Minggu, 21 Februari 2016

Wajibnya Merapatkan dan Meluruskan Shaf

Wajibnya Merapatkan dan Meluruskan Shaf
سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ
“Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf termasuk kesempurnaan sholat”.
Takhrij Hadits:
Hadits dengan lafadz ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shohihnya (433) dari shahabat Anas bin Malik -radhiallahu Ta’ala ‘anhu-, dan dalam riwayat Al-Bukhary (723), dengan lafazh:
سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاَةِ
”Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf termasuk menegakkan sholat.”
Semakna dengannya, hadits Abu Hurairah -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- dalam riwayat Al-Bukhary (722) dan Muslim (435), dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda:
وَأَقِيْمُوْا الصَّفِّ فِي الصَّلاَةِ, فَإِنَّ إِقَامَةِ الصَّفِّ مِنْ حُسْنِ الصَّلاَةِ
“Dan tegakkanlah shaf di dalam shalat, karena sesungguhnya menegakkan shaf termasuk diantara baiknya sholat”.

Kosa Kata Hadits:
1.    Sabda beliau [luruskanlah shaf-shaf kalian] yakni, lurus dan seimbanglah dalam bershaf sehingga kalian seakan-akan merupakan garis yang lurus, jangan salah seorang di antara kalian agak ke depan atau agak ke belakang dari yang lainnya, serta merapat dan tutuplah celah-celah kosong yang berada di tengah shaf.
2.    Sabda beliau [termasuk kesempurnaan sholat], yakni penyempurna sholat. Sesuatu dikatakan sempurna jika telah sempurna seluruh bagian-bagiannya, sehingga satu bulan dikatakan sempurna jika harinya sudah genap 30.
3.    Sabda beliau [sesungguhnya menegakkan shaf], yakni meluruskan dan menyeimbangkannya ketika hendak mendirikan shalat berjama’ah.
4.    Sabda beliau [termasuk diantara baiknya sholat]. Ibnu Baththol menjelaskan bahwa “baiknya sesuatu” adalah kadar tambahan setelah sempurnanya sesuatu tersebut.
[Lihat: Fathul Bary (2/209), ‘Aunul Ma’bud (2/259), dan Faidhul Qodir (2/537) dan (4/115-116)]
Syarh:
Di antara sunnah (1) yang banyak dilalaikan dan tidak diketahui ummat adalah meluruskan dan merapatkan shaf. Sunnah ini telah ditinggalkan oleh mereka sehingga nampak fenomena yang menyedihkan berupa adanya ketidakrapian shaf dalam sholat berjama’ah. Di lain sisi, orang yang diangkat jadi imam sholat juga tidak paham mengenai sunnah yang satu ini. Kalaupun paham, mereka tidak berusaha mengajarkannya kepada jama’ah, -baik karena sikap acuh tak acuh mereka terhadap sunnah atau karena sungkannya mereka kepada jama’ah yang telah menunjuk dirinya sebagai imam sehingga takut jika posisi itu hilang darinya ketika dia mengajarkan dan menerapkan sunnah yang mulia ini- sehingga terjadilah kekacauan dalam barisan jama’ah yang terkadang melahirkan perselihihan batin dan kebencian. Sebagai bentuk usaha dalam mengatasi problema ini, kami merasa perlu untuk menjelaskan sunnah yang mahjuroh (ditinggalkan) ini dan menyebarkannya melalui tulisan yang ringkas ini. Berikut penjelasannya:
Anjuran Menyambung Shaf dan Ancaman Memutuskannya
Banyak nash dari hadits Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang menganjurkan kita agar kita meluruskan dan merapatkan shaf, bahkan beliau juga telah mengancam orang yang memutuskannya dengan ancaman yang keras.
1. Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar -radhiallahu Ta’ala ‘anhuma- beliau berkata: Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
أَقِيْمُوُا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّمَا تَصُفُّوْنَ بِصُفُوْفِ الْمَلاَئِكَةِ, وَحَاذُوْا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسَدُّوْا الْخَلَلَ وَلِيْنُوْا بِأَيْدِيْ إِخْوَانِكُمْ وَلاَ تَذَرُوْا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ. وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
“Luruskan shaf-shaf kalian karena sesungguhnya kalian itu bershaf seperti shafnya para malaikat. Luruskan di antara bahu-bahu kalian, isi (shaf-shaf) yang kosong, lemah lembutlah terhadap tangan-tangan (lengan) saudara kalian dan janganlah kalian menyisakan celah-celah bagi setan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allah akan menyambungnya  (dengan rahmat-Nya) dan barangsiapa yang memutuskannya, maka Allah akan memutuskannya (dari rahmat-Nya)”.(2)
Imam Abu Dawud As-Sijistany -rahimahullah- berkata ketika menjelaskan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, “Makna sabdanya:[ “Lembutilah tangan-tangan (lengan) saudara kalian”] (adalah) apabila ada seorang yang datang menuju shaf, lalu ia berusaha masuk, maka seyogyanya setiap orang melembutkan (melunakkan) bahunya untuknya sehingga ia bisa masuk shaf”. (3)
Jika menutup celah yang renggang saja merupakan perkara yang sangat dianjurkan, apalagi jika itu merupakan kekosongan dan kerenggangan yang sangat lapang di antara satu jama’ah dengan jama’ah lainnya -sebagaimana yang terlihat di banyak masjid di tanah air-, maka ini tentu lebih dianjurkan bahkan diperintahkan.
2. ‘A`isyah -radhiallahu Ta’ala ‘anha- berkata, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
مَنْ سَدَّ فُرْجَةً رَفَعَهُ اللهُ بِهَا دَرَجَةً وَبَنَى لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ
“Barang siapa yang menutupi suatu celah (dalam shaf), niscaya Allah akan mengangkat derajatnya karenanya dan akan dibangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga”. (4)
Janji yang demikian besarnya, tentunya tidak diberikan kecuali kepada orang yang memiliki semangat yang tinggi dalam mengamalkan sunnah Rasulullah-Shallallahu ‘alaihi wasallam- di saat manusia banyak yang meninggalkannya dan melalaikannya, bahkan terkadang diingkari. Demikian pula orang yang menolong saudaranya dalam melaksanakan sunnah ini dengan melunakkan bahunya agar saudaranya bisa masuk ke dalam shaf dan tidak terhalang, wajar jika ia disebut sebagai “orang yang terbaik akhlaknya”.
3. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
خِيَارُكُمْ أَلْيَنُكُمْ مَنَاكِبِ فِي الصَّلاَةِ, وَمَا مِنْ خَطْوَةٍ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ خَطْوَةٍ مَشَاهَا رَجُلٌ إِلَي فُرْجَةٍ فِي الصَّفِّ فَسَدَّهَا
“Orang yang terbaik di antara kalian adalah orang yang paling lembut bahunya dalam sholat. Tak ada suatu langkahpun yang lebih besar pahalanya dibandingkan langkah yang dilangkahkan menuju celah dalam shaf, lalu ia menutupinya”. (5)
Perintah Meluruskan dan Merapatkan Shaf
Para pembaca yang budiman telah membaca hadits-hadits yang menganjurkan kita untuk meluruskan dan merapatkan shaf dan juga ancaman bagi orang yang memutuskan shaf dengan cara membuat celah antara bahunya dengan bahu saudaranya, maka wajarlah jika Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan hal tersebut demi menekankan pentingnya meluruskan dan merapatkan shaf serta bahaya memutuskannya.
1. Dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu anhu- berkata: Rasulullah-shollallahu alaihi wasallam- bersabda:
اِسْتَوُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفَ قُلُوْبُكُمْ
“Luruslah kalian dan jangan kalian berselisih. Lantaran itu, hati-hati kalian akan berselisih”. (6)
Perhatikan bagaimana Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengancam orang yang berselisih dalam mengatur shaf, satunya maju sedikit dan satunya lagi agak ke belakang. Inilah yang dimaksud berselisih dalam hadits ini.
2. Dalam hadits lain beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
لَتَسُوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ
“Kalian akan benar-benar meluruskan shaf, atau Allah benar-benar akan membuat hati-hati kalian berselisih”. (7)
Seseorang tidak akan mampu meluruskan shafnya jika ia tidak merapatkan barisannya. Karenanya Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan hal itu dalam sebuah hadits dari:
3. Anas bin Malik -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- bercerita, “Sholat telah didirikan (telah dikumandangkan iqomah), lalu Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- menghadapkan wajahnya kepada kami seraya bersabda:
أَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ وَتَرَاصُّوْا فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِيْ
”Tegakkanlah shaf-shaf kalian dan rapatkan karena sesungguhnya aku bisa melihat kalian dari  balik punggungku”. (8)
Meluruskan shaf dan merapatkannya sangat diperhatikan oleh Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat beliau, sehingga tak heran jika beliau mengingatkan dan memerintahkannya dalam hadits-haditsnya. Bahkan meluruskan shaf merupakan salah satu jalan menyempurnakan dan menegakkan sholat, sedangkan menyempurnakan dan menegakkan sholat merupakan kewajiban. Seorang tak boleh mengurangi kesempurnaanya dengan merenggangkan shaf.
Tata Cara meluruskan dan Merapatkan Shaf
Jika seseorang mau menilik dan meneliti hadits-hadits Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-, maka ia akan menemukan di dalamnya permata berharga bagi para pencinta sunnah, mata air yang menyejukkan hati dan penawar bagi hati yang sakit. Tak ada suatu kemaslahatan apapun, kecuali beliau telah jelaskan, dan sebaliknya tak ada satu mudhorotpun yang akan membahayakan diri seseorang, kecuali beliau telah ingatkan.
Di antara kemaslahatan tersebut adalah tata cara meluruskan shaf. Kemudian tak mungkin beliau memerintahkan dan mewajibkan sesuatu, kecuali beliau pasti telah menjelaskan tata cara dan kaifiyahnya kepada para sahabatnya.
Tata cara meluruskan dan merapatkan shaf ini telah dipraktekkan oleh para sahabat setelah mereka dibimbing langsung oleh Nabi mereka -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Maka sekarang mari kita biarkan salah seorang sahabat yang mulia yang bernama Anas bin Malik -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- yang menerangkan tata cara dan kaifiyah meluruskan dan merapatkan shaf di zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Anas bin Malik berkata:
لَقَدْ رَأَيْتُ أَحَدَنَا يَلْزِقُ مَنْكَبَهُ بِمَنْكَبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بَقَدَمِهِ .وَلَوْ ذَهَبْتَ تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بِغَلِ شُمُوْسٍ
“Dulu, salah seorang di antara kami menempelkan bahunya dengan bahu teman di sampingnya serta kakinya dengan kaki temannya. Andaikan engkau lakukan hal itu pada hari ini, niscaya engkau akan melihat mereka seperti bagal (9) yang liar”.(10)
Apa yang dikatakan oleh Anas -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- adalah benar. Andaikan kita terapkan petunjuk Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabatnya dalam merapatkan shaf, niscaya kita akan melihat orang di samping kita bagaikan cacing kepanasan, tidak rela jika kakinya ditempeli oleh kaki saudaranya, bahkan marah dan buruk sangka kepada hamba Allah yang taat. Alangkah buruknya orang jenis ini, semoga Allah tidak memperbanyak jumlahnya.
Busyair bin Yasar Al-Anshory pernah berkata, “Tatkala Anas datang ke Madinah, maka ada yang bertanya kepadanya: “Apakah yang anda ingkari pada kami sejak hari engkau mengenal Rasulullah-shollallahu alaihi wasallam-?”. Maka beliau berkata: [“Aku tak mengingkari (kalian), kecuali karena kalian tidak menegakkan shaf”]”.(11)
Syaikh Masyhur Hasan Salman -hafizhohullah- berkata dalam mengomentari atsar di atas, “Demikianlah kondisi kebanyakan orang di zaman kita ini. Andaikan hal itu dilakukan di hadapan mereka, maka mereka akan lari laksana keledai liar. Sunnah ini di sisi mereka berubah seakan-akan menjadi suatu bid’ah (ajaran baru) -na’udzu billah-. Semoga Allah menunjuki mereka dan membuat mereka merasakan manisnya sunnah”. (12)
Apa yang dikatakan Anas dalam Atsar di atas memperjelas bagi kita bahwa tata cara tersebut telah mereka lakukan sejak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bukanlah merupakan hasil ijtihad mereka, bahkan merupakan hasil pemahaman mereka terhadap sabda-sabda Nabi mereka -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang memerintahkan serta mewajibkan meluruskan dan merapatkan shaf. Praktek mereka merupakan tafsiran dan manifestasi dari perintah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada mereka dalam meluruskan dan merapatkan shaf. Maka janganlah anda yang tertipu dengan orang yang menyatakan bahwa perkara ini bukanlah wajib, apalagi sampai mengingkarinya dan menyatakannya sebagai akhlaknya orang-orang  yang tak berakhlak.
Al-Hafizh -rahimahullah- berkata ketika mengomentari atsar Anas di atas, “Pernyataan ini memberikan faedah bahwa perbuatan (para sahabat) tersebut telah ada sejak zaman Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Berdasarkan hal ini, maka sempurnalah pengambilan hujjah yang menjelaskan maksud menegakkan shaf dan meluruskannya”. (13)
Maka batillah pendapat orang yang menyatakan bahwa menempelkan bahu dengan bahu, kaki dengan kaki dan lutut dengan lutut ketika merapatkan shaf merupakan perkara baru.(14)
Syaikh Nashir Al-Albany -rahimahullah- berkata dalam menyanggah mereka, “Sungguh telah ada sebagian penulis di zaman ini yang mengingkari menempelkan (kaki) seperti ini dan menyangka bahwa itu adalah model baru (bid’ah) atas contoh yang ada dan bahwa di dalamnya terdapat sikap keterlaluan dalam menerapkan sunnah. Dia telah menyangka bahwa yang dimaksudkan dengan menempelkan adalah anjuran untuk menutupi celah shaf, bukan hakekat menempel. Ini merupakan ta’thil (peniadaan) terhadap hukum-hukum ‘amaliyah yang persis menyerupai peniadaan sifat-sifat Ilahiyah. Bahkan ini lebih jelek dibandingkan itu, karena rawi menceritakan tentang perkara yang disaksikan, terlihat oleh mata kepalanya, yaitu menempelkan. Sekalipun demikian ia masih tetap berkata: [“Bukanlah yang dimaksudkan hakekat menempelkan”] Wallahul musta’an”. (15)
Benar apa yang dikatakan oleh Syaikh Al-Albany bahwa menempelkan kaki, bahu dan lutut merupakan sunnah Nabi. Adapun beralasan dengan ketidakmampuan dan keengganan sebagian orang melaksanakannya, bukanlah hujjah dalam menggugurkan sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, sebab kenyataannya cara tersebut bisa dikerjakan. Adapun orang yang enggan karena merasa sempit dadanya ketika ditempeli kakinya oleh kaki saudaranya, maka tak bisa dijadikan hujjah. Jika ada sebagian orang tak mampu menempelkan kakinya karena pada kakinya ada sifat kurang sempurna, maka bertaqwalah semampunya. Artinya, berusaha lakukan semampunya dan jika dia tetap tidak bisa, maka dia telah mendapat udzur.
Sekali lagi kami katakan bahwa meluruskan dan merapatkan shaf merupakan sunnah (baca: petunjuk) Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada para sahabat dan ummat beliau yang telah disaksikan oleh Anas bin Malik radhiallahu Ta’ala ‘anhu. Bahkan bukan hanya beliau (Anas), bahkan cara ini disaksikan oleh semua sahabat yang sholat di belakang beliau.
Coba dengarkan dengan baik penuturan seorang sahabat yang mulia yang bernama Nu’man bin Basyir -radhiallahu Ta’ala ‘anhu-, beliau menuturkan realita yang  terjadi di zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, “Aku melihat seorang laki-laki menempelkan bahunya dengan bahu temannya, lututnya dengan lutut temannya, dan mata kakinya dengan mata kaki temannya”. (16)
Syaikh Husain bin Audah Al-Awayisyah berkata, “Dipahami dari pembahasan lalu bahwa meluruskan dan merapatkan shaf maksudnya adalah: 1-Seorang yang sholat menempelkan bahunya dengan bahu temannya, kakinya dengan kaki temannya, lututnya dengan lutut temannya dan mata kakinya dengan mata kaki temannya”. 2- Menjaga kesejajaran antara bahu-bahu, leher-leher dan dada. Tak ada leher yang berada di depan leher lainnya, tak ada bahu di depan lainnya dan tak ada dada di depan dada lainnya. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sungguh telah bersabda, “Janganlah dada kalian berselisih, lantaran itu, hati kalian akan berselisih”. (17)” (18).
Demi tersebarnya sunnah ini, maka kami anjurkan kepada para imam masjid agar meluruskan dan merapatkan shaf, serta berjalan memeriksa shaf yang masih renggang dan belum rapat, sebagaimana hal ini telah dilakukan oleh manusia yang terbaik, Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam-.
Dari sahabat Nu’man bin Basyir -radhiyallahu anhu-berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَوِّي صُفُوْفَنَا حَتَّى كَأَنَّمَا يُسَوِّي بِهَا الْقِدَاحَ حَتَّى رَأَى أَنَّا قَدْ عَقَلْنَا عَنْهُ. ثُمَّ خَرَجَ يَوْمًا فَقَامَ حَتَّى كَادَ يُكَبِّرُ فَرَأَى رَجُلاً بَادِيًا صَدْرَهُ مِنَ الصَّفِّ فَقَالَ: عِبَادَ اللهِ ! لَتَسُوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ
“Dulu Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- meluruskan shaf kami sehingga seakan beliau meluruskan anak panah (ketika diruncingkan,pen), sampai beliau menganggap kami telah memahaminya. Beliau pernah keluar pada suatu hari, lalu beliau berdiri sampai beliau hampir bertakbir, maka tiba-tiba beliau melihat seseorang yang membusungkan dadanya dari shaf. Maka beliau bersabda, [“Wahai para hamba Allah, kalian akan benar-benar akan meluruskan shaf kalian atau Allah akan membuat wajah-wajah kalian berselisih”]”. (19)
Hukum Meluruskan dan Merapatkan Shaf
Berdasarkan hadits-hadits yang telah berlalu, para ulama kita menjelaskan bahwa meluruskan shaf dan merapatkannya merupakan perkara yang wajib atas setiap jama’ah sholat. Wajibnya hal ini dipahami dengan adanya perintah dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan juga ancaman beliau terhadap orang yang melalaikannya. Karena, jika memang meluruskan dan merapatkan shaf bukan perkara wajib tapi mustahab (sunnah/dianjurkan), maka tentunya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak akan memberikan perintah dan ancaman berkaitan dengan hal tersebut. Sebab sesuatu yang hukumnya mustahab (mandub/sunnah) boleh dikerjakan -dan itulah yang lebih baik- dan juga boleh ditinggalkan tanpa ada celaan. Jadi, apabila ada suatu perintah lalu diiringi dengan ancaman bagi orang yang meninggalkan perintah tersebut, maka ini menunjukkan bahwa hal itu hukumnya wajib. Dari sisi yang lain, seluruh perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam hukum asalnya adalah wajib, kecuali jika ada dalil lain menunjukkan bolehnya sekali-sekali tidak meluruskan shaf dan merapatkannya, maka hukumnya berubah menjadi mandub (sunnah/tidak wajib). Namun disana tidak ada dalil yang mengubah hukum asal ini, artinya tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- atau para sahabat pernah sekali tidak meluruskan dan merapatkan shaf. Maka diketahuilah dari semua hal ini bahwa meluruskan dan merapatkan shaf hukumnya adalah wajib.
Al-Imam Al-Ba’ly -rahimahullah- berkata, “Lahiriah (zhohir) pendapat Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyyah bahwa meluruskan shaf adalah wajib, karena Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah melihat seorang lelaki yang membusungkan dadanya (dalam shaf), maka beliau bersabda, [“Kalian benar-benar akan meluruskan shaf kalian ataukah Allah akan membuat hati-hati kalian berselisih”], beliau -‘alaihish sholatu was salam- juga bersabda, [“Luruskanlah shaf-shaf kalian karena meluruskannya adalah termasuk kesempurnaan sholat”] Muttafaqun ‘alaihi. Al-Bukhary membuatkan judul bagi hadits ini, (Bab: Dosa Orang yang Tidak Meluruskan Shaf)”. (20)
Al-Imam Ibnu Hazm Al-Andalusy -rahimahullah- berkata, “Diwajibkan atas kaum mukminin untuk meluruskan shaf –orang yang pertama lalu yang berikutnya-dan merapatkan shaf, serta menyejajarkan bahu dengan bahu serta kaki dengan kaki”. (21)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolany -rahimahullah- berkata ketika menjelaskan hukum meluruskan shaf, “Berdasarkan hal ini, maka ia adalah wajib dan berbuat kekurangan di dalamnya adalah haram”. (22)
Ibnul Mulaqqin -rahimahullah- berkata, “Konsekwensi segi yang pertama adalah wajibnya meluruskan shaf dengan adanya ancaman karena meninggalkannya”. (23)
Al-Imam Asy-Syaukani -rahimahullah- berkata ketika mengomentari hadits yang memerintahkan untuk meluruskan shaf, “Di dalam hadits tersebut terdapat keterangan wajibnya meluruskan shaf”. (24)
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-‘Utsaimin -rahimahullah- berkata seusai membawakan hadits yang berisi ancaman bagi orang yang tidak meluruskan shaf, “Tanpa ragu lagi, ini merupakan ancaman bagi orang yang tidak meluruskan shaf, karena itulah sebagian ulama berpendapat wajibnya meluruskan shaf. Mereka berdalil untuk hal itu dengan adanya perintah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- terhadap hal itu serta ancaman beliau karena penyelisihannya. Sesuatu yang telah datang perintah tentangnya dan juga ancaman karena menyelisihinya, ini tak mungkin dikatakan sunnah saja! Oleh karena itulah, maka pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah wajibnya meluruskan shaf, dan bahwa jama’ah jika tidak meluruskan shaf, maka mereka berdosa”. (25)
Syaikh Muhammad Nashir Al-Albany -rahimahullah- berkata ketika menyebutkan beberapa faedah dari sebuah hadits yang mengancam seseorang jika tidak meluruskan shaf, “Dalam kedua hadits ini terdapat dua faedah. Pertama: Wajibnya menegakkan, meluruskan dan merapatkan shaf karena adanya perintah untuk hal itu. Sedangkan asalnya segala perintah adalah wajib kecuali jika ada qorinah (korelasi) yang memalingkannya sebagaimana yang tertera dalam ilmu ushul. Namun qorinahnya di sini menguatkan wajibnya, yaitu sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, [“…ataukah Allah akan benar-benar membuat hati-hati kalian berselisih”]. Karena -tidak samar lagi bahwa- ancaman seperti ini tidak mungkin diucapkan terhadap sesuatu yang bukan wajib. Kedua: Pelurusan shaf tersebut adalah dengan cara menempelkan bahu dengan bahu dan tepi kaki dengan kaki, karena inilah yang dilakukan oleh para shahabat -radhiallahu ‘anhum- ketika mereka diperintahkan menegakkan dan merapatkan shaf. Karena itulah, Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath setelah beliau membawakan tambahan hadits yang aku datangkan pada hadits yang pertama dari ucapan Anas, [“Pernyataan ini memberikan faedah bahwa perbuatan (para sahabat) tersebut telah ada sejak zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Berdasarkan hal ini, maka sempurnalah pengambilan hujjah yang menjelaskan maksud menegakkan shaf dan meluruskannya”.(26)]. Di antara perkara yang kita sesalkan, sunnah ini -berupa pelurusan shaf- sungguh telah diremehkan oleh kaum muslimin, bahkan mereka telah menyia-nyiakannya kecuali sedikit di antara mereka. Sesungguhnya aku tidak melihat hal ini (meluruskan dan merapatkan shof) ada pada suatu kelompok di antara mereka kecuali pada ahlul hadits karena aku pernah melihat mereka di Makkah pada tahun 1368 H, mereka amat semangat berpegang dengannya sebagaimana halnya sunnah-sunnah Nabi Al-Musthofa -alaihish sholatu was salam- lainnya. Berbeda dengan yang lainnya dari kalangan pengikut madzhab-madzhab yang empat -aku tidak kecualikan Hanabilah-. Sunnah ini telah berubah menjadi sesuatu yang terlupakan di sisi mereka. Bahkan mereka saling mengikuti dalam meninggalkannya dan berpaling darinya. Demikianlah, karena mayoritas madzhab mereka telah menetapkan bahwa yang sunnah ketika berdiri sholat adalah merenggangkan di antara dua kaki sejarak 4 jari, jika melebihi, maka hukumnya makruh sebagaimana datang perinciannya dalam kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah (1/207). Ketentuan seperti itu tak ada asalnya dalam sunnah, itu hanyalah merupakan pendapat semata. Andaikan hal itu benar, maka harus dikhususkan bagi imam dan munfarid (orang yang sholat sendirian) agar sunnah-sunnah ini tidak dipertentangkan sesuai konsekwensi kaidah-kaidah ushul. Intinya, aku mengajak kaum muslimin -terkhusus lagi para imam masjid- yang memiliki semangat untuk mengikuti Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-dan mau memperoleh fadhilah menghidupkan sunnahnya -Shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk mengamalkan sunnah ini (yaitu meluruskan shaf,pen), bersemangat melakukannya dan mengajak manusia kepadanya sehingga mereka semua berpadu di atasnya. Dengan itulah, mereka akan selamat dari ancaman, [“…ataukah Allah akan benar-benar membuat hati-hati kalian berselisih”]. Pada cetakan ini aku tambahkan seraya berkata, ”Telah sampai kepadaku berita tentang seorang da’i  bahwa ia meremehkan perkara sunnah amaliyyah ini yang telah dijalani oleh para shahabat dan ditaqrir oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Orang itu mengisyaratkan bahwa itu bukan dari hasil pengajaran Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada mereka. Namun orang ini tak sadar -wallahu A’lam- kalau itu merupakan pemahaman dari para shahabat, ini yang pertama. Yang kedua, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- telah mentaqrir mereka atas hal tersebut. Demikian itu sudah cukup bagi Ahlus Sunnah dalam menetapkan disyari’atkannya hal tersebut. Karena orang yang menyaksikan (langsung kejadian) bisa melihat sesuatu yang tak dilihat oleh orang yang absen. Mereka adalah suatu kaum yang tak akan celaka orang yang mengikuti jalan mereka”. (27)
Inilah sekelumit komentar tentang sunnah (baca: petunujuk) Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat beliau dalam meluruskan dan merapatkan shaf. Semoga tulisan ini bisa menjadi pemicu bagi kita untuk mengamalkan sunnah ini dan sekaligus nasehat bagi orang-orang yang menyangka bahwa itu bukan sunnahnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat. Semoga Allah menjadikan kita sebagai pengikut setia sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan mematikan kita di atas Islam yang suci ini.
Terakhir, kami sampaikan nasehat kepada kaum muslimin -terutama para saudara kita yang menjadi imam masjid-, “Terapkanlah sunnah ini kepada jama’ah kalian, niscaya kalian akan mendapatkan pahala yang tinggi di sisi Allah. Namun jika kalian meremehkan hal ini, maka akan terjadi perpecahan dan kebencian di antara kalian dari arah yang tidak kalian ketahui sebabnya, akibat kalian telah melanggar petunjuk Allah -Ta’ala- dan Rasul-Nya -Shallallahu ‘alaihi wasallam-.
Ketahuilah, kalian akan ditanyai oleh Allah sebagai pertanggungjawaban atas segala perbuatan kalian pada hari anak dan harta benda tidak berguna lagi bagi kalian. Janganlah kalian menghalangi para hamba Allah yang mau mengamalkan sunnah ini, apa lagi membencinya. Karena kalian akan menjadi musuh Allah di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi, “Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan peperangan baginya”.(28)
Jadi, orang yang memusuhi dan membenci orang yang menerapkan sunnah ini akan dimusuhi Allah, karena orang-orang yang melaksanakan sunnah berarti ia taat kepada Allah. Sedang wali Allah adalah orang yang taat kepada Allah. Maka takutlah kalian kepada Allah Ta’ala”.
_______________
(1)    Kata “sunnah” memiliki dua pengertian. Pertama: Sunnah bermakna sesuatu yang dianjurkan dan biasa diistilahkan mandub atau mustahab. Kedua: Sunnah bermakna “petunjuk “ yang pernah pernah dilakukan oleh Nabi-shollallahu alaihi wasallam- dan para sahabatnya. Definisi kedua ini mencakup perkara yang wajib maupun mandub/mustahab. Dalam tulisan ini jika kami menyebut kata “sunnah”, maka yang kami maksudkan sunnah menurut definisi kedua yang bermakna “petunjuk”. Kami tak gunakan istilah sunnah untuk mengungkapkan perkara yang mustahab/mandub. Ini kami jelaskan karena banyak orang yang salah paham dalam menggunakan istilah sunnah. Seperti jika kita katakan: Meluruskan dan merapatkan shaf adalah sunnah Nabi-shollallahu alaihi wasallam-. Serta merta ada yangmengatakan: Kenapa anda mewajibkan sesuatu jika memangnya sunnah ?!! Padahal sunnah yang kita maksudkan disini adalah bermakna “petunjuk” mencakup yang wajib maupun yang tidak wajib (baca: mustahab/mandub). Namun tentunya meluruskan shaf dan merapatkannya merupakan sunnah Nabi-shollallahu alaihi wasallam- yang hukumnya wajib, bukan mandub/mustahab. Akan datang penjelasannya, insya Allah Ta’ala. Semoga bisa dipahami.
(2)    HR.Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’iy dan lainnya. Dishohihkan oleh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (743)
(3)    Lihat Sunan Abu Dawud, hal.110 karya Sulaiman Ibnul Asy’ats As-Sijistany Al-Azdi, cet. Dar Ibnu Hazm, tahun 1419 H
(4)    HR.Ibnu Majah Al-Qozwini dalam Sunan-nya (1004). Hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Muhammad Nashir Al-Albany -rahimahullah- dalam Shohih Sunan Ibnu Majah (1004) dan At-Ta’liq Ar-Roghib (1/335) cet. Maktabah Al-Ma’arif , tahun 1421 H
(5)    HR.Al-Imam Ath-Thobrony dalam Al-Ausath (1/23/2). Hadits ini shohih lighoirihi sebagaimana yang dijelaskan Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah (2533)
(6)    HR. Al-Imam Muslim dalam Shohih-nya (432)
(7)    HR. Al-Imam Al-Bukhory dalam Shohih-nya (717), dan Muslim dalam Shohih-nya(436)
(8)    HR. Al-Imam Al-Bukhory dalam Shohih-nya (719)
(9)    Bagal:Hewan hasil perkawinan campur antara kuda dengan keledai.
(10)      HR.Al-Bukhory (725)
(11)      HR.Al-Bukhory (724)
(12)      Lihat Al-Qoul Al-Mubin fi Akhtho’ Al-Mushollin, hal.207
(13)      Lihat Fath Al-Bari (2/211)
(14)      Lihat Laa Jadiida fi Ahkam Ash-Sholah, hal.13 karya Syaikh Bakr Abu Zaid-hafizhohullah-
(15)      Lihat Silsilah Ahadits Ash-Shohihah (6/1/77) karya Al-Albany. Pada temapat lain beliau juga singgung hal ini. Lihat Ash-Shohihah (1/1/73-74)
(16)      HR.Abu Dawud (662), Ibnu Hibban, Ahmad (4/276), dan Ad-Daulaby dalam Al-Kuna (2/86). Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah (32)
(17)      HR.Ibnu Khuzaimah. Lihat Shohih At-Targhib (513)
(18)      Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassaroh (2/247-248)
(19)      HR.Muslim dalam Shohih-nya(436)
(20)      Lihat Al-Ikhtiyarot, hal.50 via Asy-Syarh Al-Mumti’.
(21)      Lihat Al-Muhalla (4/52) via Minhaj An-Najah
(22)      Lihat Fathul Bari (2/268) karya Al-Hafizh, ta’liq Ibnu Baz & Asy-syaibly, Darus Salam, 1421 H
(23)      Lihat Minhaj An-Najah fi Wujub Taswiyah Ash-Shufuf fi Ash-Sholah (2/519) , cet. Maktabah Al-Furqon, Uni Emirat Arab, 1422 H.
(24)      Lihat Nailul Author (2/454) karya Asy-Syaukani, cet.Dar Al-Kitab Al-Araby, 1420 H
(25)      Lihat Asy-Syarh Al-Mumti’ ala Zad Al-Mustaqni’ (3/11) karya Al-‘Utsaimin, cet. Mu’assasah Aasam.
(26)      Lihat Fath Al-Bari (2/211)
(27) Lihat Ash-Shohihah (1/1/72-74) karya Al-Albany.
    Kemudian Syaikh memberikan tambahan bagi ucapannya di atas pada kolom Al-Istidrokat dalam Ash-Shohihah (1/2/903) seraya berkata, “Lalu aku melihat sebuah pembahasan yang berfaedah milik salah seorang saudara kami di Makkah Al-Mukarromah -barokallahu fiih-. Dia mendukung (membela) sunnah yang kuat ini dalam risalahnya yang ia hadiahkan kepadaku “At-Tatimmat li Ba’dhi Masa’il Ash-Sholah”, hal.41-42. Maka silakan kitab itu dirujuk, niscaya anda akan mendapatkan tambahan ilmu dan faedah, insya Allah”.
(28) HR.Al-Bukhary dalam Kitab Ar-Riqoq (6502). Lihat Hidayah Ar-Ruwah (2/420) karya Ibnu Hajar, dengan takhrij Al-Albany, Cet.Dar Ibnul Qoyyim dan Dar Ibnu Affan, 1422 H.

POSISI IMAM DAN MAKMUM DI DALAM SHALAT

POSISI IMAM DAN MAKMUM DI DALAM SHALAT


Edisi Fiqh Ibadah (1)

"POSISI IMAM DAN MAKMUM DI DALAM SHALAT"

Di Tulis oleh :
Muhammad Ayyub Dja'far
(Ibn Gha'far)






Penerbit : Qatthamiyah Press (QaP)

بسم الله الرحمن الرحمن الرحيم

Dari Amirul mukminin Umar bin Khattab Ra. Berkata : Aku mendengar Rasulullah Saw. Bersabda :

إنما الأعمال بالنيات, وإنما لكل امرئ مانوى, فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله, ومن كانت هجرته إلى الدنيا يصيبها أو إلى إمرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه.
"Sesungguhnya amal itu tidak lain tergantung pada niat, dan tiap-tiap orang tidak lain tergantung pada apa yang diniyatkannya, barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang berhijrah karena dunia yang hendak dicapainya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya adalah apa yang niyatkannya tersebut."
Imam muhaddits Abdurrahman Bin Mahdy mengomentari hadits ini dan berkata : "Bagi orang yang hendak mengarang sebuah kitab, maka sepatutnya ia memulai tulisannya tersebut dengan hadits ini, sebagai peringatan bagi penuntut ilmu untuk senantiasa meluruskan niyatnya."

Mukaddimah
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره , ونعوذ باالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا , من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له .
Segala puji bagi Allah, kepadanya kita memuji, memohon pertolongan dan ampunan, kepadanya pula kita memohon perlindungan agar dijaga dari keburukan jiwa dan perbuatan. Orang yang memperoleh hidayah Allah tidak akan tersesat dan orang yang disesatkan oleh Allah tidak ada orang yang dapat memberi petunjuk kepadanya.

أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له , وأشهد أن محمدا عبده ورسوله .
Saya bersaksi tidak ada tuhan selain Allah yang maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu hamba dan Rasul-Nya. Allah Swt berfirman :

يأيهاالذين أمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون (ال عمران : 103) .
"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dengan takwa yang sebenarnya dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim (QS. Ali Imran 103).

يأيهاالناس اتقوا ربكم الذى خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها و بث منهما رجالا كثيرا ونساء وتقوا لله الذى تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيبا. (النساء : 1)
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada tuhanmu yang telah menciptakanmu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturrahmi, sesungguhnya Allah senantiasa menjaga dan mengawasimu (QS : An-Nisa' 01).

يأيهاالذين أمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا (70) يصلح لكم أعمالكم ويغفرلكم ذنوبكم ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما. (71) (الأحزاب : 70-71).
"Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar. Niscaya Allah akan memperbaiki perbuatanmu serta mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya maka sungguh akan berbahagia dengan kebahagian yang agung. (QS. Al-Ahzab : 70-71).

أما بعد , فإن أصدق الحديث كتاب الله . وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم وشر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة , وكل ضلالة في النار .
Selanjutnya, bahwa perkataan yang paling benar adalah kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw. Seburuk-buruk perkara adalah masalah yang baru, semua yang baru adalah bid'ah, semua bid'ah adalah menyesatkan dan semua yang menyesatkan akan membawa keneraka.

Hampir tidak ada satu urusanpun yang berkaitan dengan shalat baik itu yang berkaitan dengan rukun, syarat plus keutamaan-keutamaanya kecuali sang pemilik syariat telah menerangkannya dengan rinci melalui lisan Nabi-Nya Muhammad Saw. Tidak mengherankan, karena shalat adalah sebaik-baik maudhu' (urusan) dan rukun kedua setelah dua kalimat syahadat.

Bagi orang yang memahami keutamaan yang terdapat didalam shalat, tentu akan menjadikan shalat sebagai penyejuk mata dan akan berujar seperti apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw kepada Bilal :
يا بلال , أقم الصلاة أرحنا بها.
"Wahai Bilal, dirikan shalat, rehatkan kami dengan shalat"

Sedang orang yang buta dengan keutamaannya, mereka tidak akan segan meninggalkannya. Toh, jika mereka mengerjakannya mereka tidak ada bedanya dengan "pencuri" atau "burung gagak" terburu-buru, tidak sempurna ruku' dan sujudnya.

Banyak keutamaan yang terdapat didalam shalat, namun banyak juga orang terhalang dalam meraihnya secara utuh, sebutlah misalnya- dan insya Allah akan menjadi pembahasan utama kita- tentang keutamaan shalat berjamaah. Dalam taraf pelaksanaannya (penyusunan shaf) masih banyak terjadi kerancuan disana-sini, diantaranya bengkoknya barisan makmum, banyaknya furjah (kekosongan) ditengah-tengah shaf, posisi makmum atau posisi imam yang keliru dan lain sebagainya.

Kenyataan-kenyataan inilah yang mendorong penulis untuk mewujudkan buku ini (posisi Imam dan makmum di dalam shalat), mengingat kesalahan – kesalahan tersebut hampir merata dan sering terulang-ulang di lapisan masyarakat muslim.

Buku ini hadir –insya Allah- untuk memenuhi kebutuhan mayoritas masyarakat muslim, yang merupakan bagian terpenting didalam hidup mereka. Shalat berjamaah hampir tidak lepas dalam kehidupan muslim, terkadang hal itu dilakukan dalam lingkup keluarga, dengan istri dan anak dan terkadang pula dilakukan dalam lingkup masyarakat luas seperti di masjid atau dilapangan, yang otomatis memerlukan pemahaman yang benar dalam penyusunan shaf.

Dan akhirnya penulis mengakhiri mukaddimah ini dengan mengutip pertanyaan seseorang terhadap imam Syafi'I : "Apa gerangan yang menyebabkan buku-buku itu terjatuh didalam kesalahan, kekeliruan dan pertentangan isi antara satu dengan yang lainnya ?
Imam syafi'I menjawab : Apakah kamu tidak membaca firman Allah Swt :
أفلا يتدبرون القرأن ولو كان من عند غير الله لوجدوا فيه إختلافا كثيرا (النساء : 82).
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ? kalau kiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentu mereka mendapat pertentangan yang banyak didalamnya (QS : An-Nisa' 82).
Karena buku-buku itu datangnya bukan dari Allah, maka tentunya ia wajib terjatuh didalam pertentangan Wallahu A'lam
Ditulis oleh :
Muhammad Ayyub Djafar
Qattameyah, 8 ' 06 ' 2003
BAB 1 : TENTANG SHALAT

Makna shalat
Shalat dalam bahasa arab bermakna : Doa. Allah Swt berfirman :
و صل عليهم إن صلاتك سكن لهم (التوبة : 103).
"Dan mendoalah untuk mereka sesungguhnya doa kamu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka." (QS; At-Taubah 103).

Rasulullah Saw bersabda :
إذا دعي أحدكم إلى طعام فليجب, فإن كان مفطرا فليأكل و إن كان صائما فليصل.
"Apabila salah seorang diantara kalian di ajak (diundang) untuk makan, maka penuhilah, jika ia tidak berpuasa maka makanlah, tetapi jika ia berpuasa maka hendaklah mendoalah (keberkahan) untuk mereka". Sedang shalat dalam istilah syari'at adalah : Sebuah bentuk peribadatan kepada Allah dengan perkatan dan perbuatan yang tertentu, di buka dengan takbir dan ditutup dengan salam
Kedudukan shalat di dalam islam
Di dalam islam, shalat memiliki kedudukan yang teramat agung, yang kedudukannya tidak dapat diimbangi dengan bentuk ibadah apapun. Shalat adalah mahkota yang keindahannya jauh melebihi mahkota yang berada di atas kepala raja-raja.
shalat adalah tiang penyangga agama, Rasulullah Saw bersabda :
رأس الأمر الإسلام , وعموده الصلاة ، وذروة سنامه الجهاد.
"Pangkal segala perkara ialah al-islam , tiang penyangganya ialah shalat, dan puncak tertingginya ialah perjuangan di jalan Allah"

Shalat adalah sebaik-baik amal, Rasulullah Saw bersabda :
إستقيموا ولن تحصوا ، واعلموا أن خير أعمالكم الصلاة .
"Berlaku istiqamalah kalian, dan kalian tidak akan mampu, ketahuilah bahwa sebaik-baik amal kalian adalah shalat".

Shalat adalah amalan yang pertama kali dihisab dihari kiyamat kelak, Rasulullah Saw bersabda :
أول ما يحاسب عليه العبد يوم القيامة الصلاة .
"Sesengguhnya amalan hamba yang pertama kali dihisab dihari kiamat nanti adalah shalat".

Dan shalat adalah wasiyat terakhir Rasulullah Saw kepada ummatnya ketika roh beliau hendak terpisah dari raga,
الصلاة وما ملكت أيمانكم .
"(pelihara) shalat dan budak-budak kalian"

Ibnul Qayyim didalam "Al-Wâbil As-Shaib" berkata : "Shalat adalah penyebab datangnya rezeki, memelihara kesehatan, penangkal kemelaratan, menyembuhkan segala bentuk penyakit, meneguhkan hati, mencemerlangkan raut wajah, menyenangkan jiwa, menyingkirkan kemalasan, menggiatkan anggota-anggota tubuh, melapangkan dada…."

Ancaman bagi yang meninggalkan shalat
Allah Swt memberikan ancaman keras bagi mereka yang meninggalkan dan menyia-nyiakan shalat, Allah Swt berfirman :
فخلف من بعدهم خلف أضاعوا الصلوة واتبعوا الشهوت فسوف يلقون غيا . (مريم : 59)
"Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (generasi) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan mendapatkan azab yang pedih lagi berlipat ganda". (QS : 59).
فوبل للمصلين الذين هم عن صلاتهم ساهون .
"Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya". (QS; Al-Mâun 4,5).

Hukum bagi yang meninggalkan shalat
Adapun menyematkan ke-Kafiran- kepada pelakunya, adalah sebagai berikut :
[1]. Jika ia mengingkari dan menyangkal kewajiban shalat, maka seluruh ummat islam sepakat bahwa ia adalah kafir dan mengeluarkan pelakunya dari islam. Karena kaedah dasar yang berlaku dan disepakati oleh para ulama bahwa orang yang mengingkari satu ushul dari ushul-ushul agama atau hukum furu' yang telah disepakati atasnya, atau mengingkari satu huruf yang jelas-jelas qath'I datangnya dari Rasulullah saw, maka ia adalah kafir. Kafir yang mengeluarkan pelakunya dari agama islam.

[2] mengakui adanya kewajiban shalat, tapi ia meninggalkannya karena kemalasannya. Dalam menghukumi kekafirannya, ulama berbeda dalam dua pendapat :
Pendapat pertama : Ia adalah kafir dan keluar dari agama , mereka beralasan dengan sunnah Rasulullah Saw dan atsar shahabat, diantaranya :
1. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : بين العبد و بين الكفر ترك الصلاة .
1. "Rasulullah Saw bersabda : "Pembatas antara hamba dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat".
2. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : بيننا وبينهم ترك الصلاة ، فمن تركها فقد كفر .
2. "Rasulullah Saw bersabda : "Pembatas diantara kita dan mereka adalah meninggalkan shalat, barangsiapa yang meninggalkan shalat maka sungguh ia telah kafir".
3. قال ابن مسعود : الكفر ترك الصلاة .
3. "Ibnu Mas'ud berkata : " kufur itu adalah meninggalkan shalat".
4. قال عبد الله بن شقيق : كان أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم لا يرون شيئا من الأعمال تركه كفر غير الصلاة .
4. "Abdullah bin Syaqiq berkata : "Adalah shahabat-shahabat Muhammad Saw tidak memandang satu amalanpun, yang jika ditinggalkan menyebabkan kekufuran melainkan shalat."

5. Ali Ra. Pernah ditanya tentang seorang wanita yang meninggalkan shalat, beliau menjawab : "barangsiapa yang meninggalkan shalat maka ia adalah kafir".

Ulama yang berpendapat seperti ini adalah : Ibrâhim An-Nakha'iyyu , Ibnul Mubârak , Ahmad dan Ishaq (lihat syarhu-s-Sunnah lil Baghawi 2/7).

Pendapat kedua : Pelakunya tidak dikafirkan tetapi difasikkan.
Mereka berdalil dengan :
1. keumuman firman Allah Swt :
إن الله لايغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء .
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni orang yang berbuat syirik kepadanya dan mengampuni selain itu bagi siapa yang dikehendakinya".

2. Rasulullah saw bersabda :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أسعد الناس بشفاعتي من قال : لا إله إلا الله خالصا من قلبه .
"Manusia yang paling berbahagia dengan syafa'atku, adalah orang yang dengan ikhlas didalam hatinya, mengucapkan : Lâ-Ilâha Illallah"

3. Adapun hadits-hadis yang menyebutkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat, yang dimaksudkan adalah orang yang mengingkari atau menyangkal kewajiban shalat tersebut.

Pendapat kedua ini adalah pendapat imam syafi'I, Hummâd bin Zaid , Makhul dan Malik .

Yang rajih
Penulis belum dapat memutuskan pendapat yang terkuat dari dua pendapat diatas. Tetapi yang jelas, orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja ia telah melakukan sebuah kesalahan yang terbesar didalam hidupnya. Ibnul Qayyim berkata :
"Meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja adalah sebesar-besar dosa dan bagian dari akbarul kabair (terbesar dari dosa-dosa besar), dosanya disisi Allah adalah lebih besar dari dosa membunuh, dosa memakan harta haram, dosa berzina, mencuri dan meminum khamer."
Di tempat yang lain beliau berkata : "orang yang tidak memelihara shalat, biasanya karena disibukkan dengan hartanya, kerajaannya, jabatan dan perdagangannya. Barangsiapa yang meninggalkan shalat karena disibukkan dengan harta bendanya maka kelak ia bersama Qarun (dineraka), barangsiapa yang disibukkan dengan kerajaannya maka ia bersama Fir'aun, barangsiapa yang disibukkan dengan jabatan dan kementriannya maka ia bersama Hâmân dan barangsiapa yang disibukkan dengan perdagangannya maka ia bersama Ubay bin Khalaf."
Dan ada baiknya jika kita mencermati perkataan ibnu shaleh al-utsaimin dibawah ini, setelah beliau merajihkan pendapat pertama :
"pendapat tentang tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat adalah sebuah bentuk pengrusakan di muka bumi. Andai anda berkata kepada seseorang – yang memiliki iman yang lemah- bahwa meninggalkan shalat tidak menyebabkan kafir. Orang yang tidak shalat ia tidak akan mandi junub, tidak beristinja' selepas kencing, lalu jadilah ia seperti binatang yang tidak memiliki tujuan kecuali makan, minum dan berjimak. Sementara dalil kafirnya jelas, dan selamat dari pertentangan." (syarhul Mumti' 1/360).

(3). Jika seseorang meninggalkan shalat karena kebodohan dan ketidaktahuannya terhadap hukum meninggalkan shalat. maka ulama sepakat ia tidak dikafirkan dan tidak difasiqkan tetapi perlu diberi penjelasan dan pengajaran.Namun, setelah ia mengetahui hukumnya lalu meninggalkannya, maka keadaannya kembali kepada dua hukum sebelumnya.


BAB II : SHALAT JAMAAH

Keutamaan shalat berjamaah
Para shalafus-shalih, jika luput dari shalat jamaah mereka satu sama lainnya saling berbelasungkawa selama tujuh hari, dan tiga hari lamanya jika mereka luput takbiratul ihram. Dalam belasungkawanya itu mereka mengucapkan : "musibah itu, bukanlah karena seseorang berpisah dengan yang disayanginya, tetapi musibah yang sebenarnya adalah seseorang yang terhalang mendapatkan pahala."
Rahasia apakah gerangan yang terdapat didalam shalat jamaah, sehingga mereka saling berbela sungkawa jika mereka kehilangan shalat jamaah ?
Banyak hadits yang menerangkan keutamaan berjamaah, diantaranya :

(1). Ia lebih utama dibanding shalat sendirian dengan perbedaan 27 derajat.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : صلاة الجماعة أفضل من صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة .
"Rasulullah Saw bersabda : Shalat berjamaah adalah lebih utama dibanding shalat sendirian dengan perbedaan 27 derajat."

(2). Shalat berjamaah fajar dan isya' sebanding dengan shalat Qiyâm seluruh malam.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من صلى العشاء في جماعة كان كقيام نصف ليلة ومن صلى العشاء و الفجر في جماعة كان كقيام ليلة .
"Rasululah Saw bersabda : Barangsiapa yang shalat isya berjamaah maka ia ibaratnya shalat qiyam setengah malam dan barangsiapa
yang shalat isya, dan shubuh berjamaah maka ia ibaratnya shalat qiyam seluruh malam."

(3). Ia memiliki keutamaan yang andai manusia mengetahuinya ia akan mendatanginya walau dengan merangkak.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لو يعلم الناس مافي صلاة العشاء و صلاة الفجر لأتوهما ولو كان حبوا
"Rasulullah Saw bersabda : Andai manusia mengetahui (rahasia) yang terdapat didalam shalat isya dan fajar niscaya mereka mendatangi keduanya walaupun dengan cara merangkak."

(4). Ia sebanding dengan pahala ibadah haji.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من خرج من بيته متطهرا إلى صلاة مكتوبة فأجره كأجر الحاج المحرم .
"Rasulullah Saw bersabda : Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dalam keadaaan suci untuk melaksanakan shalat fardhu maka pahalanya seperti pahala orang yang haji yang muhrim."

Hukum shalat berjamaah
Shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah, demikian pendapat Mâlik, At-Tsaury , Abu Hanifah dan Asy-syafi'i dan dirajihkan oleh Asy-syaukani. -
Hadits-hadits yang menunjukkan bahwa berjamaah adalah sunnah Muakkadah, diantaranya :
1. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن أعظم الناس أجرا في الصلاة أبعدهم إليها ممشي فأبعدهم ، والذي ينتظر الصلاة حتى يصليها مع الإمام أعظم أجرا من الذى يصليها ثم ينام .
(1) "Rasulullah Saw bersabda : Sesungguhnya orang yang paling besar pahalanya didalam urusan shalat adalah mereka yang paling jauh berjalan, dan orang yang menunggu shalat hingga ia shalat bersama imam (berjamaah, penj) adalah lebih besar pahalanya dibanding orang yang shalat seorang diri (tidak bersama imam) kemudian ia tidur."
2. عن أبي بن كعب قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : صلاة الرجل مع الرجل أزكى من صلاته وحده وصلاته مع الرجلين أزكى من صلاته مع الرجل وما أكثر فهو أحب إلى الله عز وجل .
(2) "Dari Ubay bin Ka'ab , ia berkata; Rasulullah Saw bersabda : shalatnya seseorang bersama seseorang lainnya adalah lebih baik dari pada shalatnya seorang diri, dan shalatnya bersama dua orang adalah lebih baik dari pada shalatnya bersama seseorang dan semakin banyak (jumlah jamaah) adalah lebih disukai oleh Allah Azza wa jalla."
3 0 قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : صلاة ا لجماعة تفضل على صلاة ا لفذ بسبع و عسرين درجة.
(3) "Rasulullah Saw bersabda : Shalat berjamaah adalah lebih utama dibanding shalat sendirian dengan perbedaan 27 derajat."

(4). Begitu juga hadits masyhur tentang orang yang buruk dalam shalatnya, lalu Nabi memerintahkan orang tersebut untuk mengulangi shalatnya, lalu ia pun mengulanginya dengan shalat sendiri. Dan dihadits lain, ketika Rasulullah Saw. melihat seseorang shalat seorang sendiri, beliau bersabda :"Tidak adakah seseorang yang mau bersedekah dengan orang ini ?".

Hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa shalat seorang diri adalah shahih dan menggugurkan kewajiban. Adapun hadits-hadits yang menunjukkan atau mengisyaratkan kewajiban sholat berjama'ah diantaranya adalah :
عن أ بى هريرة رضي أ لله عنه قال : أ تى ا لنبى رجل أ عم فقال : يا رسول ا لله أ نه ليس لي قاءد يقودني إ لى ا لمسجد ، فسأل رسول ا لله أن يرخص له فيصلي فى بيته فرخص له, فلما و لي دعاه. فقال " هل تسمع ا لنداء با ا لصلاة .فقال : نعم . قال : فأجب .
Dari Abi Hurairah Ra. ia berkata : Seorang buta menghadap Rasulullah Saw dan bertanya :" Ya, Rasulullah, saya tidak punya orang yang membimbing saya untuk datang ke masjid " Lalu orang tersebut meminta kepada Rasulullah Saw. Agar diberinya keringanan untuk shalat di rumahnya. Maka Nabi pun memberi keringanan. Tatkala orang buta tersebut hendak pulang, Rasulullah memanggilnya dan berkata " Apakah kamu mendengar adzan ?" jawab orang itu " Ya " Maka Nabi bersabda " datanglah kemasjid untuk sholat jama'ah."
Maka hadits ini dan juga hadits-hadits lainnya yang semakna di takwil
(bukan wajib melainkan sunnah), dengan dasar menggabungkan dalil-dalil yang mengatakan shahnya sholat yang dilakukan seorang diri.
Batas Minimal Jama'ah.
Ukuran minimal jama'ah adalah dua orang, seorang sebagai imam dan seorang lagi sebagai makmum (baik itu seorang anak kecil atau wanita)
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : أذا حضرت ا لصلاة فليؤذن أحدكما و ليؤمكما أ كبركما
"Rasulullah saw bersabda : Apabila tiba waktu shalat maka ber-azanlah salah seorang diantara kalian berdua dan hendaklah yang menjadi imam adalah orang yang tertua diantara kalian."

Rasulullah Saw pernah mengimami Huzaifah seorang diri , begitu juga Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas - .
Namun semakin banyak jumlah jamaah, maka hal itu lebih utama dan lebih disukai oleh Allah swt. Rasulullah saw bersabda :
. عن أبي بن كعب قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : صلاة الرجل مع الرجل أزكى من صلاته وحده وصلاته مع الرجلين أزكى من صلاته مع الرجل وما أكثر فهو أحب إلى الله عز وجل .
"Dari Ubay bin Ka'ab, ia berkata; Rasulullah Saw bersabda : shalatnya seseorang bersama seseorang lainnya adalah lebih baik dari pada shalatnya seorang diri, dan shalatnya bersama dua orang adalah lebih baik dari pada shalatnya bersama seseorang dan semakin banyak (jumlah jamaah) adalah lebih disukai oleh Allah Azza wa jalla."
Dan shalat jamaah ini lebih utama dan lebih sempurna jika dilakukan di masjid. Tetapi jika dilakukan dirumah atau ditempat-tempat lainnya selain masjid maka hal tersebut diperbolehkan dan tetap terhitung mendapatkan keutamaan shalat jamaah yaitu 27 derajat.
Rasullah saw. bersabda kepada dua orang yang tidak ikut berjamaah bersamanya:
اذا صليتما في رحالكما ثم أدركتما الجماعة فصليا معهم ، تكن لكما نافلة .
Apabila kalian berdua telah shalat di rumah kalian, kemudian mendapati shalat jamaah maka ikutlah berjamaah dengan mereka, ( hal itu sunnah bagi kalian berdua".
أعطيت خمسا لم يؤتهن أحد قبلي : جعلت لي الأرض طيبة وطهورا ومسجدا فأيما رجل أدركته الصلاة صلى حيث كان .
"aku diberi lima hal yang tidak diberikan kepada seseorangpun sebelumku. Dijadikan bagiku tanah itu sebagai pensuci dan sebagai masjid, maka barang siapa yang mendapatkan shalat maka shalatlah dimana saja ia"
Demikian juga Rasulullah saw. pernah shalat dirumahnya – dimana ketika itu beliau dalam keadaan sakit – beliau shalat duduk, orang-orang dibelakang beliau shalat berdiri, lalu Rasulullah saw mengisyaratkan mereka untuk duduk.

Shalat berjamaah bagi wanita
Keutamaan-keutamaan berjamaah diatas juga berlaku pada wanita, bahwa wanitapun dianjurkan untuk berjamaah, tentunya dengan meruju' kepada keumuman hadits yang menyebutkan "Bahwa shalat berjamaah adalah lebih utama dibanding shalat sendirian dengan perbedaan 27 derajat." Namun ada yang membedakan antara laki-laki dan wanita, jika laki-laki dituntut untuk menghadiri shalat jamaah di masjid maka wanita lebih dianjurkan untuk shalat dirumahnya, karena shalatnya wanita dirumahnya jauh lebih baik dari pada shalatnya di masjid. Diriwayatkan oleh Ibnu Umar , bahwasanya Rasulullah Saw bersabda :
لا تمنعوا النساء أن يخرجن الى المساجد , وبيوتهن خير لهن .
"Janganlah kalian melarang para wanita mendatangi masjid-masjid, dan rumah-rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka."
Namunpun demikian, wanita tetap diperbolehkan untuk ikut shalat berjamaah dimasjid, tentunya dengan mematuhi syarat serta adâb-adâb (tata krama) yang terdapat didalam sunnah Rasulullah Saw, yaitu :
1. Meminta izin kepada orang tua atau suami.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا تمنعوا نساءكم المساجد إذا استأذنكم اليها .
"Rasulullah Saw bersabda : Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian kemasjid apabila mereka meminta izin kepadamu."
2. tidak menggunakan wewangian.
إذا شهدت إحداكن المسجد فلا تمس طيبا .
"Apabila salah seorang diantara kalian (wanita) menghadiri masjid maka janganlah ia menggunakan wewangian."
Syaikh Syinqity pemilik tafsir "Adhwâul Bayan" berkata : Jika engkau telah mengetahui, bahwa hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa wanita yang menggunakan wewangian tidak diperbolehkan ke masjid, karena hal tersebut dapat membangkitkan syahwat lelaki lantaran aroma farfumnya, maka ketahuilah bahwa ahli ilmu menyamakan segala bentuk yang memiliki keserupaan illat (sebab) dengan wewangian. Yaitu semua bentuk-bentuk yang dapat menyulut fitnah dengan membangkitkan dorongan syahwat."

3. Tidak bersolek.
Imam Nawawie berkata : (syarat-syarat bolehnya wanita keluar dari rumah) adalah : Tidak berparfum, bersolek, menggunakan gelang kaki yang terdengar suaranya, berpakain mewah, tidak bercampur baur dengan lelaki…"

Catatan :
(1). Jika wanita (baik ia pemudi atau orang tua) meminta izin kepada orang tua, suami atau walinya untuk menghadiri shalat jamaah di Masjid, maka ia harus diberi izin tidak boleh ditolak, selama wanita tersebut mematuhi adâb-adâb yang kami sebutkan diatas. Tetapi, jika wanita tersebut melanggar adab-adab tersebut maka sang wali berkewajiban melarangnya keluar.
(2). Bolehnya wanita ke masjid tidak terbatas pada waktu tertentu saja, tetapi dibolehkan dalam semua waktu shalat, termasuk shalat isya dan shubuh. Hal ini dapat dilihat dari dua dalil dibawah ini :
فقد كان النساء يشهدن صلاة الصبح مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم ينصرفن متلفعات بمروطهن لايعرفن أحد من الغلس .
"Adalah wanita-wanita pernah menghadiri shalat shubuh bersama Rasulullah Saw, kemudian mereka pulang dengan menyelubungi badan mereka dengan pakaian-pakaian mereka, tidak ada seorangpun yang dikenal (dari wanita-wanita itu) karena hari masih gelap."
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أيما إمرأة أصابت بخورا فلا تشهد معنا العشاء الأخرة .
"Rasulullah Saw bersabda : Wanita mana saja terkena wewangian dupa maka ia tidak boleh hadir bersama kami dalam shalat isya'."

BAB III: KAEDAH UMUM MENGENAI SHAF DIDALAM SHALAT
Shalat berjamaah memiliki tata cara tersendiri yang pengaturan dan pelaksanaannya telah diatur didalam sunnah Rasulullah saw. mulai dari jumlah jamaah yang paling kecil hingga jumlah jamaah yang besaar semuanya memiliki pososo-posisi tertentu yang seorang muslim tidak dibenarkan melanggar aturan-aturan tersebut. Namun dalam Bab ini penulis akan memaparkan kaedah umum mengenai shaf didalam shalat, adapun rincianya mengenai posisi khusus imam dan makmum penulis letakkan didalam bab yang khusus.

Makna shaff
Shaffûn adalah bentuk plural dari shufûf, yang bermakna baris yang lurus dari segala sesuatu. Jika dikatakan "shaffal Qoum" artinya membariskan mereka dalam satu barisan .
Kalimat shaff termaktub dalam surat al-Quran diantaranya dalam surat as-Shaff ayat ke empat. Alah swt berfirman:
ان الله يحب الذين يقاتلون في سبيله صفا كأنهم بنيان مرصوص
" sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang dijalannya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh".
Dengan demikian makna shaf dalam pembahasan ini adalah barisan jamaah ( makmum ) didalam shalat.

Keutamaan Menempati Shaff Terdepan
Dianjurkan untuk selalu berada dishaf terdepan didalam shalat. Rasulullah saw bersabda :
1- ان الله وملائكته يصلون على الصفوف الأولى .
(1). "Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bersalawat kepada mereka yang di shaff pertama."
2- قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن الصف الأول على مثل صف الملائكة ولو علمتم مافضيلته لابتدرتموه .
(2). "Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya shaff awal itu adalah sperti shaff para malaikat, andai kalian mengetahui keutamaannya niscaya kalian akan bersegera (menempati) nya."

Syeikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna berkata didalam menjelaskan (syarh) sabda Rasulullah Saw "seperti shaff para malikat" yaitu: dalam hal kedekatannya kepada Allah Azza wajalla, turunnya rahmat, kesempurnaan, dan kelurusannya.
2. صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم على الصف المقدم ثلاثا و على الذين يليه واحدة .
(3). Rasulullah Saw. berselawat kepada orang yang di shaff pertama sebanyak tiga kali dan pada shaff berikutnya sekali."
Makna shalawat Nabi Saw, seperti yang dikatakan oleh Allamah As-Sindy , adalah : "mendoakan mereka dengan rakhmat dan meminta ampunkan kepada mereka 3X."
Andai tidak ada dorongan lain didalam shaff pertama melainkan istigfar Rasulullah Saw tiga kali, niscaya hal itu adalah cukup".

Catatan penting :
(1). Keutamaan-keutamaan yang terdapat di shaf awal diatas, berlaku untuk laki-laki dan wanita. Adapun jika dalam jamaah shalat tergabung antara laki-laki dan wanita, maka shaf yang terbaik bagi wanita adalah di akhir shaff bukan didepannya. Rasulullah Saw bersadba :
خير صفوف الرجال أولها وشرها أخرها ، وخير صفوف النساء أخرها وشرها أولها .
"Sebaik-baik shaff laki-laki adalah diawalnya dan sejelek-jeleknya adalah di akhirnya, sebaik-baik shaf wanita adalah di akhirnya dan sejelek-jeleknya adalah di awalnya."
Imam Nawawi berkata : "Adapun shaff wanita yang di maksudkan didalam hadits tersebut adalah yang shalat bersama laki-laki. Adapun jika para wanita itu shalat bersama kaumnya tanpa keikutsertaan laki-laki maka mereka tidak berbeda dengan laki-laki, yaitu sebaik-baik shaff mereka adalah yang diawal dan yang paling jelek adalah yang diakhir".
Dengan demikian , Rasulullah Saw hendak menunjukkan bahwa seberapa jauh wanita menjauhkan diri dari pergaulan laki-laki, sebegitu banyak kebaikannya.

(2). Terdapat segelintir ulama diantaranya Ibnu-Abdil Barr , yang berpendapat bahwa seseorang yang lebih awal datang kemasjid walaupun tidak menempati shaff yang terdepan adalah lebih baik dibanding mereka yang datang belakangan lalu menempati shaff terdepan, Alasannya kerena mereka menganggap bahwa keutamaan yang terdapat pada shaff Awal adalah penggambaran dari orang yang datang lebih awal ke masjid.
Namun pendapat ini tertolak dengan dhahir hadits-hadits yang menerangkan keutamaan di shaff awal.
Imam Nawawie berkata : "orang yang dipuji yang terdapat didalam hadits dengan keutamaan berikut dorongan atasnya adalah shaf yang mengiringi imam, baik itu shahibnya (yang menempati shaf pertama) datang lebih awal atau datang belakangan."

Anjuran bagi imam untuk mengingatkan makmum dalam urusan shaf
Sebelum shalat dimulai, imam di sunnahkan memberikan aba-aba kepada makmum agar meluruskan dan merapatkan shaf.
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يتخلل الصف من ناحية إلى ناحية يمسح صدورنا ومناكبنا ويقول : لا تختلفوا فتختلف قلوبكم.
Artinya : Adalah Rasulullah Saw masuk kedalam shaf dari satu arah ke arah yang lain, beliau meluruskan dan meratakan dada dan pundak-pundak kami dan bersabda : "kalian jangan berselisih (shaf tidak lurus dan teratur) jika tidak niscaya hati-hati kalianpun akan berbeda".
عن أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقبل علينا بوجه قبل أن يكبر فيقول : تراصوا وعتدلوا .
"Dari Anas Ra. Ia berkata : Adalah Rasulullah Saw menghadapkan wajahnya kepada kami sebelum beliau bertakbir, lalu berkata : rapatkan dan luruskan."

Shabat-shahabat Rasulullah Saw mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap sunnah ini, bahkan diantara mereka ada yang menugaskan seseorang untuk membantunya dalam menangani urusan shaf.
عن عمر أنه كان يوكل رجلا بإقامة الصفوف, ولا يكبر حتى يخبر أن قد استوت .
Dari Umar, bahwasanya beliau pernah mewakilkan seseorang untuk mengatur shaf, dan beliau tidak bertakbir kecuali jika dikhabarkan bahwa shaf telah lurus dan sempurna."
وعن عثمان وعلى أنهما كان يتعاهدان ذلك, ويقولان : استووا , وكان على يقول : تقدم يافلان , تأخر يا فلان.
"Dari Utsman dan Ali, bahwasanya keduanya senantiasa memelihara hal itu, dimana keduanya berkata : luruskan (shaf) kalian. Dan adalah Ali berkata : Agak kedepan ya Fulan, agak kebelakang ya Fulan."

Kesalahan yang banyak dilakukan oleh makmum dalam urusan shaf (terutama banyaknya kekosongan diantara shaf), tidak lain karena imam turut andil dalam kesalahan tersebut, imam lalai menasehatkan dan memperingatkan makmum akan pentingnya kesempurnaan shaf.

Diantara lafadz-lafadz yang dipergunakan oleh Rasulullah Saw dalam mengatur dan meluruskan shaf, adalah sebagai berikut :
(1). سووا صفوفكم فإن تسوية الصفوف من إقامة الصلاة .
"Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf itu adalah bagian dari mendirikan shalat."
(2). لاتختلفوا فتختلفوا قلوبكم .
"Kalian jangan berselisih (shaf tidak lurus dan teratur) jika tidak, niscaya hati-hati kalianpun akan berselisih".
(3). أقيموا صفوفكم, وحاذوا بين المناكب , وسدوا الخلل ولينوا بأيدي إخوانكم , ولاتذروا فرجات للشيطان , ومن وصل صفا وصله الله ومن قطع صفا قطعه الله .
"Dirikanlah shaf-shaf kalian, sejajarkan antar pundak-pundak, isi yang kosong, dan hendaklah kalian melunakkan (bahu-bahu kalian) ditangan saudara-saudara kalian dan janganlah kalian membiarkan celah untuk syaitan, barangsiapa yang menyambung shaf (yang kosong) maka Allah akan menyambungnya dan barangsiapa yang memutuskan shaf maka Allah akan memutuskannya
(4). رصوا صفوفكم , وقاربوا بينها , وحاذوا بالأعناق .
"Rapatkan shaf-shaf kalian dan dekatkanlah antaranya."
(5). أتموا الصف المقدم , ثم الذي يليه , فما كان من نقص فليكن فى الصف الؤخر .
"Sempurnakan shaf yang didepan, kemudian shaf yang mengiringinya, apabila kurang maka hendaklah dishaf yang terakhir."

Beberapa catatan penting
(1). Diantara salah satu aba-aba yang masyhur dan yang sering diucapkan oleh imam (khususnya dinegara-negara Arab), adalah "Innallaha Lâ Yandhurû Ilâ Ash-Shaffi-l-A'waj" (sesungguhnya Allah tidak mau melihat shaf yang bengkok). Aba-aba ini tidak bersumber dari sunnah Rasulullah Saw, yang benar sebaiknya imam mengucapkan seperti yang diucapkan Rasulullah Saw ketika meluruskan shaf.

(2). Begitu juga, seringkali imam menasehatkan para jamaahnya agar berlaku khusyu' didalam shalat dan berkata "Shalli Shalâtan Muwaddha'" (Shalatlah seakan-akan ia adalah shalat perpisahan) tetapi sama sekali tidak mau memperhatikan keadaan makmum apakah shaf mereka telah sempurna atau belum.

(3). Pada beberapa daerah tertentu, setelah qamat didirikan imam bukannya menganjurkan makmum untuk meluruskan dan menyerpunakan shaf melainkan membaca doa dan ramai-ramai di Aminkan oleh makmum, perbuatan ini jelas menyalahi sunnah Rasulullah saw.

(4).Dalam memberikan aba-aba kepada Makmum, imam tidak mesti mengucapkannya dengan bahasa arab tetapi cukup dengan bahasa setempat yang dipahami oleh makmum.

Hukum meluruskan shaf
Hukum meluruskan shaf adalah wajib. Dari Nu'man Bin Basyir . Ra. Ia berkata : Rasulullah saw bersabda :
لتسوون بين صفوفكم , أو ليخالفن الله بين وجوهكم . وفي رواية : بين قلوبكم .
"Kalian luruskan shaf-shaf kalian, atau Allah betul-betul mengubah arah pandang antar kalian (sehingga hati-hati kalian berselisih,penj)" dan dalam satu riwayat : antar hati-hati kalian.
عن أنس قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : سووا صفوفكم فإن تسوية الصفوف من إقامة الصلاة . وفى رواية : من تمام الصلاة .

"Dari Anas ia berkata : Rasulullah Saw bersabda : "Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf itu adalah bagian dari mendirikan shalat." Dan dalam satu riwayat : "Bagian dari kesempurnaan shalat."

Tata cara meluruskan shaf
Dalam meluruskan shaf ada beberapa hal yang mesti diperhatikan agar terwujud kesempurnaan shaf tersebut, yaitu :

(1). Al-Muhâzât, yaitu posisi seorang makmum dengan makmum lainnya harus sejajar, patokannya adalah bahu dan kedua mata kaki, adapun menjadikan ujung-ujung jari sebagai patokan sejajarnya shaf adalah keliru, karena ukuran panjang pendeknya kaki seseorang itu berbeda.

(2). At-Tarâshu, yaitu tidak terdapat kerenggangan atau kekosongan didalam shaf. Dari Ibnu Umar Ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
أقيموا صفوفكم, وحاذوا بين المناكب , وسدوا الخلل ولينوا بأيدي إخوانكم , ولاتذروا فرجات للشيطان , ومن وصل صفا وصله الله ومن قطع صفا قطعه الله .

"Dirikanlah shaf-shaf kalian, sejajarkan antar pundak-pundak, isi yang kosong, dan hendaklah kalian melunakkan (bahu-bahu kalian) ditangan saudara-saudara kalian dan janganlah kalian membiarkan celah untuk syaitan, barangsiapa yang menyambung shaf (yang kosong) maka Allah akan menyambungnya dan barangsiapa yang memutuskan shaf maka Allah akan memutuskannya
رصوا صفوفكم , وقاربوا بينها , وحاذوا بالأعناق فوالذى نفسي بيده إني لأرى الشيطان يدخل من خلل الصف كأنها الخذف .
"Rapatkan shaf-shaf kalian, dekatkanlah antaranya, dan sejajarkanlah tengkuk-tengkuk, demi zat yang diriku berada ditangannya, sesungguhnya aku melihat syaithan masuk diantara celah-celah shaf yang kosong seakan-akan ia seperti Hazaf (kambing kecil berwarna hitam)."

Adapun cara merapatkan shaf, terdapat didalam hadits shahih yang diceritakan oleh Nu'man dan Anas (lihat pada hadist sebelumnya), dimana dalam dua hadits tersebut disebutkan :
وكان أحدنا يلزق منكبه بمنكب صاحبه وقدمه بقدمه .
"Dan adalah diantara kami ada yang menempelkan bahu dan kakinya dengan bahu dan kaki shahabatnya (yaitu orang yang disampingnya)."

Perlu diperhatikan, bahwa apa yang diceritakan oleh shahabat diatas bukan bermakna saling berhimpitan dan bersesakan yang dapat menghilangkan ke-khusyu'an shalat. Ibnu Utsaimin dalam Syarhul Mumthi' (3/14), berkata : "Bukanlah yang dimaksud dengan "At-Tarâshu" (merapatkan) adalah saling berhimpitan".
Dengan demikian, seorang muslim hendaklah berlaku lembut dan lunak kepada saudaranya yang lain dengan memberikan kesempatan kepadanya untuk menyambung atau menutupi shaf yang kosong. Dari Ibnu Abbas Ra. Ia berkata : Rasulullah saw bersabda :
خياركم ألينكم مناكب فى الصلاة .
"Sebaik-baik kalian adalah yang paling lunak/lembut pundaknya didalam shalat."

(3). Antara satu shaf dengan shaf lainnya saling berdekatan.
Telah disebutkan sebelumnya pada hadits Anas , Rasulullah Saw bersabda :
رصوا صفوفكم , وقاربوا بينها .
"Rapatkan shaf-shaf kalian, dan dekatkanlah antaranya."

(4). Menyempurnakan shaf, yaitu tidak membuat shaf yang baru sebelum shaf sebelumnya penuh benar. Rasulullah Saw bersabda :
أتموا الصف المقدم , ثم الذي يليه , فما كان من نقص فليكن فى الصف الؤخر .
"Sempurnakan shaf yang didepan, kemudian shaf yang mengiringinya, apabila kurang maka hendaklah ia dishaf yang terakhir."

Didalam hadits yang lain terdapat anjuran dan dorongan untuk melakukan hal tersebut :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ألا تصفون كما تصف الملائكة عند ربها عز وجل ؟ قلنا : وكيف تصف الملائكة عند ربها ؟ قال : يتمون الصفوف المقدمة ويترصون فى الصف .
"Rasulullah Saw bersabda : Tidakkah kalian bershaf seperti bershafnya para malaikat disisi tuhannya Azza wa Jalla ? kami berkata : Bagaimana Malaikat-malaikat itu bershaf disisi tuhannya ? beliau berkata : mereka menyempurnakan shaf yang didepan dan mereka saling merapatkan didalam shaf tersebut."

(5). Shaf laki-laki berada didepan shaf wanita (Akan datang pada pembahasan berikutnya).

(6). Hendaknya shaf yang mengiringi imam adalah mereka dari ahli Ilmu.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ليلني منكم أولو الأحلام و النهى ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم .
"Rasulullah Saw bersabda : Hendaklah orang yang mengiriku (yaitu shaf yang berada di belakang beliau), adalah mereka para ahli ilmu, kemudian setelahnya adalah orang-orang yang mengiringi mereka , dan kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (sebelumnya)."

(7) Mengutamakan posisi kanan shaf dari pada posisi kirinya. Rasulullah Saw bersabda :
إن الله وملائكته يصلون على ميامن الصفوف .
"Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikatnya berselawat kepada mereka yang berada di kanan shaf."
Namun keutamaan ini tidak secara mutlaq. Jika tampak perbedaan nyata , dimana posisi kanan imam lebih banyak dibanding posisi kiri imam maka yang lebih utama untuk dipenuhi adalah posisi kirinya, karena kaedah umum dalam berjamaah, jika makmum bertiga maka imam berdiri diposisi tengah. Tetapi jika posisi kanan dan kiri imam seimbang atau perbedaannya hanya sedikit saja maka disunnahkan mengambil posisi kanan imam seperti yang terdapat didalam hadits.

Catatan penting :
Apakah ketidaklurusan shaf para makmum dapat mengakibatkan batalnya shalat yang mereka kerjakan?
Ibnu Utsaimin dalam Syarhul Mumti' menjawab : "mengandung kemungkinan, terkadang dapat dikatakan bahwa hal itu membatalkan karena mereka meninggalkan yang wajib, akan tetapi kemungkinan tidak batalnya shalat namun ia berdosa dengan perbuatannya itu adalah kemungkinan yang lebih kuat."

Shalat seorang diri dibelakang shaf
Makmum tidak dibenarkan shalat seorang diri dibelakang shaf, karena terdapat didalam hadits shahih yang melarang demikian.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا صلاة لمنفرد خلف الصف .
Rasulullah Saw bersabda : "Tidak ada (tidak shah) shalat, bagi orang yang shalat seorang diri dibelakang shaf."
عن وابصة رضي الله عنه : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم رأى رجلا يصلى خلف الصف وحده . فأمر أن يعيد الصلاة .
"Dari Wâbishah Ra. Bahwasanya Rasulullah saw pernah melihat seseorang shalat seorang diri dibelakang shaf, lalu Nabi memerintahkan (orang itu) mengulangi shalat(nya)."

Namun jika larangan ini tidak diindahkan oleh makmum, yaitu ia tetap shalat seorang diri dibelakang shaf hingga sempurna satu rakaat dari shalatnya atau menyelesaikan seluruh rakaat shalatnya dibelakang shaf, apakah hal tersebut membatalkan shalatnya ?
Ulama berbeda pendapat mengenai shah tidaknya shalat seseorang yang shalat seorang dibelakang shaf, sebagian berpendapat shah shalatnya tetapi perbuatan tersebut adalah makruh dan sebagiannya lagi mengatakan batal shalatnya.
Namun pendapat yang kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa shalat orang tersebut adalah batal dan ia wajib mengulangi shalatnya bersandarkan dengan dhahir dua hadits diatas.
Adapun pendapat yang mengatakan shah shalatnya namun teranggap makruh, dengan beralasan pada hadits Abi Bakrah dan mempertentangkan hadits tersebut dengan dua hadits diatas adalah keliru. Perhatikan hadits Abi Bakrah dibawah ini :
عن أبي بكرة أنه انتهى إلى النبي صلى الله عليه وسلم وهو راكع , فركع قبل أن يصل إلى الصف , فذكر ذلك للنبى صلى الله عليه وسلم فقال : زادك الله حرصا .
"Dari Abi Bakrah bahwasanya ia pergi kepada Nabi Saw yang sedang ruku', lalu ia ruku sebelum ia sampai kepada shaf. (setelah shalat) hal itu ia ceritakan kepada Rasulullah Saw, maka nabi berkata kepadanya : "Moga-moga Allah menambahkan Hirs (kemauan) kepadamu, tetapi jangan kamu ulangi lagi."

Hadits Abi Bakrah diatas tidak bertentangan dengan dua dalil yang mengatakan batalnya shalat makmum yang shalat seorang diri dibelakang shaf.Hadits Abi Bakrah hanya bercerita tentang perbuatannya yang ruku' sebelum sampai kedalam shaf (tidak diceritakan bahwa beliau menyempurnakan ruku'nya hingga imam mengangkat kepalanya dari ruku'), sedang pada hadits Wâbitsah menceritakan tentang seseorang yang shalat seorang diri dibelakang shaf lalu diperintahkan untuk mengulanginya.

Namunpun jika kita menerima –keabsahan- beristidlâl dengan hadits Abi Bakrah (bahwa ia shalat seorang diri dibelakang shaf), maka ia pun tertolak dengan dua hal :
1. Abi Bakrah tidak menyempurnakan seluruh shalatnya dibelakang shaf seorang diri.
2. Rasulullah saw melarangnya untuk mengulanginya yang kedua kali. Beliau bersabda : "tetapi jangan kamu ulangi lagi". Artinya Nabi memaklumi tindakan Abi Bakrah tersebut karena ia melakukannya atas dasar kajahilannya (ketidaktahuaannya).

Adapun jika seseorang shalat seorang diri dibelakang shaf karena sebuah uzur, seperti ia datang kemasjid lalu ia mendapatkan semua shaf telah terisi penuh dan ia tidak mendapatkan celah yang dapat diisi, maka dalam keadaan seperti ini ia diperbolehkan shalat seorang diri dibelakang shaf. Allah Swt berfirman :
فاتقوا الله مااستطعتم (التغابن 16) .
"Artinya : Bertakwalah kalian dengan sekemampuan kalian" (Attaghâbun 16).
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها (البقرة 286) .
"Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (Al-Baqarah 286).
Dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah , beliau berkata : "dan shalat seorang diri adalah shah apabila ada uzur, demikian pendapat hanafiyah, dan apabila ia tidak mendapatkan tempat kecuali dibelakang shaf, maka yang lebih utama baginya adalah ia berdiri seorang diri, dan ia tidak boleh menarik orang lain untuk membuat shaf bersamanya…"

Catatan :
(1). Seorang makmum yang mendapatkan seluruh shaf telah terisi penuh, maka ia tidak dibenarkan menarik seorangpun yang berada didalam shaf untuk membuat shaf yang baru. Adapun berhujjah dengan hadits :
إذا انتهى أحدكم إلى الصف وقد تم فليجبذ إليه رجلا يقيمه جنبه .
"Apabila salah seorang diantara kalian berhenti kepada sebuah shaf dan ternyata shaf itu telah penuh maka hendaklah ia menarik seseorang (yang berada didalam shaf) agar ia berdiri disampingnya".
Hadits ini tidak boleh dijadikan sebagai hujjah karena hadits ini adalah lemah, didalam sanadnya terdapat seorang rawi yang bernama Bisyr Bin Ibrahim, ia adalah orang yang termasuk pemalsu hadits. Disamping lemahnya hadits yang berbicara tentang hal itu, tindakan menarik seseorang keluar dari shaf berarti telah melakukan beberapa kesalahan :
1. Ia telah menghilangkan konsentrasi (kekhusyuan) orang yang ditariknya tersebut.
2. Ia telah memutuskan shaf. Sedang Rasulullah Saw bersabda :
من قطع صفا قطعه الله .
"Barangsiapa yang memutuskan shaf maka Allah akan memutuskannya".
3. Ia telah berlaku dhalim terhadap orang yang ditariknya tersebut, karena ia telah memindahkannya dari posisi yang utama (fâdhil), kepada posisi yang lebih rendah dari itu (Mafdhûl).
Ibnu Qudamah berkata : Perbuatan (menarik orang keluar dari shaf) dimakruhkan oleh Mâlik, Al-Auzâi , dan dianggap jelek oleh Ahmad dan Ishâq.

(2). Seseorang yang masuk kedalam masjid dan ia mendapatkan imam sedang dalam keadaan ruku', maka ia diperbolehkan ruku' sebelum sampai kedalam shaf, kemudian setelah itu ia berjalan (dalam keadaan ruku') hingga masuk dan bergabung kedalam shaf tersebut.
Perbuatan ini disandarkan kepada Atha' , bahwa ia pernah mendengar Ibnu Zubair (salah seorang shahabat Rasulullah saw), berkata diatas mimbar : "Apabila salah seorang diantara kalian masuk kedalam masjid sedang orang-orang dalam kedaan ruku' maka hendaklah ia ruku' hingga ia masuk, kemudian ia berjalan dalam keadaan ruku' hingga ia sampai kedalam shaf, karena sesungguhnya yang demikian itu adalah sunnah."
Atha' berkata : " Aku melihat ia (Ibnu Zubair) melakukan hal itu". Ibnu Juraij berkata : "Dan aku melihat Atha' melakukan itu juga".
Adapun orang-orang yang membolehkan hal demikian diantaranya Ibnu Mas'ud, Zaid bin Tsabit , dan Zaid Ibnu Wahbin , Abu Bakar bin Abdurrahman , 'Urwah , Sa'id bin Jubair dan Ibnu Juraij, juga hal tersebut dibolehkan oleh Az-Zuhry , Al-Auzai, Mâlik, dan As-Syafi'I jika dekat dari shaf
Dan juga perkataan Ibnu Zubair bahwa "yang demikian itu adalah sunnah" tidak diingkari oleh seorangpun dari shahabat-shahabat Rasul.

Perbuatan diatas ini tidak bertentangan dengan hadits Abi Bakrah, dimana ia datang (ke masjid) sedang Rasulullah Saw dalam keadaan ruku' lalu beliaupun ruku' diluar shaf, kemudian ia berjalan menuju shaf, tatkala Rasulullah Saw menyelesaikan shalatnya beliau bersabda : Siapakah diantara kalian yang ruku' diluar shaf, kemudian ia berjalan menuju keshaf ? Abu Bakrah berkata : "Saya". Rasulullah Saw bersabda: "Moga-moga Allah menambahkan Hirs (kemauan) kepadamu, tetapi jangan kamu ulangi lagi."

Adapun bentuk Jam'unya (bentuk penggabungannya) antara hadits Abi Bakrah dengan hadits Ibnu Zubair diatas adalah bahwa Nabi Saw melarang perbuatan Abi Bakrah tidak lain karena sifatnya yang tergesa-gesa itu, sebagaimana diceritakan dalam beberapa riwayat: "bahwa ia (Abi Bakrah) datang dalam keadaan berlari". Dan dalam riwayat lain disebutkan : "Qad Hafazani An-Nafas" (yaitu datang tergesa-gesa). Dengan demikian imam Syafi'I berkata : Sabda Rasul : "Jangan kamu ulangi lagi" serupa dengan sabda beliau : "Kalian jangan mendatangi shalat dan kamu dalam keadaan berlari."

Membuat shaf di depan imam
Jika bukan karena uzur atau dharurat seperti keadaan masjid yang demikian padatnya pada hari jum'at, makmum tidak dibenarkan berdiri atau membuat shaf didepan imam, karena shalat didepan imam menurut pendapat yang rajih (kuat) adalah tidak shah. Dalil yang menunjukkan demikian, adalah :
(1) Sabda Rasulullah Saw :
إنما جعل الإمام ليؤتم به .
" Dijadikan imam itu tidak lain kecuali untuk diikuti."
Imam diikuti dan diturut karena makmum melihatnya, berbeda dengan mereka yang shalat didepan imam, dalam mengikutinya perlu pada iltifât (menoleh kebelakang) untuk memastikan setiap gerak yang dilakukan oleh imam.
Namun hujjah ini ditolak oleh mereka yang memandang shahnya shalat didepan imam dengan beralasan bahwa dalam mengikuti imam juga dapat terwujud tanpa harus melihat imam seperti halnya orang yang shalat di belakang shaf. Bantahan ini dijawab dengan alasan yang kedua dibawah ini.
(2). Posisi makmum yang berada didepan imam adalah posisi keliru yang tidak pernah ada dizaman Rasulullah saw, sedang Rasulullah Saw bersabda :
صلوا كما رأيتمني أصلي .
"Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat."
Sabda Rasul Saw ini mencakup pada semua hal, baik itu berkaitan dengan perbuatan didalam shalat, bilangan shalat ataupun hal-hal yang berkaitan dengan posisi shalat.Membuat shaf yang posisinya dihadapan imam adalah posisi yang menyalahi sunnah, artinya shalat yang dilakukannya tidak shah, seperti halnya seseorang yang shalat dirumah dengan niat mengikuti shalat imam yang dimasjid.

Membuat shaf disamping imam
Hukumnya tidak berbeda dengan hukum membuat shaf didepan imam, tidak diperbolehkan karena hal tersebut menyalahi sunnah Rasulullah Saw. Adapun jika semua shaf-shaf telah terisi penuh dan makmum tidak mendapatkan tempat lagi kecuali disamping imam maka dalam keadaan seperti ini diperbolehkan.

Membuat shaf diantara tiang-tiang masjid
Ulama sepakat bolehnya membuat shaf diantara tiang-tiang masjid jika keadaan masjid sesak dan dipenuhi oleh orang-orang (dalil, lihat hadits Abdul Hamid didalam pembahasan ini), adapun jika masjid dalam keadaan luas dan tidak dipenuhi oleh orang-orang lalu para makmum membuat shaf diantara tiang-tiang masjid, maka hal ini menjadi perselisihan diantara para ulama sebagian membolehkan dan sebagian lagi tidak membolehkannya.
Pendapat yang rajih-kuat- adalah pendapat yang tidak membolehkan, karena terdapat beberapa hadits dan atsar shahabat yang melarang demikian.
عن قرة بن إياس المزني , قال : كنا ننهى أن نصف بين السواري على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم.
"Dari Qurrah bin Iyyâs Al-Mazniy ia berkata : Dulu kami dilarang membuat shaf diantara tiang-tiang (masjid) pada masa Rasulullah Saw."
عن عبد الحميد بن محمود , قال : صلينا خلف أمير من الأمراء , فاضطرنا الناس , فصلينا بين الساريتين , فلما صلينا, قال أنس بن مالك : كنا نتقي هذا على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم .
" Dari Abdul Hamid Bin Mahmud, ia berkata : Kami pernah shalat dibelakang salah seorang Amir, lalu orang-orang mendesak kami, hingga akhirnya kami shalat diantara dua tiang, tatkala kami selesai shalat, Anas bin Mâlik berkata : " Dulu kami menghindari hal ini dimasa Rasulullah Saw."
Keabsahan hadits ini digugat oleh Abu Muhammad Abdul Haq dari segi sanadnya. Beliau melemahkan hadits ini karena didalam sanadnya terdapat seorang rawi yang bernama : "Abdul Hamid Bin Mahmud" beliau berkata : "Ia (Abdul Hamid) tidak termasuk dari orang-orang yang haditsnya dapat dijadikan sebagai hujjah".
Namun hal ini bantah oleh Abul Hasan Bin Al-Qatthan, beliau berkata : "Saya tidak tahu siapa yang mengkhabarkan hal ini kepada beliau (tentang lemahnya Abdul Hamid), dan saya belum pernah melihat satu ulamapun yang mengarang kitab "Ad-dhu'afa" yang menyebutkan hal itu didalam kitab mereka…."
Adapun atsar shahabat yang melarang salat diantara tiang-tiang, diantaranya adalah perkataan ibnu Mas'ud : "Kalian jangan membuat shaf diantara tiang-tiang (masjid)…"
Ibnul Araby berkata : "Tidak ada khilaf (diantara para fuqaha) tentang bolehnya shalat diantara tiang jika keadaan yang sempit, adapun jika keadaan lowong maka hal itu dimakruhkan bagi jamaah (shalat)."
Catatan :
1. Larangan shalat diantara tiang ini berlaku khusus untuk shaf dan jamaah. Adapun untuk orang yang shalat seorang diri atau ia menjadi imam maka hal tersebut diperbolehkan.
2. Penyebab larangan ini (baca illat), tidak lain karena menyebabkan terputusnya shaf.

Shaf anak-anak kecil
Sebagian ulama memandang bahwa diantara salah satu kesempurnaan dalam pengaturan shaf adalah menempatkan anak-anak kecil dibelakang shaf orang dewasa. Mereka berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Mâlik Al-Asy'ari Ra :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يجعل الرجل قدام الغلمان , والغلمان خلفهم , والنساء خلف الغلمان .
Adalah Rasulullah Saw menjadikan (shaf) orang-orang dewasa didepan anak-anak kecil, sedang anak-anak kecil dibelakang mereka, dan wanita berada dibelakang anak kecil."
Tetapi hadits ini tidak dapat dijadikan sebagai landasan hukum (hujjah), karena hadits ini adalah dhaif (lemah), didalam sanadnya terdapat seorang rawi yang bernama "Syahru Bin Hausyab" ia dianggap lemah oleh ahli-ahli hadits. Dengan lemahnya hadits ini, Ibnu Utsaimin dan Syaikh Al-Bany lebih merajihkan bolehnya anak-anak kecil berada dishaf orang dewasa
Memposisikan anak-anak kecil dibelakang shaf orang dewasa terkadang atau bahkan pada ghalibnya menimbulkan beberapa dampak : mereka membuat gaduh sesama mereka, timbul rasa tidak simpatiknya kepada orang yang menariknya mundur kebelakang bahkan dapat menyebabkan mereka menjauhi masjid.
Adapun dalil bolehnya anak kecil berada didalam shaf orang dewasa adalah sebagai berikut :
أقبلت راكبا على أتان , وأنا يومئذ قد ناهزت الإحتلام ورسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي بالناس بمنى إلى غير جدار , فمررت بين يدي بعض الصف , فنزلت و أرسلت الأتان ترتع , فدخلت في الصف , فلم ينكر ذلك علي أحد .
"Aku pernah mengendarai keledai-dimana usiaku ketika itu mendekati masa akil baligh-. Dan Rasulullah Saw sendiri sedang mengimami orang-orang di Mina tanpa sutrah (pembatas). Akupun melintas didepan sebagian shaf, lalu turun dan melepaskan keledai tersebut untuk mencari makan, lalu aku masuk kedalam shaf dan tidak ada seorangpun yang mengingkari hal itu."
Begitu juga hadits tentang anak yatim yang shalat bersama Anas Ra. dibelakang Rasulullah Saw, yang menunjukkan bolehnya anak kecil berdiri disamping orang dewasa :
عن أنس بن مالك قال : صليت أنا ويتيم فى بيتنا خلف النبى صلى الله عليه وسلم وأمي – أم سليم – خلفنا .
"Dari Anas Bin Mâlik ia berkata : Aku dan seorang anak yatim pernah shalat dirumah kami dibelakang Rasulullah Saw, sedang ibuku-Ummu Sulaim- (shalat) shalat dibelakang kami."
Andai anak kecil memiliki shaf yang tersendiri seperti halnya wanita, niscaya shaf Anas berbeda dengan shaf anak kecil tersebut (anak yatim), akan tetapi Anas dan anak yatim berada dalam satu shaf tanpa ada pemisahan.

Catatan :
Sekalipun tidak ada hadits shahih yang menerangkan bahwa posisi anak kecil harus dibelakang orang dewasa, tetapi harus diperhatikan bahwa hendaknya yang shalat tepat dibelakang imam bukan dari anak-anak kecil tetapi hendaknya orang dewasa dari ahli ilmu. Rasulullah Saw bersabda :
ليلني منكم أولو الأحلام و النهى ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم .
"Hendaklah orang yang mengiringiku (yaitu shaf yang berada di belakang beliau), adalah mereka para ahli ilmu, kemudian orang-orang yang mengiringi mereka, dan kemudian orang-orang yang mengiringi mereka."

Shaf Wanita
Jika dalam sebuah jamaah berkumpul laki-laki, wanita, anak-anak kecil (laki-laki) dan Khuntsa, maka wanita menempati posisi paling belakang. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda :
خير صفوف الرجال أولها وشرها أخرها ، وخير صفوف النساء أخرها وشرها أولها .
"Sebaik-baik shaff laki-laki adalah diawalnya dan sejelek-jeleknya adalah di akhirnya, sebaik-baik shaf wanita adalah di akhirnya dan sejelek-jeleknya adalah di awalnya."
Imam Nawawie berkata :"…Maksud hadits ini adalah shaf wanita yang shalat bersama laki-laki…"
Adapun jika wanita shalat bersama kaumnya (sesama wanita) maka posisi shafnya tidak berbeda dengan posisi laki-laki dalam shalat berjamaah, jika makmum hanya seorang maka ia berdiri disamping imam dan jika makmum terdiri dari beberapa orang maka yang utama adalah shaf terdepan. Yang berbeda hanyalah posisi imam wanita, imam wanita berdiri ditengah-tengah shaf bukan didepan shaf (akan kita jelaskan pada pembahasan berikutnya).

Laki-laki dan wanita dalam satu shaf
Jika wanita berdiri di shaf laki-laki atau laki-laki berdiri di shaf wanita, maka hal itu tidak membatalkan shalat seorangpun diantara mereka, baik dari laki-laki maupun wanita. Namun hal tersebut adalah perbuatan yang dimakruhkan (dibenci) demikian pendapat jumhur.
Dan apa yang disebutkan oleh jumhur, itulah pendapat yang rajih (kuat) terutama lagi jika keadaan dharurat yang menuntut demikian seperti di Masjid Al-Haram dan Nabawy.
Imam Asy-Syaukani berkata : Adapun rusaknya shalat wanita disebabkan karena hal itu (sejajar dengan laki-laki), maka tidak ada satu dalilpun yang menunjukkan demikian, demikian juga tidak ada dalil yang menunjukkan rusaknya shalat laki-laki.
Imam Nawawie berkata : Sandaran kami bahwa pada asalnya, shalat itu adalah shahih sehingga terdapat dalil shahih dari syar'I yang menunjukkan pada kebathalannya, dan mereka (yang mengatakan batal) tidak memiliki dalil tentang itu…"
Namun perlu dicatat, bahwa perbuatan tersebut jika dilakukan dengan sengaja akan menyebabkan dosa, baik itu laki-laki yang shalat dishaf wanita atau wanita yang shalat dishaf laki-laki.

Wanita shalat didepan shaf laki-laki
Tidak berbeda dengan hukum diatas, wanita yang shalat didepan laki-laki tidak membatalkan shalatnya dan shalat orang yang dibelakangnya (laki-laki), hanya saja wanita tersebut telah berlaku maksiyat karena menyalahi posisinya yang telah ditentukan baginya oleh Rasulullah saw.
Ibnu Hajar berkata : "Kalau seorang wanita menyalahi posisinya, shalatnya teranggap shah menurut mayoritas ulama, sedang Hanafi berpendapat bahwa shalat laki-laki itu adalah bathal sedang wanita tidak."
Mengatakan batalnya shalat laki-laki sedang wanita tidak atau batalnya shalat kedua-duanya, butuh kepada dalil shahih seperti yang diucapkan oleh imam Nawawie diatas.

BAB IV : POSISI IMAM DAN MAKMUM DALAM KAITANNYA DENGAN SHAF
Bab ini mencakup pada dua bagian, bagian yang shalat jamaah di imami oleh laki-laki dan bagian lainnya adalah shalat jamaah di imami oleh wanita. Dan pada tiap-tiap bagian mencakup pada beberapa permasalahan.

Bagian pertama : Shalat jamaah dengan imam laki-laki

A. Imam bersama dengan seorang makmum :
(1) Seorang makmum laki-laki (anak kecil atau dewasa).
(2) Seorang makmum Khuntsa.
(3) Seorang makmum wanita.
Rinciannya sebagai berikut :
(1) Makmum seorang laki-laki (anak kecil atau dewasa)
Makmum berdiri tepat sejajar disamping kanan imam. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas Ra. beliau berkata :
صليت مع رسول الله صلىالله عليه وسلم ذات ليلة , فقمت عن يساره , فأخذ رسول الله صلىالله عليه وسلم برأسى من ورائى فجعلنى عن يمينه .
"Pada suatu malam aku pernah shalat bersama Rasulullah Saw, dan aku berdiri disamping kirinya, lalu Rasulullah Saw memegang kepalaku dari belakang, lalu beliau mendirikanku disamping kanannya."
عن عبد الله بن عتبة بن مسعود قال : دخلت على عمر بن الخطاب بالهاجرة فوجدته يسبح فقمت وراءه فقربني حتى جعلني حذاءه عن يمينه .
"Dari Abdullah Bin 'Utbah Bin Mas'ud ia berkata : Aku pernah masuk ketempat umar Bin Khattab karena udara siang yang begitu panas dan aku mendapatinya ia sedang shalat, lalu akupun (ikut shalat) dibelakangnya, lalu beliau mendekatkanku hingga menjadikanku berada sejajar disamping kanannya."
عن إبن جريج قال : قلت لعطاء : الرجل يصلي مع الرجل اين يكون منه ؟ قال : إلى شقه الأيمن , قلت : أيحاذي به حتى يصف معه لايفوت أحدهما الأخر ؟ قال : نعم , قلت : أتحب أن يساويه حتى لا تكون بينهما فرجة ؟ قال : نعم .
"Dari Ibnu Juraij, ia berkata : Aku berkata kepada Atha' : Seseorang yang shalat bersama seseorang, (imam dan seorang makmum) dimanakah posisi makmum dari imam ? ia (Atha') berkata : disamping kanannya. Aku berkata : apakah dia harus sejajar dengannya sehingga ia bersaf bersamanya, yang mana salah seorang diantara keduanya tidak boleh mendahului (satu agak kedepan dan satunya agak kebelakang, penj), Atha' berkata : Ya. Aku berkata : Apakah kamu suka jika ia merapatkannya hingga tidak ada furjah ( tempat lowong) diantara keduanya ? ia berkata : Ya."
Imam Bukhari sendiri telah membuat bab khusus tentang posisi tersebut, dimana beliau menulis : "Bab berdiri tepat sejajar disamping kanan imam apabila berdua".
Dengan demikian apa yang diyakini oleh kebanyakan orang, yaitu wajibnya sang makmum berada dibelakang imam dalam segala hal walaupun ia seorang diri atau sang makmum berada disamping imam tetapi ia tidak boleh sejajar persis dengan imam, harus agak mundur sedikit kebelakang, maka yang demikian adalah pendapat yang keliru yang sama sekali tidak bersandarkan kepada dalil. Yang benar adalah apa yang telah kami sebutkan diatas.
Catatan :
1. Jika seorang makmum berdiri disamping kiri imam, maka imam hendaknya memindahkan posisi makmum tersebut dengan memutarnya dari arah belakangnya hingga sang makmum tepat sejajar disebelah kanan imam, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Saw kepada Ibnu Abbas dan Jâbir Radiyallahu Anhuma.
2. Jika makmum shalat disamping kiri imam dan imam tidak memindahkan posisi makmum tersebut kesebelah kanannya, apakah shalat sang makmum teranggap shah atau tidak ?
Shalatnya batal dan ia wajib mengulangi shalatnya tersebut, demikian pendapat mazhab Hanbali. Sedang jumhur (mayoritas) ulama (diantaranya imam Mâlik, As-Sâfi'I dan Abu Hanifah) berpendapat bahwa shalat orang tersebut adalah shahih namun orang tersebut telah menyalahi sunnah Rasulullah Saw.
Pendapat jumhur ini adalah pendapat yang kuat karena tidak ada satu dalilpun yang menyebutkan secara tegas bahwa shalat orang tersebut adalah batal, adapun hadits Ibnu Abbas yang ia ceritakan diatas hanyalah semata-mata fi'il (perbuatan) Nabi Saw, yang tidak menunjukkan akan wajibnya. Andai hal itu wajib niscaya Rasulullah saw berkata kepada ibnu Abbas jangan kamu ulangi perbuatan itu seperti halnya Rasulullah mengucapkannya kepada Abi Bakrah (yang mendatangi shalat dengan cara tergesa-gesa).
3. Jika pada asalnya terdapat dua makmum di belakang imam, lalu salah seorang makmum mengundurkan diri karena sebuah uzur (kentut umpamanya) maka makmum yang tersisa itu diharuskan berjalan kedepan hingga sejajar dengan posisi imam.

(2). Makmum seorang Khuntsa
Khuntsa adalah seseorang yang memiliki dua kemaluan, kemaluan laki-laki dan kemaluan wanita serta kencing melalui jalur keduanya. Khuntsa ini juga mencakup pada orang yang tidak memiliki kemaluan tetapi memiliki lubang dubur.
Walaupun jenis ini tidak terdapat dizaman Rasulullah Saw dan beliau juga tidak pernah menentukan posisi khusus untuknya, namun ulama-ulama kita terdahulu telah membahas permasalahan ini secara mendetail karena jenis khuntsa benar-benar ada di tengah masyarakat mereka. Jika ini terjadi pada masa mereka, maka untuk dimasa kita mungkin jenis ini lebih banyak dibanding masa mereka, mengingat jumlah penduduk didunia semakin hari semakin banyak saja jumlahnya. Dengan demikian penulis tetap merasa penting untuk memasukkan posisi khuntsa didalam bab ini.
Posisi khuntsa
Khuntsa menempati posisi kanan imam, sebab jika ia seorang laki-laki maka ia telah menempati posisinya yang benar, sedang jika ternyata ia adalah seorang wanita, maka posisinya yang disamping kanan imam itu tidak membatalkan shalatnya, seperti tidak batalnya shalat wanita yang berdiri di samping makmum laki-laki. Khuntsa tidak boleh berdiri sendiri karena ada kemungkinan ia seorang laki-laki.

(3). Makmum seorang wanita
Sebelum kita membahas posisi seorang makmum wanita, maka terlebih dahulu kita membahas tentang boleh tidaknya seorang wanita atau beberapa wanita menjadi makmum dari imam laki-laki yang bukan mahramnya, tanpa adanya makmum laki-laki.
Dalam mazhab Maliki begitu juga Hanbali laki-laki dimakruhkan mengimami wanita yang bukan mahramnya tanpa ada laki-laki bersamanya. Karena keadaan yang demikian adalah salah satu dari bentuk khalwat , sedang Rasulullah Saw melarang laki-laki berkhalwat (berduaan) dengan wanita asing.
Namun pendapat diatas tertolak dengan dengan dua alasan;
Pertama, jika wanita lebih dari seorang maka keadaan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai khalwat, baik shalat itu dilakukan di masjid atau diluar masjid. Diriwayatkan oleh Abu Ya'la dan At-Tabrâni dengan sanad yang hasan :
أن أبي بن كعب جاء إلى النبي صلىالله عليه وسلم , فقال : يا رسول الله , عملت اللية عملا . قال : وما هو ؟ قال : نسوة معي في الدار قلن : إنك تقرأ , ولا نقرأ , فصل بنا . فصليت ثمانيا و الوتر . فسكت النبي صلى الله عليه وسلم , قال : فرأينا سكوته رضا .
"Bahwasanya Ubay Bin Ka'ab pernah datang menghadap kepada Nabi Saw, dan berkata : Ya Rasulullah, malam tadi aku melakukan sebuah amalan. Ia (nabi Saw) berkata : (amalan) apakah itu ? : Ia berkata : ada beberapa wanita bersamaku dirumah, mereka berkata : "kamu ini dapat membaca, sedang kami tidak, maka shalatlah dengan kami (imam)." Lalu aku shalat delapan (rakaat) dan ditambah dengan witir." Dan Nabi Sawpun diam. Ia (Ubay) berkata : "Kami melihat bahwa diamnya beliau adalah sebuah keridhaan."
Kedua, adapun jika makmum hanya seorang wanita dan shalat dilakukan bukan ditempat-ditempat umum (seperti dirumah) maka menghukuminya hanya sebagai suatu hal yang makruh saja adalah kurang tepat. Karena "khalwat" adalah haram dalam segala keadaan apapun. Imam Nawawie berkata : Shahabat-shahabat kami berkata : "Dan tidak ada perbedaan dalam haramnya berkhalwat, dimana kami mengharamkannya baik dalam shalat maupun diluar shalat."
Tetapi jika shalat yang dilakukannya ini dimasjid maka bentuk khalwat diatas pun tidak terwujud. Berkata pemilik kitab "Al-Mufasshal fi Ahkâmil Mar'ah Wa Baitil Muslim" Dr. Abdul Karim Zaidan :
"Yang Râjih menurutku : Bahwa laki-laki boleh mengimami seorang wanita saja, atau hanya mengimami kelompok wanita (tanpa ada makmum laki-lakinya) di Masjid dan itu bukanlah hal yang makruh, karena masjid adalah tempat umum untuk beribadah, maka tidak terwujud padanya bentuk khalwat yang dilarang oleh syariat…"
catatan :
Adapun jika laki-laki mengimami wanita dari mahramnya sendiri maka hal itu tidak menjadi perselisihan diantara para ulama, tidak dimakruhkan.
Posisi seorang makmum wanita
Adapun posisinya, ia berada dibelakang imam, demikian kesepakatan para ulama. Posisi ini, disandarkan kepada hadits Anas :
عن أنس بن مالك قال : صليت أنا ويتيم فى بيتنا خلف النبى صلى الله عليه وسلم وأمي – أم سليم – خلفنا .
"Dari Anas Bin Mâlik ia berkata : Aku dan seorang anak yatim pernah shalat dirumah kami dibelakang Rasulullah Saw, sedang ibuku-Ummu Sulaim- (shalat) shalat dibelakang kami."

B. Imam bersama dua orang makmum
(1). Seorang laki-laki dan seorang wanita
(2). Dua orang laki-laki
(3). Dua orang wanita
(4). Seorang laki-laki dan seorang khuntsa
(5). Seorang laki-laki dewasa dan seorang anak kecil
(6). Seorang laki-laki kecil dan seorang wanita dewasa
Adapun rinciannya sebagai berikut :
(1). Seorang laki-laki ( dewasa atau anak kecil ) dan seorang wanita
Laki-laki berdiri disamping kanan imam sedang wanita berdiri seorang diri dibelakang.
عن إبن عباس قال : صليت إلى جنب النبي صلى الله عليه وسلم و عائشة معنا تصلي خلفنا و أنا إلى جنب النبي صلى الله عليه وسلم أصلي معه .
"Dari Ibnu Abbas Ra. ia berkata : Aku pernah shalat disamping Nabi Saw dan Aisyah ketika itu bersama kami, ia shalat dibelakang kami sedang saya sendiri shalat disamping Rasulullah Saw."
عن أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى به وبأمه أو خالته قال : فأقامني عن يمينه وأقام المرأة خلفنا .
"Dari Anas Ra. bahwasanya Rasulullah saw pernah mengimaminya bersama ibunya atau bibinya. Anas berkata : Beliau saw meletakkanku disamping kanannya dan meletakkan wanita dibelakang kami."
Catatan :
Shalatnya wanita seorang diri dibelakang shaf, hukumnya berbeda dengan shalatnya seorang laki-laki dibelakang shaf. Jika laki-laki dilarang shalat seorang diri dibelakang shaf kecuali jika ada uzur yang membenarkan demikian (seperti semua shaf telah terisi penuh) maka wanita disunnahkan berdiri seorang diri dibelakang shaf jika tidak ada wanita lain yang hadir bersamanya, karena wanita berada dilarang berada di shaf laki-laki. Adapun jika wanita terdiri dari beberapa orang lalu seorang wanita berdiri seorang diri dibelakang shaf, maka hukumnya tidak berbeda dengan hukum laki-laki.
(2) Dua orang laki-laki ( dewasa atau anak kecil )
Posisi yang lebih afdhal (utama) adalah berada dibelakang imam. Diriwayatkan dari Jâbir, beliau berkata :
قام رسول الله صلى الله عليه وسلم ليصلى فجئت فقمت على يساره , فأخذ بيدي فأدارني , حتى أقامنى عن يمينه ثم جاء جبار بن صخر , فقام عن يسار رسول الله صلى الله عليه وسلم فأخذ بأيدينا جميعا فدفعنا حتى أقامنا خلفه
"Rasulullah Saw tengah berdiri untuk melaksanakan shalat, lalu aku datang dan berdiri disamping kiri beliau, lalu beliau mengambil kedua tanganku dan memutarku hingga beliau mendirikanku disamping kanannya, kemudian Jabbar bin Shakhrin datang dan berdiri disamping kiri Rasulullah saw, lalu beliau memegang tangan-tangan kami dan mendorong kami hingga beliau mendirikan kami dibelakangnya."
Dan lihat juga hadits Anas beserta anak yatim yang shalat dibelakang Rasulullah Saw. (halaman 40, posisi seorang makmum wanita).
Selain posisi diatas, ada posisi lain bagi dua orang makmum laki-laki yaitu seorang disamping kanan imam dan seorangnya lagi disamping kirinya, sedang imam sendiri berada ditengah-tengah diantara keduanya. Posisi ini disandarkan kepada hadits Ibnu Mas'ud :
أنه وقف بين علقمة و الأسود وصلى بهما. وقال هكذا رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فعل .
"Bahwasanya beliau (Ibnu Mas'ud) berdiri diantara AlQamah dan Aswad dan mengimami mereka berdua. Dan berkata (setelah shalat) : seperti inilah aku melihat Rasulullah saw melakukannya."
Namun posisi yang terakhir ini menjadi perdebatan (khilaf) diantara para ulama. Sebagian besar berpendapat bahwa posisi satu-satunya adalah makmum berada dibelakang imam, dan apa yang dilakukan oleh Ibnu Mas'ud adalah Mansukh (hukumnya telah dihapus) dengan hadits Jâbir, Anas dan lain-lainnya yang menceritakan bahwa posisi makmum berada dibelakang imam, dan juga hadits Ibnu Mas'ud adalah Mauquf dan tidak shah rafa'nya (tidak sampai sanadnya) kepada Nabi Saw.
Dan sebagiannya lagi berpendapat bahwa posisi dua orang makmum adalah disamping kanan kiri imam.
Yang rajih-Wallahu A'lam- boleh mengamalkan kedua hadits diatas, dengan catatan bahwa posisi dua orang makmum dibelakang imam adalah lebih utama dari pada posisi dua orang makmum yang berdiri disamping kanan-kiri imam, sebab perbuatan Rasulullah Saw mengundurkan Jâbir dan Jabbar menunjukkan keutamaannya tersebut, andai yang lebih utama adalah menempatkan keduanya disamping kanan kiri imam niscaya Rasulullah Saw membiarkan keduanya berada disampingnya.
Adapun kritikan terhadap hadits Ibnu Mas'ud, bahwa hadits tersebut adalah mauquf dan tidak shah rafa'nya kepada Nabi Saw, dibantah oleh Al-Hâfidz Az-zila'I, beliau berkata : "Bahwasanya imam Muslim meriwayatkannya (hadits Ibnu Mas'ud) melalui tiga jalur, beliau tidak merafa'kannya pada dua jalur yang pertama dan ia merafa'kannya kepada Nabi Saw pada jalur yang ketiga, dimana ia (Ibnu Masud) berkata pada jalur yang ketiga itu : "seperti inilah yang dilakukan oleh Rasulullah saw."

(3). Dua orang wanita
Keduanya berada dibelakang imam.
عن أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى به وبأمه أو خالته قال : فأقامني عن يمينه وأقام المرأة خلفنا .
"Dari Anas Ra. bahwasanya Rasulullah saw pernah mengimaminya bersama ibunya atau bibinya. Anas berkata : Beliau saw meletakkanku disamping kanannya dan meletakkan wanita dibelakang kami."
عن إبن عباس قال : صليت إلى جنب النبي صلى الله عليه وسلم و عائشة معنا تصلي خلفنا و أنا إلى جنب النبي صلى الله عليه وسلم أصلي معه .
"Dari Ibnu Abbas Ra. ia berkata : Aku pernah shalat disamping Nabi Saw dan Aisyah ketika itu bersama kami, ia shalat dibelakang kami sedang saya sendiri shalat disamping Rasulullah Saw."
Jika hadits-hadits diatas hanya menerangkan tentang seorang wanita yang ikut shalat berjamaah dan letaknya berada dibelakang, maka dua orang wanita lebih utama menempati posisi belakang imam. Wallahu A'lam.

(4). Seorang laki-laki dan seorang Khuntsa.
Laki-laki berdiri disamping kanan imam sedang Khuntsa berdiri disamping kirinya, atau sang khuntsa berdiri disamping kanan makmum laki-laki. Dan keduanya tidak boleh berdiri dibelakang imam, karena ada kemungkinan sang khuntsa adalah seorang wanita.

(5). Seorang wanita dan seorang Khuntsa.
Khuntsa berdiri disamping kanan imam, sedang wanita berdiri dibelakang keduanya. Karena kaedah umum menyebutkan bahwa wanita selamanya harus berada dibelakang khuntsa. Adapun Khuntsa menempati posisi kanan imam, sebab jika ia seorang laki-laki maka ia telah menempati posisinya yang benar, sedang jika ternyata ia adalah seorang wanita, maka posisinya yang disamping kanan imam itu tidak membatalkan shalatnya.

(6). Dua orang Khuntsa.
Keduanya berada dibelakang imam. Sebab jika keduanya ternyata adalah laki-laki, maka keduanya telah menempati posisi yang benar dan utama. Sedang jika keduanya ternyata adalah wanita maka disitulah posisi yang sebenarnya. Adapun jika ternyata salah satu diantara keduanya berbeda jenis dengan yang lainnya, yaitu seorang wanita dan seorang laki-laki, maka posisinya yang bersampingan itu tidak membatalkan shalat keduanya, seperti tidak batalnya shalat wanita yang berdiri di samping makmum laki-laki. (lihat pembahasan sebelumnya tentang laki-laki dan wanita berada didalam satu shaf).

(7). Seorang laki-laki dewasa dan seorang anak kecil laki-laki.
Keduanya berdiri sejajar dibelakang imam.
عن أنس بن مالك قال : صليت أنا ويتيم فى بيتنا خلف النبى صلى الله عليه وسلم وأمي – أم سليم – خلفنا .
"Dari Anas Bin Mâlik ia berkata : Aku dan seorang anak yatim pernah shalat dirumah kami dibelakang Rasulullah Saw, sedang ibuku-Ummu Sulaim- (shalat) shalat dibelakang kami."
Perkataan Anas Ra. : "Aku dan seorang anak yatim", menunjukkan bahwa Anas ketika itu shalat bersama anak kecil. Istilah "Anak Yatim" menurut orang-orang Arab, adalah sebuah nama atau gelar bagi tiap anak-anak manusia yang tidak memiliki bapak hingga ia mencapai usia baligh, jika ia telah mencapai usia baligh maka ia telah keluar dari gelar "yatim" dan masuk dalam golongan orang dewasa. Rasulullah Saw bersabda : "Tidak ada yatim setelah baligh."

C. Imam bersama tiga orang makmum atau lebih
(1). Tiga orang makmum laki-laki atau lebih, baik dewasa maupun anak kecil.
(2). Tiga orang makmum wanita atau lebih.
(3). Dua orang laki-laki dan seorang wanita.
(4). Dua orang wanita dan seorang laki-laki.
(5).
Adapun rinciannya sebagai berikut :

(1). Tiga orang makmum laki-laki atau lebih, baik dewasa maupun anak kecil.
Tidak ada khilaf diantara para ahli ilmu, bahwa jika imam bersama tiga orang makmum atau lebih, imam berada didepan sedang para makmum berada dibelakang imam. Adapun diantara dalil-dalilnya adalah sebagai berikut :
(1). Adalah hadits Jâbir yang telah kita sebutkan sebelumnya :
قام رسول الله صلى الله عليه وسلم ليصلى فجئت فقمت على يساره , فأخذ بيدي فأدارني , حتى أقامنى عن يمينه ثم جاء جبار بن صخر , فقام عن يسار رسول الله صلى الله عليه وسلم فأخذ بأيدينا جميعا فدفعنا حتى أقامنا خلفه
"Rasulullah Saw tengah berdiri untuk melaksanakan shalat, lalu aku datang dan berdiri disamping kiri beliau, lalu beliau mengambil kedua tanganku dan memutarku hingga beliau mendirikanku disamping kanannya, kemudian Jabbar bin Shakhrin datang dan berdiri disamping kiri Rasulullah saw, lalu beliau memegang tangan-tangan kami dan mendorong kami hingga beliau mendirikan kami dibelakangnya."
(2). Dan juga hadits Anas Bin Mâlik :
عن أنس بن مالك قال : صليت أنا ويتيم فى بيتنا خلف النبى صلى الله عليه وسلم وأمي – أم سليم – خلفنا .
"Dari Anas Bin Mâlik ia berkata : Aku dan seorang anak yatim pernah shalat dirumah kami dibelakang Rasulullah Saw, sedang ibuku-Ummu Sulaim- (shalat) shalat dibelakang kami."

Jika dua orang makmum laki-laki disunnahkan membuat shaf dibelakang imam, maka tiga orang makmum atau lebih adalah lebih utama menempati posisi belakang imam.

(2). Tiga orang wanita atau lebih.
Juga tidak ada khilaf diantara para ahli ilmu, bahwa posisi wanita berada dibelakang imam. Jika dua laki-laki menempati posisi belakang imam seperti yang telah kita terangkan sebelumnya, maka wanita lebih utama melakukannya. Seberapapun jumlah wanita, jika mereka shalat berjamaah dan di imami oleh laki-laki, baik dalam jamaah itu tidak ada seorang makmum laki-lakipun, atau ada tapi makmum hanyalah seorang anak kecil maka wanita tetap harus dibelakang shaf laki-laki. Dan dalil-dalil untuk permasalahan ini telah kita terangkan pada pembahasan-pembahasan sebelumnya, terutama pada pembahasan makmum seorang wanita atau dua orang wanita.

(3). Dua orang laki-laki ( dewasa atau anak kecil ) dan seorang wanita.
Dua orang laki-laki berada dibelakang imam dan wanita berdiri seorang diri dibelakang shaf. Diriwayatkan oleh Anas Ra. ia berkata :
صليت أنا ويتيم فى بيتنا خلف النبى صلى الله عليه وسلم وأمي – أم سليم – خلفنا .
"Dari Anas Bin Mâlik ia berkata : Aku dan seorang anak yatim pernah shalat dibelakang Rasulullah Saw. di rumah kami, sedang ibuku-Ummu Sulaim- (shalat) shalat dibelakang kami."

(4). Dua orang wanita dan seorang laki-laki ( dewasa maupun anak kecil ).
Laki-laki berdiri disamping kanan imam, sedang kedua wanita berada dibelakang keduanya.
عن إبن عباس قال : صليت إلى جنب النبي صلى الله عليه وسلم و عائشة معنا تصلي خلفنا و أنا إلى جنب النبي صلى الله عليه وسلم أصلي معه .
"Dari Ibnu Abbas Ra. ia berkata : Aku pernah shalat disamping Nabi Saw dan Aisyah ketika itu bersama kami, ia shalat dibelakang kami sedang saya sendiri shalat disamping Rasulullah Saw."
Jika hadits diatas hanya berbicara tentang seorang wanita (yaitu Aisyah), maka dua orang wanita lebih utama dibelakang dalam permasalahan ini.

(5). Dua orang laki-laki dan seorang Khuntsa.
Ketiganya berada dalam satu shaf dibelakang imam. Sang Khuntsa tidak boleh berdiri seorang diri dibelakang shaf ( di belakang dua makmum laki-laki), sebab ada kemungkinan ia adalah seorang laki-laki, adapun jika ternyata ia adalah seorang wanita maka shalat mereka tidak bathal.

(6). Dua orang wanita dan seorang Khuntsa.
Khuntsa sejajar dengan imam (lihat pembahasan tentang imam dan seorang khuntsa) sedang dua wanita berada dibelakang keduanya (imam dan Khuntsa). Begitu juga, jika terdapat beberapa khuntsa dan wanita, maka wanita tetap berada dibelakang para khuntsa.

Berkumpulnya beberapa laki-laki dewasa, anak-anak kecil, para Khuntsa dan wanita.
Jika didalam jamaah terkumpul dalam beberapa jenis, yaitu beberapa laki-laki dewasa, anak-anak kecil, para khuntsa dan wanita, maka posisi mereka sebagai berikut :
Hendaknya yang mengiringi imam (yang tepat dibelakang imam) adalah laki-laki dewasa dari ahli ilmu, kemudian anak-anak kecil (namun tidak ada keharusan bahwa posisi mereka secara mutlaq harus dibelakang shaf laki-laki dewasa, lihat pembahasan sebelumnya tentang shaf anak-anak kecil, halaman 31), kemudian para Khuntsa (shaf mereka berada diantara laki-laki dan wanita karena ada kemungkinan mereka berjenis laki-laki dan wanita) dan setelahnya adalah wanita (lihat pembahasan tentang shaf wanita, halaman 34). Posisi-posisi ini secara umum disandarkan pada dua hadits dibawahi ini :
ليلني منكم أولو الأحلام و النهى ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم .
"Hendaklah orang yang mengiringiku (yaitu shaf yang tepat berada di belakang beliau), adalah mereka para ahli ilmu, kemudian orang-orang yang mengiringi mereka, dan kemudian orang-orang yang mengiringi mereka."
خير صفوف الرجال أولها وشرها أخرها ، وخير صفوف النساء أخرها وشرها أولها .
"Sebaik-baik shaff laki-laki adalah diawalnya dan sejelek-jeleknya adalah di akhirnya, sebaik-baik shaf wanita adalah di akhirnya dan sejelek-jeleknya adalah di awalnya."

Bagian Kedua : Shalat Jamaah dengan Imam Wanita
Tentunya jamaah yang penulis maksudkan disini adalah jamaah wanita yang tidak ada laki-laki didalamnya. Sebab jika dalam jamaah tersebut terdapat laki-laki, maka wanita selamanya tidak boleh mengimami laki-laki bahkan shalatnya teranggap tidak shah, demikian pendapat yang terkuat dari tiga pendapat dalam permasalahan ini, dan yang demikian adalah pendapat jumhur ulama bahkan seluruh ulama. Ibnu Qudamah berkata : "Adapun wanita maka ia tidak shah mengimami laki-laki dalam segala keadaan, baik itu shalat fardhu atau nafilah, menurut pendapat seluruh ulama." Larangan wanita menjadi imam bagi laki-laki disandarkan pada hadits-hadits dibawah ini :
(1). Hampir dalam semua konteks hadits tentang shalat berjamaah, Rasulullah Saw mengkhususkan penyebutan imam hanya ada pada laki-laki. Diantaranya :
عن مالك بن الحويرث أنه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : "من زار قوما فلا يؤمهم وليؤمهم رجل منهم .
"Dari Mâlik Bin Al-Huwairitsi Ra. bahwasanya ia berkata : Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda : "Barangsiapa yang mengunjungi sebuah kaum, maka ia tidak boleh mengimami mereka.Dan hendaklah yang mengimami mereka adalah seorang laki-laki dari mereka."

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله , فإن كانوا في القراءة سواء فأعلمهم بالسنة .... – إ لى أن قال - ولا يؤم الرجل الرجل في سلطانه ولا يقعد في بيته على تكرمته إلا بإذنه .
"Rasulullah Saw bersabda : Hendaklah yang mengingami kaum itu adalah mereka yang paling hafal terhadap Kitabullah. Jika mereka sebanding dalam hafalan, maka yang lebih mengetahui Sunnah…(hingga perkataan beliau) dan janganlah seorang laki-laki
mengimami seorang laki-laki lainnya yang berada didalam kekuasaannya dan jangan pula ia duduk ditempat kehormatannya kecuali atas izinnya."

(2). Keumuman hadits tentang tidak beruntungnya laki-laki dipimpin oleh wanita.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة .
"Rasulullah Saw. bersabda : Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita."
Shalat adalah bagian dari perkara terbesar didalam agama, bahkan kebesarannya berada setelah dua kalimat syahadat. Karena kebesaran dan keagungannya itu, Rasulullah Saw sendiri yang mengomandoi dan mengimami shalat, kemudian setelah Rasulullah Saw tertimpa penyakit parah urusan mengimami orang-orang diserahkan kepada Abu Bakar Shiddiq, manusia terbaik setelah Rasulullah saw. Dengan demikian wanita tidak diperkenankan menduduki posisi besar ini.

(3). Menyalahi keutamaan dan posisi yang telah ditentukan bagi wanita. Rasulullah Saw bersabda :
خير صفوف الرجال أولها وشرها أخرها ، وخير صفوف النساء أخرها وشرها أولها .
"Sebaik-baik shaff laki-laki adalah diawalnya dan sejelek-jeleknya adalah di akhirnya, sebaik-baik shaf wanita adalah di akhirnya dan sejelek-jeleknya adalah di awalnya."
Wanita menjadi imam bagi laki-laki berarti mengharuskan keberadaannya didepan shaf laki-laki. Posisi ini, jelas terlarang oleh hadits diatas. Dengan demikian wanita tidak diperbolehkan menjadi imam bagi laki-laki.
Adapun bagi orang-orang yang berpendapat bolehnya wanita menjadi imam bagi laki-laki pada shalat sunnat tidak pada shalat fardhu atau pendapat yang membolehkan keduanya yaitu shalat fardhu dan sunnah dengan bersandarkan pada hadits Ummu Waraqah :
عن عبد الرحمن بن خلاد , عن أم ورقة بنت عبد الله بن الحارث : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يزورها , وجعل لها مؤذنا كان يؤذن لها , وأمرها أن تؤم أهل دارها .
قال عبد الرحمن : فأنا رأيت مؤذنها شيخا كبيرا .
"Dari Abdurrahman Bin Khallad, dari Ummu Waraqah Binti Abdullah Bin Hârits : Bahwasanya Rasulullah Saw pernah berkunjung kepadanya, dan beliau menjadikan baginya seorang Muazzin, yang mana ia berazan untuknya, dan memerintahkannya untuk mengimami orang-orang (ahli) dirumahnya."
Abdurrahman berkata : Aku melihat muazzinnya adalah seorang laki-laki yang teramat tua.
Dijawab oleh ulama-ulama sebagai berikut :
(1). Bagi yang mengatakan wanita boleh menjadi imam bagi laki-laki pada shalat sunnat tidak pada shalat wajib dengan dalil diatas adalah tertolak karena hadits menyebutkan tentang shalat yang diiringi dengan azan, sedang shalat yang diiringi oleh azan hanya ada pada shalat wajib.
(2). Bagi yang mengatakan wanita dibolehkan menjadi imam bagi laki-laki pada shalat sunnah dan wajib juga tertolak, karena nash hadits tidak secara tegas menyebutkan bahwa orang-orang yang berada dirumahnya yaitu sang Muazzin tua dan seorang budak laki-laki kecil ikut shalat dan berdiri dibelakang ummu Waraqah. Bahkan terdapat didalam sebuah riwayat lain dari ummu waraqah : Bahwasanya Rasulullah Saw mengizinkannya untuk mengimami perempuan-perempuannya

Andai wanita boleh menjadi imam bagi laki-laki, niscaya Aisyah Ra. tidak di Imami oleh budaknya, karena Aisyah lebih faqih dan lebih hafal Al-quran dibanding budaknya tersebut, bahkan disebutkan dalam satu riwayat bahwa budaknya tersebut membaca mushaf Al-Quran ketika mengimami Aisyah Ra. Hal ini menunjukkan secara jelas bahwa wanita tidak dibolehkan menjadi imam bagi laki-laki. Wallahu a'lam.

A. Imam wanita bersama seorang makmum wanita.
Makmum berdiri disamping kanan imam, tepat seperti posisi seorang makmum laki berdiri disamping kanan imam laki-laki. Tidak boleh berdiri disamping, didepan, atau dibelakang imam. Posisi tersebut disandarkan pada dua alasan dibawah ini :
1. Shahihnya hadits-hadits yang menunjukkan bahwa posisi seorang makmum berdiri disamping kanan imam (lihat hadits-hadits tersebut pada posisi seorang makmum laki-laki hal 36), hadits-hadits tersebut berlaku untuk laki-laki dan wanita.
2. Pada asalnya, dalam perkara-perkara ibadah tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita kecuali jika terdapat sebuah dalil yang menunjukkan perbedaan diantara keduanya. Dan dalam permasalahan kita ini, tidak terdapat dalil yang memisahkan antara posisi seorang makmum wanita dengan imam wanita dan posisi seorang makmum laki-laki dengan imam laki-laki.

B. Imam wanita bersama lebih dari seorang makmum wanita.
Imam wanita tidak berdiri didepan para makmum seperti halnya imam laki-laki, tetapi imam wanita berdiri ditengah-tengah shaf, yaitu makmum wanita berada dikanan kiri sang imam. Hal ini disandarkan pada perbuatan dua orang shahabat wanita, Aisyah dan Ummu Salamah Radiyallahu Anhuma.
عن عائشة رضي الله عنها أنها كانت تؤذن , وتقيم , وتؤم النساء وتقف وسطهن .
"Dari Aisyah Ra. bahwasanya ia pernah ber-azan, qamat dan mengimami para wanita dan ia berdiri ditengah-tengah mereka."
Atsar ini dishahihkan oleh Imam Nawawie didalam Al-Majmu' (4/199) dan diakui keshahihannya oleh Imam Az-zila'I didalam Nasbur-Râyah (2/31).
عن حجيرة بنت حصين قالت : أمتنا أم سلمة في صلاة العصر قامت بيننا .
"Dari Hujîrah Binti Hushin ia berkata : Ummu Salamah pernah mengimami kami pada shalat ashar, ia berdiri diantara kami (ditengah-tengah shaf)."
Imam Nawawie dalam Al-Majmu' (3/296) berkata : Sanad-sanad hadits ini adalah Hasan.
Dalam pendapat yang shahih, perbuatan shahabat dapat dijadikan sebagai hujjah selama tidak bertentangan dengan nash (hadits dan al-qur'an) dan tidak juga bertentangan dengan shahabat-shahabat lainnya. Sedang Posisi imam wanita ditengah-tengah shaf tidak bertentangan dengan nash begitu juga tidak ada shahabat lain yang menyalahinya.
Ibnu Qudamah berkata : "Apabila wanita mengimami para wanita maka ia berdiri ditengah-tengah mereka, kami tidak mengetahui adanya khilaf (dalam posisi tersebut, red) diantara orang yang mengatakan bolehnya wanita mengimami para makmum wanita."
Berkata Ibnu Hazm : "Al-Auzai, Sufyan At-Tsaury, Ahmad Bin Hanbal, Ishaq Bin Rahawai dan Abu Tsaur berkata : Disukai bagi wanita itu mengimami para wanita dan berdiri ditengah-tengah mereka."

Demikianlah posisi-posisi makmum dan imam didalam shalat yang berkaitan penuh dengan shaf (barisan), baik itu imamnya seorang laki-laki maupun seorang wanita. Dan untuk melengkapi pembahasan pada bab ini, penulis menyempurnakannya dengan hukum anak kecil menjadi imam.

Imam seorang anak kecil
Anak kecil boleh menjadi imam bagi yang sebayanya, begitu juga kepada orang yang usianya berada jauh darinya . Rasulullah Saw. bersabda :
يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله , فإن كانوا في القراءة سواء فأعلمهم بالسنة ....
"Hendaklah yang mengingami kaum itu adalah mereka yang paling hafal terhadap Kitabullah. Jika mereka sebanding dalam hafalan, maka yang lebih mengetahui Sunnah… "
Hadits ini mencakup pada orang dewasa dan anak kecil.
Diriwayatkan oleh Bukhari didalam kitab "As-shahih-nya" bahwasanya Amru Bin Salamah pernah mengimami kaumnya pada hari Fathul Makkah, sedang usianya ketika itu berkisar 6 atau 7 tahun.
Sebagian orang mengkritik dan menolak hadits ini karena apa yang dilakukan oleh Amru Bin Salamah diluar sepengetahuan Rasulullah Saw.
Namun bantahan dan kritikan ini dijawab oleh ulama : bahwa apa yang dilakukan oleh Amru bin Salamah yaitu mengimami kaumnya adalah terjadi pada masa wahyu belum terputus, dimana pada masa ini Allah Swt mengetahui dan menetapkan segala sesuatunya. Andai hal tersebut adalah perbuatan yang munkar ( yang diingkari ) niscaya Allah Swt mengingkarinya melalui lisan Nabi-nya Saw. walaupun Nabi-Nya Saw tidak mengetahuinya. Kaedah ini pun berlaku dikalangan para shahabat, dimana mereka berhujjah bolehnya ber-A'zal : "Karena mereka melakukan A'zal padahal al-qur'an sedang turun, andai 'Azl adalah sesuatu hal yang terlarang kata mereka, niscaya Al-Qur'an melarang kami melakukannya."
Begitu juga, orang-orang yang memposisikan Amru Bin Salamah sebagai imam adalah mereka para shahabat Rasulullah Saw, Ibnu Hazm berkata : "Kami tidak mengetahui adanya khilaf diantara mereka."
Adapun pendapat yang tidak membolehkan anak kecil menjadi imam dengan bersandarkan kepada hadits :
لاتقدموا صبيانكم
"Janganlah kalian mengajukan anak-anak kecil kalian."
Adalah tertolak, karena hadits ini adalah hadits lemah, yang tidak memiliki ashal.

BAB V : POSISI IMAM DAN MAKMUM DALAM KAITANNYA DENGAN TEMPAT.
Dalam bab ini mencakup pada beberapa tempat yang pada umumnya kaum muslimin melakukan shalat jamaah ditempat tersebut, diantaranya adalah; masjid, rumah, lapangan (padang pasir), kebun dan kendaraan.
Namun, sebelum kita membahas khusus tempat-tempat tersebut ada baiknya kita memperhatikan beberapa point penting dibawah ini, agar nantinya penulis cukup mengisyaratkan kepada pembaca budiman untuk meruju' ke point-point tersebut jika terjadi beberapa pengulangan dalam sebuah pembahasan. Adapun point-point tersebut adalah sebagai berikut :

A. Posisi (tempat) Imam lebih tinggi dari posisi Makmum
Letak imam yang berada diposisi lebih tinggi dari makmum, memiliki dua keadaan ;
Pertama ; imam berada seorang diri ditempat ketinggian.
Hal ini tidak diperbolehkan baik itu dimasjid atau ditempat lainnya, baik itu seukuran sedepa atau kurang dari itu, kecuali jika dimaksudkan untuk memberikan pelajaran shalat.
عن همام أن حذيفة أم الناس بالمدائن على دكان فأخذ أبو مسعود بقميصه فجذبه , فلما فرغ من صلاته قال ألم تعلم أنهم كانوا ينهون عن ذلك ؟ قال : بلى قد ذكرت حين مددتني .
"Dari Hammâm, bahwasanya Huzaifah pernah mengimami orang-orang di Al-Madâin (nama salah sebuah tempat didaerah baghdad) diatas tempat yang tinggi, lalu Ibnu Mas'ud memegang baju Huzaifah dan menariknya mundur, tatkala shalatnya beres, ia (Ibnu Mas'ud) berkata : Tidak engkau tahu bahwa mereka dulu dilarang melakukan demikian ? Huzaifah menjawab : betul, aku teringat hal itu ketika engkau menarik bajuku."
Adapun dalil diperbolehkan jika dimaksudkan untuk memberikan pelajaran, adalah hadits yang diriwayatkan didalam Shahihain :
عن سهل بن سعد رضى الله عنه قال : لقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم قام عليه – يعني المنبر – فكبر وكبر الناس وراءه , ثم ركع وهو على المنبر , ثم رفع فنزل القهقرى حتى سجد في أصل المنبر, ثم عاد حتى فرغ من اخر صلاته , ثم أقبل على الناس فقال : أيها الناس , إنما فعلت هذا لتأتموا بي , ولتعلموا صلاتي.
"Dari Sahl Bin Sa'din Ra. Ia berkata : "Sungguh aku pernah melihat Rasulullah Saw berdiri diatasnya (yaitu mimbar), lalu beliau bertakbir dan orang-orangpun bertakbir dibelakangnya, kemudian beliau ruku' sedang beliau diatas mimbar, kemudian bangkit dari ruku lalu turun dengan cara mundur kebelakang hingga beliau sujud dibawah anak tangga mimbar , kemudian beliau kembali (keatas mimbar) hingga selesai seluruh shalatnya, kemudian beliau menghadap ke orang-orang dan berkata ; "Wahai sekalian manusia, aku melakukan hal ini (shalat diatas mimbar) tidak lain agar kalian mengikutiku dan mempelajari shalatku."
Kedua : Imam bersama seorang atau beberapa orang makmum ditempat tinggi sedang makmum selebihnya berada ditempat yang rendah.
Posisi ini dibolehkan oleh ulama, karena imam tidak berdiri seorang diri disuatu tempat.

B. Posisi makmum lebih tinggi dibanding posisi sang imam.
Tidak terdapat riwayat yang melarang makmum menempati posisi yang lebih tinggi dari imam seperti halnya larangan imam menempati posisi yang lebih tinggi dari makmum. Artinya jika terdapat uzur yang membenarkan demikian seperti keadaan masjid yang demikian penuh maka hal tersebut diperbolehkan. Terdapat atsar shahabat yang menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut.
عن أبي هريرة أنه صلى على ظهر المسجد بصلاة الإمام .
"Dari Abu Hurairah, bahwasanya ia pernah shalat diatas atap datar (sutuh) masjid dengan mengikuti shalat imam."
Perbuatan Abu Hurairah ini dibawah kepada makna uzur, karena hadits Rasulullah Saw menyebutkan :
رصوا صفوفكم , وقاربوا بينها .
"Rapatkan shaf-shaf kalian, dan dekatkanlah antaranya."

C. Terdapat penghalang atau pembatas diantara imam dan makmum.
عن عائشة رضي الله عنها قالت : صلى النبي صلى الله عليه وسلم في حجرتي , والناس يأتمون به من وراء الحجرة , يصلون بصلاته .
"Dari Aisyah Ra. ia berkata : Rasulullah Saw. pernah shalat didalam kamarku, dan orang-orang bermakmum dibalik kamar, mereka shalat mengikuti shalat Rasulullah Saw."
Hadits ini menunjukkan bolehnya makmum mengikuti imam sedang diantara keduanya ada penghalang berupa dinding dan semisalnya.
Namun disyaratkan, makmum dapat mengetahui perubahan gerak imam (takbir) , baik itu melalui pengeras suara (mikrofon) atau melalui "pentabligh" (penyampai) yang berada di belakang imam. Namun jika listrik padam sehingga jamaah yang berada didalam sebuah ruangan tidak dapat mendengar suara takbir sang imam dan juga suara pentabligh tidak sampai kedalam ruangan tersebut, maka dalam keadaan seperti ini makmum diperbolehkan berniat mufaraqah (berpisah) dengan imam lalu menyempurnakan shalatnya masing-masing.

Begitu juga halnya, jika keadaan tempat tidak mengizinkan yang mengharuskan sang makmum shalat diluar masjid, maka sang makmum dibenarkan shalat ditempat yang diantaranya dengan imam terdapat penghalang atau pembatas.
قال هشام بن عروة : جئت أنا وأبي مرة , فوجدنا المسجد قد امتلأ , فصلينا بصلاة الإمام في دار عند المسجد بيتهما طريق .
"Dari Hisyam Bin 'Urwah ia berkata : pernah Aku dan bapakku sekali kemasjid dan kami mendapatkan masjid dalam keadaan penuh, lalu kami shalat dirumah yang berada disamping masjid dengan berimam kepada imam (yang dimasjid) , yang mana diantara keduanya terpisah dengan jalan."
Imam Ahmad berkata tentang seseorang shalat diluar masjid pada hari jum'at sedang pintu masjid dalam keadaan tertutup : "saya berharap hal itu tidak mengapa".
Namun keadaan ini disyaratkan dua hal :
1. Bersambungnya shaf, artinya tidak menempati atau membuat shaf yang baru diluar masjid baik itu dijalan atau dalam sebuah ruangan umpamanya, sebelum didalam masjid terisi benar. (lihat pembahasan ini dalam "kaedah umum dalam menyusun shaf, pada halaman…)
2. Mendengar takbir imam, baik itu melalui pengeras suara (mikrofon) atau melalui "pentabligh" (penyampai) yang berada di belakang imam. Karena makmum tidak mungkin dapat mengikuti imam kecuali mendengar langsung suara aba-aba dari sang imam.

Dua syarat diatas harus terjaga, sebab banyak orang terjatuh dalam kesalahan disebabkan karena tidak memperhatikan syarat tersebut, diantaranya shalat mengikuti radio atau televisi atau shalat dirumah yang kebetulan rumahnya berdekatan dengan masjid dengan beralasan suara sang imam dapat terdengar olehnya.

Ibnu Taymiyyah berkata didalam kitabnya "Majmu'atu Al-Fatawa" (23/232) : "Dan tidak boleh membuat shaf di jalan-jalan dan penginapan-penginapan sedang masjid dalam keadaan kosong, barangsiapa yang melakukan demikian maka ia berhaq di ta'dib." Beliau berkata ditempat yang sama : "Apabila masjid penuh dengan shaf-shaf, hendaklah mereka membuat shaf diluar masjid, apabila shaf-shaf bersambung ketika itu hingga kejalan-jalan atau pasar, shalat mereka adalah shah."

Rincian tempat berjamaah
MASJID
> Apabila imam dan makmum berkumpul didalam sebuah masjid, sekalipun masjid terdiri dari beberapa tingkat maka makmum teranggap sah mengikuti imam, baik itu makmum melihat imam, melihat orang yang dibelakang imam, atau tidak melihat mereka karena terhalang dinding pembatas atau karena diantara mereka terpisah dengan sebuah jarak. Dengan syarat sang makmum mendengar suara takbir sang imam atau suara dari sang pentabligh.
Imam Nawawie didalam "Al-Majmu' " berkata : "Adalah suatu hal disepakati bahwa apabila shaf-shaf berjauhan dari sang imam, sedang shalat tersebut didirikan didalam sebuah masjid maka shalatnya adalah sah dan sah pula ikutannya (bermakmumnya kepada sang imam), jika para makmum mengetahui shalatnya sang imam, baik itu diantara keduanya (antara makmum dan imam) terpisah oleh sebuah pembatas atau tidak, jaraknya keduanya berdekatan atau berjauhan karena besar dan luasnya masjid…"
Ibnu Utsaimin berkata : "jika ada seseorang mengikuti shalatnya imam sedang ia berada dibagian paling akhir masjid dan imam berada dibagian paling depan masjid yang mana jarak keduanya sekitar 50 meter umpamanya, maka shalatnya adalah shah karena mereka berada didalam tempat yang satu…"

> Apabila masjid terdiri dari beberapa tingkat, Imam berada dilantai dasar sedang makmum berada dilantai atas atau sebaliknya sang imam berada dilantai atas dan makmum berada dilantai dasar maka shalat jamaah teranggap shah. (lihat point A dan B ).

> Apabila sebuah masjid terdiri dari beberapa bangunan, yaitu bangunan baru dan tua maka shalat berjamaah didalamnya teranggap seperti berjamaah didalam satu masjid dan tembok tembok pemisahnya tidak ubahnya seperti tiang-tiang masjid.
> Apabila disamping masjid terdapat masjid yang lain dimana masing-masing masjid memiliki imam, muazzin, dan jamaah tersendiri, maka orang yang berada didalam satu masjid tidak boleh mengikuti masjid lainnya kecuali jika shaf bersambung dan mendengar suara takbir sang imam. (lihat point c ).

























POSISI IMAM DAN MAKMUM DI DALAM SHALAT

Mukaddimah …………………………………………………………………………………………….03

BAB I : Tentang shalat
Makna Shalat……………………………………………………………………………………………… 06
Kedudukan shalat didalam islam………………………………………………………………. 07
Ancaman bagi yang meninggalkan shalat………………………………………………….. 08
Hukum bagi yang meninggalkan shalat ………………………………………………………08

BAB II : Shalat berjamah
Keutamaan shalat berjamaah…………………………………………………………………… 11
Hukum shalat berjamaah…………………………………………………………………………. 12
Batas minimal berjamaah …………………………………………………………………………14
Shalat berjamaah bagi wanita ………………………………………………………………….15
BAB III : Kaedah umum shaf didalam shalat
Makna shaf ……………………………………………………………………………………………….17
Keutamaan menempati shaf terdepan ……………………………………………………..18
Anjuran bagi imam untuk mengingatkan makmun dalam urusan shaf ………20
Hukum meluruskan shaf ……………………………………………………………………………..22
Tata cara meluruskan shaf ………………………………………………………………………..22
Shalat seorang diri dibelakang shaf …………………………………………………………..25
Membuat shaf didepan imam …………………………………………………………………..29
Membuat shaf diantara tiang-tiang masjid .....................................30
Shaf anak-anak kecil ………………………………………………………………………………..31
Shaf Wanita ……………………………………………………………………………………………….34
Shaf laki-laki dan wanita didalam satu barisan………………………………………… 16
Shaf wanita didepan shaf laki-laki……………………………………………………………. 17

BAB IV
Posisi imam dan makmum dalam kaitannya dengan shaf……………………… 18
Imam bersama dengan seorang makmum
Makmum seorang laki-laki………………………………………………………………………….. 19
Makmum seorang wanita…………………………………………………………………………… 20
Makmum seorang khuntsa …………………………………………………………………………21

Imam bersama dengan dua orang makmum
Seorang laki-laki dan seorang wanita ………………………………………………………..22
Dua orang laki-laki ……………………………………………………………………………………..23
Dua orang wanita ……………………………………………………………………………………..24
Seorang laki-laki dan seorang khuntsa ……………………………………………………..25
Seorang laki-laki dewasa dan seorang anak kecil ……………………………………..26
Seorang laki-laki kecil dan seorang wanita dewasa …………………………………27

Imam bersama dengan tiga orang makmum
Dua laki-laki dan satu orang wanita dewasa…………………………………………….. 28
Dua laki-laki dan satu orang anak perempuan kecil …………………………………29
Seorang laki-laki dan dua orang wanita ……………………………………………………30
Seorang laki-laki, seorang khuntsa dan seorang wanita ……………………………31


BAB V
Posisi Imam dan makmum dalam kaitannya dengan tempat
Posisi imam lebih tinggi dari posisi makmum ……………………………………………32
Posisi makmum lebih tinggi dari posisi imam ……………………………………………33
Posisi imam yang terpisah dengan makmum dengan sebuah pembatas …..34

BAB VI
Beberapa posisi makmum yang teranggap mengikuti imam
Berkaitan dengan masjid
Sebuah masjid yang terdiri dari beberapa bangunan masjid …………………….35
Masjid terdiri dari beberapa tingkat (makmum berada ditingkat bawah sedang imam ditingkat atas atau sebaliknya) …………………………………………36
Masjid dan halaman …………………………………………………………………………………..37
Masjid dan jalan …………………………………………………………………………………………38
Sebuah masjid yang berdekatan dengan masjid yang lain ………………………..39

Berkaitan dengan rumah
Ruang tamu dengan kamar ………………………………………………………………………40
Ruang tamu dengan teras ………………………………………………………………………..41
Rumah bersambung dengan masjid …………………………………………………………..42

Posisi imam dan makmum disekitar ka'bah …………………………………………..43
Berkaitan dengan kendaraan (perahu misalnya) …………………………………..44
Berkaitan dengan padang pasir, kebun, dan lain-lain ………………………….45

BAB VII
Posisi makmum yang terpisah dengan tiang-tiang masjid………………………… 55
Posisi makmum yang terpisah dengan mimbar masjid ………………………………56

BAB VIII
Mengikuti Imam
Larangan mendahului imam ……………………………………………………………………..57
Imam shalat duduk ………………………………………………………………………………….58
Berbeda niat antara makmum dan imam ………………………………………………….59
Sujud sahwi ……………………………………………………………………………………………..60
Sujud sajadah ……………………………………………………………………………………………61

Beberapa masalah
Anak kecil mengimami anak kecil ……………………………………………………………62
Anak kecil mengimami orang baligh …………………………………………………………63
Posisi imam wanita ditengah kaumnya ………………………………………………………64

BAB IX
Penutup ……………………………………………………………………………………………………65