Senin, 19 November 2012

Surat Al Baqarah Ayat 16

Surat Al Baqarah Ayat 16
أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلالَةَ بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ
Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.
(QS.2:16)
أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلالَةَ بِالْهُدَى
Isim Isyarat ulaaika adalah Mubtada’, dan kalimat alladziinasytaro-wudldlolaalata adalah Khobarnya, dimana kata al-ladziina adalah Isim Mausul, dan fi’il Madhi isytarou adalah Silahnya, dan kata adl-dlolaalata adalah Maf’ulnya, dan Jar Majrur bil-huudaa adalah Muta’alliq dengan fi’il Madhi isytarou.
فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ
Kata fa adalah huruf Athaf yang artinya maka, dan kata maa adalah Maa Nafiyah/yang meniadakan, dan kata robihat adalah fi’il Madhi, dimana ta yang bersukun diakhirnya menunjuk kepada makna perempuan, dan Mudhof Mudhof Ilaihi tijaarotuhum adalah Fa’il dari fi’il Madhi robihat.
وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ
Kata huruf Wawu mengathafkan kalimat sesudahnya kepada kalimat sebelumnya yakni kalimat maa robihat tijaaarotuhum, dan kata maa adalah Maa Nafiyah/yang meniadakan, dan fi’il Madhi kaanuu adalah terdiri dari kaana dan Isimnya yang Khobarnya adalah kata muhtadiin

Surat Al Baqarah Ayat 15

Surat Al Baqarah Ayat 15
اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ
Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.(QS.2:15)
اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ
Kata Alloohu adalah Mubtada’, dan fi’il Mudhari yastahzi’u adalah Khobarnya, dan Jar Majrur bihim dalam posisi Nashob menjadi Maf’ul dari fi’il Mudhari yastahzi’u, susunan kalimat yang seperti ini dinamakan Jumlah Ismiyah yakni susunan kalimat yang terdiri dari Mubtada’ dan Khobar.
وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ
Huruf Athaf Wawu mengathafkan kalimat sesudahnya kepada kalimat sebelumnya, dan kata yamuddu adalah fi’il Mudhari yang didalamnya ada Fa’ilnya dan kata hum adalah Maf’ulnya, dan kata fiithughyaanihim adalah Muta’aliq/berhubungan dengan kata yamuddu, dan fi’il Mudhari ya’mahuuna adalah Haal dari Dhomir hum.

Surat Al-Baqarah ayat 14

Surat Al-Baqarah ayat 14
وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ
Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami telah beriman.” Dan bila mereka kembali kepada syaitan-setan mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok”.(QS.2:14)
وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا
Kata Wa adalah Wawu Isti’naf/permulaan, dan kata idzaa adalah Dzorof Zaman/Isim yang menunjuk kepada makna waktu yang akan datang, dan kata laaqu adalah fi’il Madhi, dan dua kata al-ladziina aamanuu itu adalah menjadi Maf’ulnya fi’il Madhi laaqu.
قَالُوا آمَنَّا
Fi’il Madhi Qooluu adalah Jawab Syarat, dimana syaratnya adalah kata idzaa dan kalimat sesudahnya yakni kalimat idzaa laqul-ladziina aamanu, dan kata aamannaa adalah fi’il Madhi yang menjadi Qoul/yang diucapkan oleh fi’il Madhi Qooluu.
وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ
Kata Wa adalah Wawu Athaf dan kata idzaa itu adalah Dzorof Zaman/Isim yang menunjuk kepada makna waktu yang akan datang, dan kata Kholau adalah fi’il Madhi, dan Jar Majrur ilaa syayaathiinihim adalah Muta’alliq/berhubungan dengannya.
قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ
Fi’il Madhi Qoolu adalah Jawab Syarat, dimana syaratnya adalah kata idzaa dan kalimat sesudahnya yakni idzaa kholau ilaa syayaathiinihim, dan kata innaa ma’akum yang terdiri dari Isimnya inna dan Khobarnya itu adalah Maqul Qoul/yang diucapkan oleh fi’il Madhi Qooluu.
إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ
Kata innamaa nahnu mustahzi’uuna adalah masih Maqul Qoul/yang diucapkan oleh Qooluu, dimana kata innamaa itu asalnya adalah inna dan maa dengan arti sesungguhnya kami, dan Dhomir nahnu adalah Mubtada’, dan kata mustahzi’uun adalah Khobarnya.

Surat Al Baqarah Ayat 13

Surat Al Baqarah Ayat 13
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ أَلا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَكِنْ لا يَعْلَمُونَ
Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman”, mereka menjawab: “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?” Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu.(QS.2:13)
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ
Kata Wa adalah Wawu athaf Isti’naf/permulaan, dan kata idzaa adalah Dhorof Zaman/Isim yang menunjuk kepada makna waktu yang akan datang, dan kata Qiila adalah Fi’il Madhi Majhul/pasif, dan Jar Majrur lahum adalah Muta’alliq dengan Fi’il Madhi Qiila.
آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ
Kata aaminuu adalah fi’il Amer, dan kata maa yang dijarkan oleh huruf Jar ka adalah Maa Masdariyah, yang mana dia beserta Fi’il yang ada di sesudahnya pantas diganti dengan Masdar iimaan, dan kata aamanannaasu itu terdiri dari Fi’il Madhi dan Fa’ilnya.
قَالُوا أَنُؤْمِنُ
Fi’il Madhi Qooluu adalah Jawab Syarat, dimana syaratnya adalah kata idzaa dan kalimat sesudahnya, dan alif yang berharokat fathah adalah huruf Istifham, dan kata nu’minu adalah Fi’il Mudhari yang didalamnya ada Dhomir nahnu/kami yang menjadi Fa’ilnya.
كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ
Kata Maa yang dijarkan oleh huruf Jar ka adalah Maa Masdariyah, yang mana dia beserta fi’il yang ada di sesudahnya pantas diganti dengan Masdarnya fi’il yakni iimaan, dan kata aamana adalah fi’il madhi yang belum ada Fa’ilnya, dan kata jamak as-sufahaa’u yang ada di sesudahnya itu adalah Fa’ilnya fi’il Madhi aamana.
أَلا إِنَّهُمْ
Dua kata alaa adalah huruf Istifham, dan kata alaa itu bisa juga menjadi huruf Tanbih/perhatian yang artinya ingatlah, dan kata huruf inna itu mempunyai Isim dan Khobar, yang mana Dhomir hum yang ada di sesudahnya itu menjadi isimnya inna.
هُمُ السُّفَهَاءُ
Dua kata humus-sufahaa’u yang terdiri dari Mubtada’ dan Khobar itu menjadi Khobarnya inna, dan disamping itu Dhomir hum yang menjadi Mubtada’ itu bisa sebagai Dhomir Fashl/pemisah, lantas kata jamak as-sufahaa’u yang kata tunggalnya safiihun itu menjadi Khobarnya inna.
وَلَكِنْ لا يَعْلَمُونَ
Huruf Athaf wawu mengathafkan kalimat sesudahnya kepada kalimat sebelumnya yakni kalimat innahum humussufahaa’u, dan kata laakin adalah huruf Istidrok/susulan, dimana dia asalnya adalah laakinna, dan kata laa adalah Laa Nafiyah, dan kata ya’lamuuna adalah fi’il Mudhari

Surat Al Baqarah Ayat 12

Surat Al Baqarah Ayat 12
أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لا يَشْعُرُونَ
Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar(QS.2:12)
أَلا إِنَّهُمْ
kata ‘alaa adalah huruf istifham, dan dhomir hum menjadi isimnya inna.
هُمُ الْمُفْسِدُونَ
Dua kata humul-mufsiduuna yang terdiri dari Mubtada’ dan Khobar ini menjadi Khobarnya inna, dan disamping itu Dhomir hum yang menjadi Mubtada’ itu bisa sebagai Dhomir pemisah, lantas almufsiduuna menjadi Khobarnya inna.
وَلَكِنْ لا يَشْعُرُونَ
Huruf Athaf Wawu mengathafkan kalimat sesudahnya kepada kalimat sebelumnya, dan kata laakin adalah huruf Istidrok/susulan, dan kata laa adalah Laa Nafiyah, dan kata yasy’uruuna adalah Fi’il Mudhari yang didalamnya ada Dhomir hum yang menjadi Fa’ilnya.

Surat Al Baqarah Ayat 11

Surat Al Baqarah Ayat 11
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ
Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.”(QS.2:11)
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ
Kata huru Wawu adalah Wawu Isti’naf/permulaan, dan kata idzaa itu adalah Dhorof Zaman/Isim yang menunjuk kepada makna waktu yang akan datang, dan kata Qiila adalah Fi’il Madhi Majhul/pasif, dan Dhomir hum di jarkan oleh huruf jar la.
لا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ
Dua kata laa tufsiduu adalah Fi’il Nahi, dan Jar Majrur Fi’il ardli itu muta’alliq/berhubungan dengan Fi’il Nahi tersebut, dan di dalam Fi’il Mudhari tufsiduu yang dijazemkan oleh Laa Nahi itu ada Dhomir antum/kamu yang menjadi Fa’ilnya.
قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ
Fi’il Madhi Qooluu adalah Jawab Syarat, yang syaratnya adalah kata idzaa dan kalimat sesudahnya, dan innamaa nahnu mushlihuuna adalah Maqul Qoul/yang diucapkan oleh Qooluu, dan Dhomir nahnu adalah Mubtada’ dan mushlihuuna adalah Khobarnya

Surat Al Baqarah Ayat 10

Surat Al Baqarah Ayat 10
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.(QS.2:10)
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ
Kata Quluubihim yang terdiri dari mudhof dan Mudhof Ilaih itu dijarkan oleh huruf Jar fii, dia sebagai Khobar Muqoddam/didahulukan, dan kata marodlun menjadi Mubtada’ Muakhkhor/diakhirkan.
فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا
Kata fa adalah huruf Fa’ Athaf yang artinya lalu, dan kata zaada humul-loohu tediri dari fi’il Madhi, Maf’ul Pertamanya, dan Fa’ilnya, dan kata marodlon menjadi Maf’ul keduanya.
وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Kata huruf wawu adalah huruf athaf, dan Jar Majur lahum adalah Khobar Moqoddam, dan kata ‘adzaabun aliimun yang terdiri dari isim yang disifati dan sifatnya itu adalah Mubtada’ Muakhkhor/diakhirkan.
بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
Kata huruf Jar bi dinami Ba’ Sababiyah yang artinya disebabkan, dan Isim Mausul maa dijarkan olehnya, dan kata kaanuu itu adalah kaana dan Isimnya, yang khobarnya adalah fi’il Mudhari yakdzibuun

Surat Al Baqarah Ayat 9

Surat Al Baqarah Ayat 9
يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.(QS.2:9)
يُخَادِعُونَ اللَّهَ
Kata yukhoodi’uuna adalah fi’il Mudhari yang didalamnya ada Dhomir hum/mereka yang menjadi Fa’ilnya, dan kata Allooha adalah Maf’ulnya, dari kata yukhoodi’uuna itu mengikuti wazan/timbangan yufaa’iluuna.
وَالَّذِينَ آمَنُوا
Kata huruf wawu adalah Wawu Athaf, dan kata al-ladziina aamanuu yang terdiri dari Isim Mausul dan Silahnya itu diathafkan oleh Wawu Athaf tersebut kepada kata Allooha yang menjadi Maf’ul.
وَمَا يَخْدَعُونَ
Kata huruf wawu adalah Wawu Haal yang artinya padahal, dan kata maa adalah Maa Nafiyah, dan kata yakhda’uuna adalah fi’il Mudhari yang didalamnya ada dhomir hum yang menjadi Fa’ilnya.
إِلا أَنْفُسَهُمْ
Kata huruf illaa adalah Adatu Hasrin/alat untuk meringkas, dan kata anfusahum yang terdiri dari Mudhof Ilaih itu adalah menjadi Maf’ul dari fi’il Mudhari yakhda’uuna.
وَمَا يَشْعُرُونَ
Kata huruf wawu adalah huruf Athaf, dan kata maa sesudahnya adalah Maa Nafiyah, dan kata yasy’uruun adalah fi’il Mudhari yang di dalamnya ada Dhomir hum yang menjadi Fa’ilnya.

Surat Al Baqarah Ayat 8

Surat Al Baqarah Ayat 8
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ
Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.(QS.2:8)
وَمِنَ النَّاسِ
Kata huruf wawu adalah wawu Isti’naf/permulaan, dan kata an-naasi dijarkan olehnya, yang Jar Majrur ini bisa menjadi Khobar Muqoddam/didahulukan dan bisa menjadi Mubtada’.
مَنْ يَقُولُ
Kata man adalah Isim Mausul, dan kata yaquulu adalah fi’il Mudhari yang menjadi Silahnya man, yang keduanya bisa menjadi Mubtada’ Muakhkhor/diakhirkan dan bisa menjadi Khobar dan Mubtada’.
آمَنَّا بِاللَّهِ
Kata aamannaa adalah fi’il Madhi dan Fa’ilnya, dan kata billah menjadi Maf’ul keduanya. Kaata aamannaa itu Maf’ul pertamanya.
وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ
Kata huruf wawu adalah Wawu Athaf, dan kata bilyaumil-aakhiri diathafkan olehnya kepada kata billah, kata al-yaumil-aakhiri yang dijarkan oleh kata huruf bi itu terdiri dari kata sifat dan yang disifati, sama-sama pakai alif dan lam dan sama baris akhirnya.
وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ
Kata huruf wawu adalah Wawu Haal yang artinya padahal, dan kata maa adalah Maa Nafiyah dan kata hum adalah Isimnya, dan kata bimu’miniin adalah Khobarnya

Surat Al Baqarah Ayat 7

Surat Al Baqarah Ayat 7
خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.(QS.2:7)
خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ
Kata Allooh menjadi Fa’il dari fi’il Madhi Khotama, dan Mudhof Mudhof Ilaih quluubihim dijarkan oleh huruf Jar ‘alaa, yang Jar Majrur tersebut adalah Muta’alliq/berhubungan dengan fi’il khotama.
وَعَلَى سَمْعِهِمْ
Mudhof Mudhof Ilaih sam’ihim yang dijarkan oleh huruf Jar ‘alaa itu diathafkan oleh huruf Athaf wawu kepada quluubihim, yang Jar Majrur tersebut juga Muta’alliq dengan fi’il Khotama.
وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ
Kata ‘alaa abshooriihim yang terdiri dari Jar Majrur itu menjadi Khobar Muqoddam/didahulukan, yang mana kata jamak abshoori itu kata tunggalnya adalah bashorun, dan kata ghisyaawatun adalah Mubtada’ Muakhkhor/diakhirkan.
وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Kata lahum yang terdiri dari Jar Majrur itu menjadi Khobar Muqoddam/didahulukan, dan kata ‘adzaabun ‘adhiimun yang terdiri dari sifat dan yang disifati itu menjadi Mubtada’ Muakhkhor/diakhirkan

Surat Al Baqarah Ayat 6

Surat Al Baqarah Ayat 6
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لا يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman.(QS.2:6)
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا
Kata huruf inna itu mempunyai Isim dan Khobar, dan Isim Mausul al-ladziina dan fi’il madhi kafaruu yang menjadi Silahnya al-ladziina itu adalah menjadi Isimnya inna.
سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ
Kata sawaa’un adalah khobarnya inna dan Jar Majrur ‘alaihim adalah Muta’alliq dengan kata sawaa’un, dhomir him-nya kembali kepada al-ladziina kafaruu.
ءَأَنْذَرْتَهُمْ
Kata huruf a/hamzah berfathah adalah huruf Masdariyah dan Dhomir hum menjadi Maf’ul dari fi’il Madhi andzarta.
أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ
Fi’il Mudhari tundzir dijazemkan oleh huruf Jazel lam, dan Dhomir hum adalah Maf’ulnya, dan tiga kata tersebut diathafkan kepada kalimat sebelumnya oleh huruf Athaf am.
لا يُؤْمِنُونَ
Kata huruf laa adalah huruf Nafiyah yang artinya tidak/tiadalah, dan fi’il Mudhari yu’minuuna dengan kata Laa Nafiyah menjadi Khobar kedua dari kata huruf inna.

Surat Al Baqarah Ayat 5

Surat Al Baqarah Ayat 5
أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.(QS.2:5)
أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ
Isim Isyarat ulaa’ika adalah Mubtada’, dan Jar Majrur ‘alaa hudan adalah Khobar nya ulaa’ika, dan Jar Majrur min robbihim adalah Muta’alliq/berhubungan dengan kata hudan atau bisa juga menjadi sifatnya hudan.
وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Isim Isyarat ulaa’ika sesudah Wawu Athaf itu menjadi Mubtada’, dan Dhomir hum menjadi Dhomir Fasl/pemisah, dan kata al-muflihuuna menjadi Khobarnya ulaa’ika
فِعْل النَّهْي
FI’IL NAHY (Kata Kerja Larangan)
Fi’il Nahy atau “kata kerja larangan” adalah bentuk negatif dari Fi’il Amar. Untuk membentuk Fi’il Nahy, kita tinggal menambahkan harf لاَ (=jangan) dan memasukkan huruf تَ di awal Fi’il Amar. Perhatikan polanya di bawah ini:
Fa’il Fi’il Amar Fi’il Nahy Terjamah
أَنْتَ اِفْعَلْ
لاَ تَفْعَلْ

= jangan (engkau -lk) kerjakan
أَنْتِ اِفْعَلِيْ لاَ تَفْعَلِيْ = jangan (engkau -pr) kerjakan
أَنْتُمَا اِفْعَلاَ لاَ تَفْعَلاَ = jangan (kamu berdua) kerjakan
أَنْتُمْ اِفْعَلُوْا لاَ تَفْعَلُوْا = jangan (kalian -lk) kerjakan
أَنْتُنَّ اِفْعَلْنَ لاَ تَفْعَلْنَ = jangan (kalian -pr) kerjakan
Contoh dalam kalimat:
Dari fi’il خَافَ (= takut) dan fi’il حَزِنَ (= sedih) menjadi Fi’il Nahy:
لاَ تَخَفْ وَلاَ تَحْزَنْ
= jangan (engkau -lk) takut dan jangan sedih
لاَ تَخَافِيْ وَلاَ تَحْزَنِيْ = jangan (engkau -pr) takut dan jangan sedih
لاَ تَخَافَا وَلاَ تَحْزَنَا = jangan (kamu berdua) takut dan jangan sedih
لاَ تَخَافُوْا وَلاَ تَحْزَنُوْا = jangan (kalian -lk) takut dan jangan sedih
لاَ تَخَفْنَ وَلاَ تَحْزَنَّ = jangan (kalian -pr) takut dan jangan sedih

Surat Al Baqarah Ayat 4

Surat Al Baqarah Ayat 4
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.(QS.2:4)
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ
Huruf Athaf wawu mengathafkan kalimat sesudahnya kepada kalimat mimmaa rozaqnaahum yunfiquuna, dan disitu kata al-ladziina disebut Isim Mausul dan fi’il Mudhari yu’minuuna adalah Silahnya al-ladziina, dan di dalam fi’il Mudhari yu’minuuna itu ada Fa’il yakni hum/mereka yang kembali kepada al-ladziina.
بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ
Kata bimaa dan fi’il Madhi Majhul/pasif unzila itu dalam posisi Nasob menjadi Maf’ul kedua dari fi’il Mudhari yu’minuuna, dan Jar Majrur ilaika adalah Muta’aliq dengan fi’il unzila.
وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ
Huruf Athaf Wawu mengathafkan kalimat sesudahnya kepada kalimat maa unzila yang ada disebelumnya, dan kata unzila adalah fi’il Madhi Majhul Pasif, yang mana Jar Majrur min qoblika adalah muta’alliq dengan fi’il unzila.
وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
Huruf Athaf wawu mengathafkan kalimat sesudahnya kepada kalimat al-ladziina yu’minuuna….., dan kata bil-aakhiroti dalam posisi Nasob adalah menjadi Maf’ul kedua yang didahulukan dari fi’il Mudhari yuuqinuuna.
PENJELASAN TAFSIR:
Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.(QS. 2:4)
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
Keempat: Beriman kepada kitab-kitab yang telah diturunkan-Nya, yaitu beriman kepada Alquran dan kepada kitab-kitab yaitu Taurat, Zabur, Injil dan sahifah-sahifah yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Beriman kepada Kitab-kitab dan sahifah-sahifah tersebut berarti beriman pula kepada para rasul yang telah diutus Allah kepada umat-umat yang dahulu dengan tidak membedakan antara seseorang pun dengan yang lain dari rasul-rasul Allah itu.
Beriman kepada Kitab-kitab Allah merupakan salah satu sifat dari orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang beriman, waris-waris para nabi. waris ajaran-ajaran Allah baik orang-orang dahulu, maupun orang-orang sekarang sampai akhir zaman. Sifat ini akan menimbulkan rasa dalam diri seseorang muslim bahwa mereka adalah umat yang satu, agama mereka adalah satu yaitu agama Islam. Tuhan yang mereka sembah ialah Tuhan Yang Maha Esa, Pengasih lagi Penyayang kepada hamba-hamba-Nya. Sifat ini akan menghilangkan dalam diri seseorang muslim, semua sifat menyombongkan diri, rasa golongan, rasa kedaerahan dan perasaan kebangsaan yang berlebih lebihan.

Surat Al Baqarah Ayat 3

Surat Al Baqarah Ayat 3
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka,(QS.2:3)
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ
Empat kata ini menjadi khobar dari Mubtada’ hum yang dibuang dan bisa juga menjadi Bayan/keterangan dari kata al-muttaqiin, dan disitu kata al-ladziina disebut Isim Mausul dan fi’il mudhari yu’minuuna adalah Silahnya al-ladziina, dan Jar Majrur bil ghoibi disitu dalam posisi Nasob adalah menjadi Maf’ul kedua dari fi’il yu’minuuna.
وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ
Kata yuqiimuunash-sholaata diathafkan oleh huruf athaf wawu kepada kata al-ladziina yu’minuuna bil-ghoibi, dan kata yuqiimuuna adalah fi’il Mudhari yang didalamnya ada Fa’ilnya yakni hum/mereka yang kembali kepada Isim Mausul al-ladziina yang ada di sebelumnya, dan kata ash-sholaata menjadi Maf’ul dari fi’il yuqiimuuna.
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Huruf Athaf wawu mengathafkan kalimat sesudahnya kepada kalimat yuqiimuunash-sholata, dan kata huruf min yang ada pada mimmaa adalah min dengan arti sebagian, dan kata rozaqnaa adalah fi’il madhi, dan dhomir hum adalah Maf’ulnya dan kata yunfiquuna adalah fi’il mudhari.
PENJELASAN TAFSIR:
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.(QS. 2:3)
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Pertama : Beriman kepada yang gaib. Termasuk di dalamnya beriman kepada Allah dengan sesungguhnya, menundukkan diri serta menyerahkannya sesuai dengan yang diharuskan oleh iman itu. Tanda keimanan seseorang, ialah melaksanakan semua yang diperintahkan oleh imannya itu.
Yang gaib, ialah sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh pancaindra. Pengetahuan tentang yang gaib itu semata-mata berdasar kepada petunjuk-petunjuk Allah swt. Karena kita telah beriman kepada Allah, maka kita beriman pula kepada firman-firman dan petunjuk-petunjuk-Nya Termasuk yang gaib ialah : Allah, Malaikat, hari kiamat, surga, neraka, mahsyar dan sebagainya.
Pangkal iman kepada yang gaib ialah iman kepada Allah swt. Iman kepada Allah adalah dasar dari pembentukan watak dan sifat-sifat seseorang manusia agar ia menjadi manusia yang sebenarnya, sesuai dengan maksud Allah menciptakan manusia.
Allah swt. berfirman:
صِبْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ
Artinya:
Sibghah Allah. Siapakah yang lebih baik sibgahnya dari Allah ? Kepada-Nyalah kami menyembah. (Q.S Al Baqarah: 138)
Iman membentuk manusia menjadi makhluk individu dan makhluk yang jadi anggota masyarakatnya, suka memberi, menolong, berkorban, berjihad dan sebagainya.
Allah swt. berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang sebenarnya beriman hanyalah orang orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar. (Q.S Al Hujurat: 15)
Dalam mencari arti iman itu hendaklah mempelajari sejarah hidup Nabi Muhammad saw, merenungkan ciptaan Allah, menggunakan akal pikiran dan mempelajari ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Iman dapat bertambah dan dapat pula berkurang. Iman akan rusak bila amal seseorang rusak dan akan bertambah bila nilai dan jumlah amal ditingkatkan
Kedua: Mendirikan salat ialah, mengerjakan dan menunaikan salat dengan menyempurnakan rukun-rukun dan syarat-syaratnya, terus-menerus mengerjakannya sesuai dengan yang diperintahkan Allah, baik lahir maupun batin. Yang dimaksud dengan lahir ialah mengerjakan salat sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan sunah Rasul dan yang dimaksud dengan “batin” ialah mengerjakan salat dengan hati, dengan segala ketundukan dan kepatuhan kepada Allah karena merasakan keagungan dan kekuasaan Allah yang menguasai dan menciptakan seluruh alam ini sebagai yang dikehendaki oleh agama.
Yang dimaksud “Iqamatussalah” ialah mengerjakan salat dengan sempurna; sempurna rukun-rukun, syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang lain yang ditentukan oleh agama.
Arti asal dari perkataan “salat” ialah “doa”, kemudian dipakai sebagai istilah yang berarti “salat” sebagai ibadat yang telah terkenal di dalam agama Islam karena salat itu banyak mengandung doa.
Ketiga: Menafkahkan sebahagian rezeki yang telah dianugerahkan Allah. “Rezeki” ialah segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya. “Menafkahkan sebahagian rezeki” ialah memberikan sebahagian rezeki atau harta yang telah direzekikan Allah kepada orang-orang yang telah ditentukan oleh agama.
Harta yang akan dinafkahkan itu ialah sebahagiannya, tidak seluruh harta. Dalam ayat ini tidak disebutkan berapa banyak yang dimaksud dengan sebahagian itu, apakah seperdua, sepertiga, seperempat dan sebagainya.
Dalam pada itu Allah melarang berlaku kikir dan melarang berlaku boros:
Firman Allah swt:
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
Artinya:
Janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu, sebaliknya janganlah kamu terlalu mengulurkannya, agar kamu tidak menjadi tercela dan menyesal. (Q.S Al Isra’: 29)
Dan Allah menyuruh agar jangan berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta dan jangan pula kikir. Firman-Nya:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
Artinya:
Orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan, tidak (pula) kikir tapi adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian . (Q.S Al Furqan: 67)
Pada firman Allah yang lain dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan sebahagian harta itu ialah:
وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ
Artinya:
….mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, “Yang lebih baik dari keperluan”. (Q.S Al Baqarah: 219)
Allah telah menjelaskan cara-cara membelanjakan harta itu dan cara-cara menggunakannya. Dan dijelaskan lagi oleh hadis-hadis Rasulullah saw:
عن النبى صلى الله عليه وسلم قال: وابدأ بمن تعول، خير الصدقة عن ظهر الغنى
Artinya:
Nabi saw. telah bersabda, “Mulailah dari orang-orang yang dekat denganmu, sedekah yang paling baik ialah sedekah dari orang kaya” (H.R Bukhari dan Muslim)

Surat Al Baqarah Ayat 2

Surat Al Baqarah Ayat 2
ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,(QS.2:2)
ذَلِكَ الْكِتَابُ
Isim Isyarat dzaalika adalah Mubtada’, dan kata al-kitaabu menjadi khobarnya dzaalika, dan Isim Isyarat dzaalika itu untuk menunjuk kepada kata benda yang mudzakar/laki-laki, dan setiap Isim Isyarat pasti kata benda, dan setiap kata yang bisa dimasuki oleh huruf tambahan alif dan laam seperti kata al-kitaabu juga pasti kata benda/isim.
لا رَيْبَ فِيهِ
Kata laa adalah Laa Nafiyah/meniadakan, dan kata laa itu termasuk kata huruf dan dia itu mempunyai Isim dan Khobar, dimana Isimnya adalah kata roiba, dan Khobarnya laa disitu adalah Jar Majrur fiihi yang ada sesudah roiba, dan kata roiba disitu dinasobkan dengan tanda nasob pakai harokat fathah karena laa-nya adalah Laa Linafyiljinsi/laa yang meniadakan sesuatu jenis.
هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Kata hudan menjadi sifat tambahan dari kata al-kitaabu sebelumnya, dan sifat tambahan itu disebut Haal, jadi kata hudan itu menjadi Haal dari kata al-kitaabu, dan Jar Majrur lil-muttaqiina adalah Muta’alliq/berhubungan dengan kata hudan, dan kata al-muttaqiina itu tanda Jar nya pakai huruf ya’ sebelum nun yang berharokat fathah.
PENJELASAN TAFSIR:
Kitab (Al quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,(QS. 2:2)
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Ayat di atas menerangkan bahwa Alquran ini tidak ada keraguan padanya karena ia wahyu Allah swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw Nabi yang terakhir dengan perantaraan Jibril a.s.
Hal ini tegaskan oleh Allah swt. dalam firman-Nya:
الم تَنْزِيلُ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya:
Alif lam mim. Turunnya Alquran yang tidak ada keraguan padanya (adalah) dari Tuhan semesta alam. (Q.S As Sajadah: 1 dan 2)
Yang dimaksud “Al Kitab” di sini ialah Alquran . Disebut “Al Kitab.” sebagai isyarat bahwa Alquran harus ditulis, karena itu Nabi Muhammad saw. memerintahkan para sahabat menulis ayat-ayat Alquran
Alquran ini bimbingan bagi orang-orang bertakwa, sehingga ia berbahagia hidup di dunia dan di akhirat nanti.
Orang-orang yang bertakwa ialah orang-orang yang memelihara dan menjaga dirinya dari azab Allah dengan selalu melaksanakan perintah-perintah Allah swt. dan menghentikan larangan-larangan-Nya.

Surat Al Baqarah Ayat 1

Surat Al Baqarah Ayat 1
الم
Alif Laam Miim. (QS.2:1)
Huruf alif, laam, dan miim dalam posisi Rofa’ menjadi khobar dari Isim Isyarat haadzihii yang dibuang, dan rangkaian huruf alif laam miim itu terdiri dari tiga huruf yang tidak ada barisnya/harokatnya, oleh karena itu dibacanya sesuai dengan tulisan huruf itu yakni alif dibaca alif, laam dibaca laam, dan miim dibaca miim.
PENJELASAN TAFSIR:
Alif laam miim.(QS. 2:1)
Alif, lam, mim, termasuk huruf-huruf abjad yang terletak pada permulaan beberapa surah Alquran. Ada dua hal yang perlu dibicarakan tentang huruf-huruf abjad yang disebutkan pada permulaan beberapa surah dari Alquranul Karim itu, yaitu apa yang dimaksud dengan huruf ini, dan apa hikmahnya menyebutkan huruf-huruf ini?
Tentang soal pertama, maka para mufassir berlainan pendapat, yaitu:
1.Ada yang menyerahkan saja kepada Allah, dengan arti mereka tidak mau menafsirkan huruf-huruf itu. Mereka berkata, “Allah sajalah yang mengetahui maksudnya.” Mereka menggolongkan huruf-huruf itu ke dalam golongan ayat-ayat mutasyabihat.
2.Ada yang menafsirkannya. Mufassirin yang menafsirkannya ini berlain-lain pula pendapat mereka, yaitu:
a.Ada yang berpendapat bahwa huruf-huruf itu adalah isyarat (keringkasan dari kata-kata), umpamanya Alif Lam Mim. Maka “Alif” adalah keringkasan dari “Allah”, “Lam” keringkasan dari “Jibril”, dan “Mim” keringkasan dari Muhammad, yang berarti bahwa Alquran itu datangnya dari Allah, disampaikan oleh Jibril kepada Muhammad. Pada Alif Lam Ra; “Alif” keringkasan dari “Ana”, “Lam” keringkasan dari “Allah” dan “Ra” keringkasan dari “Ar-Rahman”, yang berarti: Saya Allah Yang Maha Pemurah.
b.Ada yang berpendapat bahwa huruf-huruf itu adalah nama dari surah yang dimulai dengan huruf-huruf itu.
c.Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan huruf-huruf abjad ini adalah huruf-huruf abjad itu sendiri. Maka yang dimaksud dengan “Alif” adalah “Alif”, yang dimaksud dengan “Lam” adalah “Lam”, yang dimaksud dengan “Mim” adalah “Mim”, dan begitu seterusnya.
d.Huruf-huruf abjad itu untuk menarik perhatian.
Menurut para mufassir ini, huruf-huruf abjad itu disebut Allah pada permulaan beberapa surah dari Alquranul Karim, hikmahnya adalah untuk “menantang”. Tantangan itu bunyinya kira-kira begini: Alquran itu diturunkan dalam bahasa Arab, yaitu bahasa kamu sendiri, yang tersusun dari huruf-huruf abjad, seperti Alif Lam Mim Ra, Ka Ha Ya Ain Shad, Qaf, Tha Sin dan lain-lainnya. Maka kalau kamu sekalian tidak percaya bahwa Alquran ini datangnya dari Allah dan kamu mendakwakan datangnya dari Muhammad, yakni dibuat oleh Muhammad sendiri, maka cobalah kamu buat ayat-ayat yang seperti ayat Alquran ini. Kalau Muhammad dapat membuatnya tentu kamu juga dapat membuatnya.”
Maka ada “penantang”, yaitu Allah, dan ada “yang ditantang”, yaitu bahasa Arab, dan ada “alat penantang”, yaitu Alquran. Sekalipun mereka adalah orang-orang yang fasih berbahasa Arab, dan mengetahui pula seluk-beluk bahasa Arab itu menurut naluri mereka, karena di antara mereka itu adalah pujangga-pujangga, penyair-penyair dan ahli-ahli pidato, namun demikian mereka tidak bisa menjawab tantangan Alquran itu dengan membuat ayat-ayat seperti Alquran. Ada juga di antara mereka yang memberanikan diri untuk menjawab tantangan Alquran itu, dengan mencoba membuat kalimat-kalimat seperti ayat-ayat Alquran itu, tetapi sebelum mereka ditertawakan oleh orang-orang Arab itu, lebih dahulu mereka telah ditertawakan oleh diri mereka sendiri.
Para mufassir dari golongan ini, yakni yang berpendapat bahwa huruf-huruf abjad itu disebut oleh Allah pada permulaan beberapa surah dari Alquran untuk menantang bangsa Arab itu, mereka sampai kepada pendapat itu adalah dengan “istiqra” artinya menyelidiki masing-masing surah yang dimulai dengan huruf-huruf abjad itu. Dengan penyelidikan itu mereka mendapat fakta-fakta sebagai berikut:
1.Surah-surah yang dimulai dengan huruf-huruf abjad ini adalah surah-surah Makiyah (diturunkan di Mekah), selain dari dua buah surah saja yang Madaniyah (diturunkan di Madinah), yaitu surah Al-Baqarah yang dimulai dengan Alif Lam Mim dan surah Ali Imran yang dimulai dengan Alif Lam Mim juga. Sedang penduduk Mekah itulah yang tidak percaya bahwa Alquran itu adalah dari Tuhan, dan mereka mendakwakan bahwa Alquran itu buatan Muhammad semata-mata.
2.Sesudah menyebutkan huruf-huruf abjad itu ditegaskan bahwa Alquran itu diturunkan dari Allah, atau diwahyukan oleh-Nya. Penegasan itu disebutkan oleh Allah secara langsung atau tidak langsung. Hanya ada 9 surah yang dimulai dengan huruf-huruf abjad itu yang tidak disebutkan sesudahnya penegasan bahwa Alquran itu diturunkan dari Allah.
3.Huruf-huruf abjad yang disebutkan itu adalah huruf-huruf abjad yang banyak terpakai dalam bahasa Arab.
Dari ketiga fakta yang didapat dari penyelidikan itu, mereka menyimpulkan bahwa huruf-huruf abjad itu didatangkan oleh Allah pada permulaan beberapa surah dari Alquranul Karim itu adalah untuk “menantang” bangsa Arab agar membuat ayat-ayat seperti ayat-ayat Alquran itu, bila mereka tidak percaya bahwa Alquran itu, datangnya dari Allah dan mendakwakan bahwa Alquran itu buatan Muhammad semata-mata sebagai yang disebutkan di atas. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa para mufassir yang mengatakan bahwa huruf-huruf abjad ini didatangkan Allah untuk “tahaddi” (menantang) adalah memakai tariqah (metode) ilmiah, yaitu “menyelidiki dari contoh-contoh, lalu menyimpulkan daripadanya yang umum”. Tariqah ini disebut “Ath-Thariqat Al-Istiqra’iyah” (metode induksi).
Ada mufassir yang berpendapat bahwa huruf-huruf abjad ini didatangkan oleh Allah pada permulaan beberapa surah-surah Alquranul Karim untuk menarik perhatian. Memulai pembicaraan dengan huruf-huruf abjad adalah suatu cara yang belum dikenal oleh bangsa Arab di waktu itu, karena itu maka hal ini menarik perhatian mereka.
Tinjauan terhadap pendapat-pendapat ini:
1.Pendapat yang pertama yaitu menyerahkan saja kepada Allah karena Allah sajalah yang mengetahui, tidak diterima oleh kebanyakan mufassirin ahli-ahli tahqiq (yang menyelidiki secara mendalam). (Lihat Tafsir Al-Qasimi j.2, hal. 32)
Alasan-alasan mereka ialah:
a.Allah sendiri telah berfirman dalam Alquran:
بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ
Artinya:
Dengan bahasa Arab yang jelas.
(Q.S. Asy Syu’ara’: 195)
Maksudnya Alquran itu dibawa oleh Jibril kepada Muhammad dalam bahasa Arab yang jelas. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa ayat-ayat dalam Alquran itu adalah “jelas”, tak ada yang tidak jelas, yang tak dapat dipahami atau dipikirkan, yang hanya Allah saja yang mengetahuinya.
b.Di dalam Alquran ada ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Alquran itu menjadi petunjuk bagi manusia. Di antaranya firman Allah:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Artinya:
Kitab Alquran ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa.
(Q.S. Al-Baqarah: 2)
Firman-Nya lagi:
وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ
Artinya:
….dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.
(Q.S. Al-Baqarah: 97)
Firman-Nya lagi:
هَذَا بَيَانٌ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ لِلْمُتَّقِينَ
Artinya:
(Alquran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.
(Q.S. Ali Imran: 138)
Dan banyak lagi ayat-ayat yang menerangkan bahwa Alquran itu adalah petunjuk bagi manusia. Sesuatu yang fungsinya menjadi “petunjuk” tentu harus jelas dan dapat dipahami. Hal-hal yang tidak jelas tentu tidak dijadikan petunjuk.
c. Dalam ayat yang lain Allah berfirman pula:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
Artinya:
Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Alquran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?
(Q.S. Al-Qamar: 17, 22, 32, dan 40)
2.
a.Pendapat yang menafsirkan bahwa huruf-huruf abjad itu adalah keringkasan dari suatu kalimat. Pendapat ini juga banyak para mufassir yang tidak dapat menerimanya.
Keberatan mereka ialah: tidak ada kaidah-kaidah atau patokan-patokan yang tertentu untuk ini, sebab itu para mufassir yang berpendapat demikian berlain-lainan pendapatnya dalam menentukan kalimat-kalimat itu. Maka di samping pendapat mereka bahwa Alif Lam Mim artinya ialah: Allah, Jibril, Muhammad, ada pula yang mengartikan “Allah, Latifun, Maujud” (Allah Maha Halus lagi Ada). (Dr. Mahmud Syaltut, Tafsir al Qur’anul Karim, hal. 73)
b.Pendapat yang menafsirkan bahwa huruf-huruf abjad yang terdapat pada permulaan beberapa surah ini adalah nama surah, juga banyak pula para mufassir yang tidak dapat menerimanya. Alasan mereka ialah: bahwa surah-surah yang dimulai dengan huruf-huruf itu kebanyakannya adalah mempunyai nama yang lain, dan nama yang lain itulah yang terpakai. Umpamanya surah Al-Baqarah, Ali Imran, Maryam dan lain-lain. Maka kalau betul huruf-huruf itu adalah nama surah, tentu nama-nama itulah yang akan dipakai oleh para sahabat Rasulullah dan kaum muslimin sejak dari dahulu sampai sekarang.
Hanya ada empat buah surah yang sampai sekarang tetap dinamai dengan huruf-huruf abjad yang terdapat pada permulaan surah-surah itu, yaitu: Surah Thaha, surah Yasin, surah Shad dan surah Qaf. (Dr. Mahmud Syaltut, Tafsir al Qur’anul Karim, hal. 73)
c.Pendapat yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan huruf-huruf abjad itu sendiri, dan abjad-abjad ini didatangkan oleh Allah ialah untuk “menantang” (tahaddi). Inilah yang dipegang oleh sebahagian mufassirin ahli tahqiq. (Di antaranya: Az Zamakhsyari, Al Baidawi, Ibnu Taimiah, dan Hafizh Al Mizzi, lihat Rasyid Rida, Tafsir Al Manar jilid 8, hal. 303 dan Dr Shubhi As Salih, Mabahis Ulumi Qur’an, hal 235. Menurut An Nasafi: pendapat bahwa huruf abjad ini adalah untuk menantang patut diterima. Lihat Tafsir An Nasafi, hal. 9)
d.Pendapat yang menafsirkan bahwa huruf-huruf abjad ini adalah untuk “menarik perhatian” (tanbih) pendapat ini juga diterima oleh ahli tahqiq. (Tafsir Al Manar jilid 8 hal. 209-303)
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa “yang dimaksud dengan huruf-huruf abjad yang disebutkan oleh Allah pada permulaan beberapa surat dari Alquran hikmahnya adalah untuk “menantang” bangsa Arab serta menghadapkan perhatian manusia kepada ayat-ayat yang akan dibacakan oleh Nabi Muhammad saw.”

فِعْل مَعْلُوْم – فِعْل مَجْهُوْل FI’IL MA’LUM (Kata Kerja Aktif) – FI’IL MAJHUL (Kata Kerja Pasif)


فِعْل مَعْلُوْم – فِعْل مَجْهُوْل
FI’IL MA’LUM (Kata Kerja Aktif) – FI’IL MAJHUL (Kata Kerja Pasif)
Dalam tata bahasa Indonesia, dikenal istilah Kata Kerja Aktif dan Kata Kerja Pasif. Perhatikan contoh berikut ini:
Abubakar membuka pintu. –> kata “membuka” disebut Kata Kerja Aktif.
Pintu dibuka oleh Abubakar. –> kata “dibuka” disebut Kata Kerja Pasif.
Dalam tata bahasa Arab, dikenal pula istilah Fi’il Ma’lum dan Fi’il Majhul yang fungsinya mirip dengan Kata Kerja Aktif dan Kata Kerja Pasif.
Perhatikan contoh kalimat di bawah ini:
ضَرَبَ عُمَرُ ضُرِبَ عُمَرُ
(= Umar memukul) (= Umar dipukul)
Fi’il ضَرَبَ (=memukul) adalah Fi’il Ma’lum (Kata Kerja Aktif). Fa’il atau Pelakunya adalah Umar bersifat aktif (melakukan pekerjaan yakni memukul).
Fi’il ضُرِبَ (=dipukul) adalah Fi’il Majhul (Kata Kerja Pasif). Fa’il atau Pelakunya tidak diketahui (tidak disebutkan). Untuk itu, dalam Fi’il Majhul, dikenal istilah Naib al-Fa’il ( نَائِبُ الْفَاعِل ) atau Pengganti Fa’il (Pelaku). Dalam contoh di atas, Umar adalah Naib al-Fa’il (pengganti Pelaku).
Fi’il Majhul dibentuk dari Fi’il Ma’lum dengan perubahan sebagai berikut:
a) Huruf pertamanya menjadi berbaris Dhammah
b) Huruf sebelum huruf terakhirnya menjadi berbaris Kasrah untuk Fi’il Madhy dan menjadi berbaris Fathah untuk Fi’il Mudhari’.
Fi’il Madhy Fi’il Mudhari’
Fi’il Ma’lum Fi’il Majhul Fi’il Ma’lum Fi’il Majhul
فَعَلَ فُعِلَ يَفْعَلُ يُفْعَلُ
Contoh-contoh dalam kalimat:
Fi’il Madhy أَمَرَ (=memerintah) menjadi Fi’il Majhul أُمِرَ (=diperintah):
أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللهَ

= aku diperintah agar menyembah Allah
أُمِرْنَا أَنْ نَعْبُدَ اللهَ = kami diperintah agar menyembah Allah
أُمِرْتَ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ = engkau (lk) diperintah agar menyembah Allah
أُمِرْتِ أَنْ تَعْبُدِي اللهَ
= engkau (pr) diperintah agar menyembah Allah
أُمِرْتُمَا أَنْ تَعْبُدَا اللهَ

= kamu berdua diperintah agar menyembah Allah
أُمِرْتُمْ أَنْ تَعْبُدُوا اللهَ

= kalian (lk) diperintah agar menyembah Allah
أُمِرْتُنَّ أَنْ تَعْبُدْنَ اللهَ = kalian (pr) diperintah agar menyembah Allah
أُمِرَ أَنْ يَعْبُدَ اللهَ = dia (lk) diperintah agar menyembah Allah
أُمِرَتْ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ = dia (pr) diperintah agar menyembah Allah
أُمِرَا أَنْ يَعْبُدَا اللهَ = mereka (2 lk) diperintah agar menyembah Allah
أُمِرَتَا أَنْ تَعْبُدَا اللهَ = mereka (2 pr) diperintah agar menyembah Allah
أُمِرُوْا أَنْ يَعْبُدُوا اللهَ = mereka (lk) diperintah agar menyembah Allah
أُمِرْنَ أَنْ يَعْبُدْنَ اللهَ = mereka (pr) diperintah agar menyembah Allah
Fi’il Mudhari’ يَعْرِفُ (=mengenal) menjadi Fi’il Majhul يُعْرَفُ (=dikenal):
أُعْرَفُ بِكَلاَمِيْ

= aku dikenal dari bicaraku
نُعْرَفُ بِكَلاَمِنَا = kami dikenal dari bicara kami
تُعْرَفُ بِكَلاَمِكَ = engkau (lk) dikenal dari bicaramu
تُعْرَفِيْنَ بِكَلاَمِكِ
= engkau (pr) dikenal dari bicaramu
تُعْرَفَانِ بِكَلاَمِكُمَا

= kamu berdua dikenal dari bicara kamu berdua
تُعْرَفُوْنَ بِكَلاَمِكُمْ

= kalian (lk) dikenal dari bicara kalian
تُعْرَفْنَ بِكَلاَمِكُنَّ
= kalian (pr) dikenal dari bicara kalian
يُعْرَفُ بِكَلاَمِهِ = dia (lk) dikenal dari bicaranya
تُعْرَفُ بِكَلاَمِهَا = dia (pr) dikenal dari bicaranya
يُعْرَفَانِ بِكَلاَمِهِمَا = mereka (2 lk) dikenal dari bicara mereka
يُعْرَفُوْنَ بِكَلاَمِهِمْ = mereka (lk) dikenal dari bicara mereka
يُعْرَفْنَ بِكَلاَمِهِنَّ = mereka (pr) dikenal dari bicara mereka

فِعْل النَّهْي FI’IL NAHY (Kata Kerja Larangan)

فِعْل النَّهْي
FI’IL NAHY (Kata Kerja Larangan)
Fi’il Nahy atau “kata kerja larangan” adalah bentuk negatif dari Fi’il Amar. Untuk membentuk Fi’il Nahy, kita tinggal menambahkan harf لاَ (=jangan) dan memasukkan huruf تَ di awal Fi’il Amar. Perhatikan polanya di bawah ini:
Fa’il Fi’il Amar Fi’il Nahy Terjamah
أَنْتَ اِفْعَلْ
لاَ تَفْعَلْ

= jangan (engkau -lk) kerjakan
أَنْتِ اِفْعَلِيْ لاَ تَفْعَلِيْ = jangan (engkau -pr) kerjakan
أَنْتُمَا اِفْعَلاَ لاَ تَفْعَلاَ = jangan (kamu berdua) kerjakan
أَنْتُمْ اِفْعَلُوْا لاَ تَفْعَلُوْا = jangan (kalian -lk) kerjakan
أَنْتُنَّ اِفْعَلْنَ لاَ تَفْعَلْنَ = jangan (kalian -pr) kerjakan
Contoh dalam kalimat:
Dari fi’il خَافَ (= takut) dan fi’il حَزِنَ (= sedih) menjadi Fi’il Nahy:
لاَ تَخَفْ وَلاَ تَحْزَنْ
= jangan (engkau -lk) takut dan jangan sedih
لاَ تَخَافِيْ وَلاَ تَحْزَنِيْ = jangan (engkau -pr) takut dan jangan sedih
لاَ تَخَافَا وَلاَ تَحْزَنَا = jangan (kamu berdua) takut dan jangan sedih
لاَ تَخَافُوْا وَلاَ تَحْزَنُوْا = jangan (kalian -lk) takut dan jangan sedih
لاَ تَخَفْنَ وَلاَ تَحْزَنَّ = jangan (kalian -pr) takut dan jangan sedih

فِعْل اْلأمْر FI’IL AMAR (Kata Kerja Perintah)

فِعْل اْلأمْر
FI’IL AMAR (Kata Kerja Perintah)
Fi’il Amar atau Kata Kerja Perintah adalah fi’il yang berisi pekerjaan yang dikehendaki oleh Mutakallim (pembicara) sebagai orang yang memerintah agar dilakukan oleh Mukhathab (lawan bicara) sebagai orang yang diperintah.
Perlu diingat bahwa yang menjadi Fa’il (Pelaku) dari Fi’il Amar (Kata Kerja Perintah) adalah Dhamir Mukhathab (lawan bicara) atau “orang kedua” sebagai orang yang diperintah untuk melakukan pekerjaan tersebut. Dhamir Mukhathab terdiri dari: أَنْتُنَّ – أَنْتُمْ – أَنْتُمَا – أَنْتِ – أَنْتَ .
Fa’il
Fi’il Amar Tarjamah
أَنْتَ اِفْعَلْ
= (engkau -lk) kerjakanlah!
أَنْتِ اِفْعَلِيْ = (engkau -pr) kerjakanlah!
أَنْتُمَا اِفْعَلاَ = (kamu berdua) kerjakanlah!
أَنْتُمْ اِفْعَلُوْا = (kalian -lk) kerjakanlah!
أَنْتُنَّ اِفْعَلْنَ = (kalian -pr) kerjakanlah!
Contoh dalam kalimat: dari fi’il عَمِلَ (= beramal, bekerja) menjadi Fi’il Amar:
اِعْمَلْ لآِخِرَتِكَ = bekerjalah untuk akhiratmu (lk)
اِعْمَلِيْ لآِخِرَتِكِ
= bekerjalah untuk akhiratmu (pr)
اِعْمَلاَ لآِخِرَتِكُمَا
= bekerjalah untuk akhirat kamu berdua
اِعْمَلُوْا لآِخِرَتِكُمْ
= bekerjalah untuk akhirat kalian (lk)
اِعْمَلْنَ لآِخِرَتِكُنَّ
= bekerjalah untuk akhirat kalian (pr)
Dari fi’il أَقَامَ (=mendirikan) menjadi Fi’il Amar:
أَقِمْ صَلاَتَكَ
= dirikanlah shalatmu (lk)
أَقِمِيْ صَلاَتَكِ = dirikanlah shalatmu (pr)
أَقِمَا صَلاَتَكُمَا = dirikanlah shalat kamu berdua
أَقِيْمُوْا صَلاَتَكُمْ = dirikanlah shalat kalian (lk)
أَقِمْنَ صَلاَتَكُنَّ = dirikanlah shalat kalian (pr)
Dari fi’il كَبَّرَ (=membesarkan) menjadi Fi’il Amar:
كَبِّرْ رَبَّكَ
= besarkanlah (agungkanlah) Tuhan kamu (lk)
كَبِّرِيْ رَبَّكِ = besarkanlah (agungkanlah) Tuhan kamu (pr)
كَبِّرَا رَبَّكُمَا = besarkanlah (agungkanlah) Tuhan kamu berdua
كَبِّرُوْا رَبَّكُمْ = besarkanlah (agungkanlah) Tuhan kalian (lk)
كَبِّرْنَ رَبَّكُنَّ = besarkanlah (agungkanlah) Tuhan kalian (pr)
Sebagai catatan, bila huruf akhir yang sukun dari sebuah Fi’il bertemu dengan awalan Alif-Lam dari sebuah Isim Ma’rifah, maka baris sukun dari huruf akhir fi’il tersebut berubah menjadi baris kasrah. Contoh:
الصَّلاَةَ + أَقِمْ = أَقِمِ الصَّلاَةَ
(=shalat) (=dirikanlah) (=dirikanlah shalat)

Fa'il

Definisi Fa'il
Fa'il (subjek) adalah isim marfu' yang terletak setelah fi'il ma'lum (kata kerja aktif) dan merupakan pelaku dari suatu pekerjaan.

Penerangan
Fai'l itu hampir sama dengan subjek (di dalam bahasa Indonesia), hanya saja fa'il harus terletak setelah fi'il (kata kerja). Jadi kalau kita mau buat kalimat "Ahmad duduk", dalam bahasa arab kata kerjanya diawal sebelum fa'il (subjek), ُجلسَ أحمد (jalasa Ahmadu). Fa'il terdapat pada jumlah fi'liyyah (kalimat yang diawali dengan fi'il), sementara pada jumlah ismiyyah (kalimat yang diawali dengan isim), seperti أحمدُ جلس (Ahmadu jalasa), maka kata أحمدُ bukan dikatakan fa'il, tapi mubtada', karena kata أحمدُ merupakan isim yang terletak di depan kalimat, sementara fa'il harus terletak setelah fi'il.

Contoh-contoh Fa'il di dalam Al Qur'an
إذ قال يوسف (idz qoola yuusufu) = "ketika Yusuf berkata .. " (QS Yusuf 2)
إذ جاءك المنافقون (idz jaa-akal munaafiquun) = "Ketika Orang-orang munafik itu datang kepadamu" (QS Al Munafiquun : 1)
و قضي ربك ألا تعبدوا إلا إياه (wa qodoo robbuka alla ta'buduu illa iyyahu) = "Dan robbmu menetapkan bahwa janganlah kalian menyembah selain Dia" (QS Al Isro' : 23)
Dan sangat banyak sekali contoh-contohnya.

Kaedah-kaedah Fa'il

Jika fa'ilnya muannats, maka fi'ilnya ditambah ta' ta'nits (kadang hukumnya wajib, kadang boleh-boleh saja)

Misal: حضرت المدرسة (hadorot al-mudarrisatu) = pengajar wanita itu telah hadir


Jika fa'ilnya mufrod, atau mustanna, atau jama', maka fi'il selalu dalam keadaan mufrod

Misal :

حضر المدرس (hadhoro al-mudarrisu) = Pengajar (lk2) itu telah hadir


حضر المدرسان ( hadhoro al-mudarrisaani) = Dua orang pengajar (lk2) itu telah hadir


حضر المدرسون ( hadhoro al-mudarrisuuna) = Pengajar-pengajar (lk2) itu telah hadir


حضرت المدرسة ( hadhorot al-mudarrisatu) = Pengajar (pr) itu telah hadir


حضرت المدرستان ( hadhorot al-mudarrisataani) = Dua orang pengajar (pr) itu telah hadir


حضرت المدرسات ( hadhorot al-mudarrisaatu) = Pengajar-pengajar (pr) itu telah hadir


Perhatikan, walaupun isimnya (fa'ilnya) berbentuk mutsanna atau jama' sekalipun tapi fi'il tetap dalam keadaan mufrod.

فِعْل FI’IL (Kata Kerja)

فِعْل
FI’IL (Kata Kerja)
Fi’il atau Kata Kerja dibagi atas dua golongan besar menurut waktu terjadinya:
1. FI’IL MADHY ( فِعْل مَاضِي ) atau Kata Kerja Lampau.
2. FI’IL MUDHARI’ ( فِعْل مُضَارِع ) atau Kata Kerja Kini/Nanti.
Baik Fi’il Madhy maupun Fi’il Mudhari’, senantiasa mengalami perubahan bentuk sesuai dengan jenis Dhamir dari Fa’il ( فَاعِل ) atau Pelaku pekerjaan itu.
Untuk Fi’il Madhy, perubahan bentuk tersebut terjadi di akhir kata, sedangkan untuk Fi’il Mudhari’, perubahan bentuknya terjadi di awal kata dan di akhir kata.
Dhamir Fi’il Madhy Fi’il Mudhari’ Tarjamah
أَنَا
فَعَلْتُ
أَفْعَلُ = saya mengerjakan
نَحْنُ فَعَلْنَا نَفْعَلُ = kami mengerjakan
أَنْتَ فَعَلْتَ تَفْعَلُ = engkau (lk) mengerjakan
أَنْتِ فَعَلْتِ تَفْعَلِيْنَ = engkau (pr) mengerjakan
أَنْتُمَا فَعَلْتُمَا تَفْعَلاَنِ = kamu berdua mengerjakan
أَنْتُمْ فَعَلْتُمْ تَفْعَلُوْنَ = kalian (lk) mengerjakan
أَنْتُنَّ فَعَلْتُنَّ تَفْعَلْنَ = kalian (pr) mengerjakan
هُوَ فَعَلَ يَفْعَلُ = dia (lk) mengerjakan
هِيَ فَعَلَتْ تَفْعَلُ = dia (pr) mengerjakan
هُمَا فَعَلاَ يَفْعَلاَنِ = mereka berdua (lk) mengerjakan
هُمَا فَعَلَتَا تَفْعَلاَنِ = mereka berdua (pr) mengerjakan
هُمْ
فَعَلُوْا
يَفْعَلُوْنَ = mereka (lk) mengerjakan
هُنَّ فَعَلْنَ يَفْعَلْنَ = mereka (pr) mengerjakan
Perlu diketahui, bahwa dalam sebuah JUMLAH FI’LIYYAH ( جُمْلَة فِعْلِيَّة ) atau Kalimat Verbal (kalimat sempurna yang mengandung Kata Kerja), letak Fa’il (Pelaku) bisa di depan dan bisa pula di belakang Fi’il (Kata Kerja).
1) Untuk Dhamir Ghaib atau “orang ketiga” ( هُنَّ-هُمْ-هُمَا-هِيَ- هُوَ ).
a. Bila Fa’il mendahului Fi’il maka perubahan bentuk dari Fi’il tersebut harus mengikuti ketentuan Mudzakkar/Muannats dan Mufrad/Mutsanna/Jamak.
Contoh Jumlah Fi’liyyah dengan Fi’il Madhy yang terletak setelah Fa’il:
اَلْمُسْلِمُ دَخَلَ الْمَسْجِدَ
= muslim itu memasuki masjid
اَلْمُسْلِمَةُ دَخَلَتِ الْمَسْجِدَ
= muslimah itu memasuki masjid
اَلْمُسْلِمَانِ دَخَلاَ الْمَسْجِدَ
= dua muslim itu memasuki masjid
اَلْمُسْلِمَتَانِ دَخَلَتَا الْمَسْجِدَ
= dua muslimah itu memasuki masjid
اَلْمُسْلِمُوْنَ دَخَلُوا الْمَسْجِدَ
= kaum muslimin memasuki masjid
اَلْمُسْلِمَاتُ دَخَلْنَ الْمَسْجِدَ
= kaum muslimat memasuki masjid
Contoh Jumlah Fi’liyyah dengan Fi’il Mudhari’ yang terletak setelah Fa’il:
اَلْمُسْلِمُ يَدْخُلُ الْمَسْجِدَ
= muslim itu memasuki masjid
اَلْمُسْلِمَةُ تَدْخُلُ الْمَسْجِدَ
= muslimah itu memasuki masjid
اَلْمُسْلِمَانِ يَدْخُلاَنِ الْمَسْجِدَ
= dua muslim itu memasuki masjid
اَلْمُسْلِمَتَانِ تَدْخُلاَنِ الْمَسْجِدَ
= dua muslimah itu memasuki masjid
اَلْمُسْلِمُوْنَ يَدْخُلُوْنَ الْمَسْجِدَ
= kaum muslimin memasuki masjid
اَلْمُسْلِمَاتُ يَدْخُلْنَ الْمَسْجِدَ
= kaum muslimat memasuki masjid
b. Sedangkan bila Fi’il mendahului Fa’il, maka bentuk Fi’il tersebut selalu Mufrad, (meskipun Fa’il-nya Mutsanna atau Jamak). Tetapi untuk bentuk Mudzakkar dan Muannats tetap dibedakan dengan adanya huruf Ta Ta’nits ( ت تَأْنِيْث ) atau “Ta Penanda Muannats” pada Fi’il yang Fa’il-nya adalah Muannats.
Contoh Jumlah Fi’liyyah dengan Fi’il Madhy yang terletak sebelum Fa’il:
دَخَلَ اَلْمُسْلِمُ الْمَسْجِدَ
= muslim itu memasuki masjid
دَخَلَتِ الْمُسْلِمَةُ الْمَسْجِدَ
= muslimah itu memasuki masjid
دَخَلَ الْمُسْلِمَانِ الْمَسْجِدَ
= dua muslim itu memasuki masjid
دَخَلَتِ الْمُسْلِمَتَانِ الْمَسْجِدَ
= dua muslimah itu memasuki masjid
دَخَلَ الْمُسْلِمُوْنَ الْمَسْجِدَ
= kaum muslimin memasuki masjid
دَخَلَتِ الْمُسْلِمَاتُ الْمَسْجِدَ
= kaum muslimat memasuki masjid
Contoh Jumlah Fi’liyyah dengan Fi’il Mudhari’ yang terletak sebelum Fa’il:
يَدْخُلُ اَلْمُسْلِمُ الْمَسْجِدَ
= muslim itu memasuki masjid
تَدْخُلُ الْمُسْلِمَةُ الْمَسْجِدَ
= muslimah itu memasuki masjid
يَدْخُلُ الْمُسْلِمَانِ الْمَسْجِدَ
= dua muslim itu memasuki masjid
تَدْخُلُ الْمُسْلِمَتَانِ الْمَسْجِدَ
= dua muslimah itu memasuki masjid
يَدْخُلُ الْمُسْلِمُوْنَ الْمَسْجِدَ
= kaum muslimin memasuki masjid
تَدْخُلُ الْمُسْلِمَاتُ الْمَسْجِدَ
= kaum muslimat memasuki masjid
2) Untuk Fa’il lainnya ( أَنْتُنَّ – أَنْتُمْ – أَنْتُمَا – أَنْتَ – أَنْتِ – نَحْنُ – أَنَا )
tetap mengikuti pola perubahan bentuk Fi’il sebagaimana mestinya.
Fi’il Madhy
Fi’il Mudhari’
دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ (أَنَا) أَدْخُلُ الْمَسْجِدَ
saya telah memasuki masjid saya memasuki masjid
دَخَلْنَا الْمَسْجِدَ (نَحْنُ) نَدْخُلُ الْمَسْجِدَ
kami telah memasuki masjid kami memasuki masjid
دَخَلْتَ الْمَسْجِدَ (أَنْتَ) تَدْخُلُ الْمَسْجِدَ
engkau telah memasuki masjid
engkau memasuki masjid
دَخَلْتِ الْمَسْجِدَ (أَنْتِ) تَدْخُلِيْنَ الْمَسْجِدَ
engkau (pr) telah memasuki masjid engkau (pr) memasuki masjid
دَخَلْتُمَا الْمَسْجِدَ (أَنْتُمَا) تَدْخُلاَنِ الْمَسْجِدَ
kamu berdua telah memasuki masjid kamu berdua memasuki masjid
دَخَلْتُمُ الْمَسْجِدَ (أَنْتُمْ) تَدْخُلُوْنَ الْمَسْجِدَ
kalian (lk) telah memasuki masjid kalian (lk) memasuki masjid
دَخَلْتُنَّ الْمَسْجِدَ (أَنْتُنَّ) تَدْخُلْنَ الْمَسْجِدَ
kalian (pr) telah memasuki masjid kalian (pr) memasuki masjid

Senin, 12 November 2012

Makalah wahdat Al-Wujud Ibn Arabi



A.    Pengertian dan tujuan wahdat al-wujud
      Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan sedang al-wujud artinya ada.[1] Dengan demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud.
      Harun nasution lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan bahwa paham wahdat al-wujud nasut yang sudah ada dalam hulul diubah maejadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haqq (tuhan).Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang di sebelah dalam disebut haqq.[2]
      Paham ini selanjutnya membawa keoada timbulnya paham bahwa diantara makhluk dan tuhan sebenarnya satu kesatuan dari wujud tuhan dan yang sebenarnya ada adalah wujud tuhan itu, sedangkan wujud makhluk hanya bayang atau fotocopy dari wujud tuhan. Dengan demikian alam ini  merupakan cermin dari Allah. Pada saat Dia ingin melihat diri-Nya, Ia cukup melihat alam ini.
      Dalam fushush al-hikam sebagai dijelaskan oleh Al-Qashini dan di kutip Harun Nasution, fana wahdul wujud ini antara lain terlihat dalam ungkapan.
Wajah sebenarnya satu tetapi jika engkau perbanyak cermin ia menjadi banyak.[3].
Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki atau wajibul wujud. Sementara itu makhluk sebagai yang di ciptakan-Nya hanya mempunyai wujud yang bergantung kepada wujud yang berada dirinya yaitu Tuhan.
Yang mempunyai wujud sesungguhnya hanyalah Allah. Dengan demikian yang sebenarnya hanya satu wujud yaitu wujud Tuhan.
Hal yang demikian itu lebih lanjut dikatakan Ibn Arabi sebagai berikut.
“sudah menjadi kenyataan bahwa makhluk adalah dijadikan dan bahwa ia berharap kepada khalik yang menjadikannya karena ia hanya mempunyai sifat mungkin dan dengan demikian wujudnya bergantung pada sesuatu yang lain.[4]
      Paham tersebut mengisyaratkan bahwa pada manusia ada unsur lahir dan batin, dan pada tuhan pun ada unsur lahir dan batin. Unsur lahir manusia adalah fisiknya, sedangkan batinnya adalah roh atau jiwa yang hal ini merupakan pancaran, bayangan atau fotocopy Tuhan. Kemudian unsur lahir-lahir pada tuhan adalah sifat-sifat ketuhanannya yang tampak dialam ini dan unsur batinnya adalah dzat Tuhan.Bersatunya unsur lahut yang ada pada manusia dengan unsur nasut yang ada pada Tuhan.
      Selanjutnya dalam Al-Qur’an akan kita jumpai ayat-ayat yang memberikan petunjuk bahwa Tuhan memiliki unsur lahir dan batin sebagaimana dalam faham wahdat al-wujud
Dengan menyempurnakan untukmu niatnya lahir dan batin (Qs, Luqman, 31;20)
      Dalam Al-Qur’an dan terjemahannya terbitan Departemen Agama tahun 1984, hal 90, kata al-awwal pada surat al-hadid ayat 3 diartikan yang telah ada sebelum sesuatu yang ada. Al-akhir artinya yang nyata adanya karena banyak bukti-buktinya dan yang batin adalah yang tidak dapat digambarkan hakikar dzatnya oleh akal. Namun menurut para sufi yang dimaksud zahir adalah sifat-sifat Allah yang tampak, sedang batin adalah dzat-dzatnya. Manusia dianggap mempunyai kedua unsur tersebut karena manusia berasal dari pancaran tuhan. Sehingga antara manusia dengan Tuhan pada hakekatnya satu wujud.[5]
B.     Tokoh wahdatul wujud
      Wahdatul al-wujud adalah wujus yang sejati adalah satu,tokoh yang mengajarkan tentanf wahdatul al-wujud adalah ibn arabi, nama lengkapnya Mohammad bin ali bin ahmad bin Abdullah ath-tha’i al-haitami. Dia lahir di Murcia, Andalusia tengah, Spanyol  tahun 560 H.[6] Di Seville (spanyol) dia mempelajari al-qur’an, hadist serta fikih pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia terkenal yakni ibnu hazm al-zhahiri. Ia pindah ke Tunis di tahun 1145 dan masuk aliran sufi (ibid).
      Ketika ia berusia 30 tahun ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan islam bagian barat. Diantara guru-gurunya adalah Abu madyan al-Ghoust al-Talimsari dan Yasmin musaniyah. Keduanya banyak dipengaruhi ajaran-ajaan ibn arabi. Dikabarkan juga bahwa dia pernah ketemu dengan ibn Rusyd. Filosof murni dan tabib istana dynasty barbar dari Alomohad Dikordora.[7] Ia juga telah dikabarkan mengunjungi Al-mariyyah yang menjadi pusat madrasah ibn Masarrah seorang sufi falsafi yang cukup berpengaruh dan mempunyai banyak masalah di Andalusia, di antara karya monumenalnya yaitu al-futuhat al-makkiyah yg ditulis pada tahun 1201 H. Tatkala ia sedang menunaikan ibadah haji. Karya lainnya yaitu tarjuman al-Asyuwaq yang ditulisnya untuk mengenang kecantikan, ketakwaan, dan kepintaran seorang gadis cantik dari keluarga seorang sufi dari Persia.[8]
      Ibn arabi dikenal sebagai penulis yang produktif. Jumlah buku yang kurangnya menurut perhitungan mencapai lebih dari 200 diantaranya ada yang cuma 10 halaman tetapi ada juga yang beberapa ensiklopedia tentang sufisme seperti kitab futuha al-mekkah dan bukunya yang termasyur adalah tsus al-hikam yang juga tasawuf.
Menurut Hamka, ibn arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan fikir, filsafat, dan tasawuf
      Menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa agak berbelit belit dengan tujuan, untuk menghindari tuduhan fitnah dan ancaman kaum awam sebagaimana dialami Al-hallaj. Wujudnyaair adalah air wujud, pada hakikatnya tidaklah ada pemisah antara manusia dan Tuhan klo dikatakan berlainan.
C.     Ajaran-ajaran tasawuf
      Ajaran sentral ibn arabi adalah tentang wahdatul Al-wujud yang istilahnya bukan berasal dari ibn arabi sendiri melainkan berasal daai ibnu taimiyah tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut. Ibnu taimiyah telah berjasa dalam mempopulerkan wahdatul al-wujud ke dalam masyarakat islam meskipun tujuannya negatif.[9]
      Kaum atheis dan golongan madzhab wahdatul wujud mengemukakan fana wujud selain Allah dalam kitab “Fushushul Hikam” dan orang-orang yang sepadan dengannya mengatakan bahwa wujud khalik adalah wujud makhluk. Dipahami dari ucapan mereka itu bahwa mereka tidak mengakui adanya wujud selain Allah. Ucapan ini hanya lahir dari mulut orang kafir seperti yahudi, nasarani, dan penyembah berhala, orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya Tuhan dan hamba jua dan tidak ada perbedaan antara keduanya, ucapan ini sebenarnya menunjukan kekafiran yang nyata terutama apabila yang dimaksudkan seluruh makhluk meskipun yang dimaksud adalah para wali Allah yang beriman dan bertaqwa, kita tidak bisa langsung memfonis ibnu arabi dan orang-orang sehaluannya adalah kafir, namun bukan berarti kita harus menerima mentah-mentah hasil ijtihad mereka dibidangnya masing-masing khusunya tasawuf ini karena kita yakin bahwa mereka umumnya adalah terdiri dari mutjahid islam di bidangnya. Dari hasil pengkajian ijtihad dan maka ajaran tasawuf seperti ittihad, hulul, wahdtul wujud dan sejenisnya perlu di kaji ulang.[10]
      Menurut ibnu taimiyah wahdatul wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam, dia menilai bahwa ajaran ibn arabi adalah dari aspek tasybihnya (penyerupaan) khalik dengan makhluknya. Ia belum menilai dari aspek tanzihnya (penyucian khalik). Menuru ibn arabi wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khalik pula, tidak ada perbedaan diantaranya dari segi hakikatnya, dan kalaupun di lihat dari sudut pandang panca indra. Wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qodim dengan yang baru atau dengan kata l;ain tidak ada perbedaan antara abid (menyembah) dan ma’bud (yang di sembah).[11]
      Kalau khalik dan makhluk bersatu dalam wujudnya mengapa telihat dua? Menurut ibn arabi tidak memandangnya dari sisi satu, tetapi memandang keduanya bahwa khalik dari sisi satu dan makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang dari sisi yang lain mereka pasti mengetahui  hakikat keduanya yakni dzatnya satu yang tak terbilang dan terpisah.[12]. Wujud Tuhan juga wujud alam dan wujud Tuhan bersatu dengan wujud alam yang dalam istilah barat disebut panteisme, yang di definisikan oleh Henry C.Theissen. panteisme adalah teori yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek modifikasi atau bagian dari satu wujud yang kekal dan ada dengan sendirinya.[13].
      Ibn arabi menyebut wujud, maksudnya adalah wujud yang mutlak yaitu wujud Tuhan, satu-satunya wujud menurut ibn arabi adalah wujud tuhan, tidak ada wujud selain wujudNya. Kesimpulannya kata wujud tidak diberikan kepada selain tuhan. Dalam bentuk lain dapat dijelaskan bahwa makhluk diciptakan oleh tuhan dan wujudnya bergantung pada wujud tuhan.
      Dengan demikian, ibn arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari tiada. Ia mengatakan bahwa nur Muhammad itu qodim dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai kesempurnaan ilmiah dan alamiah yang terealisasikan pada dari pada nabi adam sampai nabi Muhammad dan dari nabi Muhammad pada diri pengikutnya yaitu para wali.
      Dari konsep-konsep wahdatuj al-wujud ibn arabi ini muncul dua konsep yang sekaligus merupakan lanjutan atau cabang  dari konsep dari wahdatul al-wujud itu, yaitu konsep al-hakikat al-muhammadiyah dan konsep wahdat al-adyan (kesamaan agama).
      Dalam menjelaskan konsep wahdatul wujud ibn arabi mengungkapkan bahwa wujud ini satu,namun dia memiliki penampakan yang disebut dengan alam dan ketersembunyiannya yang dikenal dengan asma yang memiliki pemisah yang disebut dengan barzah atau menghimpun dan memisahkan antara batin dan lahir itulah yang di sebut dengan insane kamil.
      Ia juga menjelaskan bahwa tuhan segala tuhan adalah Allah SWT. Sebagai nama yang teragung dan sebagai ta’ayun (pernyataan) yang pertama. Ia merupakan sumber segala nama dan tujuan akhir dari segala tujuan dan arah dari segala keinginan serta mencakup segala tuntutan, kepadaNyalah isyarat yang difirmankan Allah kepada rasulnya, bahwa kepada Tuhanmulah tujuan akhir karena Muhammad adalah mazhar dari pernyataan yang pertama, dan tuhan yang khusus baginya adalah ketuhanan yang agung ini. Ketahuilah bahwa segala nama-nama Allah merupakan gambaran dalam ilmu Allah. Sedangkan hakikat muhammadiyah merupakan gambaran dari nama Allah yang menghimpun segala nama ketuhanan yang darinya muncul limpahan atas segala yang ada dan Allah sebagai tuhannya. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan hakikat muhammadiyah disini bukanlauh nabi Muhammad sebagai manusianya, namun hakikat muhammadiyah adalah asma dan sifat Allah serta akhlaknya. Nabi Muhammad disebut dengan Muhammad karena beliau mampu berakhlak dengan seluruh akhlak ketuhanan tersebut.
D. Analisis wahdatul al-wujud
      Wahdatul al-wujud adalah bahwa wujud yang sejati adalah satu. Bukan berarti alam adalah Allah dan Allah adalah alam. Kenyataannya bahwa dia adalah satu kesatuan wujud ini juga dapat dipahami dari sebuah hadits yang sering dikutip ibn arabi dalam menerangkan masalah wahdat al-wujud yaitu; kanallahu wala syai’a ma’ahu artinya dahulu Allah tiada sesuatu apapun besertanya. Maksud dari pernyatan ini tidak ada sesuatu apapun yang menyertai Allah selamanya dan segalanya pada sisinya adlah tiada. “tiada Tuhan selain Allah” artinya segala sesuatu berupa alam gaib dan nyata adalah bayangan Allah yang pada hakikatnya tiada. Dapat disimpulkan dari penjelasan diatas adalah alam bias dikatakan yang merupakan khayal semata maka alam bukanlah Allah. Namun jika di lihat alam tidak akan muncul dengan sendirinya dan mustahil ada wujud di samping Allah atau di dalamnya atau di luarnya maka alam adalah penampakan Allah. Penampakan itu tiada lain Allah jua adanya.
      Karena yang mempunyai wujud hanyalah Tuhan. Dengan demikian wujud itu hanya satu yakni wujud Tuhan Ia jua memberikan  sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan juga seperti badan yang tidak bernyawa. Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu, dengan kata lain alam ini merupakan penampakan dari asma dan sifat Allah yang terus menerus. Tanpa alam sifat dan asma-Nya itu akan kehilangan maknanya dan senantiasa dalam bentuk dzat yang tinggal dalam kesendiriannya yang tidak dikenal oleh siapapun.
BAB III
KESIMPULAN
      Allah mustlak dengan keterbatasan dan terbatas dengan kemutlakannya dengan kata lain Allah mutlak dari segi dzatnya yang maha suci dari segala sifat dan terbatas dalam kemutlakan dengan nama-nama, sifat-sifat, dan fenomena-fenomena alam. Jadi penampakanNya itu sendiri tidak terbatas karena kalimatnnya tidak pernah habis, inilah yang disebut lautan tak bertepi. Dialah yang maha esa dalam banyak rupa dan rupa yang banyak yang pada hakikatnya wajah-wajah dari dzat yang esa. Dialah penghimpun segalannya yang membedakan segalanya dalam berbagai rupa. Aspek keindahan mewakili tasybih dan aspek keagungan mewakili tanzih, keduanya itu mewujudkan kesempurnaan pada dzatnya namun keseluruhannya itu menunjukkan kemutlakan yang tak terhingga.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Rosihan.2007. Ilmu Tasawuf. Bandung : CV Pustaka Setia.
Abdul Qodir Mahmud. 1996. Falsafat Ash-shuffiyyah fi Al Islam, Dar al-fikr al arab kairo.
Abu Bakar Aceh. 1882. Sejarah Filsafat Islam, Solo
Hawasali Abdullah. 1930. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan tokoh-tokohnya di nusantara, Surabaya: Al-ikhlas
Prof. Dr. H. Nata Abuddin, Ma. 1996. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.


[1] Mahmud Yunus, kamus arab indo (Jakarta: Hidakarya agung, 1990), hal 492 dan 494.
[2] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), cet III, hal 92
[3] Harun Nasution op.ut hal 93.
[4] Harun Nasution, op.ut hal 94-95
[5] H.Abuddin Nata, akhlak tasawuf (Jakarta, Graindo persada, 1996), hal 252
[6] At-taffazani, op, at hal 201
[7] Supandi Djoko Damono, Pustaka Firdaus, 1975 hal 23
[8] ibid
[9] Rosihan Anwar MAg. Ilmu tasawuf ,mukhtar sholehan (Bandung, Pustaka Setia. 2000) hal 145
[10] Moh. Saifullah Al-Aziz, Risalah memahami ilmu Tasawuf  (Surabaya, Terbit Terang,1998) hal 223.
[11] Rosihan Anwar
[12] Muhammad Musthafa, Ilmu,al-hayat,al-ruhiyyah,al-islam,al-haiat,al-musriyyah,al-ammabi,al-kitab. Mesir , 1984, hal 182
[13] Kautsar Azhari Noer, al-arabi nahdat al-wujud dalam perdebatan, Paramadina 1995, hal 162