Tasawuf yang banyak mengandung
dari ajaran Syadziliyah, yang mana ajaran taswuf tersebut diringkas
menjadi lima bagian yaitu :
- Secara lahir dan batin melakukan Taqwa kepada Allah Swt
- Berkata dan berbuat sesuai dengan As Sunnah
- Dalam penciptaan dan pengaturan menolak akan kekuasaan Makhluk
- Baik dalam keadaan sedikit maupun banyak ridha kepada Allah Swt.
- Baik dalam keadaan senang maupun susah selalu ingat kepada Allah Swt.
Selain kelima kosep Tasawuf diatas, Ibnu ‘Atha’illah memiliki ajaran pokok dalam Tasawuf antara lain :
- Peniadaan kehendak dibalik kehendak Tuhan
- Pengaturan manusia dibanding kehendak Tuhan
- Pengaturan manusia dibanding pengaturan Allah SWT.
Mengenai konsep yang pertama dan kedua,. Ibnu ‘Atha’illah memberikan penegasan dalam hikmah sebagai berikut.
مَا تَرَاكَ مِنَ الْجَهْلِ شَيْأً مَنْ اَرَادَنَ يُحْدِثُ فِى اْلوَقْتِ غَيْرَ اَظْهَرَهُ اللهُ فِيْه
Artinya
: “tidak meninggalkan kedunguan sedikitpun (sangat bodoh) orang yang
menghendaki perubahan di dalam waktu (yang telah ditentukan) menuju
kelain waktu yang Allah telah menampakannya didalam waktu itu”.
Allah
Swt adalah Dzat yang maha merajai diseluruh alam semesta ini. Dia
mengetahui segela sesuatu yang ada didalam kerajaannya, itu dengan
kebijaksanaan dan kehendak-Nya sendiri. Maka dari itu apa saja yang
terjadi apa saja dialam semesta ini, misalnya jatuh sakit, orang yang
berada ditingkat tajrid, orang berada ditingkat kasab, miskin serta
kaya, semua itu berjalan dengan kehendak dan iradat yang telah
direncanakan sejak semula oleh Allah Swt dan juga mengikuti peraturan
yang telah ditetapkan dalam alam wujud ini. Dalam Hal ini Allah Swt
berfirman :
وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِمِقْدَارٍ
Artinya : “…Dan segala sesuatu pada sisi Allah adalah dengan ketentuan taqdir” (Q.S: Ar-rod :8)
Oleh
sebab itu jika ada sesorang yang ingin merubah suatu keadaan yang telah
ditentukan oleh Allah pada waktu itu juga, orang yang semacam ini
adalah sedungu-dungu atau sebodoh-bodohnya orang, yang tidak memahami
akan qudrat dan iradat Allah Swt. Dengan alasan, karena ia menghendaki
suatu keadaan yang belum dikehendaki Allah, berarti dalam garis besarnya
ia tidak rela akan ketetapan dan keputusan Allah yang telah diberikan
kepadanya. Padahal apa saja yang telah ditetapkan Allah kepadanya
bukanlah termasuk suatu keadaan yang tercela.
Jadi
usahanya untuk merubah suatu keadaan yang telah ditetapkan oleh Allah
itu termasuk perbuatan yang tidak sopan (tercela). Sebaiknya setiap
manusia harus menerima ketetapan (taqdir) Allah ini harus dengan lapang
dada dan rela hati yang dibarengi dengan ikhtiar.
Ketiga, pengaturan manusia dibanding pengaturan Tuhan, Ibnu ‘Atha’illah menegaskan pula dalam hikmah sebagi berikut :
لاَ ِنهَايَةَ ِلمَذَامِكَ اِنْ أَرْجَعَكَ إِليَْكَ وَلاَ تَفْرَغُ مَدَ فَحِكَ إِنْ أَظْهَرَوُجُوْدَهُ عَلَيْكَ
Artinya
“ tidak ada batas akhirnya (tidak ada selesainya) kejelekanmu jika
Allah mengembalikan kamu kepada kekuatan usaha dan daya upayamu sendiri.
Dan tidak akan ada habisnya kebaikanmu, jika Allah memperlihatkan
kemurahan-Nya kepadamu”
Tidak
akan ada pangkal ujungnya atau batas akhirnya orang yang mengerjakan
kejahatan jika amal itu dikendalikan hawa nafsunya, sebab nafsu itu
cenderung pada kejelekan. Sebaliknya orang yang merasa bosan atau tidak
henti-hentinya untuk mengerjakan amal kebaikan jika Allah memberikan
sifat kemurahannya kepadanya.
Penjelasan
menganai hikmah diatas, seseorang seharusnya lepas terhadap amal
usahanya, tidak memepedulikan apa hasilnya baik atau buruk. Artinya
manusia harus bergantung pada Tuhan, jangan bergantung pada perbuatan
atau tindakan diri sendiri. Untuk menegakkan adab Sufi dan kehalusan
budi kepada Allah Swt. Maka hanya kehendak dan daya kekuatan Allahlah
yang ditegakkan dalam setiap pembicaraan tasawuf.
Pemikiran
Ibnu ‘Atha’illah tentang Tuhan tersebut sangat berimplikasi pada
struktur internal kitab al-Hikam tentang ma’rifat. Tema dasar kitab
tersebut adalah ma’rifat. Ia adalah ma’rifat iluminatif dimana disana
terdapat benang yang merentang batu-batu permata, sehingga memberikan
karya itu keutuhan dan pandangan yang mendasarinya.
Dalil
metafisikanya adalah terbaik dalam sufisme: ke Esaan Tuhan sendiri
adalah absolut atau hakiki (al-haqq), atau tidak terbatas. Sementara
selain Dia adalah relatif atau tidak riil, atau terbatas. Ini adalah
doktrin tauhid (Devine Unity), dasar islam yang dinyatakan sebagai
kesimpulan akhir metafisika. Dilihat dari sudut pandang kebenaran
(al-haqq), dunia adalah tidak ada, tidak ada “selain” al-Haqq (the
Real). Konsekuensi-konsekuensi` spiritual mendalam yang mengalir dari
doktrin tauhid ini adalah prosesi realisasi itu sendiri.
Mengenai
tiga prinsip agama Islam, yang disebutkan dalam hadits Nabi yakni Iman
Islam dan Ihsan, memainkan ajaran penting dalam ajaran Sufi Ibnu
‘Atha’illah mengambil syahadah islam dan mengimplikasikannya dalam
tekhnik dzikir yang penting: “manusia terbagi kedalam tiga kategori
kelompok dalam kaitannya dengan penegasan dirinya terhadap keEsaan.
Tuhan dalam Dzikir.
Ketegori kelompok peratama adalah diantara para pemula pada umumnya. Pada kategori ini, penegasan keesaan dengan lisan, kata, kepercayaan dan kepatuhan dengan jalan pencerahan-pencerahan dalam kesaksian keesaan, bahwa “tidak adan Tuhan selain Allah Muhammad adalah utusaan-Nya, ‘ dan itu adalah Islam”.
Ketegori kelompok peratama adalah diantara para pemula pada umumnya. Pada kategori ini, penegasan keesaan dengan lisan, kata, kepercayaan dan kepatuhan dengan jalan pencerahan-pencerahan dalam kesaksian keesaan, bahwa “tidak adan Tuhan selain Allah Muhammad adalah utusaan-Nya, ‘ dan itu adalah Islam”.
Kategori
kelompok kedua, adalah orang-orang yang tepilih tingkat menegah. Pada
kelompok ini, penegasan keesaannya dengan hati, secara bebas dan
dengan kehendak sendiri, dalam keyakinan dan kepatuhan. Dan itu adalah
Iman.
Kategori
kelompok ketiga adalah orang-orang pilihan dari orang-orang yang
terpilih. Pada kelompok ini penegasan keesaan dengan akal (al-aql), mata
(‘iyan), yakin (yakin) dan kontemplasi (Musyahadah). Dan itu adalah
ihsan.
Selain pandangan diatas, Ibnu ‘Atha’illah membagi dzikir kedalam tiga tingkatan.
Pertama
dzikir dengan lidah. Ia merupakan dzikir yang sifatnya umum. Kedua
dzikir yang dilakukan dengan hati. Ini adalah dzikir orang-orang
terpilih yang mempunyai keyakinan.
Ketiga dzikir dengan jiwa. Ini adalah dzikir orang-orang pilihan dari yang terpilih yang merupakan dzikir orang-orang gnostik (‘arifun) yang menghentikan dzikir mereka sendiri dengan mengingat (kontemplasi) Tuhan.
Ketiga dzikir dengan jiwa. Ini adalah dzikir orang-orang pilihan dari yang terpilih yang merupakan dzikir orang-orang gnostik (‘arifun) yang menghentikan dzikir mereka sendiri dengan mengingat (kontemplasi) Tuhan.
b. Metafisika Ibnu ‘Atha’illah
Dalam berbagai hal yang bertkaitan dengan kehidupan, Ibnu ‘Atha’illah lebih memprioritaskan pada qalb meskipun sedikit berbeda dengan al-Ghazali yang lebih mengedepankan Riydhah Fisik.
Dalam berbagai hal yang bertkaitan dengan kehidupan, Ibnu ‘Atha’illah lebih memprioritaskan pada qalb meskipun sedikit berbeda dengan al-Ghazali yang lebih mengedepankan Riydhah Fisik.
Nilai-nilai
Metafisika Ibu ‘Atha’illah dapat dilihat dari berbagai macam
pemikirannya, terutama tentang wujud dibalik alam fisik/ragawi, dalam
hal ini Ibnu ‘Atha’illah menjelaskan : “ sesungguhnya alam dapat
mencukupi kamu dari segi jasmanimu dan dia tidak mencukupi dari segi
ketetapan ruhanimu”
Benda
yang ada di alam sama bentuknya dengan badan manusia (sama dalam bentuk
kasarnya). Oleh karena itu anggota badan selalu bergantung dengan
benda-benda tersebut bahkan mencukupinya. Sebaliknya ruh itu tidak
sejenis badan atau benda-benda alam ini, maka kehidupan dan pertumbuhan
ruh tidak bergantung pada benda-benda dunia akan tetapi bergantung dan
berhubungan kepada terciptanya benda-benda alam tersebut yakni Allah
Swt.
Jadi
benda-bemnda alam itu tidak dapat memuat atau mencukupi kebutuhan
ruhaniayah. Oleh karena itu untuk menyempurnakan kehidupan ruh tersebut
sebaiknya setiap orang haus selalau berdzikir dan menyingkirkan segala
hawa nafsu yang ada pada diri manusia, sehingga ruh itu bersih dari
segala kotoran yang menempel pada kita.
Secara
biologis, manusia tersusun dari dua macam unsur yakni tubuh kasar
(jasmani) dan ruh halus. Dengan tubuhnya, maka manusia itu dapat
menemukan, mengingat, berfikir, mengetahui, berkehendak, memilih,
mencintai, membenci, dan sejenisnya.
Ibnu
‘Athaillah berpendapat tentang tubuh manusia, ia mengemukakan bahwa
tubuh mansia tercipta dari tanah. Hal ini sudah merupakan kepastian yang
mau tidak mau harus di akuinya. Sedangkan mengenaui ruh, Ibnu
‘Atha’illah tetap berpegang pada al-qur’an, sebagaimana firman Allah
Swt.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيْلاً
Artinya
: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu
termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit”. Q.S. Al-Isra : 85)
Ruh
termasuk urusan dan perkataan Allah Swt. Sendiri yang selain-Nya itu
pasti tidak akan dapat mengetahui, tidak dahulu, tidak sekarang dan
tidak nanti, bahkan tidak untuk selama-lamanya.
Sebenarnya
setinggi-tingginya pengetahuan yang dapat diperoleh mengenai hal ruh
itu ialah bahwa ruh itu berdiam didalam tubuh manusia dan bahwa dengan
adanya ruh itu lalu tampaklah gerak kehidupan dari tubuh itu dan dapat
diketahui pula apa yang diakibatkan oleh adanya kehidupan berfikir,
mencintai, menbenci dan sejenisnya, selain itu yang dapat diketahui
mngenai ruh ialah bahwa ruh itu sewaktu-waktu berpisah dengan tubuh yang
merupakan media kediamannya dan tubuh yang sudah ditinggalkan oleh ruh
tersebut lalu menjadi benda mati, beku dan tidak lagi memiliki gerakan.
Dapat
disimpulkan bahwa ruh yang dikaruniakan kepada manusia itu merupakan
zat yang membedakan antara manusia dan benda-benda yang lain dialam
semesta. dengan adanya ruh manusia menjadi pandai dan alim secara
sendirinya, sehingga seluruh mala’ikat diperintah oleh Allah untuk
tunduk memberi penghormatan kepada manusia tadi. Sebagian ulama Islam
berpendapat bahwa “ruh adalah zat yang memiliki sifat yang tersendiri,
dan berada dalam benda-benda lain. Ia adalah jisim Nuraniyah (Nur atau
cahaya), dan kedudukannya tinggi dalam kehidupan manusia.
Selain
ia dapat meninggalkan tubuh kasar dan dapat menjalar kerongga-rongga,
tubuh itu bagaikan mengalirnya air dalam tangkai yang hijau hidup. Ruh
itu tidak dipisah-pisahkan, atau dibagi. Kepada tubuh ruh memberikan
kesan kehidupan dan apa-apa yang berhubungan dengan adanya kehidupan
itu, selama tubuh masih dapat menerima berdiamnya ruh di dalamnya.
Adanya
zat yang disebut ruh itu seudah disepakati oleh seluruh agama yang
datangnya dari langit (agama samawi) yakni dari Allah Swt. Manusia
meyakinkan adanya ruh itu dan dan mempercayainya sejak mereka mengenal
agama-agamanya.
Bahkan
aliran yag semata-mata berdasarkan materi atau kebendaan, sebelumnya
mereka mempercayainya adanya ruh sampai tersebar tiga abad terakhir,
kemudian mereka mengingkari dan tidak mengakui bagi adanya kenyataan ruh
tersebut.
Paham
materialis mengumumkan bahwa di balik alam materi tidak ada alam lain,
kecuali alam yang sama-sama disaksikan secara empiris, juga tidak ada
benda lain, kecuali benda-benda yang tampak lagi untuk apa yang
dinamakan ruh itu dalam alam semesta yang maujud ini.
Berdasarkan
beberapa keterangan diatas, Ibnu ‘Atha’illah mengemukakan juga selain
manusia tersusun dari dua unsur yaitu jasad dan ruh atau materi dan
imateri, ia berpandangan bahwa, akal (aql) dan hati (qalb) sangat
berpengaruh dalam kehidupan dan pencapaian ma’rifat. Karena itu Ibnu
‘Atha’illah pempriortiskan keduanya untuk melakukan suluk agar jiwa
dapat bersih dari ketergantungan materi, sebagaimana hikmah yang
ditulisnya :
اُخْرُجْ
مِنْ اَوْصَافِ بَشَرِيَّتِكَ عَنْ كُلِّ وَصْفٍ مُنَاقِصٍ
لِعُبُوْدِيَّتِكَ لِتَكُوْنَ لِنِدَاءِاْلحَقِّ مجُِيْبًاوَمِنْ
حَضْرَتِهِ قَرِيْبًا.
Artinya
: “keluarlah kamu dari sifat-sifat kemanusiaanmu (materi) yang buruk
dari setiap sifat yang dapat merusak sifat kebudihanmu agar kamu berada
untuk menyambut panggilan Zat yang haq (Allah Swt.), dan dari
kehadirat-Nya adalah lebih dekat.”
B. Pengertian Ma’rifat Pandangan Ibnu ‘Atha’illah
Dari sisi bahasa ‘arif memiliki sighat isim fa’il yang berarti orang yang mengenal atau mengetahui, Perkataan ‘arif adalah perkataan umum dalam tasawuf kerenanya ‘arif ditinjau dari segi tasawuf memiliki kriteria diantaranya:
Dari sisi bahasa ‘arif memiliki sighat isim fa’il yang berarti orang yang mengenal atau mengetahui, Perkataan ‘arif adalah perkataan umum dalam tasawuf kerenanya ‘arif ditinjau dari segi tasawuf memiliki kriteria diantaranya:
- a). Cintanya hanya kepada Allah yang agung
- b). tidak pernah mengendahkan yang banyak atau yang sedikit, yakni disegala hal.
- c). mematuhi segala perintah Allah,
- d). terlalu bimbang dari pertukaran keadaan.
Tetapi
Ibnu ‘Atha’illah nampaknya disini menegaskan pengertian ‘arif sebagai
orang yang bijak dalam melakukan segala sesuatu dan mengetahui segala
sesuatu. Seiring pula dengan Abul Abbas Al-Mursi memprediksi pribadi
Ibnu ‘Atha’illah sebagai orang yang bijak dan menjadi tokoh sufi yang
bijak pula.
Adapun
Ma’rifat secara istilah adalah cara mengenal atau mengetahui eksistensi
Tuhan dan orang yang mengetahui eksistensi Tuhan disebut ‘arif.
Pengertian tersebut dapat diperluas lagi menjadi cara mengenal atau
mengetahui eksistensi Tuhan melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya yang
berupa makhluk-makhluk Ciptaan-Nya. Karena itu, pengertian diatas
menegaskan dua penjelasan.
Penjelasan
yang pertama berupa Nur anugrah dari Allah yang diberikan secara
langsung. Dalam istilah Abu Hasan al-Syadzili disebut mawahib atau ‘ain
al-ujd. Ibnu ‘Atha’illah menuliskan hikmah sebagai berikut :
مَنْ اَشْرَ قَتْ بِدَا َيتُهُ اَشْرَقَتْ نِهَا يَتُهُ
Artinya : “Barang siapa bercahaya pada permulaannya, niscaya bercahaya pada akhirnya”.
Cahaya
dalam pengertian disini, adalah Nur Iman (Cahaya ketauhidan) dengan
cahaya ini manusia dapat melihat Allah dengan mata hatinya dan cahaya
tersebut merupakan Hakikat cahaya yang sebenarnya.
Adapun tempat Cahaya ketuhanan tersebut ada di dalam hati. Sumber dari segala sumber, yakni sinar Ilmu, sinar ma’rifat, dan sinar tauhid. Keterangan ini sesuai dengan hikmah yang ditulisnya :
Adapun tempat Cahaya ketuhanan tersebut ada di dalam hati. Sumber dari segala sumber, yakni sinar Ilmu, sinar ma’rifat, dan sinar tauhid. Keterangan ini sesuai dengan hikmah yang ditulisnya :
مَاطَاِلعُ ْاَلاْنوَارِ اْلقُلُوْبُ َواْلاَسْرَارُ
Artinya : “ tempat terbitnya berbagai cahaya Illahi itu ada dalam hati manusia dan rahasia-sahasianya”
Pada
kesempatan lain, Ibnu ‘Atha’illah menyebutkan ada tiga cahaya yang
merupakan bekal bagi manusia untuk dapat mengetahui kedekatan dengan
Tuhan dan mensifati wujud Tuhan. Tiga macam cahaya tersebut adalah
,pertama Syu’aa’ul Bashiirah yakni dengan akalnya manusia dapat
mengetahui akan hakikat dirinya dan mengarti bahwa Allah itu dekat
dengannya. Kedua, ‘Ainul Bashiirah yakni dengan Ilmunya, manusia bisa
mengetahui bahwa dirinya itu sama sekali tidak ada di dalam wujud Allah.
Ketiga, Haqqul Bashirah, yakni dengan kesaksiannya, manusia bisa
mengetahui bahwa dirinya yang semula tidak ada menjadi ada, kemudian
menjadi tidak ada lagi, sama sekali tidak disamakan dengan ada-Nya Allah
yang tidak berawal dan tidak berakhir.
Dengan ketiga cahaya itulah manusia dapat mengetuhi, menghayati, mensifati tentang Wujud Tuhan.
Ibnu ‘Atha’illah menjelaskan pula cahaya Illahi yang masuk kedalam hati sebagai Hidayah (petujuk) terdiri dari dua macam hati :
Cahaya yang masuk kedalam hati tetapi hanya di bagian luarnya saja (belum meresap kedalam hati). Hal ini menyebabkan pandangan seseorang tidak bisa sepenuhnya tertuju kepada Allah, karena sebagian hati yang lain masih tertambat pada kesenangan dunia.
Cahaya yang masuk dan meresap kedalam hati. Hal ini menyebabakan seseorang bisa dengan sepenuhnya mencintai dan mencurahkan perhatiannya hanya kepada Allah semata.
Sehubungan dengan hal ini, sebagian ahli Ma’rifat berkata :
Cahaya yang masuk kedalam hati tetapi hanya di bagian luarnya saja (belum meresap kedalam hati). Hal ini menyebabkan pandangan seseorang tidak bisa sepenuhnya tertuju kepada Allah, karena sebagian hati yang lain masih tertambat pada kesenangan dunia.
Cahaya yang masuk dan meresap kedalam hati. Hal ini menyebabakan seseorang bisa dengan sepenuhnya mencintai dan mencurahkan perhatiannya hanya kepada Allah semata.
Sehubungan dengan hal ini, sebagian ahli Ma’rifat berkata :
“Apabila
Iman itu ada dibagian luar hati, maka seorang hamba akan mencintai
dunia dan akhirat, yakni sebagian mencintai Allah dan sebagian mencintai
dirinya. Dan apabila iman telah masuk kedalam lubuk hati maka dia akan
membenci dunianya dan ditolak kehendak hawa nafsunya”
Di
satu sisi Ibnu ‘Atha’illah memaknai cahaya yang ditulis diatas sebagai
“hidayah” dalam melakukan suluk (Ibadah). Sebagaimana yang dilontarkan
oleh Ust Labib Mz. Dalam Kitab Al-Hikam sebagai berikut :
“Apa bila seesorang itu pada awalnya sudah bercahaya, yakni banyak beribadah kepadanya, maka pada akhirnyapun ia akan bercahaya, yakni bisa berma’rifat kepada Allah, yang dengan Ma’ifatullah ini ia akan mancapai kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat”
“Apa bila seesorang itu pada awalnya sudah bercahaya, yakni banyak beribadah kepadanya, maka pada akhirnyapun ia akan bercahaya, yakni bisa berma’rifat kepada Allah, yang dengan Ma’ifatullah ini ia akan mancapai kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat”
Penjelaskan
kedua, bahwa Ma’rifat dapat diraih dengan cara (tarekat) kesungguhan
dalam melakukan suluk (kesungguhan dalam beribadah), dan kesungguhan ini
merupakan tonggak titik awal untuk mendapatkan puncak akhir dari
Ikhsan (kebajikan spiritual), yang memainkan peran penting dalam ajaran
Sufi.
Pada
kelompok Ikhsan ini, penegasan keesaannya adalah dengan akal (al-aql),
mata (‘iyan), yakin (yaqin) dan kontemplasi (Musyahadah). Dalam istilah
Abu Hasan al-Syadzili disebut sebagai makasib atau atau badzi al-majhud.
Dalam
hal suluk Ibnu Athaillah menjelaskan dalam kitab Al-Hikam bahwa
Ma’rifat bisa dicapai dengan jalan memperbanyak beribadah (suluk) kepada
Allah. dalam hikmah yang ditulis sebagai berikut :
اَمَّا
بَعْدُ فَإِنَّ اْلبِدَايَاتِ مَجَلاَّتُ النِّهَايَاتِ وَاِنَّ مَنْ
كَانَتْ بِااللهِ ِبدَايَتُهُ كَانَتْ اِلَيْهِ ِنهَايَتُهُ
Artinya
: “ Amma Ba’du : sesungguhnya permulaan (suatu perkara) itu cermin yang
memperlihatkan pada puncak kesudahannya. Dan sesungguhnya orang sejak
permulaannya itu selalu bersandar kepada Allah, maka puncak kesudahannya
akan samapai kepada-Nya,”
Permulaan
yang baik akan membuahkan hasil yang baik, dan permulaan yang jelek
akan membuahkan hasil yang jelak pula. Demikian pula apabila seseorang
itu mempunyai keinginan untuk bertemu dengan Allah kemudian ia
memulainya dengan cara yang baik dan usaha yang sungguh sungguh (suluk),
niscaya pada akhirnya apa yang diinginkannya itu akan tercapai dengan
baik pula.
Sebaliknya
jika keinginan untuk bertemu dengan Allah tidak dimulai dengan cara
yang baik dan tidak pula disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh
(suluk), maka sudah barang tentu keinginannya itu hanya tinggal
keinginan belaka tanpa ada hasil yang memuaskan.
Dalam
hal penegasan dengan akal (al-aql). Ibnu ‘Atha’illah menuliskan dalam
Kitab Al-Hikam bahwa ‘arif dapat menyaksikan eksistensi Tuhan semata,
sebagaimana Hikmah dibawah ini :
Artinya
: “ bagaimana dapat dibayangkan bahwa Allah dapat dihijab oleh sesuatu
padahal Allah yang mendahirkan (menampakkan) segala sesuatu”.
Artinya : “bagaimana akan dihijab oleh sesuatu, padahal Dia (Allah) lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu”.
Dalam
hal mata hati (iyan) menjelaskan bahwa satu mata dapat melihat Tajalli
(penzahiran) sifat-sifat dan nama-nama Allah. Pandangan ini akan terus
berlanjut sepanjang evolusi keruhanian berlangsung (yaitu
pengalaman-pengelaman dalam tingkat-tingkat keruhania menuju Allah).
Mata
yang lainnya dapat melihat apa yang diterangi oleh cahaya atau nur
tauhid dan keEsaan. Seorang salik yang telah masuk ke peringkat “disisi
Allah” saja yang dapat melihat ke Esaan yang mutlak (yaitu Allah) yaitu
mereka yang berada dalam peringkat tinggi yaitu Tajalli Dzat. Dalam hal
ini Ibnu athaillah menyebutkan :
فَاِنَّهَا لاَتَعْمَىْ اْلاَبصَْارُ وَلكِنْ تَعْمَىْ اْلقُلُوْبُ التَّىِ فِى الصُّدُوْرِ.
Artinya : “ Sesungguhnya bukan matanya yang buta, tapi mata hatinyalah (yang buta) yang ada dalam rongga dada”.
Sedangkan
dalam hal Musyahadah lebih dari apa yang dikatakan oleh Amr bin Utsman
Al-Makky r.a. arti yang diucapkan, bahwa cahaya-cahaya yang melingkupi
qalbunya, tanpa adanya tutup dan faktor yang memutus di celahnya.
Sebagaimana perkiraan kilatan dalam kilatan yang bersambung. Seperti
malam yang gelap dilampaui cahaya siang.
Begitupun
qalbu, apabila keadaan tajalli tampat terus menerus, akan menjadi siang
yang nikmat, tiada malam sama sekali. Sejalan dengan Ibnu ‘Atha’illah
yang menyebutkan :
Artinya : “Bagaimana mungkin dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Dia (Allah) yang tampak dhahir pada segala sesuatu”
Berangkat
dari gambaran diatas, dapat disimpulkan bahawa ma’rifat pandangan Ibnu
Athai’llah adalah salah satu tujuan dari tarekat atau tasawuf yang dapat
diperoleh dengan dua jalan.
Pertama, adalah mawahib atau ‘ain al-ujd (sumber kemurahan Tuhan) yaitu tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugrah tersebut.
Kedua, adalah makasib atau madzi al-majhud yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, mulazamah al-dzikir, mulazamah al-wudlu, puasa sahalat sunnnah dan amal shalih lainnya.
Pertama, adalah mawahib atau ‘ain al-ujd (sumber kemurahan Tuhan) yaitu tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugrah tersebut.
Kedua, adalah makasib atau madzi al-majhud yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, mulazamah al-dzikir, mulazamah al-wudlu, puasa sahalat sunnnah dan amal shalih lainnya.
C. Macam macam Ma’rifat Pandangan Ibnu Atha’illah
Karya Al-hikam sejak beredarnya, telah banyak melahirkan syarah (komentar) dari beberap komentator atau pensyarah. Hikam adalah jamak dari hikmah yaitu kitab khusus yang menerangkan tiga bagian pokok; aforisme, risalah dan munajat (do’a). aforisme atau aksioma-aksioma spiritual merupakan bagian pertama al-Hikam dan merupakan subtansi dari seluruh bagian lainnya, dimana muatan dua bagian lainnya terbahas/tersaji dalam bagain aforisme.
Karya Al-hikam sejak beredarnya, telah banyak melahirkan syarah (komentar) dari beberap komentator atau pensyarah. Hikam adalah jamak dari hikmah yaitu kitab khusus yang menerangkan tiga bagian pokok; aforisme, risalah dan munajat (do’a). aforisme atau aksioma-aksioma spiritual merupakan bagian pertama al-Hikam dan merupakan subtansi dari seluruh bagian lainnya, dimana muatan dua bagian lainnya terbahas/tersaji dalam bagain aforisme.
Aforisme
mengenai Ma’rifat adalah tema dasar kitab tersebut. Ia adalah ma’rifat
iluminatif, dimana di sana terdapat benang yang merentang batu-batu
permata, sehingga memberikan karya itu keutuhan dan pandangan yang
menadsarinya.
Aforisme Tentang Tingkatan Ma’rifat
Aforisme-aforisme yang mendasar mengenai Ma’rifat, dapat dilihat dari tinggkatan-tingkatan sufisme yang ditulis Ibnu Atha’ilah yakni dibagi mejadi tiga tingakatan yaitu : Sinar mata hati (syu’aa’u lbashirah) atau dapat disebut cahaya akal, mata hati (Ainul bashirah) atau dapat disebut Cahaya Ilmu dan Hakikat Mata hati (Haqqul bashirah) atau dapat disebut cahaya Illahi
Aforisme Tentang Tingkatan Ma’rifat
Aforisme-aforisme yang mendasar mengenai Ma’rifat, dapat dilihat dari tinggkatan-tingkatan sufisme yang ditulis Ibnu Atha’ilah yakni dibagi mejadi tiga tingakatan yaitu : Sinar mata hati (syu’aa’u lbashirah) atau dapat disebut cahaya akal, mata hati (Ainul bashirah) atau dapat disebut Cahaya Ilmu dan Hakikat Mata hati (Haqqul bashirah) atau dapat disebut cahaya Illahi
“Sinar
Mata hati itu dapat memeperlihatkan kepadamu dekatnya Allah kepadamu.
Dan Mata hati itu sendiri dapat memperlihatkan kepadamu ketiadaanmu
karena wujud (adanya) Allah, dan Hakikat Mata hati itulah yang
menunjukan kepadamu, hanya adanya Allah, bukan ‘adam (ketiadaanmu) dan
bukan pula wujudmu.”
“Fikiran
itu dua macam : fikiran yang timbul dari iman percaya, dan fikiran yang
timbul karena melihat kenyataan, maka bagi yang pertama bagi orang
salik yang mengambil dalil : Adanya makhluk menunjukan adamnya Khalik,
ialah mereka ahli I’tibar. Sedangkan yang kedua mereka yang terbuka
hijab hingga dapat melihat kenyataan dengan mata hatinya.”
Kemudian mereka yang kedua ini berdalil : ada yang menjadikan itulah yang menunjukan adanya benda yang dijadikan.
Kemudian mereka yang kedua ini berdalil : ada yang menjadikan itulah yang menunjukan adanya benda yang dijadikan.
Mengenai
yang pertama dapat disebut dengan ma’rifat orang salih dan mengenai
yang kedua dapat disebut ma’rifat orang mahjdzub Orang yang memfikirkan
adanya alam, ada yang langsung melihat pada yang menjadikan, sehingga ia
berkata : Karena adanya pencipta, maka terjadilah yang dicipta, dan
sebaliknya ada yang terpengaruh oleh bendanya, sehingga berkata adanya
ciptaan ini menunjukan adanya pencipta.
“hakikat ilmu yang diturunkan Allah kepada arifiin ketika tajalli itu Mujmal (Singkat), tetapi setelah tertangkap terjadinya penerangan (keterangan)nya ayat : maka apabila kami bacakan, ikutilah bacaannya, kemudian kami sedndiri yang akan menerangkannya (penjelasan perincian).
“hakikat ilmu yang diturunkan Allah kepada arifiin ketika tajalli itu Mujmal (Singkat), tetapi setelah tertangkap terjadinya penerangan (keterangan)nya ayat : maka apabila kami bacakan, ikutilah bacaannya, kemudian kami sedndiri yang akan menerangkannya (penjelasan perincian).
Ilmu
adalah sesuatu yang didapat dengan belajar, dan hakikat dari sebuah
ilmu adalah ilham dari Allah kedalam hati tanpa perantara. Hakikat ilmu
itu dapat juga disebut ilmu ladunni.
D. Metode Pencapaian Ma’rifat Pandangan Ibnu ‘Atha’illah
“Seorang salik mencari kebenaran (himmat salik) hampir ingin terus, tidak ingin berhenti ketika sebagian yang baik tersingkap baginya, melainkan suara hakikatnya (hawatif al haqiah) segera memeperingatkan kepadanya, “bukan itu tujuan yang engkau cari, karena ia masih berada di depanmu!” demikian pula hampir tidak tampak keindahan alam baginya, melainkan diperingatkan oleh hakikatnya, bahwa kami semata-mata adalah sebagian batu ujian, maka janganlah engkau menjadi orang kafir.”
“Seorang salik mencari kebenaran (himmat salik) hampir ingin terus, tidak ingin berhenti ketika sebagian yang baik tersingkap baginya, melainkan suara hakikatnya (hawatif al haqiah) segera memeperingatkan kepadanya, “bukan itu tujuan yang engkau cari, karena ia masih berada di depanmu!” demikian pula hampir tidak tampak keindahan alam baginya, melainkan diperingatkan oleh hakikatnya, bahwa kami semata-mata adalah sebagian batu ujian, maka janganlah engkau menjadi orang kafir.”
Aforisme Tentang Pencapaian Ma’rifat
اَلعَْاِرفُ لاَ يَزُوْلُ اْضطِرَارُهُ وَلاَ يَكُوْنُ مَعَ غَيْرِاللهِ قَرَارُهُ
“Seorang arif tidak kunjung hilang rasa kebutuhannya, dan tidak merasa tenang, atau bersandar pada sesuatu selain Allah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar