Selasa, 23 Juni 2015

Ceramah Ramadhan ke-22: Ulama Pembina Umat

Sahabat Cerpi pada kesempatan kali ini CeramahPidato.Com akan berbagi artikel mengenai Ceramah Puasa 2015 atau Ceramah Ramadhan 1436 H, judulnya adalah Ulama Pembina Umat, simaklah.
Dalam bulan suci Ramadhan, perang ulama sebagai pembina umat, tidak dapat disangkala. Menjelang sahur, kita mendengar dialog agama melalui RRI dan radio suasta, menjelang shalat subuh, kita didisuguhi mutiara subuh, menjelang berbuka puasa, kita disuguhi hidangan rihani yang singkat, menjelang shalat tarwih, kita mendengar lagi ceramah agama, dan dipagi hari, dimedia cetak. Juga menyunguhkan siraman rihani. Pendeknya, bilan Ramadhan yang berkah, bukan hanya melatih mental dan kesabaran, tetapi juga berperang sebagai ‘’madrasah al-Shiyam’’ (pesantren kilat) dan pedalaman ilmu agama, yang semuanya disuguhi oleh seorang yang berprofesi ulama dan muballigh yang di Jawa di gelar Kiyai, di aceh digelar Tengku dan di Sulawesi Selatan digelar Gurutta (Makassar, Bugis dan Mandar).
ceramah ramadhan
Namun, di balik perang yang sangat membahagiakan itu, masih terdapat diantara mereka, yang suka menebarkan bibit perpecahan, deskruftif dan tidak menyuguhkan hidangan yang menyejukkan, kare sifat yang arogan yang mengklaim bahwa hanya pendapatnyalah yang benar dan yang lainnya salah. Padahal yang dikemukakannya adalah masalah hilafiyah (furu’iyah) yang semuanya benar, menurut hakikat Islam, misalnya 4 adalah 2+2, dan juga 3+1=4.
Sebab itu, uraian singkat ini, penulis akan menyuguhkan siapa yang disebut ulama, dan bagaimana perang utamanya dalam membina umat .
Pengertian
Kata Ulama berakar dari huruf ‘’Ain, Lam,dan Mim’’, (‘Alim jamaknya Ulama), yang berarti: orang yang mempunyai ilmu yang dalam. Dalam alquran, hanya ditemukan dua ayat yang secara eksplisit menyebut ‘’Ulama’’. QS.Al-Fathir 35: 28:
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَٰلِكَ ۗ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
Yang Artinya:
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
Di dalam QS. Asy-Syu’ara 26: 197:
أَوَلَمْ يَكُن لَّهُمْ آيَةً أَن يَعْلَمَهُ عُلَمَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ
Yang artinya:
Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?
Dari kedua ayat tersebut dipahami, bahwa Ulama itu ialah orang-orang yang mempunyai pengetahuan yang dalam, tentang ayat-ayat Allah, baik bersifat kauniyah dan atau Qur’aniyah ( Pengetahuan umum dan agama).
Jadi, menurut Alquran, semua itu mempunyai ilmu kauniyah (umum), seperti dokter, Insinyur dan Sarjana Ekonomi, disebut Ulama. Demikian jiga ilmu Qur’aniyah (Agama) seperti ahli Tafsir, hadis, fiqhi, juga disebut Ulama. Tapi, bbbagi ilmu umum atau agama, keduanya mempunyai syarat mutlak bersifat Istislam (Muslim) dan khasy-yah (takut) kepada Allah. Maka persepsi sebahagian masyarakat, bahwa Ulama itu hanya ahli agama, tidak dapat dipertahankan.
Dengan demikian, ahli ilmu yang non muslim tidak takut kepada Allah, sekalipun misalnya menguasai Ilmu Agama, seperti orientalis, tidak berhak disebut ‘’Ulama’’ menurut Alquran.
Demikian juga, sekalipun orangnya bergelar Kiyai (sakti), manakalah tidak tikut kepada Allah (Misalnya suka berdusta), maka keulamaannya telah gugur (Ulama Su’). Sebab itu, gelaran ‘’ Gurutta’’ (Sul-sel) adalah gelaran yang paling tepat ditransfer bagi ulama, karena selama dia tetap berperan Gurutta (teladan), kita akan tetap taati.
Dalam Alquran, ulama bagi kepala tiga bahagia: Ulama Zalim, Ulama Muqtasid (ulama proaktif) dan Ulama Sabiq bi al-Khairat (terdahulu dalam kebaikan) QS. Al-Fathir 35: 32:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
Yang artinya:
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.
Dan ulama bagi ketiga inilah (Sabiq) yang patut disebut ‘’warasatul anbiya’’ (pewaris nabi-nabi).
Peran Ulama
Sebenarnya, peran Ulama sangat banyak, sama peran Nabi. Tapi peran utamanya, yaitu Uswah (teladan), tabligh (manyampaikan pesan agama), amar ma’ruf nahi mungkar dan tahkim (memberi solusi yang arif terhadap masalah).
Dari peran utama tersebut, niscaya peran tabligh (mubaligh) dan tahkim itulah yang paling urgen disampaikan, terutama di bulan suci Ramadhan. Karena terkadan sebagian mubaligh, masih ada yang suaka penyampaikan pesan-pesan agama, yang boleh dikata ‘’ulama zalim’’ mungkin karena intres pribadi, atau mau populer atau fanatik organisasi (partai) yang dianutnya, menyebabkan tidak ilmiah, tidak rasional dan bertentangan dengan ajaran dasar alquran dan Sunnah. Misalnya, uraiannya bertentangan metodologi Alquran ‘’bil hikmah’’ QS. Al-Nahl 16 : 125:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Yang artinya:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Kearifan yang harus diperankan oleh seorang ulama (mubaligh), sebagai peran tahkim, terutama di bulan suci Ramadhan ialah menjelaskan masalah agama misalnya tentang khilafiah ‘’batal wudhu atau tidak batal, jika bersentuhan wanita’’.
Yang menyebabkan khilafiah itu adalah tentang penafsiran ayat ‘’Aw lamastum al-Nisa’’ (jika bersentuhan denagn wanita), QS. An-Nisa’ 4: 43:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Dalam menafsirkan ayat tersebut di atas, ada tiga versi:
  • Imam Syafi’i, menafsirkan bahwa apabila bersentuhan tanpa alas, maka wudhu batal, sesuai dengan harfiyah ayat.
  • Imam Malik, menafsirkan bahwa jika bersentuhan dengan sengaja dan meransang, barulah batal wudhunya.
  • Imam Hanafie, menafsirkan bahwa tidak batal, karena yang dimaksudnya ayat tersebut ber  sengama,  sesuai makna batin (metaforas).
Jika seorang Ulama (mubaligh) menjelaskan pesan agama seperti itu, maka itulah yang dinamakan tahkim, sesuai fungsi Ulama. Bukan mengklaim hanya satu pendapat mibaligh yang benar, karena ketiganya berdasarkan Alquran. Diserahkan kepada umat memilih salah satunya, sesuai kondisi daerahnya. Kalau banyak air, cocok ala Syafi’i dan kalau susah air .
tau mahal harganya, cocok ala Malik dan itulah yang dipraktekkan katika thawaf di Mekah.
Dengan demikian masalah tarwih, 8 rakaat yang dulakukan nabi di Masjid, hanya 3 kali, tetapi luar biasa panjangnya surah dan indah bacaan (ada istilah bengkak kakinya berdiri) dan 20 rakaat yang dilakukan ijma’ (aklamasi) sahabat Nabi di masjid, dan tidak panjang surahnya.
Kalau begitu, keduanya tidak ada yang persis Nabi, karena keduanya melakukan 30 malam di masjid dan surahnya yang pendek. (Lihat Bukhari dan Muslim dalam Al-Sanadi, I: 342-343).
Menurut oenulis, andai kata seseorang tidak mau tarwih di bulan Ramadhan, tidak berdosa, karena hukumanya sunat. Yang berdosa, jika seorang tidak puasa, padahal tidak sakit dan musafir. Namun, alangkah ruginya sesorang kalau di waktu panen pahala Ramadhan, lalu tidak memperbanyak amalan. Kapan lagi?.
Akhirnya, peran utama Ulama. Utamanya di bulan Ramadhan, hendaknya tetap konsisten sebagai seorang Gurutta (teladan), menyampaikan tabligh, amar ma’ruf dan nahi mungkar dan tahkim (solusi) yang segar, mempersatukan umat, dan membantu pemerintah dalam pembangunan bangsa. Semoga Allah Swt. Menerima amalan kita terutama di bulan suci Ramadhan ini, Amin.[cp]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar