KH. Nawawi Al-Bantani
A. Biografi Singkat KH. Nawawi Al-Bantani (1813-1897)
Syekh
Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, adalah ulama Indonesia
bertaraf internasional, lahir di Kampung Pesisir, Desa Tanara,
Kecamatan Tanara, Serang, Banten, 1815. Sejak umur 15 tahun pergi ke
Makkah dan tinggal di sana tepatnya daerah Syi’ab Ali, hingga wafatnya 1897, dan dimakamkan di Ma’la. Ketenaran beliau di Makkah membuatnya di juluki Sayyidul Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Daerah Hijaz adalah daerah yang sejak 1925 dinamai Saudi Arabia (setelah dikudeta oleh Keluarga Saud).
Diantara ulama Indonesia yang sempat belajar ke Beliau adalah Syaikhona Khalil Bangkalan dan Hadratusy Syekh KH Hasyim Asy’ari.
Kitab-kitab karangan beliau banyak yang diterbitkan di Mesir,
seringkali beliau hanya mengirimkan manuscriptnya dan setelah itu tidak
mempedulikan lagi bagaimana penerbit menyebarluaskan hasil karyanya,
termasuk hak cipta dan royaltinya. Selanjutnya kitab-kitab beliau itu
menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di
Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand, dan juga negara-negara
di Timur Tengah. Begitu produktifnya beliau dalam menyusun kitab
(semuanya dalam bahasa Arab) hingga orang menjulukinya sebagai Imam
Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat Syarah Shahih
Muslim, Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Riyadlush Shalihin, dll. Namun
demikian panggilan beliau adalah Syekh Nawawi bukan Imam Nawawi.
Jumlah kitab beliau yang terkenal dan banyak dipelajari ada sekitar 22 kitab. Beliau pernah membuat
tafsir Al-Qur’an berjudul Mirah Labid yang berhasil membahas dengan
rinci setiap ayat suci Al-Qur’an. Buku beliau tentang etika berumah
tangga, berjudul Uqudul Lijain (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia) telah menjadi bacaan wajib para mempelai yang akan segera menikah. Kitab Nihayatuz Zain
sangat tuntas membahas berbagai masalah fiqih (syariat Islam). Sebuah
kitab kecil tentang syariat Islam yang berjudul Sullam (Habib
Abdullah bin Husein bin Tahir Ba’alawi), diberinya Syarah (penjelasan
rinci) dengan judul baru Mirqatus Su’udit Tashdiq. Salah satu karya beliau dalam hal kitab hadits adalah Tanqihul Qoul, syarah Kitab Lubabul Hadith (Imam Suyuthi). Kitab Hadits lain yang sangat terkenal adalah Nashaihul Ibad,
yang beberapa tahun yang lalu dibahas secara bergantian oleh Alm. KH
Mudzakkir Ma’ruf dan KH Masrikhan (dari Masjid Jami Mojokerto) dan
disiarkan berbagai radio swasta di Jawa Timur. Kitab itu adalah syarah
dari kitabnya Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Di
antara karomah beliau adalah, saat menulis syarah kitab Bidayatul
Hidayah (karya Imam Ghozali), lampu minyak beliau padam, padahal saat
itu sedang dalam perjalanan dengan sekedup onta (di jalan pun tetep
menulis, tidak seperti kita, melamun atau tidur). Beliau berdoa, bila
kitab ini dianggap penting dan bermanfaat buat kaum muslimin, mohon
kepada Allah SWT memberikan sinar agar bisa melanjutkan menulis.
Tiba-tiba jempol kaki beliau mengeluarkan api, bersinar terang, dan
beliau meneruskan menulis syarah itu hingga selesai. Dan bekas api di
jempol tadi membekas, hingga saat Pemerintah Hijaz memanggil beliau
untuk dijadikan tentara (karena badan beliau tegap), ternyata beliau
ditolak, karena adanya bekas api di jempol tadi.
Karomah
yang lain, nampak saat beberapa tahun setelah beliau wafat, makamnya
akan dibongkar oleh pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya
dan liang lahadnya akan ditumpuki jenazah lain (sebagaimana lazim di
Ma’la). Saat itulah para petugas mengurungkan niatnya, sebab jenazah
Syekh Nawawi (beserta kafannya) masih utuh walaupun sudah
bertahun-tahun dikubur. Karena itu, bila pergi ke Makkah, Insya Allah
kita akan bisa menemukan makam beliau di Pemakaman Umum Ma’la. Banyak
juga kaum Muslimin yang mengunjungi rumah bekas peninggalan beliau di
Serang, Banten.
Nama
Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia.
Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama
klasik madzhab Syafi’i Imam Nawawi (w.676 H/l277 M). Melalui
karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang
sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Kiai asal Banten ini seakan
masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam
yang menyejukkan. Di setiap majlis ta’lim karyanya selalu dijadikan
rujukan utama dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf
sampai tafsir. Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan
mainstrim keilmuan yang dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren yang
berada di bawah naungan NU.
Di
kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai
ulama penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati (the great scholar).
Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan
batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren.
Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri
pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi
Nahdlatul Ulama (NU). Apabila KH. Hasyim Asyari
sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah
berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela
pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali KH. Hasyim Asyari
bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang
mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau
terhadap Syekh Nawawi.
Mengungkap
jaringan intelektual para ulama Indonesia sebelum organisasi NU
berdiri merupakan kajian yang terlupakan dari perhatian para pemerhati
NU. Terlebih lagi bila ditarik sampai keterkaitannya dengan
keberhasilan ulama-ulama tradisional dalam karir keilmuannya di Mekkah
dan Madinah. Salah satu faktor minimnya kajian di seputar ini adalah
diakibatkan dari persepsi pemahaman sebagian masyarakat yang sederhana
terhadap NU. NU dipahami sebagai organisasi keagamaan yang seolah-olah
hanya bergerak dalam sosial politik dengan sejumlah langkah-langkah
perjalanan politik praktisnya, dan bukan sebagai organisasi intelektual
keagamaan yang bergerak dalam keilmuan dan mencetak para ulama.
Sehingga orang merasa heran dan terkagum-kagum ketika menyaksikan
belakangan ini banyak anak muda NU mengusung gerakan pemikiran yang
sangat maju, berani dan progressif. Mereka tidak menyadari kalau di
tubuh NU juga memiliki akar tradisi intelektual keilmuan yang mapan dan
tipikal. Dengan begitu NU berdiri untuk menyelamatkan tradisi
keilmuan Islam yang hampir tercerabut dari akar keilmuan ulama salaf.
Figur ulama seperti Syekh Nawawi Banten merupakan sosok ulama
berpengaruh yang tipikal dari model pemikiran demikian.
Ia
memegang teguh mempertahankan traidisi keilmuan klasik, suatu tradisi
keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secara
evolutif dalam pembentukkan keilmuan agama Islam. Besarnya pengaruh
pola pemahaman dan pemikiran Syekh Nawawi Banten terhadap para tokoh
ulama di Indonesia, Nawawi dapat dikatakan sebagai poros dari akar
tradisi keilmuan pesantren dan NU. Untuk itu menarik jika di sini
diuraikan sosok sang kiai ini dengan sejumlah pemikiran mendasar yang
kelak akan banyak menjadi karakteristik pola pemikiran dan perjuangan
para muridnya di pesantren-pesantren.
Hidup Syekh Nawawi
Syekh
Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad ibn
Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan
Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara,
Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314
H/1897 M. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun.
Ia dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin
istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di
Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di
hari Jum’at terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk
memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.
Ayahnya
bernama Kiai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid.
Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12
dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu
keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama
Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad
melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal
Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.
Pada
usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah
menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu
kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu
fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya
tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap
untuk membantu ayahnya mengajar para santri. Nawawi yang sejak kecil
telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari
masyarakat Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya
membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok.
Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke
Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana.
Di
Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertama
kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh Khatib Sambas (Penyatu
Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani
Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar
pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah.
Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali.
Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir
dan Syam (Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar bahwa Nawawi juga
pemah melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Guru sejatinya
pun berasal dari Mesir seperti Syekh Yusuf Sumbulawini dan Syekh Ahmad
Nahrawi.
Setelah
ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung
halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun.
Kemudian pada tahun 1860 Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid
al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman
pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai Syekh di sana. Pada tahun
1870 kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab.
Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang
meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu
datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk
dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam
setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya.
Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar
(Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap
sulit dipahami. Alasan menulis Syarh selain karena permintaan orang
lain, Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya
yang sering mengalami perubahan (ta’rif) dan pengurangan.
Dalam
menyusun karyanya Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama
besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca
oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan
seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka
dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai
penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang
tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat
isinya ini nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama
besar di abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A’yan ‘Ulama’ al-Qarn aI-Ra M’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz [pemimpin Ulama daerah Hijaz, red.].
Kesibukannya
dalam menulis membuat Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu
sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula ia sering
mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk membantunya. Cara ini kelak
ditiru sebagai metode pembelajaran di beberapa pesantren di pulau Jawa.
Di sana santri pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar
terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada kiai agar proses
pembelajaran dengan kiai tidak mengalami kesulitan.
B. Pemikiran Tokoh Untuk Pengembangan Intelektual Pesantren
Sufi Brilian
Sejauh
itu dalam bidang tasawuf, Nawawi dengan aktivitas intelektualnya
mencerminkan ia bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam
bidang ini ia memiliki konsep yang identik dengan tasawuf. Dari
karyanya saja Nawawi menunjukkan seorang sufi brilian, ia banyak
memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat dijadikan sebagai rujukan
standar bagi seorang sufi. Brockleman, seorang penulis dari Belanda
mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan
tasawufnya : yaitu Misbah al-Zulam, Qami’ al-Thugyan dan Salalim al
Fudala. Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin
alGazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap
tarekat.
Pandangan
tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya (pamannya sendiri)
Syekh Abdul Karim, seorang ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah
organisasi tarekat, Namun atas pilihan karir dan pengembangan
spesialisasi ilmu penegatahuan yg ditekuni serta tuntutan masyarakat
beliau tidak mengembangkan metoda tarbiyah tasawuf seperti guru2nya.
Ketasawufan beliau dapat dilihat dari pandangannya terhadap keterkaitan
antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk
memahami lebih mudah dari keterkaitan ini Nawawi mengibaratkan syariat
dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan
intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut.
Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal
dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara hakikat adalah
basil dari syariat dan tarikat. Pandangan ini mengindikasikan bahwa
Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat
tersebut tidak mengajarkan hal-hat yang bertentangan dengan ajaran
Islam, syariat.
Paparan
konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya
terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-teman yang digunakan
tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf
inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia
lainnya. la dapat dibedakan dari karakteristik tipologi tasawuf
Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel
dan sebagainya.
Tidak
seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam
menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan
tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi
pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan
tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini.
Dalam
kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai seorang
sosok al-Gazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi
fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari pandangannya
tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu lahiriyah dapat
diperoleh dengan proses ta’alum (berguru) dan tadarrus (belajar)
sehingga mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapat diperoleh
melului proses dzikr, muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat
‘Arif. Seorang Abid diharapkan tidak hanya menjadi alim yang banyak
mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami
rahasia spiritual ilmu batin.
Bagi
Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu
lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus
dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin
semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan tejerumus ke dalam zindiq. Jadi
keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral
(Adab).
Selain
itu ciri yang menonjol dari sikap kesufian Nawawi adalah sikap
moderatnya. Sikap moderat ini terlihat ketika ia diminta fatwanya oleh
Sayyid Ustman bin Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat di
Indonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya dengan
“sistem yang durhaka”. Permintaan Sayyid Ustman ini bertujuan untuk
mencari sokongan dari Nawawi dalam mengecam praktek tarekat yang dinilai
oleh pemerintah Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten 1888.
Namun secara hati-hati Nawawi menjawab dengan. bahasa yang manis tanpa
menyinggung perasaan Sayyid Ustman. Sebab Nawawi tahu bahwa di satu
sisi ia memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia
spiritual di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan
politik.
Setelah
karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keIslaman yang dikembangkan
di pesantren mulai berkembang.. Misalkan dalam laporan penelitian Van
Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap kurikulum
pesantren mulai acta perubahan mencolok. Bila sebelumnya seperti dalam
catatan Van Den Berg dikatakatan tidak ditemukan sumber referensi di
bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu bidang keilmuan
yang bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya perubahan
tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim
Indonesia yang sangat berpengaruh: Syekh Nawawi Banten sendiri yang
telah berjasa dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib
(w. 1915) yang telah berjasa mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan
kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat, dan Syekh Mahfuz Termas
(1919 M) yang telah berjasa dalam bidang Ilmu Hadis.
Sebenarnya
karya-karya Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di
seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh wilayah Asia
Tenggara. Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-Iembaga pondok
tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya Nawawi diajarkan
di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan
Thailand. Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi
Islam, University of Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama di
Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum tradisional. Selain
itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam, Universitas
Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya Nawawi sejak periode
1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di Malaysia. Di kawasan
Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum
kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang tersebar di
Indonesia mencatat bahwa karya-karya Nawawi memang mendominasi
kurikulum Pesantren. Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun
1990 diperkirakan pada 22 judul tulisan Nawawi yang masih dipelajari
di sana. Dari 100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya
yang banyak dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di
antaranya adalah karya Nawawi.
Penyebaran
karya Nawawi tidak lepas dari peran murid-muridnya. Di Indonesia
murid-murid Nawawi termasuk tokoh-tokoh nasional Islam yang cukup banyak
berperan selain dalam pendidikan Islam juga dalam perjuangan
nasional. Di antaranya adalah : K.H Hasyim Asyari dari Tebuireng
Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama), K.H Kholil
dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, K.H Asyari dari Bawean, yang
menikah dengan putri Syekh Nawawi, Nyi Maryam, K.H Najihun dari
Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan Syekh
Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah bint Nawawi, K.H Tubagus Muhammad
Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, K.H Ilyas dari Kampung
Teras, Tanjung Kragilan, Serang , Banten, K.H Abd Gaffar dari Kampung
Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, K.H Tubagus Bakri dari
Sempur, Purwakarta, KH. Jahari Ceger Cibitung Bekasi Jawa Barat.
Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh
wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi.
Penelitian
Zamakhsyari Dhofir mencatat pesantren di Indonesia dapat dikatakan
memiliki rangkaian geneologi yang sama. Polarisasi pemikiran modernis
dan tradisionalis yang berkembang di Haramain seiring dengan munculnya
gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut mempererat soliditas ulama
tradisional di Indonesia yang sebagaian besar adalah sarjana-sarjana
tamatan Mekkah dan Madinah. Bila ditarik simpul pengikat di sejumlah
pesantren yang ada maka semuanya dapat diurai peranan kuatnya dari jasa
enam tokoh ternama yang sangat menentukan wama jaringan intelektual
pesantren. Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh Nawawi
Banten, Syekh Abdul Karim Tanara, Syekh Mahfuz Termas, Syekh Kholil
Bangkalan Madura, dan Syekh Hasyim Asy’ari. Tiga tokoh yang pertama
merupakan guru dari tiga tokoh terakhir.
Mereka
berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya. Karya-karya
Nawawi yang tersebar di beberapa pesantren, tidak lepas dari jasa
mereka. K.H. Hasyim Asya’ari, salah seorang murid Nawawi terkenal asal
Jombang, sangat besar kontribusinya dalam memperkenalkan kitab-kitab
Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa. Dalam merespon gerakan reformasi
untuk kembali kepada al-Qur’an di setiap pemikiran Islam, misalkan,
K.H. Hasyim Asya’ari lebih cenderung untuk memilih pola penafsiran
Marah Labid karya Nawawi yang tidak sarna sekali meninggalkan karya
ulama Salaf. Meskipun ia senang membaca Kitab tafsir a/-Manar karya
seorang reformis asal Mesir, Muhammad Abduh, tetapi karena menurut
penilaiannya Abduh terlalu sinis mencela ulama klasik ia tidak mall
mengajarkannya pada santri dan ia lebih senang memilih kitab gurunya.
Dua tokoh murid Nawawi lainnya berjasa di daerah asalnya. Syekh Kholil
Bangkalan dengan pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap kecil
perannya dalam penyebaran karya Nawawi. Begitu juga dengan Syekh Abdul
Karim yang berperan di Banten dengan Pesantrennya, dia terkenal dengan
nama Syekh Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah Ki
Ageng menjadi tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat.
Kemudian
ciri geneologi pesantren yang satu sarana lain terkait juga turut
mempercepat penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak dijadikan
referensi utama. Bahkan untuk kitab tafsir karya Nawawi telah dijadikan
seb
ai
kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai tingkat mutawassith
(tengah) di dunia Pesantren setelah tafsir Jalalain. Peranan Syekhpara
pemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan karya Nawawi sangat
besar sekali. Mereka di berbagai pesantren merupakan ujung tombak
dalam transmisi keilmuan tradisional Islam. Para Syekhdidikan K.H
Hasyim Asyari memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan
karya-karya Nawawi sehingga memperkuat pengaruh pemikiran Nawawi.
Dalam
bidang tasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa ia banyak
mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang
menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Nawawi memang selain mejadi
benteng penyebaran ajaran tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning
juga merupakan wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat
heterodoks versus tarekat ortodoks di satu sisi dan pergulatan antara
gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain. Karya-karnya di
bidang tasawuf cukup mempunyai konstribusi dalam melerai dua arus
tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini Nawawi, ibarat alGazali, telah
mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik
beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di
sisi lain.
C. Pemikiran Tokoh Untuk Peningkatan Peran Pesantren Sebagai Agen of Change
Bidang Teologi
Karya-karya
besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya berangkat dari
Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi bidang; yakni
bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika.
Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang
tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya karya yang
ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi adalah
seorang penulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui
semua bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Nawawi yang
tersebar membuat kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh
pemikirannya secara komprehensif-utuh.
Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku dirinya sebagai penganut teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy).
Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini
dianranya Fath ai-Majid, Tijan al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat
al-Madaniyah, al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja
dan Mirqat al-Su’ud.
Sejalan
dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi
Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu
Manshur al-Maturidi. Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi banyak
memperkenalkan konsep sifa-sifat Allah. Seorang muslim harus mempercayai
bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya (His Act), karena sifat Allah adalah perbuatanNya. Dia membagi sifat Allah dalam
tiga bagian : wajib, mustahil dan mumkin. Sifat Wajib adalah sifat
yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil
adalah sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak
adanya, sementara mumkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada
Allah. Meskipun Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep
sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang
yang berhasil memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang
kuat di negeri ini.
Kemudian mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy, menurutnya harus digunakan bersama-sama, tetapi terkadang
bila terjadi pertentangan di antara keduanya maka naql harus
didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait
dengan keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh
naql, bukan dari aql. Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan
kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih
pemahamannya dalam benak akal pikirannya.
Tema yang perlu diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah (Absolutenes of God).
Sebagaimana teolog Asy’ary lainnya, Nawawi menempatkan dirinya
sebagai penganut aliran yang berada di tengah-tengah antara dua aliran
teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah, sebagaimana dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah.
Dia mengakui Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai
pada konsep jabariyah yang meyakini bahwa sebenamya semua perbuatan
manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya
manusia, manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini dalam
konteks Indonesia sebenarnya Nawawi telah berhasil membangkitkan dan
menyegarkan kembali ajaran Agama dalam bidang teologi dan berhasil
mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah di
Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah.
Sayangnya sebagian
sejarawan modern terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai sistem
teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan kolonialisme. Padahal
fenomena kolonialisme pada waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam
dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat melawannya, bahkan
daerah yang bukan Asyariyah pun turut terkena. Dalam konteks Islam
Jawa teologi Asyariyah dalam kadar tertentu sebenamya telah dapat
menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada
Allah. Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah umat Islam
disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah
tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak peranan
Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat
menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam “koloni Jawa”. Dalam
beberapa kesempatan Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama
dengan kolonial Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan seringkali
kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda karena
memiliki potensi melakukan perlawanan pada mereka.
Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi dikatakan sebagai “obor” mazhab imam Syafi’i
untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya fiqhnya seperti Syarh
Safinat an-Naja, Syarh Sullam at-Taufiq, Nihayat az-Zain fi Irsyad
al-Mubtadi’in dan Tasyrih ala Fathul Qarib, sehingga KH. Nawawi berhasil
memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna Dan, atas dedikasi KH.
Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis
mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan. Hasil tulisannya yang
sudah tersebar luas setelah diterbitkan di berbagai daerah memberi kesan
tersendiri bagi para pembacanya. Pada tahun 1870 para ulama
Universitas al-Azhar Mesir pernah mengundangnya untuk memberikan kuliah
singkat di suatu forum diskusi ilmiyah. Mereka tertarik untuk
mengundangnya karena nama KH. Nawawi sudah dikenal melalui
karya-karyanya yang telah banyak tersebar di Mesir.
Tidak
seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam
menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan
tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi
pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan
tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini. Dalam
kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai seorang
sosok al-Gazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai kebekuan
dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari
pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu
lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta’allum (berguru) dan
tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu
batin dapat diperoleh melalui proses dzikr, muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat ‘Arif. Seorang Abid diharapkan tidak hanya menjadi ‘alim
yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif,
memahami rahasia spiritual ilmu batin. Bagi Nawawi Tasawuf berarti
pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan
ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya
seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu
lahir akan terjerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat
dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab).
Selain
itu ciri yang menonjol dari sikap kesufian Nawawi adalah sikap
moderatnya. Sikap moderat ini terlihat ketika ia diminta fatwanya oleh
Sayyid Ustman bin Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat di
Indonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya dengan
“sistem yang durhaka”. Permintaan Sayyid Ustman ini bertujuan untuk
mencari sokongan dari Nawawi dalam mengecam praktek tarekat yang dinilai
oleh pemerintah Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten 1888.
Namun secara hati-hati Nawawi menjawab dengan bahasa yang manis tanpa
menyinggung perasaan Sayyid Ustman. Sebab Nawawi tahu bahwa di satu
sisi ia memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia
spiritual di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan
politik. Setelah karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keIslaman
yang dikembangkan di pesantren mulai berkembang. Misalkan dalam laporan
penelitian Van Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap
kurikulum pesantren mulai acta perubahan mencolok. Bila sebelumnya
seperti dalam catatan Van Den Berg dikatakatan tidak ditemukan sumber
referensi di bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu
bidang keilmuan yang bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji.
Menurutnya perubahan tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa tiga
orang alim Indonesia yang sangat berpengaruh: Syekh Nawawi Banten
sendiri yang telah berjasa dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh
Ahmad Khatib (w. 1915) yang telah berjasa mengembangkan bidang Ushul
Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat,
dan Kiai Mahfuz Termas (1919 M) yang telah berjasa dalam bidang Ilmu
Hadis. Sebenarnya karya-karya Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan
dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh
wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-lembaga
pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya Nawawi
diajarkan di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan
Thailand.
Menurut
Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam,
University of Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama di Filipina
Selatan yang masih menggunakan kurikulum tradisional. Selain itu
Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam, Universitas
Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya Nawawi sejak periode
1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di Malaysia. Di
kawasan Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah meneliti
kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang
tersebar di Indonesia mencatat bahwa karya-karya Nawawi memang
mendominasi kurikulum Pesantren. Sampai saat ia melakukan penelitian
pada tahun 1990 diperkirakan pada 22 judul tulisan Nawawi yang masih
dipelajari di sana. Dari 100 karya populer yang dijadikan contoh
penelitiannya yang banyak dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11
judul populer di antaranya adalah karya Nawawi. Penyebaran karya
Nawawi tidak lepas dari peran murid-muridnya. Di Indonesia murid-murid
Nawawi termasuk tokoh-tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan
selain dalam pendidikan Islam juga dalam perjuangan nasional.
Di antaranya adalah : KH. Hasyim Asyari
dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul
Ulama ), KH. Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, KH. Asyari dari
Bawean, yang menikah dengan putri KH. Nawawi, Nyi Maryam, KH. Najihun
dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan KH.
Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah bint Nawawi, KH. Tubagus Muhammad
Asnawi, dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, KH. Ilyas dari Kampung
Teras, Tanjung Kragilan, Serang , Banten, KH. Abd Gaffar dari Kampung
Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, KH. Tubagus Bakri dari Sempur,
Purwakarta. Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar
di seluruh wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi.
Penelitian Zamakhsyari Dhofir mencatat pesantren di Indonesia dapat
dikatakan memiliki rangkaian geneologi yang sama. Polarisasi pemikiran
modernis dan tradisionalis yang berkembang di Haramain seiring dengan
munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut mempererat
soliditas ulama tradisional di Indonesia yang sebagaian besar adalah
sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah.
Bila
ditarik simpul pengikat di sejumlah pesantren yang ada maka semuanya
dapat diurai peranan kuatnya dari jasa enam tokoh ternama yang sangat
menentukan warna jaringan intelektual pesantren. Mereka adalah Syekh
Ahmad Khatib Syambas, Syekh K.H. Nawawi Banten., Syekh K.H. Mahfuz
Termas, Syekh K.H. Abdul Karim, K.H. Kholil Bangkalan Madura, dan Syekh K.H. Hasyim Asy’ari.
Tiga tokoh yang pertama merupakan guru dari tiga tokoh terakhir.
Mereka berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya. Karya-karya
Nawawi yang tersebar di beberapa pesantren, tidak lepas dari jasa
mereka. K.H. Hasyim Asya’ari, salah seorang murid Nawawi terkenal asal
Jombang, sangat besar kontribusinya dalam memperkenalkan kitab-kitab
Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa. Dalam merespon gerakan reformasi
untuk kembali kepada al-Qur’an di setiap pemikiran Islam, misalkan,
K.H. Hasyim Asya’ari lebih cenderung untuk memilih pola penafsiran
Marah Labid karya Nawawi yang tidak sama sekali meninggalkan karya
ulama Salaf. Meskipun ia senang membaca Kitab tafsir al-Manar karya
seorang reformis asal Mesir, Muhammad Abduh, tetapi karena menurut
penilaiannya Abduh terlalu sinis mencela ulama klasik, ia tidak mau
mengajarkannya pada santri dan ia lebih senang memilih kitab gurunya.
Dua
tokoh murid Nawawi lainnya berjasa di daerah asalnya. Syekh K.H.
Kholil Bangkalan dengan pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap
kecil perannya dalam penyebaran karya Nawawi. Begitu juga dengan Syekh
Abdul Karim yang berperan di Banten dengan Pesantrennya, dia terkenal
dengan nama Kiai Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah
Ki Ageng menjadi tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat.
Kemudian ciri geneologi pesantren yang satu sama lain terkait juga
turut mempercepat penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak
dijadikan referensi utama. Bahkan untuk kitab tafsir karya Nawawi telah
dijadikan sebagai kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai tingkat
mutawassith (tengah) di dunia Pesantren setelah tafsir Jalalain.
Peranan Kiai para pemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan karya
Nawawi sangat besar sekali. Mereka di berbagai pesantren merupakan
ujung tombak dalam transmisi keilmuan tradisional Islam. Para kiai
didikan K.H Hasyim Asyari memiliki semangat tersendiri dalam
mengajarkan karya-karya Nawawi sehingga memperkuat pengaruh pemikiran
Nawawi.
Dalam
bidang tasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa ia banyak
mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang
menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Nawawi memang selain menjadi
benteng penyebaran ajaran tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning
juga merupakan wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat
heterodoks versus tarekat ortodoks di satu sisi dan pergulatan antara
gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain. Karya-karyanya di
bidang tasawuf cukup mempunyai konstribusi dalam melerai dua arus
tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini Nawawi, ibarat al-Ghazali,
telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik
beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di
sisi lain. Sejak abad ke-20 pesantren memiliki fungsi strategis.
Gerakan intelektual dari generasi pelanjut K.H. Nawawi ini lambat laun
bergeser masuk dalam wilayah politik. Ketika kemelut politik di daerah
Jazirah Arab meletus yang berujung pada penaklukan Haramain oleh
penguasa Ibn Saud yang beraliran Wahabi, para ulama pesantren membentuk
sebuah komite yang disebut dengan “komite Hijaz” yang terdiri dari 11
ulama pesantren.
Dengan dimotori oleh K.H. Wahab Hasbullah
dari Jombang Jatim, seorang kiai produk perguruan Haramain, komite
ini bertugas melakukan negosiasi dengan raja Saudi yang akan
memberlakukan kebijakan penghancuran makam-makam dan
peninggalan-peninggalan bersejarah dan usaha itu berhasil. Dan, dalam
perkembangannya komite ini kemudian berlanjut mengikuti isu-isu
politik di dalam negeri. Untuk masuk dalam wilayah politik praktis
secara intens organisasi ini kemudian mengalami perubahan nama dari
Nahdlatul Wathan (NW) sampai jadi Nahdlatul Ulama (NU). Dengan
demikian dapat ditegaskan bahwa KH.Nawawi merupakan sosok ulama yang
menjadi “akar tunjang” dalam tradisi keintelektualan NU. Sebab
karakteristik pola pemikirannya merupakan representasi kecenderungan
pemikiran tradisional yang kuat di tengah-tengah gelombang gerakan
purifikasi dan pembaharuan. Kehadiran NU adalah untuk membentengi
tradisi ini dari ancaman penggusuran intelektual yang mengatasnamakan
tajdid terhadap khasanah klasik. Karenanya formulasi manhaj al-Fikr
tawaran KH. Nawawi banyak dielaborasi (diuraikan kembali) oleh para
ulama NU sebagai garis perjuangannya yang sejak tahun 1926 dituangkan
dalam setiap konferensinya. Bahkan tidak berlebihan bila disebut
berdirinya NU merupakan tindak lanjut institusionalisasi dari arus
pemikiran KH. Nawawi Banten.
D. Kesan dan Komentar Tentang KH. Nawawi Al-Bantani
Kemasyhuran
dan nama besar Syeikh Nawawi al-Bantani kiranya sudah tidak perlu
diragukan lagi. Melalui karya-karyanya, kira-kira mencapai 200-an kitab,
ulama kelahiran Kampung Tanara, Serang, Banten, 1815 M ini telah
membuktikan kepada dunia Islam akan ketangguhan ilmu ulama-ulama
Indonesia.
Para
ulama di lingkungan Masjidil Haram sangat hormat kepada kealimannya.
Bahkan ketika Syeikh Nawawi berhasil menyelesaikan karyanya Tafsir Marah Labid,
para ulama Mekkah serta merta memberikan penghormatan tertinggi
kepadanya. Pada hari yang telah ditentukan para ulama Mekah dari
berbagai penjuru dunia mengarak Syeikh Nawawi mengelilingi Ka`bah
sebanyak tujuh kali sebagai bukti penghormatan mereka atas karya
monumentalnya itu.
Nama
Imam Nawawi begitu dominan, terutama dalam lingkungan ulama-ulama
Syafi’iyah. Beliau sangat terkenal kerana banyak karangannya yang dikaji
pada setiap zaman dari dahulu sampai sekarang. Nama ini adalah milik
Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syirfu an-Nawawi yang dilahirkan di
Nawa sebuah distrik di Damaskus Syiria pada bulan Muharram tahun 631
H.
Pada
penghujung abad ke-18 lahir pula seseorang yang bernama Nawawi di
Tanara, Banten. Nama lengkapnya adalah Syeikh Muhammad Nawawi bin Umar
ibnu Arabi bin Ali al-Jawi al-Bantani. Anak sulung seorang ulama
Banten, lahir pada tahun 1230 H/1814 M di Banten dan wafat di Mekah
tahun 1314 Hijrah/1897 Masehi.
Ketika
kecil, sempat belajar kepada ayahnya sendiri, kemudian memiliki
kesempatan belajar ke tanah suci. Datang ke Mekah dalam usia 15 tahun
dan meneruskan pelajarannya ke Syam (Syiria) dan Mesir. Tidak diketahui
secara pasti, berapa lama Imam Nawawi mengembara keluar dari Mekah
kerana menuntut ilmu hingga kembali lagi ke Mekah. Keseluruhan masa
tinggal di Mekah dari mulai belajar, mengajar dan mengarang hingga
sampai kemuncak kemasyhurannya lebih dari setengah abad lamanya.
Karena
Syeikh Nawawi yang lahir di Banten ini juga memiliki kelebihan yang
sangat hebat dalam dunia keulamaan melalui karya-karya tulisnya, maka
kemudian ia diberi gelar Imam Nawawi kedua (Nawawi ats-Tsani). Orang
pertama memberi gelar ini adalah Syeikh Wan Ahmad bin Muhammad Zain
al-Fathani. Gelar ini akhirnya diikuti oleh semua orang yang menulis
riwayat ulama asal dari Banten ini. Sekian banyak ulama dunia Islam
sejak sesudah Imam Nawawi pertama, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin
Syirfu (wafat 676 Hijrah/1277 Masehi) hingga saat ini, belum pernah ada
orang lain yang mendapat gelaran Imam Nawawi kedua, kecuali Syeikh
Nawawi yang kelahiran Banten (Imam Nawawi al-Bantani).
Meskipun
demikian masyhurnya nama Nawawi al-Bantani, namun Beiau adalah sosok
pribadi yang sangat tawadhu’. Terbukti kemudian, meskipun Syeikh
Nawawi al-Bantani diakui alim dalam semua bidang ilmu keislaman, namun
dalam dunia tarekat para sufi, tidak pernah diketahui Beliau pernah
membaiat seorang murid pun untuk menjadi pengikut thariqah. Hal ini
dikarenakan, Syeikh Ahmad Khathib Sambas (Kalimantan), guru Thariqah
Syeikh Nawawi al-Bantani, tidak melantiknya sebagai seorang mursyid
Thariqat Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Sedangkan yang dilantik ialah
Syeikh Abdul Karim al-Bantani, sepupu Syeikh Nawawi al-Bantani, yang
sama-sama menerima thariqat itu dari Syeikh Ahmad Khathib Sambas.
Tidak diketahui secara pasti penyebab Nawawi al-Bantani tidak dibaiat
sebagai Mursyid. Syeikh Nawawi al-Bantani sangat mematuhi peraturan,
sehingga Beliau tidak pernah mentawajuh/membai’ah (melantik) seorang
pun di antara para muridnya, walaupun sangat banyak di antara mereka
yang menginginkan untuk menjalankan amalan-amalan thariqah.
Guru-gurunya
Di Mekah Syeikh Nawawi al-Bantani belajar kepada beberapa ulama terkenal pada zaman itu, di antara mereka yang dapat dicatat adalah sebagai berikut: Syeikh Ahmad an-Nahrawi, Syeikh Ahmad ad-Dimyati, Syeikh Muhammad Khathib Duma al-Hanbali, Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Maliki, Syeikh Zainuddin Aceh, Syeikh Ahmad Khathib Sambas, Syeikh Syihabuddin, Syeikh Abdul Ghani Bima, Syeikh Abdul Hamid Daghastani, Syeikh Yusuf Sunbulawani, Syeikhah Fatimah binti Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, Syeikh Yusuf bin Arsyad al-Banjari, Syeikh Abdus Shamad bin Abdur Rahman al-Falimbani, Syeikh Mahmud Kinan al-Falimbani, Syeikh Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani dan lain-lain.
Di Mekah Syeikh Nawawi al-Bantani belajar kepada beberapa ulama terkenal pada zaman itu, di antara mereka yang dapat dicatat adalah sebagai berikut: Syeikh Ahmad an-Nahrawi, Syeikh Ahmad ad-Dimyati, Syeikh Muhammad Khathib Duma al-Hanbali, Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Maliki, Syeikh Zainuddin Aceh, Syeikh Ahmad Khathib Sambas, Syeikh Syihabuddin, Syeikh Abdul Ghani Bima, Syeikh Abdul Hamid Daghastani, Syeikh Yusuf Sunbulawani, Syeikhah Fatimah binti Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, Syeikh Yusuf bin Arsyad al-Banjari, Syeikh Abdus Shamad bin Abdur Rahman al-Falimbani, Syeikh Mahmud Kinan al-Falimbani, Syeikh Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani dan lain-lain.
Murid-muridnya
Syeikh Nawawi al-Bantani mengajar di Masjidil Haram menggunakan bahasa Jawa dan Sunda ketika memberi keterangan terjemahan kitab-kitab bahasa Arab.
Syeikh Nawawi al-Bantani mengajar di Masjidil Haram menggunakan bahasa Jawa dan Sunda ketika memberi keterangan terjemahan kitab-kitab bahasa Arab.
Murid-muridnya
yang berasal-dari Nusantara banyak sekali yang kemudian menjadi ulama
terkenal. Di antara mereka ialah, Kiai Haji Hasyim Asy’ari Tebuireng,
Jawa Timur; Kiai Haji Raden Asnawi Kudus, Jawa Tengah; Kiai Haji
Tubagus Muhammad Asnawi Caringin, Banten; Syeikh Muhammad Zainuddin
bin Badawi as-Sumbawi (Sumba, Nusa Tenggara); Syeikh Abdus Satar bin
Abdul Wahhab as-Shidqi al-Makki, Sayid Ali bin Ali al-Habsyi al-Madani
dan lain-lain. Tok Kelaba al-Fathani juga mengaku menerima satu
amalan wirid dari Syeikh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani yang
diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani.
Salah
seorang cucunya, yang mendapat pendidikan sepenuhnya dari nawawi
al-Bantani adalah Syeikh Abdul Haq bin Abdul Hannan al-Jawi al-Bantani
(1285 H./1868 M.- 1324 H./1906 M.). Banyak pula murid Syeikh Nawawi
al-Bantani yang memimpin secara langsung barisan jihad di Cilegon
melawan penjajahan Belanda pada tahun 1888 Masehi. Di antara mereka yang
dianggap sebagai pemimpin perlawanan Perjuangan di Cilegon ialah Haji
Wasit, Haji Abdur Rahman, Haji Haris, Haji Arsyad Thawil, Haji Arsyad
Qasir, Haji Aqib dan Tubagus Haji Ismail. Para ulama pejuang bangsa
ini adalah murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang dikader di Mekkah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar